Sekolahku di Tepi Laut

Sabtu, Juli 19, 2008

Jika biasanya sekolah dibangun di tengah kompleks perumahan atau kampung, sekolah ini di bangun di sebuah tanjung yang Indah dan sepi. Tak ada perumahan maupun kampung. Lalu untuk siapa sekolah ini ?

Sepeda motor terpaksa harus berhenti, ketika mendapati jalan menurun terjal, berlubang dan berkerikil. Jalan aspal yang bermula dari samping halte bus Skyline memang sudah rusak berat terkikis air hujan. Jaraknya hampir 700 meter hingga mencapai pantai. Untuk sampai ke sana , kita harus melewati jalan aspal yang rusak berat berujung di jalan setapak yang membela hutan akasia bekas bumi perkemahan skyline dan dilanjutkan illalang yang sepi. Jalan ini menuju SD Negeri Inpres Kampung Tobati, tepat di sebuah tanjung , di tengah teluk Yotefa.

Jalan ini memiliki kemiringan lebih dari 45 derajat, saya cukup terkagum kagum ketika seorang guru mendaki jalan itu dengan motor tuanya. “Itu pakTunggul Opposunggu. Ia memang sudah mengajar sejak sekolah ini di buka, jadi sudah pengalaman melewati jalan ini” kata Agustina Yerisitouw, guru kelas II SD Negeri Inpres Kampung Tobati ketika kami berpapasan di bawah pohon jambu. Ia dan teman sejawatnya Yuliana Watimuri beristirahat sejenak, mengumpulkan sisa tenaga mereka setelah lelah mengajar. Mereka kemudian mendaki lagi jalan yang saya turuni hingga Skyline untuk kemudian berganti angkutan umum, pulang ke rumahnya masing – masing.

SD Negeri Inpres Kampung Yotefa dibuka tahun 1984, ditujukan untuk murid SD dari kampung Tobati, (SD kampung Enggros berada di Tanah Hitam Abepura). Namun kenyataannya SD ini digunakan juga oleh murid dari kampung Enggros.

“Jika pagi hari hujan deras, guru-guru tidak bisa mengajar. Karena jalanan ini menjadi sangat licin, belum lagi resiko dipatok ular karena hutan ilalang disini cukup lebat,” ujar Ibu Yerisetouw. Demikian juga dengan murid-muridnya, jika hujan mereka tidak bersekolah. Karena untuk mencapai sekolah mereka menyebarangi laut dengan menggunakan perahu motor (speedboat) yang lamanya sekitar 15 menit dari kampung Enggros dan sekitar 10 menit dari kampung Tobati.

Beberapa murid berpapasan dengan kami, ada yang menggunakan sepatu, ada juga yang menenteng sendal jepit. “Sudah beberapa kali kami ingin menertibkan pemakaian sepatu, namun selalu batal dilaksanakan. Kami kawatir jika harus menggunakan sepatu, ada beberapa murid yang tidak dapat bersekolah lagi. Jadi kami bebaskan saja,” ujar Ibu Watimuri. Dari 10 orang guru, hari ini hanya delapan orang yang mengajar, sedangkan muridnya hadir semua. Mereka sedang menghadapi ujian kenaikan kelas (UKK).

Ketika sampai di sekolah, kami disajikan pemandangan teluk Yotefa nan indah. Berhadapan dengan kampung Tobati dan kampung Enggros tertutup pulau Debi. Bangunan sekolah ini cukup bagus dan terawat, terdiri dari enam kelas, dan satu ruang guru. Saat inipun SD ini tengah melakukan pembangunan dua ruangan, ruang perpustakaan dan ruang guru.

Sekolah ini dilengkapi juga dengan 6 rumah guru yang letaknya di samping sekolah. 4 rumah sudah selesai dibangun, sedangakan dua lainnya sedang dalam proses pembuatan .Jumlah murid disekolah ini hanya 105 anak. Jumlah terbesar di kelas I, yaitu 30 orang. Semakin tinggi kelas, jumlahnya semakin sedikit, contohnya kelas IV hanya diisi oleh 18 siswa. “Kebanyakan murid SD di sini pindah, karena untuk mencapai SD ini sangat sulit, tapi setengahnya menyelesaikan di sekolah ini,” ujar ibu Mansawan yang tinggal di salah satu rumah guru hampir dua bulan ini. Tanpa listrik, dan hanya sedikit signal Hp. Kadang ada kadang tidak. Untuk menemaninya, ia sering mengajak beberapa murid menginap bersamanya.

Sepulang sekolah mereka harus menunggu jemputan. Anak – anak Tobati sering terlambat dijemput, karena jemputan harus menjemput siswa SLTP terlebih dahulu di pantai Hamadi, sebelum menjemput mereka, lalu pulang ke kampung. Sedangkan anak-anak Enggros langsung dijemput. Murid kelas I harus menunggu hingga kelas VI pulang, lalu pulang bersama sama.
Sambil mengisi waktu, mereka bermain. Siang ini, murid –murid asik melempar jambu merah sambil menunggu jemputan. Satu per satu jambu jatuh ke tanah.

Elisabet Meraudje (9) juga asik melempar. Jambu ditumpuk, iakemudian melempar lagi. Dahulu untuk sampai ke sekolah mereka harus mendayung berkilo klo meter, namun sudah dua tahun terakhir ini kedua kampung ini mendapatkan bantuan speedboat dari Wahana Visi Indonesia (WVI), lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada pendidikan anak. “Dulu, kalo mau ke sekolah tunggu teman atau saudara, kalau su empat orang ka, baru kita berangkat sama-sama. Karena harus dayung,” ujar Elisabet. Setiap paginya, setelah sarapan kue dan minum teh, demikian jawaban sebagian besar murid disini, mereka lalu berkumpul di dermaga. Lalu speedboat mengantarkan mereka.

Dra. Grace Ursia, Act Manager ADP Port Numbay Yayasan Wahana Visi Indonesia (WVI) mengatakan speedboat itu bantuan untuk kelompok swadaya masyarakat di kampung (KSM) di kedua kampung. Speedboat ini juga merupakan usulan masyarakat karena adanya kebutuhan dari masyarakat ini. Harapannya selain untuk mengantarkan anak sekolah, speedboat juga dapat menjadi penghasilan tetap masyarakat, “Selama ini speedboatjuga dipergunakan untuk alat transportasi umum masyarakat di kedua kampung. Uangnya kemudian dipergunakan untuk membeli bensin juga diputar untuk pengembangan usaha-usaha lainnya,” ujar Grace. Laporan terakhir, tabungan masyarakat kampung Enggros sudah mencapai Rp. 28 juta. Rencananya Speedboat lama akan dijual dan dengan tambahan uang tabungan KSM, akan dibelikan speedboat yang lebih besar.

Kebutuhan akan speedboat yang lebih besar khususnya untuk kampung Enggros, sudah cukup mendesak. Hal ini dapat dilihat ketika para murid ini dijemput. Speedboat milik kampung Enggros nyaris tenggelam. 65 murid SD harus berdesak desakan, air laut hampir saja masuk speedboat ketika murid ke-65 naik. “Duduk baik-baik, ayo sorong,” kata Alfius Meraudje, operator speedboat kampung Enggros. Ia berusaha mengatur anak-anak agar seluruhnya dapat termuat dalam perahunya. Ia menyalakan mesin dan speedboat melaju perlahan-lahan. Dibandingkan dengan Speedboat kampung Tobati yang berisi 17 murid SD dan 7 siswa SLTP, speedboat kampung Enggros penuh sesak.

“Dari hasil kajian perkembangan siswa selama dua tahun ini, nilai kelulusan siswa lebih baik demikian juga jumlah murid yang bersekolah di SD ini bertambah,” ujar Grace Ursia. Sebelumnya, banyak murid SD Negeri Inpres Kampung Tobati yang kemudian tinggal dengan sanak keluarga di kota agar dapat bersekolah dengan mudah. Akhirnya banyak murid murid ini terpisah dari orang tuanya. Dengan adanya speedboat murid murid dapat tetap tinggal bersama dengan orangtua mereka dan itu sangat berarti buat perkembangan psikologi anak. (Angel Flassy)
-------------------------------------
Sumber:http://tabloidjubi.wordpress.com/2008/06/14/sekolahku-di-tepi-laut/
BACA TRUZZ...- Sekolahku di Tepi Laut

Pahlawan Tanpa Nama dan Tanpa Pusara

Filep J Karma pentolan Tapol dan Napol pernah menuturkan beberapa waktu lalu di Jayapura jika tokoh pejuang Ferry Awom sudah meninggal sudah pasti semua orang tahun di mana kuburannya atau pusaranya?

Dengan sedikit bertanya Filep Karma menggugat di mana orang orang Papua yang telah ditahan atau pun yang hilang dan tak pernah kembali lagi. Aristoteles Masoka adalah sopir almarhum Theys Elluay yang hilang bersamaan dengan tewasnya tokoh pejuang Papua itu. Di manakah Aristoteles aristoteles lainnya di tanah Papua?

Menyimak dari penghilangan secara paksa atau pun apapun motif motif penghilangan sebenarnya menurut Theo van den Broek ada kesamaan antara pola pelanggaran HAM di Papua dengan adanya pola genoside, pertama-tama jelas memerlukan yang lengkap tentang tindakan / peristiwa untuk menjadi �ebahan yang terukur dan jelas�f. Dalam dokumentasi itu mungkin juga baik kalau dibedakan antara sejumlah jenis tindakan/peristiwa kekerasan.

Lebih lanjut Theo mantan aktivis HAM dari SKP Papua yang kini bertugas di Dilli Negara Timor Leste mengusulkan sejumlah kategori tindakan/peristiwa antara lain,

1.tindak kekerasan terhadap individu
2.tindak kekerasan terhadap sekelompok / penduduk sewilayah
3.tindakan intimidasi
4.kegiatan ekonomis yang berpeluang melanggar HAM
5.kebijakan negara yang berpeluang melanggar HAM

[1] Tindak kekerasan terhadap individu
Dibawah kategori ini kami menggolongkan segala tindakan yang diarahkan kepada seorang pribadi tertentu; bisa menyangkut tokoh-tokoh OPM (terutama selama tahun 60an dan 70an); bisa menyangkut pribadi orang yang tidak disenangi karena mengangkat harkat bangsa Papua (orang seperti Arnold Ap –1984- , Black Brothers dan elite intelektual); menyangkut pemimpin populer seperti Wanggai –1998-, Willem Onde –2001-, atau Theys Eluay –2001; bisa menyangkut kekerasan psikis terhadap tokoh-tokoh politik yang diisyukan (Jaap Salossa dan John Ibo sebagai �epejuang Papua merdeka�f). Bila seluruh sejarah penderitaan diperiksa secara teliti pastilah dapat menghasilkan suatu daftar panjang, dan dokumentasi seperti itu sangat kita butuhkan (sampai saat ini tidak tersedia untuk umum).

[2] Tindak kekerasan terhadap sekelompok / penduduk sewilayah
Tindakan semacam ini ada sejak protes masyarakat Papua terhadap segala bentuk penindasan - termasuk penjajahan oleh pihak manapun - mulai terungkap. Lebih-lebih setelah OPM mulai aktif dan merangkul banyak masyarakat. Tindakan terhadap sekelompok/penduduk sewilayah mulai dilakukan oleh aparat keamanan seperti di wilayah suku bangsa Arfak (60an dan 70an) yang dinilai sebagai pusat perlawanan terhadap pemerintah Indonesia. Di Biak juga terdapat operasi-operasi sejenis, apalagi segala operasi militer yang dilakukan antara 1977 dan 1984 di wilayah Pegunungan Tengah dan wilayah suku bangsa Amungme; bukan individu yang menjadi sasaran operasi, namun seluruh penduduk di wilayah tersebut karena dicap / diberikan stigma OPM/TPN atau GPK. Tindakan sejenis ini juga dijalankan setelah peristiwa di Mapnduma (1996), Abepura (2000), Wamena (2000), Wasior (2001), Ilaga (2001), Wamena (2003)1. Operasi-operasi semacam ini dikenal sebagai �operasi penyisiran�f yang dilegitimasi dengan adanya salah satu peristiwa khusus dan terbatas (entah pelakunya siapa) dan dengan adanya stigmatisasi seperti �gorang Pegunungan Tengah semua pengacau�h.

Dalam tindakan-tindakan dengan kategori ini tidak dibedakan lagi antara mereka yang langsung terlibat dalam salah satu peristiwa dan yang tidak, tetapi siapa saja yang dapat ditemukan menjadi sasaran operasi. Yang juga cukup khas berkaitan dengan kategori tindakan ini adalah terjadinya pengungsian massal guna melarikan diri dari tempat yang menjadi sasaran tindak kekerasan. Sekali lagi, suatu dokumentasi kategori tindakan ini sangat dibutuhkan, dengan mencari tahu berapa banyak korbannya (sampai sekarang tidak ada angka-angka yang betul dapat dipegang) dan dengan membedakan berapa banyak yang menjadi korban secara langsung, dan berapa banyak menjadi korban susulan (karena kelaparan/kesakitan selama mengungsi dsbnya).

[3] Tindakan intimidasiKategori ini tidak begitu nyata dalam tindakan-tindakan yang menonjol atau tindakan yang langsung menimbulkan korban. Tindakan dibawah kategori ini menyangkut �ggerak-gerik pihak keamanan saat bertugas ditengah masyarakat�h. Menurut banyak laporan yang tidak pernah diterbitkan namun tersedia dalam arsip lembaga kegerejaan, perilaku para unsur keamanan di daerah (apalagi yang jauh dari mata instansi pengawasan) sering ditandai arogansi, pemaksaan, perintah sewenang-wenang, ancaman dll. Sehingga masyarakat tidak bebas bergerak, merasa dicurigai, atau de facto mengalami pemukulan serta bermacam-macam siksaan.

Suasana demikian yang berlangsung cukup lama – apalagi selama status DOM diberlakukan2 - di pelbagai bagian provinsi Papua telah menghasilkan suatu masyarakat yang makin hari makin bisu dan ketakutan. Adanya dampak dari tindakan semacam ini dapat dibaca dalam laporan situasional yang disusun oleh SKP mengenai suasana di Pegunungan Bintang (199 8) dan di sekitar tiga danau di Paniai (1999). Laporan-laporan sejenis pasti dapat disusun untuk seluruh wilayah perbatasan dan Pegunungan Tengah jikalau kita mempelajari suasana kemasyarakatan selama 40 tahun terakhir ini. Dokumentasi tindakan kategori ini sangat membantu untuk memperoleh suatu gambaran menyeluruh mengenai gaya serta dampak kehadiran aparat keamanan, dan mungkin dapat membantu untuk menjawab pertanyaan: apa sebenarnya maksud (intent) pemerintah RI dengan bangsa Papua selama empat puluh tahun terakhir?

[4] Kegiatan ekonomis yang berpeluang melanggar HAM
Dibawah kategori ini dapat kami golongkan segala bentuk kegiatan ekonomis yang merugikan kepentingan atau mengabaikan hak-hak masyarakat. Sudah menjadi pemahaman umum bahwa diadakannya kegiatan pertambangan oleh PT Freeport membawaserta cukup banyak akibat yang sangat merugikan masyarakat lokal: dapat berupa pencemaran lingkungan, memindahkan penduduk, peniadaan peluang ekonomis bagi penduduk setempat, tindakan pengamanan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, kehadiran aparat keamanan di luar proporsi dengan segala akibatnya, merusak kebudayaan setempat, mengabaikan hak ulayat, membatasi partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan yang penting/berdampak besar dst. Suatu gambaran sejenis dapat ditemukan dalam proyek BP, konsesi HPH, konsesi penangkapan ikan, program PIR, program Kapet, kegiatan eksplorasi dsb. Setiap kegiatan ekonomis dapat dinilai dari segi sejauh mana membantu pertumbuhan suatu ekonomi lokal (ekonomi kerakyatan) atau sepanjang tidak memperdulikan dampaknya terhadap masyarakat setempat. Dalam penilaian itu kami dapat menemukan tersiratnya motif dibelakang setiap tindakan ekonomis, apalagi berupa aktivitas besar-besaran.

Yang dikatakan mengenai program ekonomis yang terbuka berlaku juga (malahan mungkin dengan lebih hebat lagi) mengenai tindakan-tindakan ekonomis yang tersembunyi atau malahan ilegal (seperti penyeludupan kayu dst.); pertanyaan serta penilaian sekitar kegiatan yang tersembunyi menjadi lebih penting lagi ketika kegiatan-kegiatan ekonomis demikian melibatkan aparat keamanan. Sekali lagi suatu dokumentasi mengenai tindakan-tindakan ekonomis sangat kita butuhkan untuk menilai dampaknya dan kaitannya dengan terancamnya eksistensi bangsa Papua.

[5] kebijakan negara yang berpeluang melanggar HAM
Judul kategori ini mungkin sedikit mengherankan, namun kami berpendapat bahwa sebaiknya kami membuka lingkup perhatian seluas mungkin, dengan mencantumkan kebijakan-kebijakan pemerintahan yang berpeluang mengakibatkan pelanggaran HAM. Dibawah kategori ini secara tentatif kami menggolongkan kebijakan seperti pelaksanaan Pepera (1969), pemberlakuan DOM (sampai akhir 199 8) termasuk penempatan personil keamanan, pemekaran paksaan (Inpres No. 1/2003), program transmigrasi (tahun 70an ke atas) sejauh menjadi …..program pemerintah atau sejauh dibiarkan tanpa peraturan yang nyata, penolakan pemerintah pusat untuk menyelesaikan pembentukan MRP sebagai sarana kunci dalam pelaksanaan isi Otonomi Khusus Papua, segala promosi �ekebudayaan korupsi dan proyek�f, dan akhirnya – bukan yang paling ringan – ketidaktegasan dalam penegakan hukum (bdk tindakan terhadap para tahanan di Wamena berkaitan dengan peristiwa tahun 2000, atau saja vonis terhadap para terdakwa sipil dalam kasus Wamena 2003, atau penyelesaian pembunuhan Theys secara hukum tahun 2003).

Kami berpendapat bahwa suatu dokumentasi yang teliti mengenai kebijakan pemerintah yang sebenarnya de facto merugikan pembangunan masyarakat di Papua akan sangat membantu untuk menilai motif politik atau motif apa saja di belakang tindakan-tindakan pemerintah RI terhadap Papua.
Menyangkut kasus kasus pelanggaran HAM di Papua mantan Ketua Perwakilan Komnas HAM Papua, Alberth Rumbekwan kepada pers di Jayapura belum lama ini menyatakan, sedikitnya ada tujuh kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Papua yang telah dilaporkan kepada Komnas HAM, tetapi tidak ditindaklanjuti.

Bukan itu saja Elsham Papua yang beberapa tahun lalu, merilis data bahwa sejak otonomi khusus diberlakukan, telah terjadi 196 kasus pelanggaran HAM berat. Pelanggaran itu meliputi 19 kasus pembunuhan kilat tanpa proses hukum, dua kasus penghilangan paksa, 157 kasus penganiayaan, dan 18 kasus penangkapan sewenang-wenang.

Menurut Elsham Papua sepanjang tahun 2006 sedikitnya ada tujuh kasus HAM yang menonjol di Papua. Kasus-kasus itu mulai dari proses hukum terhadap Anthonius Wanmang cs selaku tersangka kasus penembakan di Mile 62-63 PT Freeport Indonesia yang sewenang-wenang sampai kasus pembunuhan kilat terhadap Moses Douw (19), siswa SLTP Negeri I Wagethe di Desa Wagethe, Kabupaten Paniai.

Kasus kekerasan aparat keamanan di Wasior, Manokwari (2001); dan Kuyawage, Jayawijaya (2003), misalnya, Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM Komnas HAM menyimpulkan dugaan pelanggaran HAM. (Dominggus A Mampioper, dari berbagai sumber)
--------------------------------
Sumber:http://www.fokerlsmpapua.org
BACA TRUZZ...- Pahlawan Tanpa Nama dan Tanpa Pusara

Tanah Papua Hutan Terbesar dan Terakhir di Indonesia

Hasil survey Forest Wacht Indonesia (FWI)-CIFOR dan Baplan tahun 2006 bahwa luas daratan Papua yang berhasil dipetakan sekitar 41 juta hektar dan sekitar 34 juta hektar di antaranya adalah benar benar hutan. Hal ini jelas memperlihatkan hutan Papua sangat luas dan termasuk hutan yang tersisa di Republik Indonesia.

“Namun sesuai data Dinas Kehutanan Provinsi Papua saat ini masih ada sekitar 80 % penduduk yang berada di pedesaan dan sebanyak 68,9 % berada di kawasan hutan dikategorikan miskin,”ujar Bob Hutabarat dari Forest Wacht Indonesia (FWI) di Jayapura saat berlangsungnya Lokakarya Sosialisasi Kriteria dan Indikator Daam Rangka Pengeloaan Hutan Produksi Lestari Berbasis Masyarakat di tanah Papua belum lama ini.

Bahkan lebih lanjut jelas Hutabarat faktor faktor yang mempengaruhi degradasi dan deforestasi hutan di Papua mau pun di Indonesia adalah sistem politik dan ekonomi yang cenderung korup, kebijakan hutan melalui sistem Hak Pengusahaan Hutan (IUPHHK-HA) yang melakukan eksploitasi yang berlebihan,konversi hutan untuk lahan perkebunan, ekspansi industrikayu, penebangan ilegal atau illegal loging.

Melihat potensi hutan di tanah Papua maka dosen Fakultas Kehutanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Harianto R Putro menegaskan pengalaman di Sumatera dan Kalimantan jangan sampai terulang lagi di Papua terutama menyangkut kebijakan yang tidak bijak dan tegas. “Jika mau melakukan sertifikasi hutan minimal harus melihat sejauh mana regulasi yang mengaturnya sebab kalau regulasinya lemah tentu akan mempengaruhi kegiatan selanjutnya di lapangan,”ujar Harianto.

Apalagi lanjut Harianto kegagalan yang pernah terjadi di pulau lain di Indonesia jangan sampai terjadi lagi di Papua sebab kepastian kawasan dan kelembagaan perlu diperkuat. “Pasalnya salah menetapkan kebijakan yang salah akan menyengsarakan, “tegas Harianto.

Sementara itu dosen Fakultas Kehutanan Fakultas Kehutanan UNIPA Manokwari Max J Tokede mengatakan secara teknis pengusahaan hutan oleh perusahaan HPH/IUPHHK dalam menerapkan sistem silvikultur Tebang Pilih Indonesia (TPI) yang telah diubah menjadi Tebang Pilih Tanam Indonesia(TPTI) sejak 1983 di tanah Papua menunjukan bahwa sistem silvikultur tersebut belum mampu menjamin kelestarian produksi dan kelestarian hutan.

“ Kesalahan ini bukan terletak pada sistem silvikulturnya tetapi ketidak konsekwenan dalam mengaplikasi semua ketentuan yang telah disyaratkan dengan berbagai kendala di lapangan dan kelembagaan,”ujar Max dosen Unipa.

Lebih lanjut menurut Tokede kepastian kawasan unit Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari (PHAPL) faktor kendala antara lain klaim aturan adat dan tumpang tindih ijin pengelolaan kawasan, potensi hutan sebagai areal konsesi tidak memenuhi kriteria minimum.

Di tanah Papua seluruh kawasan hutan masih terbebani oleh hak adat masyarakat hukum adat (Hutan Adat), meskipun secara forml areal konsesi HPH/IUPHK memiliki kekuatan hukum, karena mereka diberi hak menguasahakan hutan yang diasumsikan sebagai miliki negara. “Namun faktanya secara non formal semua kawasan di Papua dimiliki dan dikuasai secara adat oleh masyarakat hukum adat,”ujar Tokede.

Karena itu lanjut Tokede terdapat beberapa faktor penghambat dalam mengimplementasikan indikator kepastian dalam kawasan PHPAPL antara lain, belum ada kepastian pembagian tugas antara para pihak dalam penataan batas real HPH/IUHPHHK, tidak ada pengakuan atas berbagai tata guna lahan dan tata ruang wilayah, masih terjadi konflik lahan dan tata batas kawasan hutan dengan hak milik, antara pengusaha dengan masyarakat hukum adat dan antara masyarakat anggota hukum adatnya.

Selain itu Ir Bani Susilo dari Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Komda Papua mengatakan pelaksanaan pengelolaan hutan produksi lestari menjadi tuntutan international karena hutan sebagai paru paru dunia sebagai reaksi atas munculnya emisi rumah kaca yang menimbulkan perubahan iklim. “Apalagi saat ini konsumen sudah mulai menyadari perlunya membeli kayu olahan lestari,”ujar Bani Susilo. Ditambahkan sistem pengelolaan hutan lestari sebagai tuntutan pasar terhadap produk hutan ramah lingkungan dan pemenuhan persyaratan legalitas.
Lebih lanjut menurut Bani Susilo kendala pencapaian PHPL adalah kriteria ekologi antara lain penataan kawasan yang dilindungi dan pengakuan oleh para pihak, ketersediaan prosedur dan implementasinya dalam pengendalian perambahan, kebakaran, penggembaaan dan pembalakan illegal. Kriteria sosial sudah mencakup resolusi konflik.(Dominggus A. Mampioper)

---------------------------------

Sumber:http://tabloidjubi.wordpress.com/

BACA TRUZZ...- Tanah Papua Hutan Terbesar dan Terakhir di Indonesia

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut