1,2 Juta Orang Asli Papua Terancam Kehidupannya

Sabtu, Maret 14, 2009

Hutan bagi masyarakat asli Papua adalah gudang makanan, sebab di dalam terdapat sumber obat obatan, makanan dan berbagai sumber kehidupan sehari-hari bagi kelangsungan hidup mereka dari generasi ke generasi.

Ironisnya saat ini hutan Papua terancam oleh deforestasi dan degradasi. Meski ada aturan di tingkat lokal maupun nasional tentang larangan kayu log keluar dari Papua. Penyusutan hutan di Papua diperkirakan sebesar 600 ribu m3 per bulan dan diduga terjadi laju deforestasi yang mencapai 2,8 juta ha pertahun. Hilangnya areal hutan tersebut karena pengelolaan yang tidak bijaksana, pembalakan liar dari perusahaan-perusahaan HPH melalui ijin pengelolaan hutan (IPKMA dan Kopermas) yang disalahgunakan.

“Dalam satu hari kami menghasilkan 1–1,5 kubik kayu ukuran 5x10. Bos membelinya dengan harga 800 ribu rupiah/kubik untuk kayu besi (Merbau). Kayu-kayu ini dibawa ke Jayapura. Ada yang dijual dan ada juga yang diekspor. “ demikian pengakuan seorang operator chainsaw dalam film Janji Untuk Sejahtera, produksi Papua Room (2008) yang berlokasi di Kabupaten Keerom. Fakta ini menunjukkan bahwa penebangan kayu masih terus terjadi di Papua. Ironisnya, pengelolaan hasil hutan kayu ini (legal maupun ilegal) tidak menyisakan sedikitpun manfaat bagi masyarakat adat Papua (terutama Forest People) pemilik hutan tersebut, untuk peningkatan kesejahteraan mereka. Sebanyak satu (1) m3 kayu yang dibeli dari masyarakat adat Papua hanya dihargai sekitar Rp 100 hingga Rp 800 ribu per m3. Kemudian kayu-kayu tersebut diekspor dengan harga 3,8 juta per m3 kepada perusahaan-perusahaan kayu di Eropa dan China.

Satu hari, 1-1,5 kubik kayu Merbau dihasilkan oleh seorang operator chainsaw untuk dijual. Dalam satu hari ini juga, masyarakat asli Papua kehilangan mata pencahariannya. (Foto : Jubi/Pitsaw Amafnini)



Ancaman ini semakin besar dengan kebijakan masyarakat internasional seperti Reduction Emition from Deforestation and Degradation (REDD). Otoritas atas wilayah adat sebagai lahan sumber kehidupan akan terganggu jika skema REDD tidak bisa diimplementasikan dengan baik. Kompensasi yang diberikan oleh negara-negara maju bisa jadi akan menjadi lahan praktek baru KKN di Papua dan tidak akan pernah mensejahterakan masyarakat adat Papua sebagai pemilik. Bahkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Hutan Adat yang saat ini sedang dibahas oleh Pemerintah Pusat meniadakan hutan adat karena semua hutan akan dikuasai oleh negara. Hutan adat dan masyarakat adat hanya akan diakui melalui regulasi lokal (Peraturan Daerah) sekalipun masyarakat adat sudah beratus-ratus tahun hidup di kawasan tersebut.

Fakta-fakta tersebut sangat bertentangan dengan filosofi masyarakat adat Papua baik yang hidup di pesisir, lembah hingga pegunungan yang menganggap kehidupan manusia bersumber dari alam. Seperti juga masyarakat modern yang memandang tanah sebagai satu bagian ekosistem yang didalamnya terdapat interelasi antara tanah, air, hutan dan berbagai satwa, termasuk juga sumberdaya alam dalam perut bumi, masyarakat adat Papua memiliki pemahaman yang sama mengenai konsep ekosistem tersebut dalam konteks yang berbeda. Tanah dideskripsikan sebagai manusia yang memiliki banyak sistem dalam tubuhnya. Jika hutan sebagai salah satu sistem dalam ekosistem dirusak, maka kehidupan manusia juga akan rusak. Persepsi mengenai tanah pada masyarakat Papua juga termasuk apa yang ada di dalam dan di atas tanah, tidak terkecuali hutan. Mitologi masyarakat adat Papua seperti Kimani Depun di Genyem, Wamita di lembah Kebar, Te Aro Neweak Lak O di Amungme atau Nan Mangola di Ngalum bisa menjelaskan filosofi ini dengan sangat baik.

Data Departemen Kehutanan RI, luas hutan di Indonesia berdasarkan pemanfaatannya pada tahun 1950 adalah 162 juta hektare. Pada 1985 atau 35 tahun berikutnya, luas hutan Indonesia berkurang menjadi 119 juta hektar. Dalam kurun waktu 12 tahun, luas hutan di Indonesia menjadi 98 juta hektare atau hilang 21 juta hektare. Sementara pada tahun 2005, luas hutan yang tersebar di enam pulau besar yakni Papua, Maluku, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi itu tinggal 85 juta hektare. Berarti selama kurun waktu 55 tahun dari 1950 hingga 2005, hutan kita telah hilang 77 juta hektare atau 47,5%.

Indonesia menjadi negara ketiga pemilik hutan tropis terbesar di dunia setelah hutan Amazone di Brazil dan Congo Bazin di RDC dan Kamerun. Jika menyimak data-data deforestasi hutan Indonesia, maka sebagian besar hutan tropis itu masih tersisa di Papua. Pada tahun 1985 menurut data Bank Dunia dan Pemerintah Indonesia yang dicatat oleh Forest Watch Indonesia, hutan tropis Papua memiliki luas 34.958.300 Ha dan tahun 1997 luas hutan tropis ini menjadi 33.160.231 Ha. Namun pada tahun 2006, FWI-CIFOR dan Baplan Indonesia menyebutkan bahwa dari 41 juta hektar yang telah dipetakan, 34 juta hektar yang benar-benar merupakan hutan Papua. Artinya lebih dari 40% hutan Indonesia berfungsi sebagai paru-paru dunia berada di Papua.

Perkebunan kelapa sawit juga menjadi salah satu ancaman bagi hutan Papua. Alih fungsi hutan menjadi PIR Kelapa Sawit di Arso tak mampu sejahterahkan masyarakat di sana di atas lahan 50.000 hektar. Apa yang masyarakat Kabupaten Keerom peroleh selama 21 tahun Perkebunan Kelapa Sawit ?

“Pabrik yang tak mampu berproduksi banyak menjadi kendala bagi petani. Selama ini kami tidak panen. Kelapa sawit tinggal sampai jadi berondolan. Ada petani yang mengontrakan lahannya karena tidak mampu lagi membayar ongkos angkutan. Bayangkan sekali angkut TBS ke pabrik Rp 1,4 – 1,5 jt,” terang Hans Horota, seorang petani kelapa sawit di Arso.Kelapa sawit yang diharapkan memberikan peningkatan pendapatan petani ternyata semakin menyusahkan mereka. Pendapatan petani sawit bila mengerjakan sendiri Rp. 500.000/bulan, kalau dikontrakan hanya Rp. 300.000/bulan atau berkisar antara Rp. 10.000 – 16.700/kk/bulan.

Di Selatan Papua, dari 31 investor Kelapa Sawit yang diberi “kado” di Merauke, PT Bio Inti Agrindo, PT Papua Agro Lestari (39.000 ha perkebunan kelapa sawit di Distrik Muting dan Ulilin untuk masing-masing), dan PT Dongin Prabhawa untuk 39.000 ha di Distrik Okaba di antaranya telah mengantongi rekomendasi dari Gubernur Papua untuk mengurus izin pembukaan hutan dari Departemen Kehutanan pada tahun 2008. Pada akhir bulan Agustus 2008 lalu bahkan Grup Binladin dari Arab Saudi juga menyanggupi investasi senilai Rp 39 triliun untuk membiayai Merauke Integrated Food and Energy Forum. Sebagian besar investasi itu untuk perkebunan Kelapa Sawit.

Hasil survey awal “Research of Save The People and Forests of Papua” yang dilakukan di 7 wilayah adat Papua, menunjukkan bahwa tidak hanya keseimbangan lingkungan yang terganggu akibat investasi di areal hutan Papua ini. Namun fungsi dan nilai sosial masyarakat asli (adat) Papua telah mengalami perubahan (degradasi) yang sekaligus mengganggu keseimbangan ekologi masyarakat Papua. Sekitar 70% penduduk asli Papua tinggal di perkampungan dan pegunungan tengah yang terpencil. Mereka juga sangat tergantung dengan hutan dan alam di sekitarnya. Jadi, ancaman terhadap hutan di Papua berarti lonceng kematian bagi 70% masyarakat asli Papua dari sekitar 1,7 juta jiwa penduduk asli Papua.

Masyarakat Auwyu di wilayah adat Anim Ha dalam sebuah diskusi bersama komunitas masyarakat sipil di Merauke dalam rangkaian Research of Save The People and Forest of Papua, menyebutkan telah terjadi konspirasi antara pemerintah setempat dengan perusahaan kelapa sawit yang ingin berinvestasi di tanah adat mereka seluas 179.216 Ha di distrik Edera, Mappi. Walaupun keputusan Masyarakat Adat Anim Ha sudah menolak rencana investasi kelapa sawit di atas tanah adat masyarakat Anim Ha, sekelompok Masyarakat suku Yeinan juga telah mengeluarkan 2 buah surat pelepasan tanah adat suku untuk 18.000 hektar bagi lokasi transmigrasi. Hal inilah yang disebut sebagai konspirasi antara pemerintah daerah dengan perusahaan kelapa sawit.

Di kabupaten Mappi ini sendiri, berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal RI tahun 2005 akan dibangun industri yang terkait perkebunan kelapa sawit seluas 500.000 Ha. Dalam diskusi ini juga diketahui bahwa telah dilakukan Analisa AMDAL oleh PT. Sawit Nusa Timur dan PT. Indo Sawit Utama di luasan lahan yang rencanakan 35.297 hektar dan 26.000 Ha tanah masyarakat adat Anim Ha. (Victor Mambor/Dominggus Mampioper)
-----------------------------------
Sumber: tabloidjubi.com

BACA TRUZZ...- 1,2 Juta Orang Asli Papua Terancam Kehidupannya

Tunjangan Guru Bakal Naik

Jumat, Maret 13, 2009

Ada kabar menggembirakan bagi guru berstatus pegawai negeri sipil (PNS), baik yang berada di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) maupun Departemen Agama (Depag). Pasalnya, dalam waktu dekat, pemerintah berencana menaikkan tunjangan tenaga kependidikan.

Untuk mencairkan tunjangan itu, Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) tinggal menunggu keluarnya Perpres. Draf Perpres sudah diajukan Men PAN ke Presiden.

Kasubdit Penghargaan dan Perlindungan Guru Ditjen PMPTK Dian Mahsunah mengatakan, kenaikan tunjangan itu untuk mendongkrak gaji guru PNS dengan golongan terendah. Sesuai janji Presiden SBY ketika Hari Guru beberapa waktu lalu, pendidik di Indonesia setidaknya memiliki gaji terendah Rp 2 juta per bulan.
"Untuk mencapai gaji Rp 2 juta, guru dengan pangkat terendah II-a dan lulusan SMA sederajat harus mendapat tambahan tunjangan Rp 260 ribu. Jadi, kenaikan tunjangan guru PNS ya sebesar itu,"terangnya.

Sesuai Perpres No 101/2007, besarnya tunjangan tenaga kependidikan untuk guru PNS golongan II sebesar Rp 286 ribu, golongan III Rp 327 ribu, dan golongan IV Rp 368 ribu per bulan. Dengan keluarnya Perpres baru, tunjangan itu akan naik. "Selisih antara grade golongan a, b, c, d sebesar Rp 10 ribu," jelas perempuan berjilbab itu.

Dengan demikian, guru PNS golongan II-a akan mendapat tambahan tunjangan Rp 260 ribu, golongan II-b Rp 270 ribu, golongan II-c Rp 280 ribu, dan seterusnya. Anggaran untuk pemberian tunjangan itu, kata Dian, sudah teralokasi. Departemen Keuangan sudah mengusulkan dana itu. "Dana yang akan cair nanti mulai per Januari 2009. Seumpama Perpres keluar bulan depan, tunjangan yang cair tetap dihitung per Januari. Pencairannya akan dirapel," ungkapnya.

Rencananya, dana itu diberikan langsung ke dinas pendidikan provinsi. Mereka yang kemudian mencairkannya. Untuk guru madrasah, pencairan dilakukan Depag. Total guru PNS yang akan mendapat kenaikan tunjangan itu sebanyak 1,4 juta orang.

"Menteri PAN selaku kordinator pencairan tunjangan telah mengajukan draf ke presiden. Pak Presiden sendiri ingin Perpres itu segera terbit,?? ujarnya. (kit/oki)

Jumlah Guru PNS di Indonesia
Sekolah PNS Non -PNS
Negeri 1.330.860 472.47 5
Swasta 121.554 449.833
Jumlah 1.452.414 922.308
-----------------------------
Sumber: Ditjen PMPTK


BACA TRUZZ...- Tunjangan Guru Bakal Naik

42 Ribu Lamaran Lolos Tes CPNS

Minggu, Maret 08, 2009

Data Badan Kepegawaian Pendidikan dan Latihan Aparatur Provinsi Papua, mencatat sebanyak 42 ribu lebih Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) se-Provinsi Papua dinyatakan lolos tes administrasi dan berhak mengikuti tes tertulis di masing-masing daerah.



Sekretaris Daerah Provinsi Papua Drs Tedjo Soeprapto MM mengatakan, setelah peserta CPNS yang berhak mengikuti tes tertulis telah ditetapkan, jadwal tes tertulis tidak mengalami perubahan dari waktu yang telah ditentukan sebelumnya. “Jadwalnya sudah pasti dan tidak ada kendala maupun halangan apapun yang dapat membuat pelaksanaan tes tertulis mundur dari jadwal semula,” ujar Sekda kepada wartawan di ruang kerjanya baru-baru ini.

Dikatakan, mengenai kerahasiaan atau keabsahan soal ujian pada tes tertulis nanti, Sekda menjamin tidak akan terjadi kebocoran soal sebab pada tahun-tahun sebelumnya, hal semacam itu belum pernah terjadi di provinsi Papua.

“Soalnya saja diolah oleh tim, sudah pasti kerahasiaannya benar-benar dijamin tetapi bukan berarti kita tidak mewaspadai kebocoran soal. Tentunya masalah ini ikut menjadi perhatian pemerintah, namun jika ada informasi kebocoran soal tentu harus ada bukti jelas,” ungkapnya.

Sementara itu, ditempat terpisah Kepala Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Latihan Aparatur Provinsi Papua, Drs. Yesaya Buinei, MM menjelaskan, peserta CPNS yang lolos seleksi administrasi sebanyak 42 ribu lebih di seluruh Papua sudah disampaikan kepada masing-masing kabupaten/kota dan tinggal menjalani tes tertulis.

“Setelah dinyatakan lolos tes administrasi, ke-42 ribu CPNS tersebut akan mengikuti tes tertulis selama tiga hari di masing-masing daerahnya mulai 12 hingga 14 Maret mendatang,” jelasnya.(islami)
----------------------------------
Sumber:http://papuapos.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2901&Itemid=1
BACA TRUZZ...- 42 Ribu Lamaran Lolos Tes CPNS

Potret Suram Pendidikan di Pedalaman Papua

Oleh Odeodata H. Julia

WAMENA - Sekelompok bocah bertelanjang kaki menyambut kedatangan kami dengan riang dan senyum polos. Pakaian yang dikenakan pun seadanya.

“Sudah pulang sekolah kha,” tanya kami. “Sudah,” jawab mereka kompak. Umur mereka sekitar lima enam tahun. Di antara bocah-bocah prasekolah itu ada juga anak-anak usia bangku sekolah dasar. Kemudian dengan bangganya mereka mengantar kami naik ke sebuah bukit kecil untuk melihat tempat belajar mereka.

Namanya Sekolah Belajar Anak (SBA). Kalau di kota besar menyebutnya play group. Bentuknya mirip sebuah honay (rumah adat Wamena). Namun, tidak seperti play group di perkotaan yang lengkap dengan sarana permainan plus alat-alat kegiatan belajar-mengajarnya.

Tetapi, di SBA semuanya serbaminim. Selusin spidol satu per satu dibagikan oleh sang guru untuk dipakai bersama-sama. Kertas tulisnya pun hanya sebuah karton manila yang digunting. Tidak ada buku tulis yang dipakai untuk mereka.

Sebenarnya ada sebuah white board hasil pembagian, tetapi sudah hilang entah ke mana. Sarana bermain pun hanya sebuah prosotan sederhana yang terbuat dari kayu.
Terletak di Kampung Wetlangko Distrik Kurulu, SBA ini memang diperuntukkan anak-anak usia 5 tahun. Uniknya sekolah yang didirikan Wahana Visi Indonesia (WVI) ADP (Area Development Program) Kurulu sejak 2007 itu juga sering dipenuhi anak-anak SD kelas I dan II.

“Mereka anak-anak kelas I dan II. Tetapi karena sekolah mereka di SD Inpres Wedangku jauh dari kampung, jadi mereka sering datang belajar di sini. Guru mereka juga jarang masuk mengajar,” ujar Hengky Kombo, satu-satunya guru di SBA ini.

Hengky sebenarnya bukanlah seorang guru. Ia tamatan sekolah Alkitab. Tetapi, karena didorong rasa ingin memajukan pendidikan di daerahnya, ia sukarela ikut membantu.
Lain lagi cerita ini. Saat berada di Kota Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya, kami bertemu dengan sekelompok anak-anak usia sekolah yang keluyuran saat jam sekolah. Kepada kami mereka mengaku masih SD. Tetapi saat ditanya kenapa tidak sekolah, jawabannya sungguh mengagetkan. “Untuk apa sekolah, bu guru saja tra pernah masuk,” ujar mereka dengan nada santai bahkan seolah-olah menertawakan pertanyaan saya.

Lain kisah Otinus Komba dan Peres Asso asal Kampung Anggruk, Kabupaten Yahukimo Papua. Moto kejarlah ilmu sampai ke negeri China, sepertinya cocok buat keduanya.
Kedua anak usia 11 tahun ini rela berjalan kaki selama tiga hari tiga malam untuk sampai ke Kampung Maima, Distrik Kurima Kabupaten Jayawijaya sekadar dapat bersekolah di Elementary School Advent atau SD Advent Maima.

“Kita dengan bapak misionaris jalan kaki. Kitong (kita) ada tujuh orang jalan kaki semua. Kalau malam, kita tidur di gua-gua. Trus makannya sudah bawa dari rumah. Tapi tong (kami) juga masak di jalan,” cerita keduanya.

Otinus dan Peres mengaku sebenarnya di tempat mereka ada sebuah SD, tetapi lagi-lagi gurunya yang tidak pernah ada. “Ibu guru ke Wamena, jadi di sekolah tidak ada guru,” ujarnya.

Karena sekolah mereka jauh dari rumah, kedua bocah lugu ini tinggal di asrama yang disediakan sekolah.Itulah potret suram pendidikan di pedalaman Papua. Hampir semua muridnya mengadu kalau guru mereka tak pernah masuk sekolah. Para guru lebih memilih ke kota daripada mengajar di pedalaman terpencil.

Butuh Pengabdian
Sebuah sumber yang sering bergaul dengan masyarakat juga ikut berbicara. Ia menuturkan kehidupan para guru di pedalaman selalu bergelut dengan utang di atas utang. ”Mereka itu sering kredit-kredit. Jadi begitu akhir bulan penghasilan yang diterima sangat minim. Bahkan, ada yang terima hanya Rp 17.000 per bulan. Bayangkan hidup di pedalaman dengan biaya tinggi hanya gaji segitu saja.. Hal ini mungkin menjadi penyebab para guru ini jadi malas mengajar,” ujarnya.

Ada lagi cerita, kalau ada siswa yang tak pernah masuk sekolah. Begitu mendekati saat penerimaan rapor, ada yang mulai menghadap guru dengan memanggul seekor anak babi. ”Otomatis langsung naik kelas. Karena sudah dapat babi. Di sini harga seekor babi ukuran sedang tinggi,” ungkap sumber SH ini.

Tetapi, di antara itu masih ada juga guru yang punya kepedulian terhadap dunia pendidikan di pedalaman, seperti guru Ramses Repasi dan Fred M. Kedua guru ini mengaku sudah mengabdi selama puluhan tahun di Kampung Maima, sebuah kampung yang hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

SD Advent Maima, di situlah keduanya menjadi pahlawan tanpa tanda jasa. Mereka mengajar di sekolah Otinus dan Peres. Kalau Ramses tinggal di dekat sekolah, sedangkan Fred, rumahnya di Wamena Kota. Setiap hari Pak guru Fred harus bangun pagi-pagi untuk tepat waktu tiba di sekolah yang jaraknya 30 km dari rumahnya. Sehari Rp 25.000 untuk naik angkot. Sampai di area longsor, Pak Fred harus berjalan kaki sejauh 5 km dengan jalan mendaki dan berlumpur menuju tempatnya mengajar. “Sarana perumahan guru yang disediakan sekolah terbatas. Jadi, saya tinggal di Wamena Kota,” kisahnya.

Diusik pertanyaan soal banyaknya rekan guru mereka yang tak pernah mau mengajar di pedalaman, keduanya berkata kompak bahwa jangan melulu guru yang selalu disalahkan. “Kita harus lihat alasannya kenapa sampai mereka tidak mengajar. Apakah karena tunjangan kurang ataukah ada faktor lain,”ujar mereka.

Kedua guru ini mengaku bekerja sebagai guru di pedalaman membutuhkan sebuah pengabdian yang tulus. “Bila kita mau ikuti ego dan kata hati, berat memang menjadi guru di pedalaman. Tetapi itu semua kami lakukan untuk memajukan pendidikan di pedalaman. Karena kami yakin anak-anak pedalaman sebenarnya pintar-pintar, tetapi karena kurang ilmu jadi terlihat mereka tertinggal,” tuturnya.
--------------------------------
Sumber:http://www.sinarharapan.co.id/berita/0903/06/nus02.html
BACA TRUZZ...- Potret Suram Pendidikan di Pedalaman Papua

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut