Motivasi Menjadi G(b)uru (h) dan Ketidakpastian itu…

Kamis, September 20, 2007

Oleh Titus Krist Pekei*)

Alasan utama orang Papua studi keluar daerah adalah kurangnya sumber daya manusia, sarana dan prasarana. Selain itu, ada hal mendasar lain yaitu, tidak tersedianya studi mendalam selepas SMA. Mengenai sarana dan prasarana yang kurang seharusnya menjadi prioritas utama di samping faktor lain. Faktor lain misalnya, guru sebagai pendidik dan pengajar memiliki arti penting bagi dunia pendidikan. Terutama pendidikan formal.

Pengabdian “guru” tidak bisa diukur dengan suatu patokan statis. Akan tetapi, harus dipandang sebagai pengubah (dinamis) dunia melalui pengetahuan yang dimilikinya. Dalam hal ini, tugasnya tidak semuda yang dibayangkan orang awam. Guru meletakkan cakrawala dasar ilmu pengetahuan kepada anak didiknya. Pada pendidikan awal guru memampukan siswa dalam pengambilan keputusan dalam menentukan pilihan selanjutnya. Artinya memberikan wawasan ke depan atau masa depan. Wawasan keguruan misalnya, harus memberikan keterangan yang benar tentang studi di SPG, PGSD, FKIP. Sama halnya dengan bidang lain.

Guru dan Tanda Jasa
Guru adalah pahlawan, karena guru sebagai pahlawan yang menyelamatkan peradaban suatu bangsa dari keterisolasian, keterbelakangan, kesengsaraan dan kebodohan. Guru adalah orang yang pekerjaannya mengajar. Mengajar dengan mengedepankan profesinya sebagai mata pencaharinnya. Mengajar adalah suatu pekerjaan yang tidak mudah. Guru mengajar sambil mendidik dan mendidik sambil mengajar. Apalagi membuka pemahaman-pemahaman pada tiap pribadi yang berbeda konsep berpikirnya.

Guru menjadi pribadi yang berpihak kepada anak didiknya dengan menjadi orang tua kedua di sekolah. Memang, pantas untuk mengenang guru dengan slogan pahlawan tanpa tanda jasa. Guru sebagai jendelah, cermin, jalan dan petujuk yang tiada batas bagi hidup anak didiknya. Guru membantu siswa berperilaku sopan, disiplin, membaca, menulis, secara baik dan benar dan lain-lain.

Namun kini ada ketidakpastian bagi guru. Guru dilupan begitu saja. Pada hal jasa mereka sepantasnya mendapatkan penghargaan dan perhatian yang pantas. Misalnya, penetapan anggaran pendidikan yang sesuai, membuat rancangan undang-undang tentang pendidikan atau guru serta kebijakan serupa lain yang memihak kebutuhannya.

Transisi
Saat ini guru memasuki masa transisi. Nasibnya semakin tidak menentu. Profesinya mulai tergadai. Guru bingung antara mengajar dan mencari pekerjaan sampingan. Saat ini, banyak guru meninggalkan profesi sebagai guru. Ketika banyak orang mulai tidak lagi meminati karier guru, alasannya jelas: memilih menjadi guru sama saja dengan memilih menjadi miskin. Tidak punya jaminan nanti di hari tua. Jadi wajar saja, guru mulai beralih profesi ke dunia politik, pemerintah, dan lain-lain. Kondisi itu memprihatikan kondisi dunia pendidikan kita.

Terkait dengan itu kesejateraan guru menjadi penyebab utama. Mungkin saja guru merasa ada sikap tidak menghargai terhadap pengabdiannya. Guru harian/honorer yang bertahun-tahun lamanya mengajar, status mereka tidak berubah. Justru mengantar pada ketidakpastian yang mendatangkan kecewa, karena tidak diangkat menjadi PNS.
Untuk itu diharapkan adanya konstensi pemerintah menjalankan tugas dan fungsinya sebagai birokrasi yang kompeten. Dengan program mendasar sesuai kebutuhan masyarakat umun, guru, dan siswa. Sistem proyek dihindari karena punya kesan menghamburkan banyak biaya, tanpa ada kejelanan dan kelanjutan. Terkait dengan itu, posisi dan kedudukan sebagi pemimpin dan wakil rakyat harus dihargai sebagai “pekerja” rakyat atau pembantu “rakyat”. Posisi itu dimanfaatkan sebagai amanah untuk memperjuangkan keadilan demi kemajuan bersama. Demi mersiapkanlah jalan bagi generasi masa depan. Karena guru itu bukan buru. Guru adalah pahlawan bangsa yang seharusnya dihargai dan dilindungi.

Bantaran Ciliwung, 19 April 2006.
* Alumni Pascasarjana studi ilmu lingkungan Universitas Indonesia/PSIL. Penulis pemerhati masalah ekologi.
-----------------------------------------
Sumber: Majalah SELANGKAH
BACA TRUZZ...- Motivasi Menjadi G(b)uru (h) dan Ketidakpastian itu…

Dampak “BH” Terhadap Perkembangan Anak

Sebuah Wacana untuk Orang Tua

Oleh: Guntur Agapa*)

“BH”. Jika kita mendengar kata itu, pikiran kita tertuju pada pakaian dalam perempuan. Tetapi untuk “BH” yang satu ini mempunyai arti yang lain. Broken Home (BH). Yah itulah artinya.

“BH” atau dengan arti kata lain perpecahan dalam keluarga merupakan salah satu masalah yang kerap terjadi dalam kehidupan berumah tangga. Apalagi di era digital yang seakan serba mudah dan bebas. Perkawinan dan perceraian sudah merupakan hal yang biasa dan sudah dianggap tidak tabu lagi. Itu sudah menjadi masalah tiap komunitas keluarga di muka bumi ini.

Di dalam konflik rumah tangga terutama konflik antara suami– istri kadang menimbulkan ha-hal yang berdampak negative. Salah satu dampak negatif dari konflik yang terjadi dalam rumah tangga yang paling dominan adalah dampak terhadap perkembangan anak. Aktor utama “BH” (suami istri) kadang jarang memikirkan dampak apakah yang akan terjadi pada anak-anaknya apabila terjadi perpecahan atau perpisahan rumah tangga.
Di artikel sederhana ini saya ingin memberikan gambaran-gambaran singkat, padat dan mudah-mudahan jelas kepada para orang tua. Tentunya mengenai dampak apa yang akan terjadi pada anak --- yang nantinya menjadi korban konflik orang tua---apabila terjadi konflik dalam rumah tangga dan harus berakhir dengan “BH”.

Kejiwaan
Seorang anak korban “BH” akan mengalami tekanan mental yang berat. Di lingkungannya. Misalnya, dia akan merasa malu dan minder terhadap orang di sekitarnya karena kondisi orang tuanya yang sedang dalam keadaan “BH”. Di sekolah, disamping menjadi gunjingan teman sekitar, proses belajarnya juga terganggu karena pikirannya tidak terkonsentrasi ke pelajaran. Anak itu akan menjadi pendiam dan cenderung menjadi anak yang menyendiri serta suka melamun.

Pikiran-pikiran dan bayangan-bayangan negatif seperti menyalahkan takdir yang seolah membuat keluarganya seperti itu. Seakan sudah tidak ada rasa percaya terhadap kehidupan religi yang sudah mendarah daging sejak dia lahir dan lainnya. Tekanan mental itu mempengaruhi kejiwaannya sehingga dapat mengakibatkan stress dan frustrasi bahkan seorang anak bisa mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Hal seperti itu bisa saja terjadi, apabila ...?

Pelampiasan Diri
Kemungkinan terjemus dalam pengaruh negatif bagi orang tua (dewasa) dalam konteks BH ini sangat kecil. Orang tua dapat mencari solusi untuk menenangkan pikirannya. Namun berbeda dengan seorang anak yang sedang menghadapi situasi BH. Anak-anak dapat saja terjerumus dalam hal-hal negatif, apalagi dengan media informasi dan komunikasi yang menawarkan banyak hal. Contoh konkritnya, merokok, minuman keras (alkohol), obat-obat terlarang (narkoba) bahkan pergaulan bebas yang menyesatkan.


Refleksi
Mungkin mudah bagi orang tua untuk memvonis keputusan tentang perpisahan atau perpecahan dalam rumah tangga, tapi apakah mudah bagi anak-anak mereka untuk dapat menerima hal itu? Entalah! Itu merupakan pertanyaan reflektif bagi orang tua!

Perpecahan dalam rumah tangga memang merupakan masalah yang tidak mudah untuk dilepaskan dari kehidupan dalam rumah tangga. Memang jika kita mengkaji lebih jauh kita akan dapat memahami sebagai suatu persoalan yang wajar-wajar saja. Tetapi, apakah hal itu dapat dikendalikanya? Memang sulit untuk menjawabnya dan jawabanya kembali kepada orang tua (ayah-ibu) atau pelaku dalam konflik rumah tangga itu sendiri.

Kita sering melihat kasus-kasus perceraian artis dan perebutan hak asuh anak sampai menyewa pengacara di layar televisi. Perceraian bagi para artis seakan meningkatkan posisi tawar (popularitas) sehingga harus menggunakan pengacara yang terkenal. Mereka tidak pernah berpikir siapa yang akan dirugikan dalam permasalahan mereka. Mereka hanya memikirkan popularitas dan diri sendiri dan menganggap semuanya dapat dibeli dengan uang. Namun, kenyataananya apa yang mereka lakukan itu merupakan kekalahan bagi anak-anak mereka dan jelas hal itu akan menjadi trauma yang berkepanjangan pada psikis anak mereka.

Orang tua harus mampu mengendalikan diri dalam menyikapi masalah ini, jangan sampai permasalahan mereka secara tidak langsung menjadi doktrin boomerang negatif yang akan berkembang dalam psikis anak. Orang tua sebagai panutan sekaligus guru yang menjadi contoh bagi anak dalam belajar untuk hidup melalui berbagai proses yang semuanya tak lepas dari tanggung jawab mereka. Anak akan tumbuh dan berkembang dengan baik bila orang tua juga mampu untuk mengontrol dan mengatasi persoalan mereka sendiri tanpa harus mensosialisasikan perbedaan pendapat yang mengarah ke konflik keluarga kepada anak.

Apakah sebagai orang tua senang jika anaknya menjadi hancur dalam kehidupanya di saat mereka ingin tumbuh dan berkembang dengan cinta kasih orang tuanya? Tentu saja jawabnya pasti “tidak” dan orang tua paling tolol yang hanya diam dan tak berpendapat. Oleh sebab itu sebagai orang tua berusahalah untuk mengendalikan hidup dalam situasi apapun demi anak-anak kalian, jangan sampai BH menjadi budaya penghancur kehidupan anak yang notabene adalah buah hati kalian sendiri dan titipan TUHAN.

*) Mahasiswa Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Sipil, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
--------------------------------------
Sumber: Majalah SELANGKAH
BACA TRUZZ...- Dampak “BH” Terhadap Perkembangan Anak

PESERTA DIDIK BUKANLAH MINIATUR MINI: Sebuah Refleksi Alumni

Trikurniwan dan Sinyo Fernandez*)

Perkembangan pendidikan sangatlah berkaitan erat antara pendidik dan yang di didik. Apabila kita menginginkan pendidikan di daerah kita maju, maka kedua pihak perlu dipersiapkajn secara matang. Antara pendidik dan yang dididik mempunyai hubungan timbal balik. Contoh, bila pendidiknya ada sedangkan yang dididik tidak ada, mungkinkah proses belajar itu berlangsung? Atau pun sebaliknya orang yang dididik ada sedangkan pendidiknya tidak ada, mungkinkah pula proses pendidikan itu berjalan? Pendidik adalah ibarat sebuah lesung, sedangkan yang mendidik adalah sebuah alu. Jika kedua benda ini terpisah satu sama lain maka tidak ada proses yang dapat berlangsung. Tetapi bila mereka bertemu maka akan terjadi sebuah proses yang disebut dengan pendidikan.

Terlepas dari permasalan di atas, sebagai seorang pendidik/guru haruslah mampu mendampingi siswa untuk menerima pengatahuan baru. Dalam pendampingan siswa di sekolah, guru perlu memperhatikan pula kode etik pengajaran yang mereka peroleh selama mereka dididik untuk menjadi seorang pendidik. Artinya didaktik dan metodik itu perlu diterapkan dalam pembelajaran (membuat siswa belajar). Sebab, siswa yang menerima pengetahuan atau ilmu dari guru adalah “manusia” yang memiliki kemampuan yang unik dan berbeda-beda dalam memahami dan mencerna apa yang dipelajarinya. Dalam pembelajaran di kelas, kiranya siswa dipandang sebagai subjek. Bukan sebuah objek yang dapat mentransfer pengetahuan sesuka pengajarnya seperti bank. Kalau siswa dianggap obyek berarati tidak akan terjadi proses pendidikan manusiawi atau istilah kerennya humanisasi.

Dalam pembelajaran, perlu diperhatikaan hal-hal apa saja yang diharapkan oleh siswa. Guru harus jeli dalam menggunakan metode yang tepat bagi siswa-siswanya, baik itu sistem pengajarannya, sosialisasi awal ketika akan memulai pelajaranya dan masih banyak hal lain lagi. Kami rasa guru tersebut lebih mengetahui, sebab mereka sudah mendapatkan pengetahuan ketika mereka dididik menjadi seorang pendidik. Yang dimaksudkan bukan meteri yang akan diberikan melainkan model pengajaran.

Sedikit menyampaikan apa yang dibutuhkan atau diharapkan oleh siswa ketika guru tersebut mengajar. “Ini demi kemajuan pendidikan di daerah kita”. Seorang guru yang diharapkan oleh siswa adalah guru yang mengerti dengan siswa tersebut. Kiranya guru tersebut memahami keadaan psikologi sebab dengan begitu akan terbangun suatu komunikasi yang akrab dan harmonis yang merupakan penunjang terselenggarankanya sebuah pengajaran yang dimanis. Siswa akan bersemangat apabila gurunya menyenangkan, sesulit apapun ilmu yang akan diberikan. Mereka akan senang untuk menerimanya, mereka akan berusaha semaksimal mungkin untuk dapat memahami apa yang diberikan guru tersebut. Dapat dikatakan pula kesan pertama mempunyai pengaruh yang besar bagi guru dan anak yang dididiknya untuk kelanjutan proses pembelajaran di dalam kelas.

Sebagai contoh, seorang guru yang baru pertama kali masuk ke sebuah kelas, ia langung membentak-bentak mengatakan kelas itu kotor, siswa-siswanya tidak siap menerima pelajaran dan selalu saja ada yang salah dari awal pelajaran sampai pelajaran itu berakhir. Kesan seperti inilah yang membuat siswa menjadi malas untuk mengikuti pelajaran dari guru tersebut. Seandainya saja siswanya berani mereka akan memprotes ke pihak sekolah untuk menggatikan guru tersebut. Ini selalu terjadi ketika kami masih duduk di bangku SMA. Namun kami hanya diam karena takut.

Lain halnya dengan seorang guru ketika pertama kali ia masuk ke kelas ia langsung melemparkan senyum dan dengan suara yang lemah lembut ia menyapa kelas tersebut dan ada variasi dalam pembelajaran pengajaran yang ia berikan bagi siswanya. Dengan begitu maka siswa lebih mudah memahami apa yang ingin ia sampaikan atau ajarkan. Cara seperti ini akan membuat siswa merasa nyaman berada dalam kelas. Seandainya saja dua jam telah dilewati seakan hanya semenit. Siswa pun akan semakin tertarik dan menanti-nantikan guru itu untuk masuk kembali ke kelas mereka. Masih banyak contoh lain yang dapat kita lihat secara langsung pada teman-teman kita, saudara atau bahkan kita sendiri pernah merasakannya, (terlibat secara aktif dalam proses pendidikan di sebuah sekolah).

Harapan dari setiap siswa, guru yang akan mengajarnya nanti sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Tetapi tidak semua guru di dalam satu sekolah disenangi oleh siswa-siswanya. Ini bisa dilihat pula pada kedekatan mereka ketika berada di dalam maupun di luar kelas. Ada guru yang dianggap baik (sangat baik) bila guru tersebut memberikan nilai tinggi pada siswa tersebut sesuai dengan bidang studi yang diajarkan guru itu. Seandainya nilai itu sesuai dengan kemampuan siswa tersebut tidaklah masalah tetapi yang sering terjadi malah sebaliknya. Karena “keakraban”, nilai pun bisa manipulasi. Hal seperti inilah yang membuat mental-mental anak yang dididik menjadi “rusak”.

Mendidik bukan berarti membodohi, karena berbekal keakraban apapun dihalalkan. Guru dapat lebih bijaksana dalam mengambil keputusan ketika akan menilai kemampuan anak didiknya. Hal lain lagi, cara seperti ini bukanlah mendidik tapi mengajarkannya untuk menjadi malas. Guru harus dapat membedakan mana yang baik dan tidak untuk siswanya. Situasi di dalan dan di luar kelas sangatlah berbeda tapi bukan berarti guru melepas tanggung jawab ketika siswanya berada di luar sekolah. Akan lebih baik guru pun memperhatikan perilaku anak didiknya di luar sekolah dengan begitu tidak semata-mata teori saja yang diberikan di dalam sekolah tetapi moral dan mental anak didik pun dibentuk. Jadilah “sahabat” mereka!

Siswa selalu merasa bahwa guru merupakan gudang ilmu pengetahuan. Setiap siswa selalu mempunyai rasa ingin tahu akan hal-hal yang dianggapnya baru dan selalu mengganggu pikiran mereka baik itu menyangkut pengetahuan yang diberikan maupun kaitannya dengan hal-hal lain. Nah, guru harus mempunyai sumber yang memadai sebelum masuk mengajar di kelas. Perlu diperhatikan setiap pertanyaan yang diberikan siswa, sebab pertanyaan itu sangat berati bagi mereka dan merupakan langkah awal untuk mengetahui lebih lanjut tentang suatu hal. Mereka pun mengharapkan bahwa jawaban yang akan mereka dapatkan memuaskan hati. Guru akan lebih baik jangan mengatakan tidak tahu ketika diajukan pertanyaan, kalau memang guru itu tidak mengetahui jawabannya, berikan pernyataan yang menyenangkan siswanya agar mereka semakin terpacu untuk lebih….dan lebih mengetahui lagi.

Hal terakhir yang ingi kami sampaikan, bahwa peserta didik bukanlah miniatur mini sebagai bahan percobaan. Apa yang mereka dapatkan selama di bangku pendidikan merupakan bekal untuk masa depan mereka kelak. Didiklah agar mereka siap menghidupi kehidupan ini. Kerana kata orang, hidup adalah pilihan, sekali kita memilih berarti kita siap menerima konsekuensinya.

*)Mahasiswa Atma Jaya Yogyakarta dan Mahasiswa Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta.
------------------------------------
Sumber: Majalah SELANGKAH
BACA TRUZZ...- PESERTA DIDIK BUKANLAH MINIATUR MINI: Sebuah Refleksi Alumni

PERUBAHAN PENDIDIKAN PAPUA: Kerinduan yang Tak Kunjung Datang

Rabu, September 19, 2007

Oleh Bomkonwoqk Gerald Bidana*)

Sama seperti manusia lain, Tuhan menciptakan manusia Papua dengan kemampuan kognisi untuk mengembangkan potensi dirinya. Pastilah Tuhan punya maksut tertentu. Tidak lain adalah untuk membangun tanah Papua dan juga bumi tempat kita berpijak. Berangkat dari itu, pembangaunan manusia maupun fisik harus menjadi kerinduan generasi kita sebagai generasi yang sadar akan adanya pembodohan, kekerasan dan ketidakadilan dalam bidang HAM, ketidak adilan sosial dalam pembangunan yang memojokkan masyarakat di tanah Papua.

Percaya atau tidak, kerinduan untuk melawan ketidakadilan dan kerinduan untuk membanguan tanah Papua telah mengajak kita (kita terpanggil) datang dari sudut–sudut perkampungan, sudut persimpangan jalan, tepi pantai, di antara semak belukar bahkan di antara belahan gunung hanya untuk memperoleh pendidikan sebagai jalan pencerahan.
Pencerahan (fitra) itu tidak datang begitu saja, ibarat benda yang dengan kemegaannya jatuh dari langit. Pencerahan akan datang kala kita terus mau berusaha dan berjuang. Berjuang yang saya maksud memcari ilmu pengetahuan. Tentu saja, mencari ilmu tidak hanya lewat pendidikan formal (sekolah) dan pendidikan non formal. Banyak kegiatan positif, mislnya beroraganisasi, magang dan lainya yang kita lakukan itu, juga bagian dari pendidikan. Itu semua penting untuk memajukan SDM di tanah Papua. Dalam hal ini tercermin visi atau angan-angan untuk kemajuan manusia Papua. Bisa sebagai perlawanan terhadap ketidakadilan hukum, HAM, sosial ekonomi dan lainnya.

Mari bercermin ke tanah Papua. Bukan main, potensi manusia Papua perlahan-lahan terus mulai nampak. Kita bisa lihat dari prestasi anak-anak Papua yang mulai menonjol akhir-akhir ini. Di tingakat internasional, misalnya Georgeo Saa yang tampil gemilang sebagai urutan satu mengalahkan puluhan negara maju di dunia dalam Olimpiade Fisika Internasional di Swedia. Apalagi kalau pendidikan di Papua diurus dengan baik dan serius. Misalkan saja, pemerintah mau melakukan berbagai terobos, seperti hubungan kerja sama dengan daerah lain yang mutu pendidikannya cukup maju. Juga Melengakapi fasilitas sekolah dan terus meningkatkan mutu guru, misalkan mengadakan studi banding keluar daerah mengunjungi sekolah-sekolah yang bermutu. Percaya Papua akan melahirkan banyak ilmuan.

Memang betul sobat, kemajuan pendidikan membawa perubahan besar bagi masyarakat. Jelasnya ini akan mengangkat derajat kita punya bangsa. Kalau begitu jawabannya adalah harus ada usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan. Untuk itu ada banyak cara, misalkan membuka jaringan kerjasama dengan sekolah ungulan di dalam negeri maupun di luar negeri. Mengirim dan memberikan beasiswa kepada siswa berprestasi untuk belajar di sekolah bermutu, di dalam negeri, bisa juga di luar negeri.

Sekolah-sekolah guru, seperti PGSD, FKIP harus di kelola dengan baik. Mampu mencetak guru yang berkompeten dalam mengajar, mendidik dan mendampingi siswa. Hal itu bisa dilakukan dengan disiapkan dosen yang berkompeten, bisa didatangkan dari daerah lain. Asalkan kredibilitsnya terjamin dan benar-benar punya hati untuk membangun Papau. Selain itu, perlu juga, mengirim atau menyekolahkan guru ke sekolah jenjang tinggi, mengadakan studi banding ke sekolah yang lebih bermutu. Dan yang terpenting bagi Papau perlu menerapkan kurikulum berbasis lokalitas.

Sejauh ini, ada dua kata yang sangat sederhana dan mudah diucapkan tetapi merupakan bumerang bagi kematangan, kedewasaan semua potensi orang dalam hal memimpin, yaitu MEMBACA BUKU. Kita harus mengakui secara sadar bahwa orang Papua pada umumya tidak memiliki budaya baca dari tingkat SD sampai PT, apalagi para pegawai atau pejabat yang seharusnya memiliki waktu khusus untuk membaca di kantor. Dampak dari kebiasaan tidak tau membaca pengalaman orang - buku, maka kebanyakan pemimpin Papua belum mampu merumuskan konsep yang ada dalam benaknya maupun apa saja yang diucapkannya. Tahunya hanya pintar mengucapkan dan kelemahan inilah yang justru dimanfaatkan oleh orang lain. Pemahaman diri sangatlah penting untuk mengambil sebuah langkah demi kesuksesan yang diimpikan. Supaya otak manusia tetap hidup, satu – satunnya obat adalah Membaca Buku dan mendapatkan sesuatu yang baru (used it or you will losse it).

Membaca pengalaman orang lain dengan benar, pasti merumuskan ide-ide kita dengan baik dan bertangung jawab. Kita bangga punya koran lokal, seperti Cenderawasih pos, Papuapos dan tabloid suara Perempuan Papua, majalah dan radio lokal. Dengan membaca dan mendengarkanya tentu mendidik sekaligus meningkatkan minat baca. Ini penting mengingat salah satu faktor ketertinggalan orang Papua adalah rendahnya minat untuk membaca. Logikanya bisa mendapatkan pencerahan untuk membangun Papua. kalau tidak tentu akan ketinggalan dari daerah lain.

Pendidikan di Papua tanggung jawab pemerintah Provinsi Papua dan masyarakat Papua. Bisa dibilang, pemerintah pusat tugasnya mencairkan angaran pendidikan, membuat sistem pendidikan nasional dan kurikulum. Perlu kita pahami, ada kebebasan, kurikulum di tiap daerah bisa disesuaikan degan kondisi lokalnya. Nah, pertanyaannya, sudahkah pemerintah provinsi dan kabupaten mengalokasikan dana sesuai dengan fungsi dan manfaatnya? Kalau soal kurikulum belum sepenuhnya pembelajaran kontekstual, lokalitas tercipta. Kalau soal ini sangat terkait dengan mutu dan kreativitas guru di sekolah. Bergantung dari pandai-pandainya guru meramu mata pelajaran sesuai situasi lokal. Sebenarnya persoalannya adalah agar memudahkan siswa supaya cepat mengerti materi yang dia ajarkan.

Untuk itu, pertama, pemerintah provinsi dan kabupaten harus serius memperhatiakn pendidikan formal untuk membangun SDM yang memanusiakan. Sampai saat ini belum ada sekolah negeri yang memiliki faslititas belajar maupun tenaga pengajar yang lengkap, sekalipun ada SMA negeri BUPER Jayapura saat ini bukan jaminan kesiapan SDM yang memiliki hati untuk generasi manusia Papua? Untuk itu pemerintah harus belajar dari sokolah-sekolah missi yang berpola asrama. Kemudian menerapkan sistem pendidikan semi militer untuk membangun kognisi, afeksi dan psiko-motorik serta spritualitasnya. Dalam hal ini pemerintah bisa bekerja sama dengan pihak swasta. Hal ini berangkat dari kesadaran akan pendidikan formal yang benar – benar memberikan kemerdekaan utuh kepada setiap indidvidu. Kedua, membangun gedung edung sekolah dari SD, SMP dan SMA tanpa pertimbangan yang matang dari berbagai aspek.

Hal ini berdampak pada biaya operasional sekolah maupun pengadaan fasilitas lainnya, bahkan tenaga pengajar yang belum memiliki kompetensi sebagai seorang guru dan selalu kita katakan sekolah tidak berbobot. Ketiga, kebiasaan melempar tugas dan tanggung jawab para pejabat, yang seharusnya dalam kurun waktu yang ditetapkan ada evaluasi atau kunjungan kerja secara kontinue demi perbaikan. Keempat, penempatan pegawai negeri tidak sesuai dengan bidang keahliannya, sehingga prakteknya turut memperparah proses pengembangan dan peningkatan pembangunan yang diharapkan.

Otonomi khusus Papua memberikan peluang kepada orang Papua untuk memberdayakan semua potensi berdasarkan pengalaman–pengalaman masa lalu. Terutama membangun sekolah–sekolah yang dilengkapi dengan fasilitas sesuai tingkatannya. Ini akan tercapai asalkan manusia Papua harus jelih memandang jauh dan mau mengubah paradigma makna otonomi.

Saya sangat prihatin akan realitas pendidikan sekolah di seluruh tanah Papua. Saya selalu mengungkapkan di berbagai forum mahasiswa Papua di Jawa bahwa pendidikan formal yang baik dan benar merupakan tolok ukur keberhasilan pembangunan sebuah wilayah. Sehingga berharap kepada pemerintah provinsi dan kabupaten yang ada di seluruh Papua untuk mengedepankan pendidikan. “Berpikir bagaimana membuat pendidikan berbasis lokal tanpa menutup diri terhadap pengaruh luar. Dengan demikian pelan namun pasti, pendidikan itu dapat memebaskan manusia Papua. Melalui pendidikan itu terjadi proses pemanusiaan manusia muda.”

Kalau mau lebih baik lagi, lembaga independen yang bergerak di bidang pendidikan sebenarnya harus dibentuk. Lembaga yang tugas mencermati jalannya pendidikan di Papua, mengevaluasi jalannya pendidikan dan meramu kurikulum pusat untuk disesuaikan dengan lokalitas (melakukan berbagai kegiatan penelitian dan pengembangan pendidikan). Kalau memang Papua mau maju, lembaga ini harus menjadi perhatian serius.

Mungkinkah kerinduanku untuk Papua ini akan terwujud, kalau bukan kita siapa lagi? Mari kitorang berpikir bersama memberikan perubahan dengan cara kita masing-masing.

*)Mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
--------------------------------------
Sumber: Majalah SELANGKAH
BACA TRUZZ...- PERUBAHAN PENDIDIKAN PAPUA: Kerinduan yang Tak Kunjung Datang

KEARIFAN ARSITEKTUR VERNAKULAR “YAME OWA” SUKU MEE

Konsep Pembangunan Berkelanjutan Berbasis Nilai Kultural

Dou, Gai, Ekowai, (melihat, berfikir, dan membangun)

Oleh Yunus Emigita Yeimo*)

Salah satu faktor pendukung yang paling penting dalam proses pembangunan adalah faktor budaya. Terutama dalam era otonomisasi dewasa ini faktor budaya akan melatarbelakangi pembangunan di segala bidang. Karena budaya yang merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia lebih dahulu ada dan melekat pada setiap masyarakat ketimbang pembangunan. Oleh karena itu pelaksanaan pembangunan hendaknya mengacu pada konsep yang melatarbekangi nilai-nilai budaya masyarakat lokal.

Kearifan masyarakat lokal itu terlihat dari rumah yang mereka dirikan. Mengapa? Karena mulai dari pemilihan lokasi, di mana bangunan itu dibangun, mempelajari kondisi alam misalnya, cura hujan, arah datangnya angin, panas sinar matahari, bahkan terhadap gempa bumi untuk mendirikan bangunan tersebut untuk mencapai apa yang diharapkan tentu saja membutuhkan waktu yang cukup lama bahkan berpuluh-puluh tahun. Kemampuan berfikir itu bukan hanya pada pemilihan lokasi atau mempelajari iklim di sekitas mereka, namun juga pada pemilihan bahan-bahan bangunan. Kualitas bahan bangunan, penentuan bentuk dan ukuran yang cocok dengan kondisi dan kebutuhan penghuni.

Pengambilan keputusan untuk menentukan lokasi, bentuk, ukuran, dan bahan, tidak seperti para arsitek sekarang. Arsitek hanya memakai imajinasi, lalu diwujudkan dalam bentuk gambar kemudian dibangun. Namun rumah tradisional dibangun dengan suatu metode pengujian alami, untuk menentukan lokasi, iklim, ukuran, bahan, dan bentuk secara arif dan bijaksana dengan pengetahuan sederhana yang telah dimiliki, dan tentu saja ini membutuhkan waktu yang cukup lama. Sebelum ada pengaruh luar, semuanya dikerjakan dengan tenaga manusia (kapak batu atau pecahan batu).
Yame Owa (rumah tinggal khusus laki-laki) yang kita lihat, hidup atau tinggal, sekarang, ini merupakan hasil akhir dari pada pengujian yang mereka lakukan selama bertahun-tahun itu. Namun demikian yang menjadi pekerjaan rumah (PR) buat kita semua adalah mengapa bangunan rumah tradisional semakin hari semakin punah? Jika demikian siapa yang salah dan siapa yang harus disalahkan? Bukankah rumah tradisional sebagai jati diri dan identitas orang Papua?

Makna Konsep Budaya Yame Owa
Secara etimologis dan harafiah dapat diartikan bahwa: Yame = (laki-laki) Owa (rumah). Artinya rumah tinggal khusus laki-laki dalam suku Mee–Papua. Konsep Budaya Yame Owa terdapat dalam suku Mee, yang mendiami di pegungungan tengah Papua. Suku Mee tersebar di danau-danau Wiselmaren dan daerah Kamuu, Mapia, Siriwo. Mee artinya manusia sejati.

Yame Owa didirikan oleh seseorang yang memiliki satus sosial, ekonomi yang mapan menurut ukuran masyarakat sekitarnya dan karena mempunyai kemampuan tertentu baik dalam pemahaman budaya maupun hal-hal mistik. Yame Owa adalah tempat tinggal khusus laki-laki yang telah dewasa dan tempat berlangsungnya proses sosialisasi nilai-nilai budaya melalui proses komunikasi. Suku Mee memandang Yame Owa sebagai simbol pemersatu: ide, perasaan, perbedaan pandangan, yang berorientasi pada proses dialog dalam rangka penyesaian masalah-masalah yang terjadi di tengah masyarakat. Yame Owa dapat menghantarkan manusia suku Mee pada pengembaraan dalam pemikiran manusia dan memaknai alam semesta. Orang Mee mempunyai pandangan bahwa manusia harus hidup, melihat, berpikir melakukan sesuatu dan memandang ke depan dari dalam Yame Owa yang kokoh.

Filosofi Konsep Budaya Yame Owa
Berbicara tentang budaya Yame Owa tidak hanya terbatas pada sudut pandang yang tersimbol dalam rumah adat. Akan tetapi lebih penting adalah pandangan filosofis tentang budaya yang menjiwai seluruh aktivitas hidup suku Mee. Mengacu pada pegertian konsep budaya Yame Owa di atas, unsur filosofisnya yaitu suku Mee memandang proses hidup yang dijalani sebagai sebuah rumah Yame Owa yang kokoh dan unik.

Filosofis budaya Yame Owa adalah pelestarian karya cipta Tuhan ketika manusia suku Mee harus membangun dirinya dan sesamnya dengan konsep budaya yang ada. Sebagaimana arsitektur vernakular Yame Owa, dibangun dengan suatu kearifan yang teliti dimana menentukan lokasi, bahan, bentuk, ukuran serta estetis bangunan itu sendiri. Berdasarkan tingkat kualitas yang maksimal tersebut maka dalam membangun dirinya dan sesama harus dengan seoptimal mungkin dengan cara membedakan mana yang baik dan buruk sebagai ciptaan Tuhan yang berakal budi.

Pandangan filosofis tersebut, sudah menjadi acuan dalam usaha menata berbagai bidang kehidupan secara parsial. Karena kehidupan merupakan suatu sistem yang luas dan jangkauannya luas (multi-dimensional). Tentunya pandangan tentang bidang-bidang kehidupan ini ruang lingkup perhatianya selalu mengalami perluasan sesuai dengan tuntuan perubahan. Sebagaimana masyarakat suku Mee membangun rumah Yame Owa sebagai tempat yang memili multi fungsional dengan konstruksi bangunan yang kuat, maka Kabupaten Paniai sebagai Yame Owa maka semua kebijakan-kebijakan dan administrasi pemerintahan berawal secara baik sebagai fundamen menuju kematangan.

Konsep Budaya Yame Owa sebagai Bottom Up Planing
Salah satu pendekatan perencanaan pembangunan yang sesuai dengan semangat demokrasi dan proses otonomisasi adalah pendekatan perencanaan dari bawah (Bottom Up Planing). Karena seriring dengan perubahan format politik di Indonesia telah dilakukan penataan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Penataan ini melalui pemberian otonomi khusus bagi Papua. Sehingga tugas dan tanggung jawab pemerintah pusat adalah mengontrol dan segala urusan di daerah ada di tangan pimpinan daerah itu sendiri.

Konsep otonomi daerah lebih memberi makna pemberian hak dan wewenang oleh pemerintah pusat kepada daerah dalam mengatur rumah tangga daerah masing, sesuai dengan memperhatikan aspirasi masyarakat dan potensi serta asal usul daerah. Pengertian ini sesuai dengan pandangan pemerintah dan pembangunan suku Mee di Paniai dengan konsep budaya Yame Owa. Pemerintah adalah pihak yang dipercayakan untuk mengurus wilaya kabupaten Paniai sebagai Yame Owa. Sedangkan pembangunan adalah aktivitas yang dilaksanakan melalui suatu proses perencanaan yang memihak pada kepentingan rakyat (penghuni Yame Owa) dalam mencapai tujuan bersama.

Dengan demikian perencanaan pembangunan harus dijiwai dari konsep budaya Yame Owa. Sebab Propinsi Papua adalah sebuah Yame Owa milik seluruh rakyat Papua. Oleh karena itu semua kepentingan yang mangacu pada kemajuan harus dibicarakan bersama di dalam Yame Owa sesuai dengan makna rumah itu. Sehingga pernyataan ini relevan dengan perencanaan dan pendekatan pembangunan Botto Up Planing (dari pemerintahan Desa, Kampung, Lurah, Kecamatan, Kabupaten, kota madya hingga ke Provinsi). Pendekatan Botton Up Planing harus dimulai dengan mekanisme, menampung aspirasi yang dibicarakan di Yame Owa pada setiap kampung oleh kepala Desa dan hasilnya disampaikan kepada Camat untuk dirumuskan secara sistematis dan disampaikan kepada Bupati melalui Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda) untuk dibahas dan ditetapkan dalam sidang bersama dengan Dewan Perwakilan Derah.

*) Mahasiswa Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Arsitektur
Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta.

---------------------------------------
Sumber: Majalah SELANGKAH
BACA TRUZZ...- KEARIFAN ARSITEKTUR VERNAKULAR “YAME OWA” SUKU MEE

Menggali Budaya Papua Lewat Musik, Perlukah? (Kasus Suku Mee)

Oleh Dominikus Douw *)

“Koteka moge Paniai makii,
kou aniiya kagaabanoo,
anii didi kogaa dani totaa kagaabano,"


Lirik lagu berbahasa daerah Mee (Papua) di atas ini selalu dinyanyikan oleh grup band Koteka di Semarang. Koteka adalah pakaian adat untuk laki-laki dan moge adalah pakaian adat bagi perempuan di pegunungan tengah Papua. “Paniai makii” tanah air Paniai. “Kou aniya kagaaba” pakaian adat saya. “Anii didi kogaa dani” Saya sungguh bangga dan mencintai pakaian adatku. Dapat juga berarti daerah koteka tumpah darahku.”Totaa kagaaba” pakaian hasil cipta manusia yang sudah ada sejak dahulu kala dan terlestarikan hingga kini. Kira-kira demikian pengertian leksikalnya. Namun kata-kata bahasa Mee yang menjadi sebuah lirik lagu ini, tidak cukup dijelaskan hanya secara harafiah.

Secara semantik, lirik lagu di atas mengatakan, koteka dan moge adalah lahir dari angka kepandaian orang pegunungan tengah Papua di masa lalu (dalam konteks ini Paniai). Ini adalah ciri khas saya. Saya adalah manusia berperadaban dan bersejarah. Koteka dan moge harus saya lestarikan karena saya sungguh bangga. Saya sungguh mencintai tanah air orang berkoteka moge. Aku selalu akan mengingat kau penuh seluruh karena aku tidak mau kehilangan identitasku. Kaulah (koteka-moge) yang dapat berbicara kapada dunia akan peradabanku. Aku ingin mengenangmu selalu, walau aku di ratau.

Berbicara mengenai koteka dan moge di zaman jins, jas dan dasi, mungkin agak lucu. Bahkan jijik bagi kebanyakan orang, sekalipun orang pegunungan tengah. Orang akan bertanya mengapa koteka moge harus terus dilestarikan pada zaman digital ini. Anehkan. Tetapi ketika Anda merasa aneh, sadarkah kau dengan peradabanmu. Entahlah! Dibenak penulis muncul pertanyaan. Sejak dahulu kala siapa yang bisa membuat pakaian seperti yang kita pakai sekarang ini?

Sebelum revolusi Prancis pecah, manusia kembali kepada adat dan budaya masing–masing. Ketika itu tetek nenek moyang tidak tahu membuat pakaian. Mereka hanya memakai koteka dan moge yang merupakan hasil dari kepandaian moyang. Angka kepandaian itulah yang perlu diapresiasi lewat musik untuk melestarikannya. Memang di sisi lain pemerintah berupaya agar koteka harus lepas karena peradaban sudah berganti. Namun penulis optimis, koteka di zaman ini bukan simbol ketertinggalan. Melainkan sebuah identitas dari sebuah bangsa. Identitas inilah kiranya perlu terus diwariskan.

***
Koteka dibuat dari tumbuhan yang buahnya agak mirip dengan tumbuhan mentimun atau ketimun. Namun buah koteka agak panjang. Kalau sudah tua buah koteka agak keras. Orang Mee menyebutnya bobbe. Bobe biasanya di tanam di kebun atau di halaman rumah. Proses pembuatannya, bobbe dipetik (biasanya yang sudah tua) kemudian dimasukkan kedalam pasir halus. Di atas pasir halus tersebut dibuat api yang besar. Setelah panas kulit bobbe akan lembek dan isinya akan mencair, lalu biji-biji beserta cairan akan keluar dari dalam ruas bobbe. Setelah itu, bobbe digantung (dikeringkan) di perapian hingga kering. Setelah kering dilengkapi dengan anyaman khusus dan siap pakai sebagai koteka.

Moge (cawat) dibuat dari kulit kayu. Namun bukan sembarang pohon. Proses pembuatannya, pohon itu ditebang ambil dulu kulitnya, setelah mengambil kulitnya akan direndam dalam pecek atau akan disiram dengan air agar tetap awet. Kulit kayu itu dikeringkan di terik matahari. Kemudian kulit kayu itu akan terlihat coklat. Lalu kemudian dianyam dan dipakai sebagai moge.

Lagu koteka moge di tetapkan oleh Koteka Group Band sebagai lagu mars. Lagu ini harus selalu dinyanyikan ketika pentas sebagai lagu pertama. Lagu koteka moge ini kalau didengar oleh pendengar hanya sederhana saja dan jauh dari harapkan pendengar baik itu dari sisi musiknya, suaranya dan kekompakannya dalam menyanyi. Namun di situlah letak seni dan kekhasan lagu ini. Karena group band Koteka ini dibentuk bukan sekedar untuk menyanyi dengan suara dan musik yang baik seperti grup musik biasanya. Akan tetapi mencoba berpikir bagaimana mengangkat seni dan budaya suku Mee melalui lagu-lagu. Selain itu melalui lagu-lagu, mencoba mengangkat nilai-nilai moral yang terkandung dalam budaya. Misalnya, melalui lagu berjudul ’’Woiyo Paniai Makiyo woiyo’. Lagu ini mengandung arti mari membangun Paniai dan Nabire dengan tinggalkan kebiasaan–kebiasaan buruk dan mengangkat nilai–nilai budaya suku Mee Papua yang sudah ada dari dulu yang hingga hingga kini mulai terkikis.

Bob Marley, Lucky Dube, UB 40 dan lainnya yang begitu terkenal adalah bukan lagu-lagu pilhan Koteka Band. Komitmen Koteka Band adalah terus menciptakan lagu-lagu yang berkaitan dengan nilai– nilai budaya. Komitmen itu, sudah mulai terwujud dengan rekaman live namun karena keterbatasan dana, maka rekaman tracknya masih belum. Yang penting sekarang adalah, bagaimana memetik pengalaman ini untuk mencoba mengembangkan kebudayaan melalui lagu-lagu dalam rangka mengangkat nilai-nilai budaya.

Personil Black Brothers, Pace Sembor, ketika di Jakarta bulan Mei 2005, saat beliau mengantarkan mayat rekannya David Rumaropen mengatakan ’’Kalau kalian mau berfokus ke dunia musik janganlah sekali–kali mau cinta sekolah.’’ Ini artinya bakat yang sudah ada itu harus terus kita kembangkan. Menurut penulis bakat itu sudah ada pada orang (mahasiswa) Papua, misalnya pada saat kita bermain musik, lalu satu orang angkat lagu dan suaranya pas dengan bunyi gitarnya, dan lagu tersebut dilantunkan oleh orang–orang yang ada di sampingnya tanpa mempelajari not dan sebagainya. Namun seperti pengalaman Koteka Band, kendala kita adalah tidak ada dukungan. Setelah bakat itu terlihat, siapa yang akan memfasilitasi? Ya kita tanya saja kepada para pejabat daerah. Semua kepala daerah tingkat I maupun para tingkat II Papua. Apakah ada bagian kesenian daerah yang benar-benar memperhatikan dan mengangkat budaya daerah? Ataukah kita harus ikut budaya dari luar saja?, seperti lagunya Bob marley dan kolega–koleganya?

Contoh lain potensi yang tak pernah terperhatikan adalah tahun 2002 di Yogya ada group band bernama Paradise Band atau Black Wissel. Pada saat itu teman–teman Black Wissel pernah mencoba membuat rekaman livenya sebagai bukti dan syarat untuk melengkapi permohonan kepada Pemda Nabire dan Pemda Paniai, untuk merekam tracknya. Namun tidak mendapatkan bantuan dari Pemda Nabire dan Pemda Paniai. Itu ketidakpekaan pemerintah daerah untuk mengembangkan seni dan budaya.

Dengan melihat realita ini muncul pertanyaan, kapan orang Papua (suku Mee) akan berkembang dan mengangkat nilai–nilai budaya lewat musik? Namun kini kembali kepada kita semua baik pejabat, mahasiswa, dan seluruh lapisan masyarakat suku Mee, yang ada di Papua maupun yang ada di luar Papua. Apakah kita mau kembangkan group Band KAIDO dari bandung, BLACK WISSEL dari Yogja dan KOTEKA Group Band dari Semarang. Ketika grup band ini dengan susah payah telah meraih dan membangun budaya lewat musik, namun tidak terperhatikan. Penulis berharap kepada teman-teman dari suku Mee yang pernah membentuk group band, apabila kalian didukung oleh dana dan fasilitas, maka cobalah kembangkan kitong pu budaya kah, seperti gowai, ugaa, tupe, wanii dan lain- lain.

Penulis juga pesan kepada teman–teman yang baru dan telah membentuk group band perlu pahami bahwa BOB MARLEY itu dari Jamaica dan LUCKY DUBE dari Afrika Selatan. Mereka berdua tidak sama dalam melantunkan lagunya, musiknya, dan suaranya jelas beda. Ketika JIMMY CLIFF pentas di Jamaica ia mengatakan “Saya bukan BOB MARLEY, saya adalah JIMMY CLLIF,, maka ia menyanyikan lagu–lagu ciptaan sendiri. Penulis berharap kalau bisa, perlunya mengangkat nilai–nilai budaya suku Mee yang telah ada seperti ugaa, Gowai, tupe, wani dan lainnya, karena pada prinsipnya bahwa, ,,Kita bukan mereka dan mereka bukan kita.”

Seni dan budaya kita Papua (suku Mee) semakin terkikis habis oleh alkulturasi budaya. Kini kita lebih suka dengan lagu-lagu dari luar, kita mulai meninggalkan budaya kita yang khas. Kita semakin menjadi manusia tidak beridentitas. Untuk itu, mari kita menerapkan falsafah orang Mee, yakni dou, gai, ekowai dalam menyikapi hal ini.
Pesan khusus kepada pejabat–pejabat orang Mee, lebih khusus lagi Bupati Nabire dan Bupati Paniai sebagai orang yang mengambil kebijakan di daerah, cobalah perhatikan generasi esok suku Mee Papua, agar nilai–nilai seni dan budaya tetap terlestari untuk selamanya. Karena memang kita harus lihat dulu ke dalam suku Mee, kemudian Papua seluruhnya dan secara nasional dan mendunia (internasinal). Kita berjalan itu, sambil melihat ke arah jalan (kebawah) bukan sambil melihat ke atas langit. Semoga saja! Amin!

*) Alumni Fakultas Hukum UNTAG 1945 Semarang
--------------------------------------
Sumber: Majalah SELANGKAH
BACA TRUZZ...- Menggali Budaya Papua Lewat Musik, Perlukah? (Kasus Suku Mee)

Pengenalan Identitas Kultural Lokal Papua sebagai Penghargaan Diri

Oleh Maria A.I. Wanda*

Bangsa yang beradab adalah bangsa yang mengenal budayanya sendiri. Ungkapan tersebut adalalah ungkapan yang cocok bagi kepluralitasan Indonesia, yang kini terserang wabah budaya populer. Tidak hanya keuntungan yang diperoleh, wabah budaya populer justru cenderung menenggelamkan budaya asli masyarakat.

Pengenalan budaya erat hubungannya dengan identitas kultural lokal suatu daerah. Setiap daerah di Indonesia membutuhkan identitas kultural lokalnya, termasuk Papua. Papua sebagai provinsi tertimur memiliki kecenderungan rasa terisolir dan kurang dihargai masyarakat luar. Mungkin, hal ini disebabkan Papua tertinggal dalam perkembangan, dibandingkan dengan masyarakat pendatang (Yan Beolaars, 1983: 209).

Dalam bukunya Manusia Irian, Yan Boelaars menegaskan bahwa Papua adalah salah satu provinsi yang selalu berusaha untuk memperoleh pengakuan identitasnya dan boleh mempertahankan identitasnya itu. Itulah sebabnya, identitas kultural lokal Papua perlu ditampilkan.

Banyak hal yang dapat ditampilkan dari budaya Papua. Salah satunya adalah pariwisata sebagai aset penting di Tanah Papua. Sudah jarang terdapat daerah yang alami dan asri seperti tanah Papua. Itulah alasannya, bidang periwisata di Papua dapat mewakili pengidentitasan kultural lokalnya.

Faktor alam dan penduduk adalah potensi kultural lokal Papua yang penuh daya tarik. Penduduk yang memiliki beragam suku maupun agama, baik masyarakat pribumi sebagai penduduk asli maupun para pendatang (imigran). Penduduk asli yang berada di pedalaman, lembah-lembah, maupun pesisir pantai yang menampakkan daya tarik dengan corak budaya yang unik dan khas. Alamnya masih terlihat hijau dengan gunung-gunung. Udara yang cukup segar bila dibandingkan dengan daerah industri.
Kedua faktor di atas dapat ditampilkan apabila terdapat sarana-sarana pengenalan identitas budaya Papua. Pengadaan sarana perlu diperhatikan pejabat pemerintahan Papua. Salah satu sarana adalah pengadaan televisi lokal Papua.

Benny Giay dalam bukunya MENUJU PAPUA BARU manggarisbawahi bahwa orang Papualah yang harus manginventarisasikan potensi dan kekuatan sosial budaya, yang sebagai subjek berperan secara aktif. Masyarakat pribumi harus mampu mengenalkan budaya serta segala kelebihan yang ada di tanah Papua.

Dalam hal ini, pemerintah berperan penting sebagai pendorong minat masyarakat untuk menampikan identitasnya. Pemerintah berusaha menjelaskan kepada masyarakat untuk membuka diri dan mengembangkan budaya Papua.

Masyarakat Papua perlu belajar dari daerah lain yang mampu menampilkan identitasnya dengan segala budaya yang dimiliki. Begitu pula Papua yang sarat hasil budaya. Tanggapan daerah tentang identitas kultural Papua penting bagi orang Papua untuk mengoreksi anggapan-anggapan yang tepat. Sebagaimana Indonesia menganut kebhinekaan, berbeda-beda tapi satu jua. Daerah lain menanggapi identitas Papua sebagai ”saudara” yang ingin mempresentasikan budayanya. Maka diperlukan suatu sikap dasar sebagai saudara yang lebih tua dan lebih kuat, yang berusaha demi kesejahteraan saudaranya yang lebih muda dan lebih lemah (Yan Boelaars, 1983: 232).

Identitas suatu daerah bukan hanya dilihat dari segi pembangunan material saja, melainkan pembangunan kultural. Pembangunan kultural menunjukkan sikap penghargaan diri. Karena setiap orang ingin dihargai sebagaimana ia menghargai orang lain. Sikap ini sebagai perwujudan kebhinekaan Indonesia. Mengembangkan identitas kultural berarti menunjukan diri kita apa adanya.

*Siswa Kolese Le Cocq d’Armandville SMA Adhi Luhur, Nabire-Papua
------------------------------------
Sumber: Majalah SELANGKAH
BACA TRUZZ...- Pengenalan Identitas Kultural Lokal Papua sebagai Penghargaan Diri

Ketika Siswa Butuh Perhatian

Oleh Longgimus Pekey*)

Banyak anak putus sekolah. Bukan hanya karena tidak mampu secara finasial semata, tetapi ada juga yang putus sekolah, karena sekolah tidak memberikan kenyamanan. Pihak sekolah malah membebani siswa dengan hukuman yang seharusnya tidak pantas bagi siawa. Juga tidakan-tindakan kekerasan lain yang dilakukan oleh pihak sekolah.

Kadang suara ketawa, kadang suara teriakan histeris terdengar. Sangat ramai. Kadang juga suara tangisan terdengar di halaman sekolah itu. Pasti suara ketawa, teriakan anak yang sedang gembira ria. Suara tangisan pun kadang terdengar, pasti saja tangisan anak usia SD yang jatuh atau dicubiti para seniornya yang SMP, karena melakukan kesalahan dalam permainan ataupun juga karena lemparan bola kasti yang sangat keras mendarat di kepala, perut atau kaki ataupun, karena salah satu bagian organ fisiknya terkena benturan keras dengan temannya.

Tangisannya kadang tidak terdengar suara. Hanya terlihat dari air mata dan raut muka yang menunjukkan ia sedang menangis. Air matanya menetes satu demi satu mebasahi pipi. Ada juga yang dihisap dan ada pula kemudian jatuh ke tanah sampai bendungan airmatanya mengalir habis. Usai memangis turut kembali dalam permainan bersama teman-temannya.

Kadang ada anak yang walaupun sakit ditabrak atau disenggol, tetapi masih saja terus menlanjutkan permainan. Ada lagi yang sakit tetapi beralasan pura-pura tidak sakit, karena takut dan malu diejek temannya dengan istilah keren ‘banci’, malu dilihat orang banyak, juga malu dilihat gurunya yang juga terlibat dalam permainan.

Melihat anak menyembunyikan rasa sakit memang agak lucu. Gerak-gerik dan raut wajahnya berusaha menahan, menyembunyikan sakit, walaupun dalam hatinya muncul gumulan kebencian. Kadang terungkap lewat bahasa mengejek, menjatuhkan atau mengucapan kata kotor. Melihat tingkah anak seperti itu memang lucu dan kadang suara ketawa tidak dapat tertahankan. Keluar begitu saja dengan suara yang kencang, apa lagi suara ketawanya beberapa orang teman. Kalau lagi ketawa suaranya tidak dapat dibendung.

Kami kadang tersenyum menyaksikan tingkah anak-anak itu. Kadang juga kami menyembunyikan suara ketawa ataupun wajah senyum agar anaknya tidak malu. Sebenarnya ekspresi itu sebagai wujud kegembiraan. Senang melihat anak didik bergembira dan bersemangat. Saking gembira dan semangatnya mereka membuat kami pun turut asik dalam kegiatan bersama. Tanpa bosan kami selalu mengekplorasi otak mencari permainan baru dan menarik yang sifatnya dapat mendidik.

Keterlibatan kami membuat mereka semakin antusias untuk terlibat dalam proses dinamika belajar itu. Simbiosis matualisme pun terjadi, mereka banyak belajar dari kami, sebaliknya kami pun banyak belajar dari mereka.

Sifat antusias mereka tidak hanya dalam kegiatan olahraga saja. Mereka andil dalam kegiatan, seperti pramuka plus dengan muatannya adalah dinamika kelompok untuk memecakan permasalahan tertentu. Juga, mereka sangat antosias mengikuti les, seperti bahasa Inggris dan belajar IPS.

Memang ada anak yang suka melawan, tetapi tidak ada hukuman yang pantas baginya, karen tidak layak bagi seorang anak didik untuk menerima hukuman, apa lagi dicubit atau dimarahi, atau dikenakan hukuman fisik lainnya. Melakukan hal demikian anak tidak akan lagi merasa bebas untuk belajar, atau takut utuk melakukan sesuatu, dengan alasan nanti dimarahi atau dihukum guru. Tetapi justru teguran datang dan dilakukan oleh teman-temannya sendiri yang merasa terganggu.

Tidak menegur, atau memperingati siswa bukan karena kami takut, justru itulah kelebihan yang dimiliki seorang anak. Tanggung jawab guru adalah mendampingi dan mengalihkan keberaniannya pada hal yang wajar dan positif. Kami menyadari bahwa itu adalah bagian dari tugas seorang guru, disamping mengajar ilmu pengetahuan kepada mereka.

Kata orang disekitar lingkungan sekolah SD, dan SMP guru turut bermain, sepak bola, badminton, kasti bersama murid kadang saling mengejek seperti teman sebaya itu adalah hal yang menarik. Ketika itu benar-bener tidak ada lagi superioritas yang mebatasi ruang gerak canda antara guru dan siswa.

Sering sekali kami mengantar anak yang rumahnya jauh. Seperti siswa kelas dua Sarwan dan Kismawati. Keduanya dari kalitengah. Letaknya dilereng kaki gunung Suroloyo arah selatan dari candi Borobudur dan sekolahnya. Biasanya memakan waktu kira-kira 1 jam. Pernah suatu saat, ketika pertama kali mengatar siswa, karena tidak begitu mengenal medan, lagi pula semakin ke atas jalannya terjal dan berbatu teman kami jatuh dari motornya, tetapi tidak begitu mengalami cidera parah.

Semua yang kami lakukan itu dengan senang hati dan itulah salah satu cara kami untuk memacu semgaat anak didik untuk terus belajar. Sebagai calon guru selama tiga bulan Praktek pengalaman lapangan dan pengapdian masyarakat (PPL Plus) di SD, SMP dan Mayarakat Borobudur kami belajar banyak hal dari mereka.

Melatih kami peka untuk melihat masalahan dan situasi yang dihadapi seorang anak. Banya hal yang dapat menjadi refleksi, ternyata situasi belajar itu akan sekamin enjoy apa bila tercipta suasana keakraban dan ada interaksi yang baik antara siswa dan guru. Tidak ada superioritas yang membatasi hubungan siswa dan guru. sebaliknya menjadikan siswa sebagai teman bermain. Dan juga berikan kebebasan kepada siswa mengembankan potensi yang dimiliki.

Guru perlu terlibat di dalam kegiatan siswa sebagi pendandamping dan mengatur jalannya permainan, karena memang belajar adalah sebuah permainan yang harus dialami sisiwa.

Jangan pernah membayangkan sekolah dapat membebaskan siswanya, kalau superioritas seorang guru (dosen) masih mendominasi atas diri siswa. Dikatakan sebagai Proses belajar bila terjadi interaksi yang transfomatif di antara siswa dan guru.

*) Ketua Komunitas Pendidikan Papua, Tulisan pernah dimuat di Majalah Selangkah.
-------------------------
sumber: Majalah SELANGKAH
BACA TRUZZ...- Ketika Siswa Butuh Perhatian

Pendidikan Berbasis HAM

Pada dasawarsa terakhir, terjadi kecenderungan baru dunia pendidikan yaitu tumbuhnya (kembali) kesadaran tentang pentingnya penegakkan hak-hak asasi manusia (HAM). Kecenderungan ini terjadi secara global yang dapat digambarkan sebagai titik balik dalam peradaban manusia. Beberapa waktu lalu, dewan HAM PBB atau Human Rights Council melakukan sidang perdana di Geneva. Salah satu agenda yang di bahas dalam sidang tersebut adalah pentingnya membangun prospek yang lebih baik penegakan HAM di dunia.

Dimana-mana orang berbicara seputar isu-isu yang berkaitan dengan HAM. Dan dalam banyak kesempatan tema-tema tentang HAM atau yang terkait dengan HAM banyak dibahas. Bahkan untuk bidang yang sebelumnya tak pernah tersentuh dengan HAM sekalipun, kedudukan dan peran HAM makin banyak diperbincangkan.

Di Indonesia, isu-isu seputar HAM –bagi sebagian orang– mungkin masih dianggap tabu untuk dibicarakan. Inti persoalan dari ini semua adalah tema-tema sentral seputar HAM masih belum serius dipelajari dengan seksama terutama dalam pendidikan. Dalam beberapa tahun terakhir, memang ada arus pemikiran dan kebutuhan baru dalam dunia pendidikan untuk memberikan perhatian yang proporsional terhadap dimensi-dimensi apektif dari tujuan pendidikan, bersama-sama dengan aspek pengetahuan dan keterampilan. Para ahli pendidikan mulai secara intensif mengembangkan teori pendidikan yang memberikan perhatian akan pentingnya pendidikan berbasis HAM di sebarluaskan.

Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk pendidikan (UNESCO) wilayah Asia Pasifik telah melakukan penelitian di negara-negara Asia termasuk Indonesia, bahwa sistem pendidikan di Indonesia kurang mengakomodasi HAM peserta didik. Hasil penelitian tersebut tentunya bisa dijadikan referensi bagi para ahli pendidikan di Indonesia untuk terus mengkampanyekan akan pentingnya pendidikan HAM di sekolah-sekolah sebagai bagian dari sistem pendidikan Indonesia.

Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dengan rekomendasi dari UNESCO mencanangkan sistem pendidikan berbasis Hak Asasi Manusia (HAM) untuk semua jenjang pendidikan. Masalah hak asasi manusia akan di implementasikan dalam kurikulum pendidikan. Untuk pendidikan dasar dan menengah, masalah HAM akan di integrasikan dalam mata pelajaran agama.

Jika dilihat dari kaca mata psikologi, pentingnya pendidikan berbasis HAM pada dasarnya merupakan upaya mengokohkan tujuan pendidikan nasional terhadap keyakinan peserta didik agar berbuat kebenaran dan berlaku adil kepada sesama manusia tanpa memandang agama dan dari golongan mana ia berasal. Penyadaran ini memerlukan usaha sungguh-sungguh dan terintegrasi. Penyadaran yang bersifat monolitik dengan memberikan tanggung jawab pendidikan berbasis HAM kepada guru mata pelajaran agama dan guru mata pelajaran kewarganegaraan merupakan langkah maju dalam mengimplementasikan pendidikan berbasis HAM. Dengan cara itu, tanggung jawab membentuk kepribadian moral dan akhlak peserta didik merupakan tanggung jawab guru dan tenaga kependidikan.

Keperluan penjelasan tentang arti, fungsi, peran, posisi dan isi pendidikan berbasis HAM relevan dengan perkembangan nasional dewasa ini yang sedang berusaha membangun kepercayaan publik tentang penegakkan HAM di Indonesia. Kebijakan otonomi pendidikan pada dasarnya merupakan pencerahan dan pemberdayaan pendidikan agar lebih bermakna. Kini lembaga pendidikan dituntut untuk mampu mengembangkan kepribadian peserta didik secara optimal, selain berusaha untuk meningkatkan kemampuan akademis.

Pentingnya pendidikan berbasis HAM ini tentu mesti ada dukungan dari semua pihak terutama para pelaku pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Guru, yang merupakan penopang dunia pendidikan paling depan, harus melibatkan diri secara aktif peranannya dalam sosialisasi di berlakukannya kurikulum berbasis HAM ini. Oleh sebab itu peranan guru, tidak hanya menyampaikan materi pelajaran saja, akan tetapi juga mengajarkan betapa pentingnya penegakkan nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kehidupan nyata di masyarakat.

Sebagai langkah awal demi suksesnya keberlangsungan dan peningkatan kualitas pengetahuan guru dalam bidang HAM, maka sosialisasi terhadap sistem pendidikan berbasis HAM ini perlu disosialisasikan ke seluruh perangkat-perangkat pendidikan sehingga tujuan agar tegaknya nilai-nilai HAM bisa benar-benar terwujud. Pendidikan, diyakini sebagai instrumen yang sangat strategis dalam penyebaran nilai-nilai HAM ini. Karenanya, dunia pendidikan kita diharapkan dapat membantu proses pembelajaran HAM di tingkat pelajar yang nantinya akan memperkuat pemahaman para siswa didik kita untuk lebih memahami pentingnya nilai-nilai HAM.

Ditengah banyaknya kejadian pelanggaran HAM, para siswa akan lebih sadar jika kenyataan tersebut bisa dipelajari secara langsung. HAM adalah sesuatu yang universal dan tak perlu diperdebatkan lagi. Tentu saja keinginan kita untuk membangun pendidikan berbasis HAM harus pula di barengi dengan infra struktur yang bisa juga di jadikan acuan bahwa HAM merupakan hak dasar bagi setiap manusia. Yang tercakup didalam HAM adalah hak hidup, hak beragama dan hak-hak dasar lainnya yang orang lain –siapapun dia– tidak boleh mengganggu apalagi melanggar dan memaksakan.

Indonesia adalah negara multikultural yang menuntut adanya kesepahaman dari seluruh elemen bangsa. Sehingga, multikultural yang secara alamiah ada dan hadir di bumi pertiwi ini bisa menjadi pemersatu dan sebagai lahan untuk saling menghargai. Krisis HAM di Indonesia perlu penyelesaian yang sistemik. Melalui pendidikan berbasis HAM, akan lebih memudahkan dalam menyiapkan generasi yang faham tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Pemahaman yang mendalam dari siswa tentang HAM diharapkan akan memperkuat posisi mereka (siswa) untuk memperjuangkan hak asasinya dalam kehidupan bermasyarakat.

Hak-hak asasi manusia Indonesia sekarang ini sedang menjalani transisi separuh hati dari rezim otoritarian. Transisi separuh hati ini, menyediakan ruang yang luas bagi kekuatan-kekuatan keamanan untuk mempertahankan dan bahkan meningkatkan kembali kekuasaan mereka. Akibatnya sangat sulit bagi sistem peradilan untuk menyelenggarakan pengadilan yang adil demi menegakkan prinsip-prinsip HAM. Karena itu sangat penting bagi para korban pelanggaran HAM meningkatkan kapasitas mereka untuk menuntut keadilan dan akuntabilitas melalui pengadilan serta melakukan advokasi untuk mendorong reformasi hukum dan kelembagaan yang bertujuan melindungi hak-hak mereka sebagai warga negara dan manusia.

Pendidikan diyakini sebagai kekuatan yang bisa membangun peradaban bangsa. munculnya gagasan mengenai pendidikan berbasis HAM harus di sambut dengan gembira. Sebab, pendidikan merupakan sarana paling efektif untuk menegakkan prinsip-prinsip HAM. Kenyataan bahwa pendidikan di Indonesia kurang mengakomodasi HAM peserta didik merupakan kritik untuk terus meningkatkan perannya dalam melindungi HAM. Pendidikan kita pada kenyataannya masih menampilkan sistem yang tidak manusiawi, dengan kecenderungan dehumanisasi. Kebijakan dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang di sinyalir melanggar HAM seharusnya tidak perlu terjadi. Pendidikan seharusnya memperlakukan siswa didik sebagai manusia. Sehingga tujuan utama pendidikan untuk menciptakan manusia yang bukan hanya unggul dalam bidang kognitif tetapi juga harus bisa menjadikan siswa didik unggul secara afektif maupun psikomotorik.

Tentu saja, dalam implementasinya pendidikan berbasis HAM ini harus melandaskan diri pada penguatan nilai-nilai HAM secara universal. Potensi yang dimiliki masyarakat Indonesia dengan ragam budaya yang dimiliki bisa dijadikan sebagai fondasi untuk penguatan wilayah tersebut.

Di tengah semakin maraknya pelanggaran HAM, pendidikan berbasis HAM di pandang perlu untuk di implementasikan dalam seluruh jenjang pendidikan. Dengan ini, diharapkan siswa didik –dengan segenap pengetahuan yang dimilikinya– menjadi lebih tahu akan tanggung jawabnya serta perannya sebagai manusia untuk senantiasa menjadi pelopor bagi penegakkan HAM.
--------------------------------------------
Sumber:Ditulis oleh asep bunyamin http://asepbunyamin.wordpress.com/Juli 9th, 2007
BACA TRUZZ...- Pendidikan Berbasis HAM

Manfred Wakey, 42 Tahun Mendidik dan Membangun di Pelosok Papua

Oleh: Yermias Degei*)

Gigi sudah tidak ada. Pemikiran dan kerja keras untuk membangun dan mendidik tiga generasi di sebuah Sekolah Dasar (SD) yang hanya berkelas IV (empat) di Desa Putapa telah mengikis rambut keriting pekat. Jengkotnya yang putih kekunig-kuningan dan tulang pipinya menggambarkan perjuangan. Sepatu laras yang berumur puluhan tahun telah berubah warna menjadi cokelat kemerah-merahan dengan tanah liat di desa orang berkoteka itu. Jalannya menunduk pertanda sudah usia senja.

Bapak! Begitulah panggilan bersejarah anak-anak muridnya selama puluhan tahun. Ialah bapak guru Manfred Wakey. Dia adalah Kepala SD Yayasan Pandidikan Persekolahan Katolik (YPPK) St. Yosep Putapa. Putapa adalah sebuah desa di pegunungan tengah Papua, tepatnya kabupaten Nabire. Dari ibu kota kabupaten Nabire menempuh 200 KM jalan darat dan naik pesawat cesna (pesawat milik misi katolik dan hanya memuat 5 penumpang bersama pilot) dapat ditempuh hanya dalam 45 menit, tetapi ongkos pesawat bukan main mahalnya.

Putapa adalah salah satu desa dari 23 desa di kecamatan Mapia. Kecamatan Mapia sebelah Utara berbatasan dengan dengan kecamatan Sukikai, bagian Selatan berbatasan dengan kecamatan Kamuu (Moanemani) dan bagian Barat berbatasan dengan kecamatan Siriwo. Kecamatan Mapia, Kamuu dan Siriwo adalah tiga kecamatan yang jauh dari ibu kota kabupaten Nabire. Ketiga kecamatan tersebut terletak di pedalaman, jauh dari ibu kota kabupaten Nabire.

Keempat kecamatan ini didomisili oleh suku Mee secara turun temurun. Orang Mee lebih banyak berdomisili di kabupaten Paniai (Waghete dan Enarotali). Orang Mee keseluruhan di pegunungan tengah menurut data 1994 jumlahnya mencapai 130.000 orang dan dari sisi penggunaan bahasa daerahnya menduduki urutan kedua di Papua setelah suku Dani. Suku Mee mendiamai wilayah bagian barat dari pegunungan tengah dan mendiami daratan sangat tinggi dengan suhu udara yang sangat dingin. Daerah suku Mee sebelah Utara berbatasan dengan kabupaten Puncak Jaya dan bagian Selatan berbatasan dengan kabupaten Fak-Fak. Suku Mee menurut Koentjaranigrat, (1993) terletak pada ketinggian 1.765 di atas permukaan laut dengan luas wilayah mencapai 855,64 kilometer persegi.

Desa Putapa yang terpencil inilah bapak guru Manfred Wakey yang juga sering disebut Wakeybo membangun dan mendidik sejak tahun 1965. Masyarat setempat sering menyebutnya Wakeybo yang berarti pak guru Wakey yang tua dalam membangun sekolah dan mendidik tiga generasi.

Berbicara tentang sosok ‘pendidik hati' kelahiran Timepa 12 Desember 1946 ini adalah juga berbicara tentang kontak awal suku Mee dengan pengaruh luar. Dia adalah guru SD pertama sekecamatan Mapia bersama beberapa rekannya. Sehingga berbicara bagaimana proses pembangunan pendidikan di pedalaman Mapia, maka berbicara tentang proses pendidikan awal Wakeybo tentang: bagaimana, dari siapa, belajar ke mana, siapa yang memberi jalan, di mana dia pergi belajar apa yang dia lakukan setelah kembali menjalani pendidikan. Maka kontak pertama orang Mee (Mapia) menjadi jembatan untuk untuk Wakeybo pergi belajardan kembali membangun dan mendidik di tanah yang mengutus dia pergi belajar.

Kontak pertama orang Mee dengan dunia luar terjadi awal abad 19, pada hal orang Papua dari ujung Barat laut dan pantai Utara sudah berabad-abad lama telah dipengaruhi. Zending (Kristem Protestan) lebih dahulu melaksanakan tugas misinya sejak tahun 1855 dan pos penerintah dibuka tahun 1898 di Fak-Fak dan Manokwari, setelah usaha pembukaan pos di teluk Etna antara tahun 1828-1836 mengalami kegagalan. Penerbangan F.T. Wessel yang secara kebetulan menemukan danau Tigi,Tage, dan Paniai di pegunungan tengah Papua (tepatnya tanggal 31 Desember 1933) merupakan kontak pertama orang Mee dengan dunia luar. Kemudian direalisasikan melalui darat oleh para Misionaris Katolik dan Protestan. Namun setahun sebelumnya (tahun 1932), pastor Tillemans seorang misionaris Katolik sudah mengadakan kontak dengan Auky Tekege asal desa Modio melaui pantai selatan, Mimika. Dua tahun kemudian Pastor Tillemans ikut bersama tim ekspedisi yang dipimpin J. Bijlmer seorang ahli Antropologi fisik berkebangsaan Belanda menuju ke tanah orang Mee kecamatan Mapia.

Keadaan pendidikan, kesehatan dan ekonomi tahun 1950-an di daerah pedalaman Papua belum berarti apa-apa. Belum tersentuh oleh pengaruh luar. Masyarakat hidup secara alami. Para misionaris Katolik yang masuk melalui pantai Selatan Papua, Mimika merupakan pengenalan pertama masyarakat pedalaman akan agama dan pendidikan. Dengan masuknya misionaris Katolik 1950-an sekolah-sekolah dasar (kadang ada yang hanya berkelas satu dan juga sampai kelas tiga) mulai dibuka di beberapa tenpat di pedalaman (Timepa dan Modio) kecamatan Mapia sambil mewartakan injil.

Proses pendidikan dan penginjilan berjalan bersama-sama. Pada umur tujuh tahun, tepatnya tahun 1953, Wakeybo masuk sekolah dasar di tempat kelahirannya, Timepa kecamatan Mapia. Waktu itu tidak ada guru orang Mee asli, sehingga diperbantukan oleh guru-guru asal Kokenau. "Saya ingat waktu itu guru saya, namanya Willem Tapo dari Kokenau (Fak-Fak). Pada saat itu ada beberapa Pastor yang datang dan pergi. Pada tanggal 10 Oktober 1955 saya diajak oleh Pater Smeth, OFM., untuk belajar di Kokenau. Di sana saya disekolahkan di Pupalo School, setingkat sekolah dasar punya Belanda" Jelas Wakeybo.Wakeybo menamatkan dari Pupalo School pada tahun 1960.

"Setelah saya tamat, saya disekolahkan ke Fak-Fak di Sekolah Guru Bawahan (SGB). Di SGB saya belajar selama tiga tahun (1961, 1962 dan 1963). Saya disuruh tambah satu tahun lagi, akhirnya saya belajar satu tahun lagi dan selesai tahun 1964". Wakeybo, bersama beberapa rekannya dipersiapkan untuk Studi ke Belanda, namun tidak jadi. "Setelah selesai, kami beberapa orang mau dikirim ke Negeri Belanda untuk pertukaran pelajar tetapi tidak jadi. Karena waktu itu Indonesia masuk ke Papua maka kami dilarang untuk studi ke Belanda" kata bapak enam anak ini.Setelah tidak jadi studi ke Belanda dia kembali ke kampung halaman untuk mengajarkan ilmu yang dia peroleh .

"Pertengahan Juli tahun 1964 saya sampai di Timepa. Sementara menuggu SK saya mengajar selama dua minggu di SD Timepa. Kemudian setelah SK keluar saya ditugaskan di sebuah desa yang jauh dari Timepa yaitu Modio. Jadi, saya mengawali karya mendidik saya di Modio sejak dikeluarnya SK untuk mengajar pada tanggal 1 Agustus 1964," katanya membuka lembaran sejarah pribadi masa lalu. Perjalanan dari Timepa ke Modio memakan hampir satu hari berjalan kaki. Di Modio dia mengajar selama dua tahun. "Waktu itu di Modio hanya guru dari pantai selatan Kokenau," tambahnya.
Setelah mengajar, tepatnya tanggal 21 Juni 1966 pindah ke Putaapa untuk membuka kelas persiapan untuk membuka SD baru di Putapa. Perjalanan dari Modio ke Putaapa tidak terlalu jauh seperti ke Timepa, tetapi hanya berjarak 8 KM dari Modio. Di antara Modio dan Putaapa dibentangi oleh sebuah tanjung yang lebih dikenal oleh warga dengan Kemonago Keboo. Dengan semangat membangun yang berkobar-kobar Wakeybo mempersiapkan tempat untuk mendirikan sekolah sekaligus menampung anak-anak yang akan dimasukan setelah sekolah dibuka. "Setelah dua tahun persiapan, pada tanggal 1 Januari 1968 SK untuk pendirian sekolah sekaligus SK kepala sekolah keluarkan oleh Yayasan Katolik melalui Pastor Petress, lalu saya bersama masyarakat mendirikan sekolah darurat, "ungkap Wakeybo.

Kegelisahan untuk membangun gedung sekolah yang bagus pada tahun pertama setelah SK keluar hanya menjadi impian belaka. Jiwa progresif, ingin perubahna sekolah secara cepat tak tertahankan. Jiwa muda sungguh mendorong untuk bekerja, namun setiap kali bertemu dengan Pastor Petress ysng bertugas di Modio untuk membicarakan keinginannya untuk membangun sekolah tempat yang baru tidak disetujui.

Akhirnya pada tahun 1970 terpaksa harus membangun sekolah secara diam-diam bersama masyarakat. "Suatu ketika, tanpa memberi tahu Pater saya mengajak semua masyarakat untuk meratakan tanah untuk bangun sekolah. Dalam waktu yang singkat masyarakat menyiapakan tempat untuk bangun sekolah,". kata Wakeybo.

"Ketika Pastor datang turnei dari Modio ke Putaapa, dia kaget melihat tempat yang disiapkan masyarakat. Dia bersi keras untuk membatalkan karena tidak ada dana untuk pembangunan sekolah. Namun saya bersam masyarakat berkerja keras untuk membangun sebuah sekolah yang sebelumnya hanya dengan alang-alang diganti dengan rumah papan dengan daun seng, tetapi ada bagian-bagian yang yang masih alang-alang. Sekolah itu kami bangun dengan modal kerja keras dan kemauan dari masyarakat, akhirnya setelah gedung itu dibangun Pastor yang semula tidak setuju itu senang juga," kata pak guru yang mendapatkan istri anak pertama dari tua adat Putapa ini.

Perjuangan pembangunan sekolah tidak sia-sia. Tiga generasi (ayah, anak, dan cucu) dia didik selama 42 tahun di sebuah sekolah berkelas empat hasil perjuangannya bersama masyarakat setempat. Seorang yang hanya tamat SGB tetapi metode dan berbagai teknik pembelajaran sudah dikuasainya. Siswa tidak pernah bosan mengikuti pelajarannya. Dia suka bermain-main dengan anak-anak supaya anak-anak tidak ingin pulang membolos sekolah. Tangan anak-anak dia dipegang dan goyang kiri-goyang kanan, saling lempar melempar kerikil dan banyak cara selalu digunakannya untuk mendidik. Bahkan untuk menumbuhkan minat anak-anak lain dia selalu memberikan hadiah buat tiap siswa yang juara I di depan teman-temannya yang lain.

Dari sebuah SD yang berkelas IV ini sudah banyak yang berhasil, katanya menebar senyum. Berbagai metode dan pendekatan untuk mendidik anak-anak ternyata tidak sia-sia. Keberhasilan perjuangnnnya terlihat dengan banyak anak murid yang sudah berhasil dan bagi di keberhasilan ank-anak didiknya itu merupakan kebahagiaan tersendiri. "Saya tidak mau hitung anak didik saya yang berprofesi bukan guru. Hasil didikan saya dari tempat saya mengabdi yang sudah menjadi guru berjumlah 20 orang. Guru SD ada 17 orang, guru SMP 2 orang, dan guru SMA 1 orang. Profesi lain, sarjana sudah banyak, bahkan meduduki jabatan MPR dan DPR di pusat sana," kata pak gru Wakey.

"Saya sangat bangga dengan mereka, anak didik saya yang berhasil. Namun, saya kadang-kadang berpikir mengapa SD ini banyak orang yang berhasil tetapi masih berkelas empat? Mengapa kok tidak ada fasilitas? Mengapa kok tidak ada buku-buku pelajaran? Belum ada bantuan berupa dana maupun fasilitas sekolah serta tenaga pengajar. Jangankan dari pemerintah dari anak-anak yang sukses dari sekolah ini saja belum ada bantuan. Wakeybo beberapa tahun mengajar empat kelas seorang diri ini, mengharapkan guru-guru putra desa Putaapa untuk bertugas di sana. "Saya ini sudah tua, sekarang di SD Putaapa hanya dua orang guru, karena ada satu guru lagi tetapi dia rencananya akan pindah," kata pahlawan tanpa tanda jasa ini sambil menarik nafas panjang-panjang. Wakeybo berpikir, sebenarnya guru-guru SD ini harus diisi oleh guru-guru pribumi. Dia mecontoh, di sekolah-sekolah lain macam SD Bomomani, SD Abaimaida (Mapia) semuanya guru-guru pribumi dia menghasrapkan yang ada itu harus diisi, karena zaman sekarang kita tidak bisa mengharapkan guru dari daerah lain.

Pahlawan tanpa jasa ini ternyata tidak puas dengan segala perjuangannya, diusia senja dia berjuang gigih untuk mengajukan proposal kepada Menteri Pendidikan Nasional pemerintahan Megawati. Usaha ini bukan tujuan lain tetapi hanya satu tujuan, yaitu membangun sekolah baru untuk menggantikan sekolah lama yang berumur 30-an lebih tahun. Akhirnya pada tahun 2001 dibantu dan sebesar 50 juta untuk bangun sekolah. Dengan uang itu ia mendirikan sekolah baru dengan pondasi tembok, jendela kaca dan daun seng aluminium. Di pedalaman Papua, desa Putaapa misalnya, untuk membangun sebuah sekolah yang beratap alang-alang menjadi pondasi tembok membutuhkan puluhan tahun.

Berkat perjuangannya, SD YPPK St. Yosep Putaapa adalah satu-satunya sekolah yang berpondasi tembok, jendela kaca dan beratap daun seng aluminium. "Saya pernah berjanji pada diri saya sendiri dan kepada Tuhan bahwa sebelum saya pensiun saya harus bangun gedung sekolah yang baru dan bagus. Hal itu sudah terjadi, namun ada dua hal belum dan sedang saya usaha. Dua hal itu adalah mempersiapkan buku-buku pelajaran yang baru dan membuka dua kelas, yaitu kelas lima dan kelas 6. Sayang sekali, setiap pagi anak-anak yang telah selesai kelas empat di desa Putapa harus berjalankaki 8 kilo meter untuk belajar di desa lain (Modio) yang sudah berkelas enam."

Dia juga berkeinginan menyekolahkan tiga atau empat anak untuk belajar di Pendidikan Guru Sekolah Dasar di Timika atau Jawa, tetapi tidak ada biaya. Harapannya, anak-anak yang disekolahkan itu nanti kembali dan mengabdi di sekolah itu sebagai penggantinya. Harap bantuan dari siapa lagi, pemerintah kadang susah juga. Bantuan-bantuan dari Belanda melalui yayasan Katolik telah distop.

Suatu kewajaran dan berkat dari Tuhan bila bapak guru Wakey menjadi salah satu dari 2 guru yang mendapat penghargaan guru daerah terpencil bersama 58 guru se Indinesia oleh Menteri Penididikan Nasional tahun 2001.

Pak guru Manfred Wakey, kini hanya berharap kepada belas kasihan donatur untuk menuntaskannya perjuangannya membangun manusia di daerah terpencil. "Saya membutuhkan bantuan berupa pakaian, buku tulis, bolpen, buku cetak, kapur tulis bahkan berupa dana untuk membangun dan mempertahankan sekolah ini demi keselamatan umat manusia, khususnya generasi mendatang desa Putapa. Kalau ada yang ingin partisipasi datang langsung ke desa Putapa, kecamatan Mapia, Kabupaten Nabire Papua. Boleh juga lewat alamat perantara dengan menyebutkan nama saya, Yayasan Bina Mandiri Utama (YABIMU) Jalan Pipit Kaliharapan Tromol Pos 27 Nabire Papua telepon (0984) 23221, " katanya mengharapkan bantuan.

*)Pimpinan Redaksi Majalah Selangkah

--------------------------------------
Sumber:www. kabarindonesia.com
BACA TRUZZ...- Manfred Wakey, 42 Tahun Mendidik dan Membangun di Pelosok Papua

AKSESIBILITAS PELAYANAN PENDIDIKAN DI PAPUA

Selasa, September 18, 2007

Oleh : Muslimin B. Putra
Rencana pengadaan 3.000 guru oleh Dinas Pendidikan dan Pengajaran Pemerintah Provinsi Papua merupakan suatu upaya yang baik dalam hal pemenuhan hak-hak Ekosob (Ekonomi, Sosial dan Budaya) warga Papua. Menurut Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Papua, James Modouw, perekrutan guru tersebut dalam rangka meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan di Papua (Sinar Harapan, 9 Mei 2007:5).
Bila pengadaan tersebut berjalan paralel dengan kebijakan pemenuhan HAM, maka hal ini menjadi suatu langkah yang sangat berarti. Terlebih lagi hal ini sejalan dengan cita-cita perjuangan nasional bangsa Indonesia yang ingin mencerdaskan kehidupan bangsa.

Selain rencana pengadaan guru, juga bagi guru di pedalaman sejak 23 Mei 2007 yang telah menjalankan tugasnya akan diberi berbagai tunjangan. Sedangkan guru-guru sukarelawan yang selama ini mengajar di pedalaman, juga akan diangkat. Mereka nantinya akan dilatih menjadi guru yang profesional, bahkan akan diikutsertakan mengikuti kuliah untuk meraih predikat strata 1 (S1).

Indikator HAM Pendidikan
Undang-Undang No. 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (HESB) merupakan payung hukum bagi pemenuhan hak-hak Ekosob warga negara Indonesia, termasuk penduduk Indonesia di Papua. Karena itu, konteks pengadaan 3000 guru di Papua dapat didudukkan sebagai upaya pelaksanaan UU No 11/2005.

Indikator HAM yang dikenal selama ini dalam bidang pendidikan yaitu availability (ketersediaan), accessibility (keteraksesan), adaptability (ketersesuaian), dan acceptability (keberterimaan). Sebenarnya indikator tersebut digunakan untuk mengukur implementasi hak-hak Ekosob pada umumnya, tetapi bisa diterapkan secara khusus pada implementasi hak atas pendidikan.

Dengan adanya rencana pengadaan guru di Papua, sedikitnya pemerintah Papua bisa dianggap telah berusaha memenuhi indicator availability (ketersediaan). Ketersediaan disini bila dijabarkan secara khusus adalah ketersediaan tenaga pengajar untuk melayani para peserta didik dari para warga/penduduk Papua. Ketersediaan lainnya yang perlu dipenuhi oleh pemerintah Papua adalah ketersediaan prasaran pendidikan agar nantinya terjadi keseimbangan antara tenaga pengajar (guru) dengan sarana pengajaran (gedung sekolah). Bila lebih spesifik lagi maka semua kebutuhan yang mendukung kelancaran jalannya proses pendidikan dan pengajaran seharusnya dipenuhi secara simultan.

Setelah indikator keteraksesan terpenuhi, maka kewajiban pemerintah Papua berikutnya adalah memenuhi indikator accessibility (keteraksesan). Keteraksesan disini bisa diartikan sebagai terbukanya akses bagi peserta didik warga Papua dalam mendapatkan pelayanan pendidikan dan pengajaran pada lembaga pendidikan. Situasi geografi Papua yang bergunung-gunung dengan tingkat infrastruktur yang masih minim merupakan kondisi aktual sekaligus tantangan pemenuhan hak atas pendidikan di Papua. Tentunya dalam upaya pemenuhannya dibutuhkan waktu dan anggaran yang sangat besar. Tetapi dengan tekad untuk mewujudkan pemenuhan hak atas pendidikan, pemerintah Papua diwajibkan untuk memenuhinya dalam bentuk politik anggaran yang pro pemenuhan hak Ekosob, sekalipun secara gradual.

Rencana penyediaan pelatihan dan janji untuk menjadikannya guru profesional dapat dijadikan sebagai upaya pemenuhan indikator adabtability (ketersesuaian). Sehingga disini dapat disebutkan bahwa pemerintah Papua telah berupaya menyesuaikan antara tingkat kebutuhan tenaga pengajar profesional dengan kebutuhan para peserta didik akan ilmu pengetahuan yang ditransfer dari para guru profesional tersebut. Meski banyak aspek lainnya dalam indikator adabtability, pengadaan guru profesional minimal dapat menjadi entry point dalam mewujudkan sistem pendidikan berbasis kompetensi.

Dengan penyediaan guru profesional akan menjadi tantangan tersendiri dalam memenuhi indikator acceptability (keberterimaan). Apakah tenaga pengajar terebut dapat diterima oleh peserta didik? Apakah kompetensi guru yang ada relevan dengan kebutuhan para peserta didik? Apakah guru profesional yang direkrut memahami budaya lokal agar proses transfer of knowledge dapat berjalan sesuai dengan yang direncanakan? Inilah sekelumit tantangan dari sekian banyak tantangan dalam pemenuhan hak atas pendidikan di Papua.***

*)Penulis adalah Analis Kebijakan Publik pada Puskajaknas, Jakarta.

--------------------------------------
Sumber:FokerLSMPapua.org, 27 Mei 2007
BACA TRUZZ...- AKSESIBILITAS PELAYANAN PENDIDIKAN DI PAPUA

Dibuka, Sekolah Kristen Untuk Anak-Anak Usia 5--7 Tahun

Mempunyai Tujuan Khusus dan Umum

Yahokimi (KPP)--Seiring dengan perkembangan yang ada di Ibukota Kabupaten Yahukimo, Dekai, dimana di sana sudah banyak anak-anak, kini telah dibangun sebuah sekolah taman kanak-kanak yang diberi nama Sekolah Kristen Anugerah.

Pembangunan Sekolah Anugerah yang diartikan "Dari Tuhan Kepada Masyarakat" itu, merupakan hasil kerja sama Pemerintah Kabupaten Yahukimo dengan Yasumat (Yayasan Sosial Untuk Masyarakat Terpencil).

Lembaga pendidikan yang diresmikan oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Yahukimo, Drs Robby Longkutoy itu, merupakan lembaga pendidikan bagi anak-anak usia 5 sampai dengan 7 tahun, yang pertama di Yahukimo.

Dengan keberadaan Sekolah Kristen Anugerah ini, langkah awal yang akan dilakukan adalah memulai program kelas persiapan setara dengan taman kanak-kanak yang mempersiapkan anak-anak didik untuk masuk Sekolah Dasar di tahun yang akan datang dengan menerapkan sistim Boarding School (Pola Berasrama) bagi anak-anak didik yang sedianya akan dilaksanakan pada tahun yang akan datang.

Salah satu tujuan dari pelayanan pendidikan ini adalah untuk membantu mensukseskan program pemerintah yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2003 dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional yang berada di bawah Direktorat Pendidikan Usia Dini.

Lokasi awal pelaksanaan kegiatan belajar mengajar berada di lingkungan Gereja GIDI Evan Hastia, Dekai, Kabupaten Yahukimo, sambil menunggu selesainya pembangunan kompleks Pendidikan Sekolah Kristen Anugerah Dekai yang berada di pusat kota Dekai, Kabupaten Yahukimo.

Sekadar diketahui, peserta didik angkatan pertama saat ini, sebanyak 17 orang anak yang terdiri atas 10 anak laki-laki dan 7 anak perempuan. Kegiatan belajar mengajar dilaksanakan dari hari Senin hingga Jumat. Khusus pada hari Jumat akan dilaksanakan program peningkatan gizi terhadap anak-anak didik.

Sekda Yahukimo, Drs Robby Longkutoy mewakili Bupati Yahukimo yang sedang dalam kesibukan, mengatakan terimakasihnya dengan hadirnya lembaga pendidikan untuk usia dini ini.

Menurutnya, berdirinya Sekolah Kristen Anugerah Dekai ini memiliki dua tujuan, yakni tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umumnya adalah untuk membantu menyukseskan program pemerintah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003.
Sedangkan tujuan khususnya adalah untuk membangun sebuah generasi baru Papua yang memiliki dasar yang kuat dalam iman spiritual dan kemampuan akademis yang akan dapat membangun dasar memimpin Papua di masa yang akan datang.

Sementara itu dalam pembacaan visi dan misi Sekolah Kristen Anugerah Dekai oleh Yasumat ini dijabarkan bahwa pelayanan pendidikan diharapkan dapat mempersiapkan perkembangan atas pertumbuhan jasmani, kemampuan fisik, sosial emosional, bahasa, seni dan nilai-nilai religius yang dimulai pada anak-anak usai emas ini.

Sekolah Kristen Anugerah Dekai melaksanakan silabus kurikulum pendidikan dalam sistem pembelajaran interaktif, dimana anak-anak didik diarahkan untuk aktif dalam merespon yang bertujuan untuk mengembangkan potensi-potensi awal sebagai persiapan untuk hidup dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang bukan saja menjadi manusia yang cerdas, tapi juga bertanggung jawab, bermoral dan beretika.

Pemerintah Daerah Kabupaten Yahukimo sangan mendukung dan berterima kasih dan memberikan selamat yang setinggi-tingginya kepada Pengurus Yayasan Sosial untuk Masyarakat Terpencil (YASUMAT) yang telah menjalin kerjasamanya dengan Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Yahukimo.

Sementara itu, Kepala Dinas P dan P Kabupaten Yahukimo, Hans Yikwa, S.Pd menyambut baik hadirnya sekolah ini. Hans Yikwa menyebutkan, untuk menjawab tantangan kedepan, orang Papua sudah harus siap bersaing menghadapi dan meraih peluang-peluang yang ada.

''Untuk itu pondasi yang pertama kita siapkan adalah pendidikan usia dini (PAUD) dengan membuka TK Kristen Anugerah di Dekai yang dibangun oleh Forum Pelayanan-Pelayanan Papua kerja sama dengan Yasumat adalah suatu mitra kerja pemerintah dalam memajukan sumber daya manusia di bidang pendidikan,''ujarnya.

Adalah sebagai pondasi sebelum anak memasuki usia-usia pertama dan mandiri, sehingga mengalami perubahan-perubahan tingkah laku. Pendidikan Taman Kanak-Kanak ini dalam rangka menandai nilai aktif (Sikap yang Religious), koknitif (pengetahuan) dan spikomotorik (Ketangkasan dan Keterampilan Dasar).

''Pendidikan sekarang memang disediakan untuk semua tanpa kecuali, sebab pendidikan merupakan kebutuhan manusia. Artinya orang bisa melakukan sesuatu sesudah ia tahu dulu,''ujarnya.

Karena itu, lembaga pendidikan yang telah bangun ini adalah sebagai aset orang tua dan masyarakat, sehingga kedepan anakanak cucunya dapat dididik sesuai dengan harapan dan cita-cita anak itu sendiri. ''Dengan demikian orang tua siswa dan masyarakat harus berpartisipasi dalam pengembangan Yayasan seperti TK Kristen Anugerah ini,''ujarnya. (jko)
-------------------------------------
Sumber: Cenderawasihpos, 18 September 2007
BACA TRUZZ...- Dibuka, Sekolah Kristen Untuk Anak-Anak Usia 5--7 Tahun

Kebudayaan Papua Hadapi Masalah Pewarisan

Jayapura (KPP)--Wakil Gubernur Papua, Alex Hesegem, menyatakan kebudayaan Papua saat ini memiliki masalah pewarisan. Sebab, potensi budaya hanya tersimpan pada orang tertentu, terutama orang tua.

"Orang muda cenderung meninggalkan akar budaya dan mengikuti tren global," katanya saat membuka Festival Adat Papua, kemarin.

Selain diikuti 14 kabupaten di Provinsi Papua, festival itu juga diikuti Kabupaten Manokwari yang kini menjadi wilayah Irian Jaya Barat. Festival yang akan berlangsung hingga 11 Agustus ini diikuti oleh 662 orang.

Menurut Alex, masih banyak potensi budaya yang belum tergali karena mayoritas penduduk Papua tinggal di kampung-kampung di pedalaman. "Harus dipikirkan, format baru pengembangan budaya yang tak terkikis oleh perkembangan zaman," katanya.

Menurut Ketua Panitia, Septinus Rumaseb, festival ini berisi seni tari, musik, dan sastra tradisional suku-suku di Papua. "Ada juga pameran makanan tradisional, benda budaya, dan obat tradisional," katanya.

Dalam festival ini, sejumlah penari lengkap dengan ikat kepala, bertelanjang dada dan mengenakan rok rumbai-rumbai menyambut para tamu menuju lokasi festival, Taman Budaya Kota Jayapura. Para tamu dan peserta juga mengikuti upacara mengunyah pinang. Pinang merupakan lambang perdamaian di Papua.
---------------------------------------
Sumber:Tempo, Sabtu, 25 Agustus 2007
BACA TRUZZ...- Kebudayaan Papua Hadapi Masalah Pewarisan

Terhambat Kondisi Geografis

Kondisi masyarakat papua yang tinggal berpencar-pencar diwilayah terpencil menjadi kendala pembangunan pendidikan. Perlu pendekatan khusus merangkul suku-suku terasing

Kebijakan Gubernur Papua, Barnabas Suebu, di bidang pendidikan memang sangat populis. Barnabas menekankan program pembangunan pendidikan dengan langsung menyentuh rakyat Papua hingga ke pelosok. Agaknya, Barnabas menyadari bahwa rakyat Papua tertinggal cukup jauh di bidang pendidikan dibandingkan dengan rakyat Indonesia lainnya di luar Papua. Karena itu, Gubernur berharap, pembangunan pendidikan dimulai dari kampung-kampung, tempat tinggal rakyat Papua kalangan bawah.

Namun, dalam pelaksanaannya, program "pendidikan mulai dari kampung" itu menghadapi kendala yang lumayan pelik. Maklum, kondisi geografis Papua dengan masyarakatnya yang terpencar-pencar, hanya bisa dicapai dengan angkutan udara. Prasarana jalan darat belum ada, dan penerbangan pesawat-pesawat kecil sangat tergantung kondisi cuaca, selain tentunya lebih mahal.

Kendala itu dirasakan oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Papua. Lebih-lebih, wilayah kerja LPMP Papua yang berkantor di Jayapura itu, meliputi dua wilayah provinsi, yakni Provinsi Papua dan Irian Jaya Barat (Irjabar). "Selain kondisi geografis yang masih sulit, masyarakat Papua juga banyak yang masih tinggal di hutan-hutan sebagai suku terasing, sehingga perlu pendekatan khusus untuk merangkul mereka," kata Johnny R. Polimpung SE, MM, PLH ketua LPMP Papua.

Kendala lain yang dihadapi, kata Jhon, kualitas sumber daya manusia bidang pendidikan di Papua masih harus ditingkatkan lagi. "Guru-guru masih terkungkung pada pola-pola pengajaran tra d isiona I. Karena minimnya pelatihan dan pembinaan bagi para guru terutama yang bermukim di daerah maka akses informasi pun tidak selancar guru di kota," tutur Jhon.

Namun, mengenai dana pendidikan, John tidak terlalu menganggapnya sebagai kendala. "Alokasi dana untuk pengembangan pendidikan di Papua sudah cukup memadai/'ujar Jhon. Namun, pemanfaatannya terhambatoleh persoalan-persoalan geografis dan kurangnya sumber daya manusia tadi.

LPMP Papua tentu punya tugas mengikis semua kendala-kendala yang dihadapi untuk meningkatkan mutu pendidikan rakyat Papua. "Karena kondisi Papua sangat berbeda dengan kondisi wilayah lain Indonesia, agaknya harus ada perlakuan khusus terhadap otonomi pendidikan di Papua," kata Jhon. Selama ini, pemerintah pusat di Jakarta, dalam menerapkan kebijakannya di bidang pendidikan, memang selalu menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan tiap-tiap provinsi, sesuai dengan tingkat kesulitan yang dihadapi.

LPMP Papua, selama ini terus berupaya menggenjot mutu pendidikan dengan berbagai program dan kegiatannya. Antara lain melakukan pembimbingan yang bekerjasama dengan dinas pendidikan dan pendampingan dalam penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kegiatan ini dilaksanakan dalam bentuk pelatihan dan seminar untuk para guru.

Menjaga kerjasama atau kemitraan dengan Dinas Pendidikan Provinsi Papua juga merupakan agenda kerja LPMP Papua. Meskipun tidak bertanggung jawab kepada dinas pendidikan di tingkat provinsi, LPMP tentu harus berjalan seiring dalam hubungan yang sinergis, dengan dinas pendidikan, termasuk dinas-dinas di tingkat kabupaten. "LPMP membutuhkan kerjasama yang erat dengan banyak pihak, seperti dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota, terutama dalam pendampingan KTSP dan pendekatan kesekolah binaan/'jelasJhon. Saat ini LPMP Papua memiliki 126 orang tenaga, meliputi 22 orang tenaga fungsional atau widyaiswara dan 104 tenaga struktural. "Meskipunjumlah tenaga widyaiswara jauh dari jumlah ideal, namun sejauh ini kami bisa menjalankan tugas-tugas lembaga dengan baik," kata Jhon.

Jhon yakin, melalui pendidikan, masyarakat Papua bisa menyusul saudara-saudaranya di wilayah lain Indonesia yang sudah lebih maju taraf hidupnya.
--------------------------------------
Sumber: http://www.pmptk.net, 19 Juni 2007
BACA TRUZZ...- Terhambat Kondisi Geografis

Membangun Pendidikan Mengatasi Kemiskinan

Hampir tidak ada yang membantah bahwa pendidikan adalah pionir dalam pembangunan masa depan suatu bangsa.

Jika dunia pendidikan suatu bangsa sudah jeblok, maka kehancuran bangsa tersebut tinggal menunggu waktu. Sebab, pendidikan menyangkut pembangunan karakter dan sekaligus mempertahankan jati diri manusia suatu bangsa. Karena itu, setiap bangsa yang ingin maju, maka pembangunan dunia pendidikan selalu menjadi prioritas utama.

Kisah Jepang, ketika luluh lantak akibat meledaknya bom di Nagasaki dan Hirosima adalah contoh nyatanya. Ketika itu, Jepang secara fisik telah hancur. Tetapi tak berselang beberapa waktu setelah itu, Jepang bangkit dan kini telah berdiri kokoh sebagai salah satu negara maju. Dalam konteks inilah, salah satu kunci utama keberhasilan Jepang adalah pembangunan dunia pendidikan, yang pada gilirannya membangun kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) ditetapkan sebagai prioritas.

Bagaimana dengan Papua? Hampir tak ada yang membantah bahwa kualitas pendidikan di Papua saat sekarang ini belumlah terlalu bagus, alias jeblok. Bahkan, kalau sedikit lebih ekstrim, kita dapat menyebut kualitas pendidikan Papua anjlok, rendah dan memprihatinkan.

Keberadaan atau posisi kita jauh di bawah daerah-daerah lain di Indonesia. Hal itu terlihat dari angka Human Development Indeks (HDI) yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga internasional, yang menunjukkan bahwa posisi kualitas sumber daya manusia Papua sangatlah rendah.

Kemudian, pada saat yang sama tingkat kemiskinan di Daerah ini sungguh fantastis. Sangat besar dan mengkhawatirkan. Kita semua paham bahwa kemiskinan kini merupakan simbol yang tentunya sangat memalukan. Besarnya angka kemiskinan di Papua dengan dana yang sangat besar memang sangat tidak pantas, namun itulah kenyataan yang ada. Berdasarkan data (BPS), jumlah penduduk miskin pada setiap tahunnya di Papua terus bertambah.

Beberapa waktu yang lalu, Bank Dunia juga mengeluarkan data terbaru perihal kemiskinan. Banyak pihak terkejut dengan pernyataan ini. Tak dapat dibayangkan, sesuai data Bank Dunia, lebih dari 110 juta jiwa penduduk Indonesia tergolong miskin atau setara dengan 53,4 persen dari total penduduk. Suatu jumlah yang amat fantastis. Hampir separoh penduduk Indonesia. Hal ini tak pernah kita duga sebelumnya.
Dalam ukuran yang lebih mikro lagi, jumlah ketidaklulusan siswa SLTP dan SMU tahun 2006 ini, tergolong tinggi. Bahkan di beberapa sekolah ada yang tingkat kelulusannya nol persen. Suatu realita yang sangat memalukan. Padahal, standar kelulusan yang ditetapkan Depdiknas tidak terbilang tinggi.

Persoalannya, bagaimanakah masa depan bangsa ini? Atau bagaimana kualitas SDM kita? Harus diakui bahwa persoalan kualitas sumber daya manusia (SDM) memang berkaitan erat dengan mutu pendidikan. Sementara mutu pendidikan sendiri masih dipengaruhi oleh banyak hal dan sangat kompleks. Misalnya, bagaimana kualitas dan penyebaran guru, ketersediaan sarana dan prasarana, sistem pendidikan, dan lain-lain. Hal ini sering kita sebut dengan istilah faktor utama.

Salah satu hal yang menjadi sangat penting untuk mengatasi hal tersebut di atas, adalah dengan menumbuhkan political will pemerintahan sekarang ini untuk lebih memperhatikan sektor pendidikan. Bagaimana pemerintah misalnya mau menempatkan persoalan pendidikan sebagai salah satu prioritas dalam pengambilan kebijakannya. Pembangunan pendidikan adalah modal utama dalam membangun suatu bangsa. Sebab, pendidikan terkait dengan kualitas SDM. Maka, jika bangsa ini ingin maju, maka pembangunan dunia pendidikan adalah syarat mutlak yang harus dilakukan.**
-------------------------------------
Sumber:http://www.papuapos.com, Tanggal, 9 November 2006
BACA TRUZZ...- Membangun Pendidikan Mengatasi Kemiskinan

Putra Paniai Tulis 4 Buku Dalam 3 Bahasa

Minta Bantuan Pemda Untuk Diterbitkan
Matius Frengkye Degey ini patut dicontoh oleh anak-anak Papua lainnya bahkan di seluruh tanah air, berkat keuletan dan kesabarannya ia telah berhasil menyusun 4 buku dalam tiga bahasa. Padahal, ia adalah mahasiswa yang usianya baru menginjak 23 tahun.

Mahasiswa Fakultas Pariwisata dan Seni Budaya Universitas Udayana Bali ini berhasil menyusun 4 buku masing – masing berjudul complete vocabulary Indonesia – English – Mee yang berisi kosa kata dalam tiga bahasa tersebut, lalu the basic of English language English – Indonesia – Mee tentang pengetahuan dasar dalam tiga bahasa itu. Lalu buku berisi kamus atau dictionary Indonesia – English – Mee dan Synonims and antonyms dictionary (kamus sinomin dan antonym) dalam tiga bahasa tersebut.

Kata Matius, keempat buku tersebut disusunnya sejak tahun 2003 lalu hingga tahun 2007 ini. Hanya butuh waktu 4 tahun ia menyusun setiap buku yang tebalnya mencapai ratusan halaman itu. “Saya mulai menyusun buku sejak tahun 2003 lalu,” akunya kepada Cenderawasih Pos kemarin di Kantor Redaksi.

Dikatakan, dengan adanya buku tersebut, maka masyarakat Paniai khususnya suku Mee akan lebih mudah berkomunikasi baik dalam Indonesia maupun bahasa Inggeris. “Karena buku ini memang sengaja saya dediaksikan untuk masyarakat pedalaman di Paniai sehingga mereka akan lebih mudah berkomunikasi,” katanya.

Hanya saja, meskipun buku itu telah rampung disusun, namun Matius tidak bisa berbuat apapun dengan hasil karyanya itu. Sebab buku itu belum bisa diperbanyak karena terbatasnya dana yang ia miliki. “Saya tidak punya dana untuk meperbanyak buku ini, padahal, saya ingin sekali buku bisa beredar di kalangan masyarakat Papua,” katanya miris.

Karena itu, ia berharap agar pemerintah mau menfasilitasi perbanyakan dan penjualan buku tersebut sehingga dapat dinikmati oleh masyarakat. “Harapan saya sama peemerintah daerah semoga mereka mau membantu, karena saya sendiri mahasiswa anak petani yang tidak punya kemampuan apa-apa selain belajar dengan tekun untuk kemajuan Papua,” tandasnya.(ta)
----------------------------------------
Sumber: http://www.kabarpapua.com/online/modules.php?name=News&file=article&sid=674
BACA TRUZZ...- Putra Paniai Tulis 4 Buku Dalam 3 Bahasa

Murid SDN Bomomani Masih Duduk di Lantai

Nabire--Siswa kelas satu SD Negeri Inpres Bomomani mengikuti pelajaran sambil duduk di lantai karena ruang kelas di desa pedalaman Distrik Mapia, Kabupaten Nabire, Papua, itu tidak memiliki kursi. Ruangan juga tidak dilengkapi dengan meja.

Selain kekurangan meja-kursi, perpustakaan di sekolah itu juga tidak mempunyai koleksi buku. Sekolah juga tidak memiliki buku pelajaran Bahasa Indonesia, Pendidikan Kewarganegaraan, Ilmu Pengetahuan Sosial, serta kekurangan ruang belajar dan guru.

"Kami sudah ajukan proposal ke kabupaten (dinas pendidikan dan pengajaran) terkait kekurangan meja-kursi itu. Tapi sampai sekarang belum ada tanggapan balik," ujar Kepala SDN Inpres Bomomani Anakletus Petege, Senin (13/8). Petege menyayangkan proposal mereka belum ditanggapi. Padahal, pengajar dan komite sekolah secara swadaya telah merampungkan sejumlah sarana, seperti perpustakaan yang menghabiskan Rp 60 juta.

Padang Panjang
Keadaan bersahaja juga dirasakan ratusan siswa SD 03 Lubuk Malintang, Kecamatan Padang Panjang Timur, Kota Padang Panjang, Sumatera Barat, yang masih bersekolah di tenda darurat. Akibat gempa bumi, awal Maret lalu, banyak bagian gedung sekolah yang rusak.

Renovasi gedung SD 03 belum tuntas. Sebagian siswa serta guru juga masih takut untuk beraktivitas di dalam kelas. Sehingga, mereka pun bergiat di dalam tenda, meski itu membuat sejumlah guru dan siswa mengeluh sakit.

Siti Aisyah, siswa kelas lima, mengatakan bahwa jika hujan, halaman sekolah banjir. Siswa perlu mengangkat kaki saat belajar. Air juga menetes sehingga siswa-siswa dikumpulkan di tengah tenda. (SEM/JOS/WSI)
--------------------------------------
Sumber: Kompas, Selasa, 14 Agustus 2007
BACA TRUZZ...- Murid SDN Bomomani Masih Duduk di Lantai

Guru-guru Papua Dapatkan Sosialisasi HIV/AIDS

Bidang pendidikan menjadi salah satu usaha dalam melakukan pencegahan penyebaran HIV/AIDS pada anak usia sekolah. Dalam hal ini guru sangat berperan penting untuk memberikan informasi kepada murid-muridnya di sekolah. Guna meningkatkan kemampuan guru maka perlu adanya pembinaan yang baik sehingga guru mempunyai bekal yang cukup untuk menjalankan perannya tersebut.

Demikian dikatakan Kasubdin Pendidikan Menengah Kejuruan Provinsi Papua, T.R.F. Tampubolon pada acara Sosialisasi Penanggulangan HIV/AIDS dan Narkoba di Kota Jayapura (12/9). "Sosialisasi ini memberikan pembekalan bagi guru untuk mengerti tentang HIV/AIDS. Dengan demikian guru juga berperan menjadi guru di masyarakat, sekolah, dan dimana saja," ujar Tampubolon.

Papua merupakan daerah endemik HIV/AIDS dengan jumlah tertinggi per 30 Juni 2007 sebanyak 3377 kasus, terdiri dari 1870 kasus HIV dan 1507 kasus AIDS. Kabupaten Mimika merupakan kabupaten dengan kasus tertinggi sebanyak 1227 kasus, menyusul Merauke 883 kasus, Biak 301 kasus dan Nabire 291 kasus.

Kasus HIV/AIDS pertama kali ditemukan di Merauke pada tahun 1992 sebanyak enam kasus yang kemudian meningkat dan menyebar keseluruh pelosok kabupaten/kota, kecamatan bahkan sampai ke kampung-kampung di perdalaman.

Basri, fasilitator sosialisasi HIV/AIDS sekaligus guru di SMKN 1 Sentani mengungkapkan kasus-kasus HIV/AIDS ditemukan hampir disemua lapisan masyarakat di Papua. "Tidak hanya pada kelompok resiko tinggi tetapi semua lapisan masyarakat di Papua seperti pegawai, siswa/mahasiswa, buruh pelabuhan, pengusaha, ibu rumah tangga, bayi, balita, dan lain sebagainya," jelas Basri.

Ada 10 keterampilan psikososial yang mendukung dalam melakukan tindakan pencegahan HIV/AIDS, antara lain kesadaran diri; empati; komunikasi yang efektif; hubungan antar personal; kemampuan menyesuaikan diri terhadap tekanan/mengatasi stress; berpikir kreatif; berpikir kritis; pengambilan keputusan; dan pemecahan masalah.

Sementara itu, Sutikno, peserta sosialisasi dari SMP YPK Kotaraja, Jayapura yang juga guru Pendidikan Jasmani menilai positif kegiatan sosialisasi ini. Kedepannya, Sutikno merencanakan akan menyampaikan informasi yang didapatnya melalui pendekatan kepada wali murid dan murid. "Saya mengambil langkah ini untuk memudahkan saling pengertian antara wali murid dan murid sehingga mereka paham dan efektif dalam melakukan pencegahan dini," kata Sutikno.***
-------------------------------------
Sumber:http://www.depdiknas.go.id/Kamis (13 September 2007)
BACA TRUZZ...- Guru-guru Papua Dapatkan Sosialisasi HIV/AIDS

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut