Minuman Keras, Keras Kepala di Tanah Papua

Selasa, Desember 04, 2007

Minuman keras (Miras), keras kepala di tanah Papua. Ya begitulah adanya. Tidak tahu yang menjadi kepala batu. Tetapi yang jelas Miras menjadi salah satu masalah di atara banyak masalah di tanah Papua. Miras telah menjadi kepala batu dan membunuh orang Papua seperti masalah lainnya yang juga membunuh. Angka kematian orang Papua saat ini semakin tinggi. Sementara itu, angka kelahiran sungguh sedikit. Hampir setiap saat orang Papua banyak yang mati, ada yang karena alkohol, ada yang mati misterius, ada yang mati keracunan makanan, ada yang mati karena penyakit HIV dan AIDS, ada yang kerana yang lainnya. Pokoknya, mati banyak! Lantas, ada banyak masalah yang keras kepala.

Orang Papua yang mati itu, lebih banyak adalah anak muda usia produktif. Realitasnya alkohol memang membunuh. Tetapi, pemerintah bilang Miras itu untuk Pendapatan Asli Daerah. Sementara itu, ada juga istilah Miras Legal dan Miras Ilegal padahal kedua-duanya membunuh. Minuman terus didatangkan di Papua dengan perlindungan hukum dari pemerintah daerah dan dalam kendali keamanan. Pelarangan Miras hanya terkesan retorika belaka. Peraturan daerah Miras masih bermasalah. Sungguh ironis, hingga saat ini di tanah Papua belum ada satu pun peraturan daerah yang jelas tentang Miras, kecuali Manokwari. Apakah Miras, memang keras kepala?

Miras Candu?
Bisakah kita menerima ketika mengatakan bahwa alkohol itu candu masyarakat? Entalah. Tetapi, yang jelas di dunia ini, apa lagi yang bukan candu? Semuanya cantu? Tidak tahu! Tapi katanya begitu. Sebenarnya pengertian tentang candu tidak begitu dijelaskan secara detail. Makna candu kadang sama dengan ketagihan, sesuatu yang sangat disukai atau sesuatu yang menjadi kegemaran. Tetapi candu sebenarnya adalah nama getah dari buah Papaver somnifera, yang berfungsi untuk mengurangi rasa nyeri merangsang rasa kantuk serta menimbulkan rasa ketagihan bagi yang sering menggunakannya (Baca: Hasan Halwis, 2001).
Kecanduan itu datang dari suatu proses yang perlahan menggerakkan kita untuk terlibat di dalammya. Setelah kita terbiasa dengan kegiatan tersebut dan menjadi kegemaran kita baru disebut sebagai kecanduan. Hanya saja candu kadang bermakna negatif, dibandingkan kata kegemaran atau hobi, atau kebiasaan.

Minuman keras adalah candu. Pemahaman ini bertitik tolak dari realita dan tidak bisa dipungkiri. Ada beberapa teman dalam pembicaraan mengatakan hidup tanpa minum alkohol rasanya kurang. Ucapan itu sepertinya sudah membenarkan alkohol (Miras) sebagai candu.
Beberapa teman mengakui bahwa, dengan minum alkohol (mabuk) membuat mereka percaya diri, berani tampil di depan umum untuk mengekspresikan diri tentang bakatnya yang terpendam. Ataupun berani untuk membuat kegaduhan, bahkan ada yang menjadi berani untuk melakukan ataupun terlibat dalam kasus pemerkosaan, perkelahian dan pembuhuhan. Ini membenarkan pengakuan Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Papua Komisaris Besar Drs. Daud Sihombing SH, “Dari catatan polisi pada setiap laporan akhir tahun, semua kejadian kriminal seperti pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan, pencurian, penipuan, pemerasan, teror dan seterusnya berawal dari miras. Miras ini membuat orang menjadi pemalas, bermental santai tetapi ingin mendapat untung besar, dan semangat belajar para siswa sekolah pun menurun (baca: Kompas, 17 November 2003). Hal itu terjadi karena seorang alkoholik nalar sudah tidak akan berfungsi sebagai manusia normal barangkali seperti orang kelainan jiwa alias gila.

Tradisi Miras
Kalau sedikit kita buka lembaran sejarah Papua, kebiasaan minum alkohol muncul di kalangan orang Papua melalui kontak orang-orang kulit putih dari Eropa, Melayu dan orang Timor dari Tidore Ternate. Masalah alkoholisme juga ditemukan di antara masyarakat luar Papua. Bedanya masalah alkoholisme di kalangan orang bukan asli Papua tidak begitu terlihat. Kalangan orang pegunuangan Papua mereka tidak sama sekali mengenal minuman beralkohol. Tidak ada tradisi pesta minuman keras, karena tidak ada baku untuk produksi alkohol.

Daerah pesisir pantai Papua lebih dahulu sudah melakukan kontak dengan orang luar Papua dan telah mengenal minuman beralkhohol dari pohon kelapa ataupun aren yang disebut sagero (saguer/bobo). Namun, minuman keras tradisional itu tidak membunuh Seorang aktivis Aborigin, Charles Perkin menuliskan, bahwa orang Aborigin sering minum dalam pertemuan-pertemuan tradisional, tidak sebagai minuman-minuman yang sengaja melanggar tata cara minum sebagimana mestinya. Mereka justru memenuhi sindrom “kasihanilah saya” kalau mereka di perbolehkan memperlihatkan tata cara minum yang tidak dapat diterima umum (Baca: Rutih Hardjono, 1992). Hal yang sama juga terjadi di kalangan para pecandu alkohol di Papua. Kadang minum hanya untuk mecari perhatian, ataupun untuk melampiaskan emosi. Dengan demikian mereka terlihat sebagai manusia yang tidak dewasa menyelesaikan masalah.

Konspirasi Bisnis Miras
Ada pihak-pihak tertentu yang berusaha mecari keuntungan dari minuman keras produk impor. Orang gila harta! Mereka inilah penyebab sulitnya Miras dihentikan atau diberantas dari agen-agen pemasara dan peredaran atau jalur urat pasar Miras. Kalau urat ini putus mungkin akan mengurangi orang menjadi pecandu Miras.

Di tanah Papua Miras diperdagangkan tanpa upaya membumi hanguskan. Ini terjadi karena ada konspirasi (persekongkolan) antara pihak keamanan, pemerintah dan pengusaha Miras. Mereka bersekongkol, bekerja sama (secara diam-diam) mencari keuntungan. Pengusaha bar, diskotik membutuhkan minuman keras. Ada pejabat yang juga punya diskotik atau bar, dan ada pejabat atau DPR kita sebagai penikmat bar, bir, bor (3b). Bagi pemerintah daerah, Miras dilihat sebagai komoditas penghasil uang. Pendapatan daerah lebih besar didapat dari Miras. Sedangkan pihak keamanan mendapat uang pelicin dari masuknya Miras ke Papua. Jadinya, kita hanya baku tipu soal operasi Miras.

Walaupun Kepala Kepolisian Resort Kota Jayapura (Kapolresta) Djonsoe pernah mengatakan bahwa “Dengan adanya ketertiban seperti itu agar daerah ini menjadi aman dan kondusif bebas dari Miras. Sudah cukup orang mati gara-gara Miras, ketegasan ini harus kita terapkan kembali” (baca: Harian Bisnis Papua, Edisi Jumat, 6 Juli 2007 Hal. 2). Ungakapan itu diragukan, karena seolah-olah hanya Miras Ilegal yang merusak orang Papua. Padahal, Miras Legal dan Ilegal sama-sama membunuh dan merusak orang dan bangsa Papua.

Memang polisi selalu melakukan sweeping di pelabuhan-pelabuhan, misalnya seperti di Jayapura setiap penumpang yang tiba dengan Kapal Putih. Namun ini rupanya upaya untuk mengamankan bisnis Miras Legal, agar Pajak yang dibayarkan kepada Penguasa tetap lancar, aman, tepat waktu dan tidak berkurang. Aparat polisi juga kadang mengharapkan sedikit ongkos rokok dari jual-beli Miras di tengah-tengah masyarakat Papua. Selain itu, operasi Miras dilakukan untuk menyembunyikan fakta adanya persekongkolan. Barangkali agar tidak dicurigai masyarakat sebagai lahan bisnis. Aparat mendapat uang saku dari pekerjaan itu. Oleh karenanya, setiap upaya pejabat untuk membatasi peredaran Miras Ilegal nampaknya sebagai upaya mencari makan dan operasi perlindungan terhadap peredaran Miras Legal (www.Papuapost.com, 17 Juli 2007).

Secara terselubung, polisi juga bertujuan untuk memupuk tindak kriminal di tengah-tengah masyarakat Papua agar tercipta citra buruk bahwa bangsa Papua adalah bangsa biadab yang perlu dididik oleh bangsa lain yang beradab. Larangan peredaran Miras Ilegal tidak akan memperbaiki kondisi buruk Bangsa Papua. Karena itu tugas Bangsa Papua saat ini adalah bagaimana melepas ketergantungan terhadap Miras.

Politik Miras membuat pejabat untung sendiri dan meminabobokan mereka di atas uang. Membuat mereka tidak kritis, bahkan semakin kerdil dalam berpikir soal penyakit sosial yaitu kemiskinan dan kasus Miras yang mengancam nyawa dan mental rakyatnya. Seharusnya ada proteksi, mengeluarkan peraturan daerah, baik mengenai minuman keras maupun terhadap arus budaya luar yang mengacam masa depan identitas etnik kultural, ekonomi, sosial, hukum dan politik Papua.

Walaupun ada peraturan tentang penjualan Miras, namun nampaknya proteksi terhadap Miras tidak berjalan baik, bahkan tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh. Alasanya barangkali karena Miras memiliki pasokan devisa cukup besar. Mereka seolah-olah mebalik fakta bahwa alam Papua adalah kaya-raya. Bisa datangkan uang kalau dikelola dengan baik. Tidak mengeksploitasi alam untuk diri senediri. Sebagaimana yang selama ini dilakukan oleh militer, elit Papua dan pengusaha dalam mengeploitasi alam Papua untuk kebutuhan mereka sendiri. Pemerintah daerah kita memilih melakukan spekulatif dalam membangun Papua tanpa memikirkan proteksi terhadap hal-hal kecil, mendasar yang merusak, misalnya Miras, lunturnya adat dan budaya serta yang lainnya. Pemerintah melegalkan Miras, memperbolehkan perdaganan Miras.

Di Jayapura, semakin banyak pasokan Miras, semakin banyak orang alkholik. pendapatan daerah besar (Suara Perempuan Papua, No. 32 Tahun II, 20-26 Maret 2006). Pasokan retribusi dari Miras setiap tahun untuk Jayapura terus meningkat. Pada tahun 2002 -2003 pasokan retribusi pemerintah daerahnya sebesar Rp 1. 400.000.000 (Satu Miliar Empat Ratus Juta Rupiah), tahun anggaran 2006 mengalami peningkatan menjadi Rp 3.000.000.000 (Suara Perempuan Papua, No. 32 Tahun II, 20-26 Maret 2006). Itu baru Jaya Pura, bagaiman dengan kota lainnya di tanah Papua?

Pemberantasan Hanya Wacana
Itulah sebabnya, pemberantasan Miras hanya menjadi wacama. Dengan menghilangkan angapan kolot, bahwa Alkohol hanyalah suatu masalah di kota-kota besar dan tidak di kota-kota kecil ataupun di perkampungan yang terpencil. Justru di tempat-tempat terpencil saat ini masalah alkohol sangat kritis. Tingkat penganguran sangat tinggi, di antara generasi mudahnya terjadi kebosanana yang amat sangat, dan sekolah-sekolah setempat tidak dapat menampung minat kaum muda. Mengonsumsi tanpa mengetahui efek samping dan dampak sebagai pembunuh jiwa manusia sehat.

Mengapa demikian? Orang yang alkoholik tetap terlihat seperti kelainan jiwa, sakit jiwa, sebagai akibat melemah atau matikanya syaraf ingatan. Di sanalah kaum perubah dan sasaran diskusi menjadi tempat pilihan. Tidak hanya diskusi tetapi, kemudian menjadi wujutnyata, karya bagi pembebasan manusia dari keterbelengguhan jiwa.
Pecandu alkohol di Papua terus bertambah. Sudah sangat menjarah di kalangna muda dan tua. Miras menyebakan meningkatnya tingkat kriminalitas di kota maupun di perkampuangan. Dan saat ini pembunuhan bermotif alkohol semakin gencar untuk melakukan tindakan genosida di Papua. Ada beberapa kasus, misalkan pada tahun 1999, seorang intelek Papua, Obet Badii, Dosen Filsafat Fajar Timur yang dibunuh oknum tertentu. Untuk menghilangkan jejak, pembunuh lalu menumpahi minuman beralkohol di bagian mulutnya. Padahal yang sebenarnya ia tidak biasa mengonsumsi minuman beralkohol. Kita juga masih ingat untuk kepentingan membeli alkohol Arnol Ap seorang tokoh intelek mudah dijual oleh temannya yang sudah Mabuk karena Miras.

Alkohol Membunuh
Alkohol (Minuman Keras) memang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Tetapi, alkohol juga membawa dampak buruk. Salah satu masalah utama yang saat ini sedang dihadapi orang Papua adalah alkoholisme atau sering disebut kecanduan alkohol (alkoholik). Ini tidak berarti semua anggota masyarakat Papua alkoholik, tetapi alkohol sudah meradang bagaikan penyakit kanker yang lama kelamanan membunuh.

Banyak orang Papua mati karena mengonsumsi minuman keras. Minuman keras telah membunuhan baik membunuh secara fisik maupun karakter sebagai orang Papua. Membunuh secara fisik karena (1) minuman keras bisa menyebabkan berbagai penyakit, seperti penyakit jantung, lifer dan lainnya; (2) oknum tertentu bisa mebunuh kita setelah dia minum sampai mabuk; (3) setelah mabuk kita bisa saling membunuh karena mudah terprovokasi; (4) hanya untuk mendapatkan uang untuk membeli minuman keras kita bisa menjual atau menyerahkan teman kita untuk dibunuh oknum tertentu.

Secara fisik misalnya, alkohol itu membunuh karena banyak yang mati. “Dalam beberapa bulan ini saja, sudah sebanyak 365 orang dari suku Mee meninggal dunia di Nabire. Ini bukan mengada-ada, tapi data yang kami temukan di lapangan,” kata Tokoh Masyarakat Nabire Ruben Edoway alam sebuah diskusi di Nabire seperti yang dikutip PapuaPos, 20 Mei 2007.
Data di atas ini hanya di Kabupaten Nabire dan itupun hanya suku Mee saja. Lalu bagaimana dengan suku lainnya di Nabire? Kemudian bagaimana dengan Jayapura, Timika, Sorong, Merauke, Biak, Serui, Fak-fak, Wamena, Pegunungan Bintang, Enarotali, Puncak Jaya dan lainnya?

Sementara itu, secara psikis alkohol akan mmembunuh pola pikir kita. Kita tidak akan pandai untuk berpikiran kritis, kita tidak akan mengerti mengapa tidak ada hukum yang ketat tetang minuman keras di Papua? Padahal minuman keras itu membuat kita tetap pada peradaban yang rendah, tidak membuat kita maju, ujung-ujungnya kita tetap ingin dibuatnya bodok. Dalam sejarah suku Aborigin di Australia misalnya, suku itu menjadi minoritas dari segi kualitas maupun kuantitas karena diminabobokan dengan alkohol.

Miras dan Penyakit Menular
Di Papua, sekalipun di kampung, saat ini alkohol menjadi masalah sangat kritis. Padahal dulu orang kampung tidak tahu Miras. Adanya jalur transportasi mendorong orang datang ke kampung berdagang Miras. Walaupun harganya mahal, mencapai ratusan ribu/botol. Namun, laku keras, mereka ingin merasakan pengaruh yang datang dari kota besar, seperti Miras.

Mereka, terutama kelompok muda meninggalkan kebun, ternak dan kebiasaan hidup tentram di kampung. Mereka mengimpikan kota. Ingin sama seperti orang kota. Mereka berbondong datang ke kota tanpa tujuan apapun, sekedar jalan-jalan datang hidup berfoya-foya di kota yang baru berkembang. Kehadiran mereka memadati ruang-ruang aktifitas sosial masyarakat kota yang baru berkembang, seperti di pasar, terminal, pelabuhan. Sementara mereka tidak punya pengetahuan tetang keadaan dan kondisi kehidupan di kota. Mereka juga belum memiliki skill untuk kerja di kota.

Dampaknya, di kota banyak pengganguran dan kriminalitas meningkat. Karena mereka yang datang dari kampung memperbanyak jumah penganguran, menjadi sangat tinggi. Di antara generasi mudahnya terjadi kebosanana yang amat sangat. Sementara sekolah-sekolah dan wadah kepemudahan setempat tidak dapat menampung minat kaum mudah. Karena mengalami sok berat alkohol menjadi fokus utama dalam kehidupan penduduk asli. Mereka mengkonsumsinya tanpa mengetahui efek samping dan dampaknya sebagai pembunuhan terhadap jiwa dan fisiknya yang sehat.

Hingga kini Miras sudah meradang bagaikan penyakit kanker yang lama kelamanan secara perlahan mematikan masyarakat. Dampak dari alkohol, dinegara-negara koloni atau negara-negra yang dijajah dapat ditemukan, bahwa alkohol itu salah satu alat untuk mebunuh orang yang dijajah. Para penjajah (kolonialisme) mematikan fisik dan fisikis orang yang dijajah. Tentu dilakukan demi kepentingan politik (menguasai) dan ekonomi (barang). Hal seperti ini perisi terjadi di Australia Pemerintah Ingris terhadap penduduk asli (Aborigin) juga di koloni Ingris lainnya di Amerika terhadap suku Asli Indian. Indian dan Aborigin keduanya menjadi suku menoritas di tanyanya sendiri dinegeri mereka.

Menyadari akan bahayanya Miras masa depan anak cucu, ratusan perempuan Mimika yang tergabung dalam Jaringan Perempuan Mimika (JPM) menggelar demo menolak peredaran minuman keras (Miras) di Mimika, Papua. Ratusan perempuan itu membawa puluhan poster dan spanduk, antara lain bertuliskan "Miras Jahat", "Jangan Bunuh Anak Cucu Kami dengan Miras", dan "Miras Bukan Adat Orang Papua". "Banyak kekerasan terjadi karena Miras (TEMPO Interaktif,Jum'at, 02 Maret 2007).
Dalam konteks Papua Secara fisik telah banyak orang yang mati, karena mengonsumsi minuman keras. Mereka terserang berbagai penyakit, ada yang mati karena dibunuh sewaktu mabuk. Adalagi yang hanya karena ingin mabuk mebunuh sesamanya. Orang mabuk, terlihat kasar, lepas kendali dari kontrol diri sebagai manusia normal. Mereka seolah-olah terlihat berani melakukan apa saja. Kegaduan dan perkelahian pun bisa terjadi, bahkan sampai kehilangan atau menghilangkan nyawa manusia. Sekali pun dia rekan seperjuanganya atau bahkan seetnis-kultural atau bahkan keluarganya sendiri, dijual atau dibunuhnya. Sehingga konflik terjadi karena ada propokasi oleh pihak-pihak tertentu. Kematian satu orang, rohnya seperti meminta koraban dan memakan korban jiwa lebih dari satu. sebelum berdamai dengan dikeluarkan uang bermiliaran rupiah.

Melalui motif alkohol terjadi tindakan genosida di Papua. Menurut Martin Sardi, dalam sebuah rengan memperintati hari HAM dikatakan genosida karena terjadi pembunuhan terhadap intelektual dan pemimpin, sehingga membuat rakyat mereka tidak teratur. Kacau balau, karena tidak ada pemimpin.

Ada bebrapa kasus, misalkan pada tahun 1999, seorang tokoh terpelajar Papua Obet Badii, Dosen Filsafat Fajar Timur yang di bunuh oknum tertentu. Untuk menghilangkan jejek, pembunuh lalu menumpahi minuman beralkohol dibagian mulutnya. Padahal yang sebenarnya ia tidak mengonsumsi minuman beralkohol. Arnol Ap seorang tokoh intelek mudah dijual oleh temannya seharga 4000 ribu untuk beli minuman keras.

Penjabat Gubernur Papua, Dr. Sodjuangon Situmorang, M.Si berkomitmen, bahwa dirinya tidak akan menerbitkan perijinan masuknya minuman keras (Miras) ke Papua, dalam upaya pencegahan tingginya kasus tindak kriminal. Di Papua, namun karena tingginya angka kasus HIV/AIDS dan peredaran gelap Narkoba di Papua, yang berawal dari pengkonsumsian Miras. Karena Miras dalah pemacu tindakan kriminal, yang juga sebagai pemacu peredaran gelap Narkoba yang berujung pada kasus HIV/AIDS. Akibat pengkonsumsian Miras dalam jumlah yang banyak, dapat berdampak buruk pada tingkat kesadaran seorang manusia. Sehingga demikian, apabila seseorang telah dalam keadaan diluar kendali atau mabuk, maka dapat menimbulkan keresahan masyarakat.

Sedangkan kaitannya dengan HIV/AIDS, seseorang dalam kondisi yang mabuk, sebagian besar melakukan hubungan seks yang tidak aman atau tidak memakai pelidung (kondom). Hal demikian, tentunya menjadi pemicu penyebaran HIV/AIDS di Papua, yang setiap tahunya meningkat secara terus menerus.

Menurut penelitian yang dilakukan, sebagian besar pengkonsumsi Narkoba, sebelumnya mengkonsumsi Miras. Dengan demikian, maka Miras adalah pemicu berbagai tindak kejahatan yang seharunya diberantas. "Saya tidak berniat untuk mengeluarkan ijin-ijin Miras, karena itu juga merupakan salah satu upaya kita untuk menekan angka-angka tingkat kejahatan, peredaran Miras, Narkoba, dan kasus HIV/AIDS di Papua," ("http://www.papua.go.id/berita.php/id" 12 May 2006).

Penderita HIV/AIDS sudah semakin tinggi di Papua. Ada indikasi terjadi karena pengaru minum alkohol yang mendorong keinginan sex semakin besar dan melampiskan nafsu birahinya dengan meniduri sembarangan wanita. Melakukan ganti-ganti pasangan. Sulit di ketahui sekalipun gadis yang ditidurunya adalah penderita HIV/AIDS (ODHA) yang barangkali memperdagangkan tubuhnya.

Di Papua dagangan sepeti itu, bukan hanya di tempat-tempat penampuangan PSK yang dapat terkontrol bila keketahui ODHA. Malahan orang dengan ODHA mendagangkan tubunya di rumah makan (tersedia kondom), dan bahkan ditempat-tempat umum, pusat keramaian (terminal, stasiun, pasar dsb). Dan ini menjadi sasaran pria hidung belang, terutama mereka yang mabuk pata, tidak tahu diri. Ini sangat berbahaya. Apalagi sekarang jumblah ODHA yang sudah terdata mencapai kurang lebih 3.377 jiwa. Kebanyakan dari mereka adalah, anak mudah, masih usia produktif. Namun usia mereka sudah terbatas, kasarnya tinggal tunggu waktu. Keadaan itu membuat setiap individu harus hati-hati dan lebih waspada. Sebab kalau itdak berapa tahun kedepan barang kali etnis dan kultural orang Papua bisa punah. Bisa tinggal sejarahnya, mengenai kepunaannya. ( Pace mace kalu cinta Papua, stop mabuk sudah!).
Dengan begitu sangat besar ancaman terhadap kepunaan bagi ras Papua yang semakin menjadi minoritas di atas tanah airnya (Papua tercinta). Minoritas disini karena keterbelangana, minuman keras merusak karakter, pola pikira dan jiwa orang Papua. Juga menjadi minoritas dalam kuantitas, jumbalah penduduk tidak berkembang maju, saat ini kuran lebih 1,3 juta jiwa berbading lurus dengan penduduk bukan asli Papua. Jumblah itu termasuk ODHA.

Secara fisikis, terkait dengan mental dan cara berpikir orang Papua. Orang Papua saat ini sulit bersanging dengan masyarakat lain dari luar Papua yang seolah-olah nampak lebih maju dalam berpikir. Saat ini di Papua secara sosial ekonomi mereka mejadi tetap miskin dan minoritas di negerinya sendiri.

Bisa jadi karena karakter Papua yang sebenarnya adalah pekerja keras. Hidup melawan lebatnya hutan, derasnya sungai dsb, kini menjadi malas. Adanya kontak dan masuknya budaya negarif, seperti Miras dan lainnya merubah kebiasaan hidup orang Papua. Sekarang ada kelompok anak muda lebih doyan kumpul-kumpul sambil minum-minum minuman keras. Atau menjadi pengikut anak orang kaya yang dengan banyak uang mentraktir Miras sebagai rasa keakuan (egonya) biar dihormati. Sebagaiman terjadi di kota tempat saya menulis tulisan ini. Ada anak pejabat yang sukanya mentraktir minuman keras berkarton-karton biar dia mendapat pengakuan dari temam-teman bahkan kakak yang bisa saja di permainkan dengan Miras. Anekan!

Kebiasaan mabuk pata membuat kemungkinan besar pikiran dan nalar tidak akan bekerja baik, karena alkohol yang berlebihan dan terus menerus mereka konsumsi akan melemahkan syaraf-syara otak manusia. Manamungkin akan konsetrasi dalam belajar. Mengapa demikian? Orang yang alkoholik terlihat seperti orang kelainan jiwa, sakit jiwa sebagai akibat melemahnya saraf. Dengan begitu kebiasaan mabuk bagi orang Papua baik dikalangan muda Papua maupun pejabat akan berbahaya bagi masa depan Papua. Menghambat kemajuan di Papua kalau tidak ada keinginan atau kerinduan untuk meninggalkan kelakuan buruknya, seperti, mabuk-mabuk, free sex dan sebagainya. Perbuatan itu tidak terpuji oleh agama dan bukan merupakan budaya Papua.

Dalam kasus keterbelanganan yang dialami orang Aborigin, Justice Muirhead, mantan pemimpin dari Penilitian pada kematian Aborogin di dalam tahanan, mengatakan bahwa kaum Aborigin tidak akan keluar dari lingkaran kemiskinan dan Alkholisme terkecuali ada usaha dari mereka sendiri. (Rutih Hardjono, 1992). Di belahan dunia masyarakat asli, seperti Indian di Amerika, Aborigin di austrlia, termasuk juga Papua menjadi puna. Salah satunya karena minuman keras yang mengakibtkan kematian fisik dan bahkan fisikis menjadi orang terlelakang di negerinya sendiri.

Dalam hal minuman keras ini, kita (orang Papua) harus menyadari sendiri terutama dimulai dari individu, keluarga dan kemudian kolektifitas kita dalam melakukan aksi menentang Miras terhadap diri kita dan terhadap generasi Papua. Ataupun membentuk tim pemberantas Miras, seperti misalnya di Asutralia, kenyatakan bahayanya minuman keras mendorong Muirhead untuk menekankan, bahwa Australia harus membentuk suatu tim khusus untuk menangani masalah alkholisme di sana. Lebih lanjut tuturnya, Alkoholisme merupakan salah satu tragedy yang terbesar di negeri ini (Australia). ( The Raal Black Economy, Rutih Hardjono, 1992).
Begitu juga dengan di Papua, alkohol sangat berbahaya, membunuh tradisi masyarakat asli Papua yang unik dan kaya. Seperti dikemukakan, Wakil Gubernur Papua, Alex Hesegem, bahwa kebudayaan Papua saat ini memiliki masalah pewarisan. Sebab, potensi budaya hanya tersimpan pada orang tertentu, terutama orang tua. "Orang muda cenderung meninggalkan akar budaya dan mengikuti tren global,"(Tempo).

Dimana saat ini orang Papua sedang mengalami transisi budaya, degradasi kepemimpinan dan moral. Kalau terus terjadi dalam beberap tahun ini kita tidak akan mempunyai pemimpin yang berpegang pada budaya dan adat mengenai upacara-upacara, seni tari, musik, dan sastra tradisional suku-suku di Papua. makanan tradisional, benda budaya, dan obat tradisional, yang harus dijaga, dirawat dan dikembangkan.

Generasi Papua Harus Sadar
Generasi muda Papua harus menyadari sendri akan bahaya alkohol. Untuk itu harus dimulai dari dan kolektifitas kita. Seperti pernah dikatakan juga oleh Justice Muirhead, bahwa kaum Aborigin tidak akan keluar dari lingkaran kemiskinan dan alkoholisme, terkecuali ada usaha dari mereka sendiri. Kenyataan itu mendorong Muirhead untuk menekankan, bahwa Australia harus membentuk suatu tim khusus untuk menangani masalah alkholisme. Lebih lanjut tuturnya, Alkoholisme merupakan salah satu tragedi yang terbesar di Australi ( baca: , Rutih Hardjono, 1992.

Alkohol sangat membunuh tradisi dan nyawa masyarakat asli seperti yang terjadi di Papua, Aborigin dan suku-suku asli lain di dunia. Dalam situasi seperti itu, saat ini orang Papua harus sadar bahwa kita sedang mengalami transisi budaya, degradasi kepemimpinan dan moral. Dalam beberapa tahun ke belakang ini, bisa jadi kita tidak akan mempunyai tetua adat lagi dengan warisan kebudayaan, ilmu pengetahuan mengenai upacara-upacara dan otoritas suku di belakang mereka. Lagi pula saat ini, tentu ada yang sudah dimakan usia bahkan ada yang telah meninggal.

Sedangkan banyak dari kita jarang atau bahkan tidak pernah belajar dari mereka. Kita lebih cenderung membuka mata terhadap budaya dan tradisi luar, namun tidak dewasa untuk menyikapinya. Dengan mentah-mentah menelan kebudayaan luar tanpa menyaringnya. Kadang kita terima tanpa bisa membedakan mana yang baik dan mana yang dapat merusak. Ada contoh, banyak di antara kita menjadi alkoholik karena tidak mengetahui manfaat dan dampak dari alkohol.

Jadi, kini anak muda Papua harus sadar dengan bahaya ini. Minuman keras itu membunuh fisik (tubuh) kita dan mental (cara berpikir) kita. Alkohol itu menbunuh dan mari kita lawan bersama. Cara kita melawa adalah tidak mengonsumsi. Kalau Anda tidak beli dan tidak minum maka Anda sedang melawan minuman keras dan menyelamatkan dirimu dan bangsamu Papua.

Langkah Harus Konkret
Pro kontra mengenai mengenai ijin penjualan Miras di tanah Papua masih terus terjadi. Ada pihak yang mengatakan walaupun aturan diperketat namun Miras sekarang sudah bisa diracik sendiri oleh masyarakat Papua. Sehingga aturan yang ketat sekalipun bukan menjadi solusi. Solusinya, kita harus sadar kalau Miras berbaya dan kita harus berhenti mengkonsumsinya.
Pemerintah sendiri keliharanya tidak serius menagnai kasus Miras. Buiktinya Miras masih dibiarkan beredar di Papua. Ada kelas Miras yang legal dan ilegal. Inilah bukti ketidak seriusan itu. Seangdainya pemerintah punya peduli terhadap masa depan orang Papua seharusnya melarang segalah jenis Miras masuk di Papua. Sedangkan bagi pihak yang memperdagangkan, mengkonsumsi dikenahi hukuman.

Pemerintah daerah di Papua harusny menyatakan pereang terhadap minuman keras. Seperti yang dilakukan di Oksibil, Ibukota Kabupaten Pegunungan Bintang Papua, Jumat (17/8), ditandai dengan pemusnahan minuman keras yang dilakukan Bupati setempat Wellington Wenda bersama tokoh masyarakat dan tokoh agama. Bupati dalam sambutannya mengatakan, pihaknya bersama DPR saat ini sedang merancang peraturan daerah tentang larangan memasukkan Miras ke daerah tersebut. "Kami perang dengan Miras, karena itu, akan merusak generasi muda di daerah ini," tegas Bupati sesaat setelah detik-detik proklamsi yang digelar di lapangan Oksibil, Jumat. (Oksibil, CyberNews. Jumat, 17 Agustus 2007 ). Bukan karena hari besar, 17 Agustus atau Natal dsb, tetapi secara konsisten akan memerangi Miras dengan mengilegalkannya.

Inipekerjaan rumah itu sangat sulit dan bahkan termasuk pekerjaan berat. tidak mungkin mampu diselesaikan oleh pihak tertentu saja. Apalagi sampai tuntas, itu tidak mungkin. Lihat saja sampai saat ini masala itu masih terjadi. Untuk mendapatkan perubahan ke arah yang lebih baik, tidak mungkin terjadi tanpa tidak ada keterlibatan semua pihak; pemerintah; aparat keamana; lembaga sosial/swadaya; agama dan masyarakat adat. Itulah sebanya, seharunya semua pihak di atas, bukan menjadikan Miras sebagai komuditas uang (many policy).

Untuk itu kabupaten lain kiranya bisa mengikuti jejak Kabupaten Manokwari yang telah mengeluarkan Perda yang melarang peredaran Miras. Perda yang kontroversi di daerah tersebut ternyata luar biasa. Nyaris tidak ada lagi pemabuk yang tertidur di pinggir jalan dan aksi pemalakan yang dilakukan pengonsumsi Miras. Kabarnya, ibu-ibu rumah tangga pun mulai dienakkan dengan Perda tersebut, kekerasan dalam rumah tangga menurun drastis dan uang belanja yang diterima dari suami mereka pun bertambah. (Pikiran Rakyat Rabu, 22 Agustus 2007).

Selain itu Papua membutuhkan orang yang memiliki hati dan otak melahirkan ide pencerahan dan pemimpin teladan dalam perubahan melalui melaukan proteksi dari bergagai penyaikit sosial dan budaya dari luar, terutama soal Miras yang masuk ke Papua dan mengancam etnis dan kultural untuk sebuah perubahan bagi Papua yang lebih baik tanpa ketertindasan dan kebelengguan dari berbagai penyakit sosial.

Serta Papua menantikan orang yang punya hati dan otak untuk melakukan pembinahan yang bersifat perkembangan otak (intelektual), karakter dan pembinahan hati menyangkut pembentukan diri pribadi. Basis utama pembinaan ini dimulai dari keluarga, kemudian disekolah dan gereja dengan begitu ada harapan bagi kemerdekaan setiap individu (orang Papua) dari berbagai persoalan hidup terutama minuman keras yang membelenggu, menjadikan orang Papua seperti seolah-olah tidak berbudaya. Dengan begitu kita telah melakukan pekerjaan besar untuk menentukan masa depan orang Papua yang lebih baik. Apakah Miras telah mebuat kita (masyarakat, pemerintah, pegusaha, pihak keamanan) kepala keras atau keras kepala sehingga terus mebunuh? [TIM Sorut/Selangkah]
----------------------------------------
Sumber: Majalah Selangkah
BACA TRUZZ...- Minuman Keras, Keras Kepala di Tanah Papua

Beasiswa Guru dari APBN Langsung ke Rekening Guru

Oleh : Chairoel Anwar

Tahun 2007 ini, sebanyak 361 orang guru di Kepri mendapat beasiswa peningkatan kualifikasi pendidikan dari APBN. Besarnya ‘sedikit’ lebih kecil dari APBD Kepri, yakni hanya Rp 2 juta per tahun. “Ini memang berbeda dengan yang dibantu dari APBD provinsi. Dari Pusat, anggaran untuk guru memang segitu,” ucap Mardiana, Kasi Pengembangan Profesi Guru, Dinas Pendidikan Kepri.

Penerima bantuan beasiswa ini pun bukan guru yang telah menerima bantuan beasiswa dari Pemprov Kepri. Berbeda dengan teknis penyaluran pada tahun sebelumnya, sebagian besar bantuan dari APBN ini langsung disalurkan ke rekening guru di Bank Syariah Mandiri (BSM). Kecuali untuk 31 orang guru (semuanya dari Kota Tanjungpinang) yang dibayarkan langsung ke perguruan tinggi tempat guru itu menempuh pendidikannya (Universitas Terbuka—Red).

Batam dan Natuna Ogah Menerima Dari data Dinas Pendidikan Kepri, ternyata hanya empat daerah yang mendapatkan jatah beasiswa ini, yakni Kota Tanjungpinang, Kabupaten Lingga, Kabupaten Bintan, dan Kabupaten Karimun. Mardiana menjelaskan alasan Kota Batam dan Kabupaten Natuna tidak dimasukkan dalam daftar penerima.

“Mereka (Dinas Pendidikan) menolak menerima karena sudah dianggarkan dalam APBD mereka,” jelas Mardiana. Dia tidak bisa memastikan alasan lain penolakan tersebut. Padahal, bantuan dari APBN bisa mengurangi pembebanan dalam APBD masing-masing. "Mungkin agar tidak terjadi tumpang tindih pembiayaan atau tidak ingin direpotkan dengan SPJ (laporan pertanggungjawaban realisasi--Red)," kata Mardiana.
-------------------------------------------
BACA TRUZZ...- Beasiswa Guru dari APBN Langsung ke Rekening Guru

Rp 88 Miliar untuk Pendidikan dan Kesehatan Gratis di Kupang

Minggu, November 25, 2007

Pemerintah Kabupaten Kupang mengalokasikan dana sebesar Rp 88 miliar untuk mendukung program pendidikan dan kesehatan gratis di wilayah itu.Dari total dana yang disiapkan dalam APBD tahun 2007, sebanyak Rp 58 miliar dialokasikan untuk program pendidikan gratis bagi pelajar SD, SLTP dan SLTA atau melampaui amanat undang-undang yang hanya mengisyaratkan 20 persen dari APBD untuk pendidikan.

Sementara sisanya Rp 30 miliar untuk program kesehatan gratis.Bupati Kupang, Ibrahim Agustinus Medah, mengatakan alokasi dana Rp 88 miliar tidak termasuk gaji atau tunjangan guru dan perawat di dua instansi itu. “Jadi dana itu murni untuk subsidi pendidikan dan kesehatan,” katanya.

Menurut Medah, pendidikan dan kesehatan gratis merupakan program kerja yang sudah direncanakan beberapa tahun lalu, namun baru direalisasikan pada tahun anggaran 2007 ini.
“Tahun 2006, alokasi APBD untuk sektor pendidikan hanya Rp 38 miliar, sedangkan kesehatan hanya Rp 12 miliar. Tahun ini kami naikkan lebih besar dan akan terus ditingkatkan pada tahun-tahun mendatang,” ujarnya.

Dia berharap tingkat pendidikan masyarakat Kabupaten Kupang akan semakin baik begitu pun kesehatan masyarakat menjadi lebih terjamin pada beberapa tahun ke depan, setelah pemerintah tidak lagi memungut biaya dari dua sektor itu.

“Tujuan utama kami adalah kesejahteraan rakyat. Apabila tingkat pendidikan dan kesehatan membaik, maka kesejahteraan rakyat dengan sendirinya menjadi lebih baik dari saat ini,” katanya. [Jems de Fortuna]
----------------------------------------------
Sumber: http://www.tempointeraktif.com, Selasa, 18 September 2007
BACA TRUZZ...- Rp 88 Miliar untuk Pendidikan dan Kesehatan Gratis di Kupang

Karanganyar Dirikan 2.000 Pos Pendidikan Anak Usia Dini

Pemerintah Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, akan mendirikan 2.000 Pos Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) untuk memberikan pendidikan pada anak-anak usia 0-6 tahun di daerah tersebut. Pos PAUD akan bekerja sama dengan Posyandu dan Bina Keluarga Balita (BKB)."Masing-masing Pos PAUD akan diberi bantuan dana untuk pelaksanaan PAUD sebesar Rp 5 juta," kata Sutarno, Kepala Sub Dinas Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Dinas P dan K Karangayar, Kamis (15/11).

Menurut Sutarno, setiap pos PAUD ditargetkan paling tidak menangani pendidikan sekitar 20 anak-anak usia dini, sehingga tahun depan cakupan pendidikan usia dini bisa mencapai 98 persen.Dia mengatakan saat ini dari sekitar 63.847 anak usia dini di Karanganyar, baru 22.262 anak atau 34,86 persen yang terlayani, baik melalui pendidikan formal sebanyak 20.052 anak dan PAUD nonformal 2.209 anak.

Di Karanganyar saat ini terdapat 685 unit Bina Keluarga Balita dan 564 kelompok bermain. Sutarno mengatakan nantinya setiap Pos PAUD diupayakan memperoleh peralatan mainan edukatif yang bisa mengembangkan kecerdasan anak.Tahun depan Karanganyar ditargetkan akan menjadi kabupaten PAUD, yakni kabupaten yang tidak lagi ada anak usia dini tak terlayani pendidikan.
--------------------------------------------
Sumber:http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura/2007/11/15/brk,20071115-111640,id.html
BACA TRUZZ...- Karanganyar Dirikan 2.000 Pos Pendidikan Anak Usia Dini

Jogja : Gathering atau Diskusi?

Anggota KPP Terus Kembangkan Diri

Gathering Jogja akhirnya terlaksana pada hari Sabtu, 28 Juli lalu. Pilihan tempat di café Addicted ternyata agak meleset dari dugaan semula. Awalnya memilih tempat ini, karena ada fasilitas hot spot dan PC untuk berselancar, ternyata pada saatnya mati. Tapi tanpa internetpun gatheringnya rame abis.

Pukul 15.30 WIB, aku sudah nongkrong di café itu. Sedikit kesal karena fasilitas internetnya mati total. Mau pindah tempat, sudah tidak mungkin karena infonya sudah menyebar untuk bertemu di café ini.

Lalu muncullah Eva, seorang guru SMA. Dia baru saja selesai mengajar, langsung kebut motornya ke café ini. Maklum SMA tempat dia mengajar berada di Muntilan. Berikutnya yang hadir adalah Salim, sahabat lamaku. Dia ini adalah tokoh Jogja , kalau tidak mau dibilang tokoh nasional. Sehari-hari adalah pemimpin redaksi majalah budaya Gong dan salah satu pimpinan di penerbit LKIS.

"Kalau tidak ada motormu di depan café, aku tidak akan masuk café ini," kata Salim sambil tersenyum-senyum. Mungkin maksudnya dalam hati adalah "Motormu kok ndak ganti-ganti sih. Lihat donk motorku yang mengikuti perkembangan zaman.":)
Lalu berturut-turut yang hadir adalah Agus - mahasiswa Akuntasi dari Nabire-Papua, Putri - mahasiswi Komunikasi Atmajaya , Yugyas - jurnalis untuk majalah Security di Jakarta yang kebetulan lagi mudik, Longginus, mahasiswa sejarah Sanata Dharma, Nasir - aktivis jaringan radio komunitas di Bantul dan terakhir yang datang belakangan adalah Pipien - pekerja NGO internasional.

Dalam perkenalan, antar kami , ternyata masing-masing terhubung oleh komunitas lain atau pertemanan yang lain. Misalnya Nasir yang sering membaca tulisannya Salim, "Lho ini Mas Salim yang di milis angkringan itu?" Atau Putri yang mempunyai dosen di kampus yang ternyata pembimbing pemuda di kampung tempat Longginus indekost. Eva, yang pernah bertemu Salim saat menjadi pemantau Pemilu, dan seterusnya.
Yah, begitulah Jogja. Semua terhubung, saking kecilnya kota ini tapi sungguh padat aktivitasnya.

Banyak pertanyaan dan harapan pada wikimu yang dilontarkan rekan-rekan di Jogja. Banyak kendala juga yang menghadang, seperti minat menulis masyarakat yang masih rendah, lalu belum banyak yang tahu soal wikimu, dll. Putri yang sedang bingung mencari topik skripsi, sedang melirik wikimu untuk dijadikan bahan penelitian. Boleh aja Mbak, nanti pasti banyak yang mau jadi responden. :)

Rencana semula gathering ini hanya 2 jam, dari pukul 16.00 - 18.00 WIB. Beberapa rekan memang ijin pamit pulang, tapi sebagian masih meneruskan berbincang. Banyak topik yang dibicangkan mulai dari soal kuliah, perkembangan kota Jogja, radio komunitas, Bantul yang tetep ndeso, dll. Ada satu topik utama, yang tak tanggung-tanggung yaitu tentang nasionalisme - abot tenan (berat nian)!

Tapi begitulah Jogja. Kota ini meskipun tidak sedinamis Jakarta (dalam hal perputaran uang), tetapi wong Jogja selalu serius membahas sesuatu. Cerita dari Salim yang asli Banjarmasin-Kalsel dan Longginus dari Panai-Papua, sedikit banyak membuka mataku yang dibesarkan di Tanah Jawi.

Menurut Salim di Kalimantan Selatan, setiap 17-an tidak semeriah di Jawa. Kalau di Banjarmasin, karena ada arahan dari pemerintah, maka setiap tanggal 17 ada upacara di instansi maupun sekolah. Tapi hanya itu, tidak lebih. "Kalau di Jawa ini kan luar biasa kegiatannya. Malam hari 16 Agustusnya ada tirakat, lalu sebelumnya ada lomba-lomba, karnaval."
Di Kalimantan Selatan tidak begitu meriah, karena mungkin perjuangan bersenjata melawan Belanda hampir tidak terasa. Tidak ada pertempuran Bandung Lautan Api, Surabaya 10 Nopember, Pertempuran 5 Hari Semarang, Serangan Umum 1 Maret, Pertempuran 5 Hari di Solo. Maka wajar bila tidak meriah. Hal yang sama juga berlaku di Papua.

Banyak hal menarik dari diskusi ini, mulai dari soal anakronisme, historigrafi lokal, sumpah pemuda, kepahlawanan, dll. Tapi aku mau menarik satu pendapat dari Longginus, yaitu nasionalisme akan lebih bermakna ketika negeri ini bisa menyejahterakan masyarakat, para guru mendapat fasilitas yang baik, rakyat bisa sekolah dan mendapat jaminan kesehatan. Sepakat deh!

Pukul 19.30 WIB kami bubar dari café tersebut sambil membawa cita masing-masing.










dari kiri : Yugyas, Agus, Nasir, Putri, Eva, Bajoe, Salim, Longginus










Dari kiri : Yugyas, Longginus, Hairus Salim, Putri, Pipien, Bajoe
-------------------------------------------------
Sumber: Wikimu.com
BACA TRUZZ...- Jogja : Gathering atau Diskusi?

Yang Penting S1, Mutu Nanti Dulu

Oleh: Chairoel Anwar

Kepulauan Riau, Program kualifikasi guru sudah digariskan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) melalui Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK). Dengan demikian, kualitas guru diharapkan meningkat.

Alhasil, dengan guru bermutu, kualitas pendidikan juga terdongkrak. Program yang dananya bersumber dari tiga anggaran (APBN, APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota), belakangan terus digiatkan. Demikian di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Maklum, dari sekitar 19-an ribu guru, sebagian besar guru di Kepri masih di bawah strata 1. Terbanyak di jenjang pendidikan dasar. Data Dinas Pendidikan (Disdik) Kepri tahun 2006 memaparkan, 95,26% guru SD belum S-1. Sementara, di jenjang SLTP ‘tinggal' 69,61%. Sedangkan, di jenjang SMA/SMK, hanya 37,24% guru yang belum S-1.

Dua tahun terakhir, setiap tahun Pemprov Kepri mensubsidi 600 orang guru untuk mulai meningkatkan kualifikasi akademiknya. Masing-masing Kabupaten/Kota mendapat kuota 100 orang. Setiap guru yang terpilih, dijatah beasiswa sebesar Rp 3 juta per tahun. Paling tidak, diharapkan pada tahun 2015 semua guru di Kepri sudah mengantongi ijazah S-1 yang relevan. Misalnya, guru yang ijazah D3-nya bahasa Inggris, juga harus melanjutkan S-1 bahasa Inggris."Untuk saat ini, kita tak usah dulu bicara mutu guru.

Yang penting, semua bisa S-1 dulu," demikian Ibnu Maja, Kepala Dinas Pendidikan Kepri. Selain itu, bagi guru yang sedang meningkatkan kualifikasi akademiknya, jangankan untuk meningkatkan mutu, selama kuliah pun mereka sudah kerepotan.

"Kalau guru kuliah sambil mengajar, sulit bagi mereka untuk memikirkan konsep peningkatan mutu di kelas. Tugas sebagai guru sudah banyak, ditambah lagi tugas sebagai mahasiswa. Mereka juga dikejar terget lulus," ucap Maja. Saat ini, imbuhnya, yang terpenting adalah guru-guru di Kepri harus sudah punya ‘SIM' untuk mengajar. UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, mensyaratkan kualifikasi tersebut. "Paling tidak, mutu guru baru bisa terlihat setelah tahun 2010-lah," ujar Maja.
-------------------------------------------
Sumber image: worldpress.com via wikimu.com
BACA TRUZZ...- Yang Penting S1, Mutu Nanti Dulu

Buku sebagai Gudang Ilmu

Oleh : Amrizal Muchtar

Istilah “buku adalah gudang ilmu” sampai saat ini masih sering terdengar. Istilah ini serupa dengan istilah “buku adalah jendela dunia”. Keduanya, entah dikarang oleh siapa, dimaksudkan untuk menekankan bahwa buku memang merupakan sesuatu yang amat sangat penting bagi kehidupan manusia. Akan tetapi, melirik dari dunia perbukuan di Indonesia saat ini, tampak jelas bahwa istilah pertama di atas mengalami perubahan makna yang amat memprihatinkan. Layaknya gudang yang merupakan sebuah ruangan di rumah yang jarang dikunjungi oleh anggota keluarga, demikian pulalah keadaan buku-buku di Indonesia. Walau tidak ada yang mengingkari banyaknya ilmu pengetahuan yang dikandung oleh buku, tapi karena minat baca yang kurang, maka buku hanya menjadi tempat penimbunan atau gudang ilmu pengetahuan.

Sudah jadi rahasia umum kalau kondisi perbukuan di Indonesia sangat carut-marut. Begitu banyak masalah yang melatarbelakangi hal ini. Bisa disebutkan, mulai dari budaya membaca yang kurang, produksi buku yang langka, sampai ke masalah perpustakaan yang bisa membuat kita mengelus dada tanda prihatin.

Dari dahulu sampai sekarang, buku memegang peranan sangat vital bagi manusia. Tanpa buku, mungkin manusia akan tetap hidup seperti manusia prasejarah yang kebanyakan mengandalkan hidupnya dari alam. Tanpa buku, tidak mungkin manusia mencapai kehidupan modern seperti sekarang ini. Di bukulah orang-orang pintar dunia menuliskan pengalaman, pemikiran dan teori-teori mereka. Itulah yang dimanfaatkan oleh orang-orang sesudahnya, makin lama makin dikembangkan, dan jadilah pengetahuan dan teknologi seperti sekarang yang manfaatnya telah dirasakan oleh hampir seluruh umat manusia.

Peranan buku semakin besar dengan semakin meluasnya sistem globalisasi di masa sekarang. Karena menyadari hal itulah maka masyarakat di negara modern semakin menghargai buku. Mereka sadar bahwa pengetahuan setiap saat selalu berkembang. Tanpa sering membaca, mereka dengan cepat akan ketinggalan jauh. Itulah sebabnya mereka sejak dahulu telah membudayakan kegiatan membaca pada diri dan keluarga mereka.

Akan tetapi, kondisi serupa ternyata tidak terjadi di negeri tercinta ini. Masyarakat kita masih saja teguh dengan tradisi lisan yang kental. Budaya ngobrol masih menjamur dimana-mana. Sering kita jumpai di pinggir-pinggir jalan para anak muda bercengkerama tidak karuan hanya untuk menghabiskan waktu kosong yang tercipta karena tidak adanya pekerjaan. Ini tentu saja sangat berbeda dengan prinsip masyarakat modern yang sangat menghargai waktu. Waktu adalah uang, begitulah prinsip mereka. Sebegitu pentingnya sehingga sedapat mungkin waktu kosong harus dimanfaatkan. Salah satunya dengan membaca.

Memang kalau mengamati dunia perbukuan di Indonesia, akan kita jumpai fakta-fakta yang mencengangkan. Kesenjangan kualitas perbukuan Indonesia dengan negara lain termasuk negara Asia Tenggara sangat jauh. Taufik Ismail, sastrawan ternama, setelah meneliti perbandingan jumlah bacaan siswa SMU di beberapa negara menemukan bahwa jika dibandingkan, jumlah bacaan siswa SMU di Amerika mencapai 30-an buku, di Malaysia 6 buku dan di Indonesia 0 buku.

Dalam hal produksi buku pun, Indonesia masih ketinggalan jauh. Malaysia yang nota bene jumlah penduduknya hanya 10 persen dari Indonesia menghasilkan 7000 judul buku setiap tahun. Thailand menghasilkan 10000 judul buku pertahun. Adapun Indonesia yang merupakan negara terbesar di Asia Tenggara dan memiliki jumlah penduduk terbesar ke empat di dunia hanya memproduksi paling tinggi 5800 buku pertahun.

Ada satu lagi fakta yang patut dicermati. Menurut data yang disajikan Kepala Sub-Bidang Kerjasama Perpustakaan Nasional RI, Sauliah, pengguna buku koleksi sumbangan dari PBB dan Bank Dunia sangat minim. Dalam rentang waktu antara 1995 hingga 1999, buku sumbangan badan internasional tersebut hanya dibaca oleh 536 orang. Kalangan pembaca terbesar adalah pelajar dan mahasiswa. Dari jumlah itu pun ada kecenderungan jumlah pembaca buku-buku koleksi sumbangan dari PBB/Bank Dunia itu dari tahun ke tahun semakin menurun. Jika tahun 1995 tercatat 161 pembaca, tahun 1996 tinggal 134 pembaca. Tahun berikutnya, 1997, turun lagi menjadi hanya 76 pembaca. Meski tahun 1998 sempat naik jadi 84 pembaca, tetapi tahun 1999 kembali turun menjadi 81 pembaca (Kompas, 1 Februari 2000).

Fakta-fakta kepayahan dunia perbukuan kita di atas memang memprihatinkan dan memalukan mengingat semboyan yang selalu digemborkan bahwa kita adalah bangsa besar dan kaya. Tapi itulah kenyataannya. Banyak faktor yang mendasari hal ini dan sifatnya nasional. Faktor-faktor itu terjadi di seluruh nusantara. Itulah sebabnya sehingga ini menjadi masalah yang tidak mudah untuk diatasi.

Salah satu faktornya yaitu kurangnya minat baca di kalangan masyarakat Indonesia. Seperti disebutkan di atas, budaya lisan masih sangat mendominasi, sehingga budaya tulisan sukar mengambil alih. Kesadaran untuk meraih ilmu pengetahuan dari buku-buku masih sangat kurang.

Minat baca tentulah bukan barang yang mudah dibentuk hanya dengan suruhan atau perintah sekali saja. Minat baca berkaitan dengan kebiasaan. Jadi tentulah minat baca harus dipupuk sedini mungkin. Akan tetapi kenyataan yang ada menunjukkan hal sebaliknya. Jarang sekali anak-anak Indonesia yang dibimbing untuk suka membaca. Hanya sekitar 15 persen orang tua yang menaruh perhatian pada kemampuan dan kesukaan membaca anak. Sisanya 85 persen diberikan oleh guru. Ini berbeda jauh dibandingkan dengan Amerika. Di negara maju itu sebagian besar waktu belajar siswa dihabiskan bersama bimbingan orang tua.

Faktor lain yang memperparah kelesuan perbukuan di negeri ini adalah berkembangnya teknologi pertelevisian. Tak dapat dipungkiri bahwa media televisi sudah sangat mempengaruhi kegiatan manusia. Media ini bersifat progresif dan sangat menggoda manusia untuk betah duduk berlama-lama di depannya. Dampaknya tentu saja pada habisnya waktu efektif yang mungkin saja bisa digunakan untuk kegiatan lain seperti membaca.

Pengaruh televisi ini tidak nampak di Indonesia saja. Anak-anak sekolah di negara maju pun yang nota bene punya tradisi membaca yang tak kepalang, menurut sejumlah penelitian, menghabiskan waktunya 60-90 jam perpekan di depan televisi. Bisalah dipikirkan, kalau di negara maju saja seperti itu, bagaimana pula dengan Indonesia yang masih erat dengan tradisi lisan yang sejalan dan sebangun dengan wadah komunikasi televisi.

Selain masalah budaya dan teknologi, faktor perpustakaan juga tidak boleh diacuhkan. Faktor ini ternyata memegang peranan besar juga dalam kepayahan dunia perbukuan Indonesia. Perpustakaan merupakan sarana termudah dan termurah bagi masyarakat untuk dapat membaca buku. Akan tetapi ternyata kondisi perpustakaan di Indonesia sama hancurnya dengan kondisi perbukuan itu sendiri. Kondisi perpustakaan di Indonesia sangat memprihatinkan dan tertinggal, baik dari sisi kumpulan bahan bacaan maupun sumber daya pengelolaan. Diidentifikasi dari 110 ribu sekolah di Indonesia, yang sudah mempunyai perpustakaan hanya sekitar 18% saja. Demikian pula dari 64.000 desa, ternyata yang mempunyai perpustakaan hanya 22%. Sedangkan jumlah unit perpustakaan di berbagai departemen dan perusahaan, baru sekitar 31% dari jumlah yang diperlukan. Kondisi itu diperparah dengan banyaknya perpustakaan yang belum punya standardisasi dan masih sangat kurangnya tenaga profesional perpustakaan (Media Indonesia, 8 September 2000).

Menurut Kepala Bidang Pembinaan Sumber Daya Perpustakaan Nasional, Rachmat, dari sekitar 200 ribu unit sekolah dasar di Indonesia cuma 20 ribu yang memiliki perpustakaan standar. Demikian pula dengan SLTP. Dari sekitar 70 ribu unit SLTP, cuma 36 persen yang memenuhi standar. Adapun untuk SMU, cuma 54 persen yang punya perpustakaan berkualitas standar. Kemudian untuk perguruan tinggi, dari sekitar 4 ribu perguruan tinggi di Indonesia, cuma 60 persen yang memenuhi standar. Sedangkan dari sekitar 1.000 instansi, diperkirakan baru 80 sampai 90 persen yang memiliki perpustakaan dengan kualitas standar (Republika, 20 Mei 2000).

Kondisi ini tentu sangat erat kaitannya dengan minimnya anggaran perpustakaan dari pemerintah. Saat ini anggaran perpustakaan hanya Rp 1,5 milyar untuk setiap provinsi. Adapun idealnya, harusnya Rp 2,5 milyar (Kompas, 31 Oktober 2000).

Dari semua kenyataan di atas, semakin jelaslah kesuraman dunia perbukuan di Indonesia. Akan tetapi hal itu janganlah membuat kita menyerah. Semuanya itu masih bisa diatasi asal ditangani secara serius. Semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat harus ikut andil di dalamnya. Kualitas perpustakaan harus ditingkatkan, dan kebijakan undang-undang perbukuan harus dipantau lagi dan diperbaiki sehingga harga buku pun bisa terjangkau oleh masyarakat. Dua hal terakhir ini merupakan urusan pemerintah. Adapun yang bisa kita lakukan sebagai anggota masyarakat setidak-tidaknya adalah dengan membudayakan minat baca di diri, dan keluarga kita. Seringlah-seringlah mengunjungi “gudang ilmu” itu agar tidak lagi menjadi gudang yang sebenarnya.
-----------------------------------------------
Sumber: http://kabarindonesia.com/berita.php?pil=13&dn=20071121071115
BACA TRUZZ...- Buku sebagai Gudang Ilmu

Mau Apa jika Anggaran Pendidikan 20 Persen?

Kamis, November 15, 2007

Oleh Muhibuddin

KEGERAHAN pendidikan nasional sedikit mendapat angin segar. Ini menyusul keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) atas gugatan Persatuan Guru Republik Indonesia dan Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia tentang anggaran pendidikan dalam APBN 2006. Dalam putusannya, MK menyatakan UU Nomer 13 Tahun 2005 tentang APBN 2006 sepanjang menyangkut anggaran pendidikan nasional sebesar 9,1 persen dinilai bertentangan UUD 1945 yang dalam pasal 31 ayat (4) UUD 1945 dinyatakan negara wajib memenuhi anggaran pendidikan sekurang-kurangnya sebesar 20 persen dari APBN / APBD.

Konsekuensi dari putusan MK itu, pemerintah yang dipimpin duet SBY-Kalla terus berupaya memenuhi pemenuhan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN / APBD itu. Sayangnya, meski putusan MK itu sudah berjalan beberapa tahun, hingga kini, pemenuhan anggaran pendidikan minimal 20 persen itu masih saja ditunda-tunda. Apapun dalihnya, yang pasti, tinggal menghitung tahun, sektor pendidikan bakal ketiban anggaran melimpah. Setidaknya, ini jika dibandingkan dengan pemenuhan anggaran pendidikan nasional yang bertahun-tahun jumlah nominalnya relatif minim. Kalau sekarang jumlah anggaran pendidikan masih berada di bawah usulan anggaran Pemilu 2009 yang diajukan Komisi Pemilihan Umum (KPU), barangkali, itu hanyalah terkait dengan soal waktu pemenuhannya saja yang masih harus sabar ditunggu.

Pertanyaannya, mau apa Depdiknas jika nantinya alokasi anggaran pendidikan nasional benar-benar terpenuhi sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN / APBD? Dengan dijaminnya anggaran minimal pendidikan dalam konstitusi negara, apa yang yang bakal diperbuat Depdiknas untuk mendongkrak keterpurukan pendidikan?

Pertanyaan ini wajar dilontarkan, karena ketika muncul sorotan seputar jebloknya mutu pendidikan, kritikan itu seringkali ditangkis secara klasik dengan mengkambinghitamkan minimnya anggaran pendidikan sebagai biang keladinya. Dengan kata lain, pendidikan nasional menjadi terpuruk dan tak beranjak dari titik nadir, karena anggaran pendidikan yang dialokasikan sangat minim.Dibayangi KekhawatiranSejauh ini, minimnya anggaran pendidikan memang sering dituding sebagai penghambat utama bagi kemajuan sektor pendidikan nasional.
Potret buram pendidikan nasional yang ditandai dengan rusaknya gedung-gedung sekolah di seantero negeri, minimnya sarana dan prasarana belajar, tingginya persentase angka ketidaklulusan, langkanya murid-murid berprestasi, mahalnya biaya pendidikan hingga rendahnya gaji guru, semua itu diakui berlarut-larut terus sebagai akibat dari minimnya dana penopang sektor pendidikan yang dianggarkan lewat APBN.Maka, ketika kini sudah ada kemauan politis dengan mengharuskan negara mengalokasikan dana untuk pendidikan nasional sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN / ABPD, itu bisa dianggap sebagai jawaban riil atas kegelisahan yang terasa di sektor pendidikan.

Cuma persoalannya, apakah ada jaminan wajah pendidikan nasional yang diwarnai sejumlah potret buram itu nantinya dengan serta merta bisa segera ‘face off' hanya dengan diberikannya treatment politis pencantuman anggaran minimal pendidikan dalam konstitusi negara?Memang, dengan anggaran pendidikan yang besar, gedung-gedung sekolah rusak bisa segera direhab hingga tak lagi menyerupai kandang ayam. Minimnya sarana dan prasarana pendidikan, bisa segera disulap dengan fasilitas OSOL (One School One Laboratorium).

Gaji guru yang rendah, dengan cepat pula bisa dinaikkan. Pengadaan buku teks juga bisa dipenuhi tanpa harus membebani orang tua murid. Demikian pula mahalnya biaya pendidikan, bisa segera ditekan seminim mungkin atau malahan menjadi gratis.Namun, sesederhana itukah persoalan dalam upaya mendongkrak kemajuan pendidikan nasional? Proyek Penilaian Nasional Pendidikan (PPNP) pernah mencatat, dalam usaha memperbaiki bidang pendidikan, Bangsa Indonesia masih menghadapi dua hambatan utama. Yaitu, kekurangan biaya dan perlengkapan yang bisa dibeli dengan uang dan hambatan-hambatan bukan material dimana penambahan uang tidak akan segera memperlihatkan efeknya (C.E. Beeby, 1982 : 4).

Catatan PPNP itu menyiratkan makna, bahwa pemenuhan anggaran pendidikan nasional minimal 20 persen dari APBN jelas bukan merupakan satu-satunya solusi yang dengan cepat bisa menyulap ketertinggalan pendidikan nasional menjadi lebih cemerlang. Di luar itu, masih dibutuhkan ‘suplemen' lain untuk menjamin agar kucuran dana pendidikan bisa bermakna secara riil dan segera memperlihatkan efeknya. Yang ini agaknya sangat terkait dengan kesanggupan administratif dan kemampuan manajerial pengelolaan pendidikan nasional.Kalau memang demikian permasalahannya --diluar kekhawatiran terjadinya kebocoran maupun mark up anggaran-- implementasi praktis dari pemenuhan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN / APBD itu, secara teknis administratif jelas masih mengundang munculnya sejumlah kekhawatiran.

Pertama, kekhawatiran terkait dengan kemampuan institusi pendidikan yang ada di garda depan. Yang dikhawatirkan, mampukah sekolah-sekolah memunculkan terobosan-terobosan program pendidikan inovatif dan realistis ketika kondisi pembiayaan pendidikan tak lagi menjepit?Sebetulnya kekhawatiran semacam ini tak perlu terlalu dirisaukan, karena sekolah-sekolah kini tengah menerapkan school based management (managemen berbasis sekolah).
Tapi, realitas yang terlihat di lapangan kenyataannya tak demikian. Sekedar gambaran, ketika awal-awal dana BOS (Biaya Operasional Sekolah) digulirkan, sekolah penerima cukup dibuat tergopoh-gopoh menyusun RAPBS (Rancangan Anggaran Pendidikan dan Belanja Sekolah) sebagai persyaratan pencairan dana kompensasi BBM itu. Konsekuensianya, Depdiknas juga menghadapi persoalan yang tak kalah rumit. Yakni, mengajari semua sekolah agar bisa mengelola dana dan membuat pertanggungjawaban penggunaan dana kepada negara (Kompas, 20/7/2005).

Kedua, jika lembaga-lembaga pendidikan di garda depan kurang memiliki kemampuan menyodorkan program pendidikan secara bottom up untuk menggaet dana pendidikan, dikhawatirkan bisa memicu came back-nya sentralisasi pendidikan. Akibatnya, tak tertutup kemungkinan, pemerintah pusat-dalam hal ini Depdiknas- kembali tergoda menggulirkan program-program top down berdana besar yang terkadang sering tidak relevan dengan kebutuhan riil sekolah-sekolah.Kengototan pemerintah pusat dalam menggelar UN (Ujian Nasional) dengan dalih untuk pemetaan mutu pendidikan, barangkali bisa dijadikan salah satu contoh konkrit masih dipertahankannya desentralisasi pendidikan. Padahal, jika konsekuen, dengan diberlakukannya otonomi pendidikan, ujian untuk menentukan kelulusan peserta didik itu mestinya cukup dipercayakan secara penuh kepada institusi pendidikan di masing-masing tingkat dan jenjang pendidikan.Ketiga, terpenuhinya anggaran pendidikan sebagaimana yang diamanatkan konstitusi negara tak menutup peluang bagi Depdiknas maupun sekolah-sekolah berkompetisi merancang program-program pendidikan yang prestisius.

Jika ini yang terjadi, tentu, itu merupakan fenomena positip. Tapi yang dikhawatirkan, jangan-jangan program-program prestisius itu sesungguhnya hanyalah proyek besar yang sifatnya trial and error semata.Masih ingat ketika Depdiknas memberlakukan kurikulum 1984 dengan pendekatan ketrampilan proses yang dulu begitu didewa-dewakan sebagai kurikulum paling ideal? Juga, belum lupa dalam ingatan, bagaimana prestisiusnya program Depdiknas memasyarakatkan kurikulum bernuansa link and match untuk menjawab kesenjangan lulusan pendidikan dengan tuntutan dunia kerja? Proyek prestisius berdana besar yang demikian itu, pada akhirnya hanya tenggelam bagai ditelan bumi yang kelanjutannya juga tak pernah ada kejelasan.

Timbul kesan, megaproyek pendidikan itu tak lebih dari sekedar langkah trial and error. Nyatanya, hasil pembaharuan kurikulum itu, sejauh ini nyaris tak memberikan nilai lebih bagi peningkatan kualitas output pendidikan. Jangan-jangan, KBK (Kurikulum Berbasis Kompensi) yang diagungkan dan kini diterapkan di berbagai jenis dan jenjang pendidikan itu, nantinya juga bernasib sama dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Bertaruh Program PendidikanDepdiknas dan institusi-institusi dibawahnya yang menjadi ujung tombak pembangunan pendidikan, kini harus mulai berani bertaruh program setelah perjuangan pemenuhan anggaran pendidikan minimal 20 persen mendapatkan payung hukum. Cuma, dari demensi pendidikan yang mana Depdiknas harus menggulirkan program yang bakal dipertaruhkan itu.

Inilah yang agaknya cukup menjadi problem. Sebab, hampir semua demensi pendidikan di negeri ini menampakkan wajah yang carut marut.Untunglah, sebagian carut marut wajah pendidikan itu, kini sudah ada tanda-tanda pembenahan. Misalnya, untuk mengeliminasi mahalnya biaya pendidikan, pemerintah mengucurkan dana BOS maupun BKM (Bantuan Kesejahteraan Murid).

Untuk merehab gedung sekolah rusak yang secara nasional jumlahnya lebih dari 45 persen, Depdiknas juga sudah mengucurkan dana yang jumlahnya tak sedikit. Mengatasi anak usia sekolah yang tak bisa mengenyam pendidikan, hingga kini juga terus digalakkan program wajib belajar sembilan tahun.Kalau potret buram pendidikan yang sifatnya kuantitatif seperti itu sudah mulai disentuh, kini Depdiknas dan institusi pendidikan yang jadi ujung tombaknya, tak punya pilihan lain kecuali bertaruh menggulirkan program-program riil ke arah perbaikan pendidikan yang bernuansa kualitatif. Bahkan, bila perlu, dengan terpenuhinya anggaran pendidikan minimal 20 persen, Depdiknas tak diharamkan melakukan perombakan mendasar yang inovatif demi menciptakan output dan outcome pendidikan yang qualified.

Kaitannya dengan ranah pendidikan berdemensi kualitatif, setidaknya ada dua hal yang menggoda untuk disikapi. Pertama, masih rendahnya kemampuan akademik siswa. Indikator ini tercermin dari masih tingginya angka ketidaklulusan siswa dalam mengikuti UN, terutama untuk siswa SMP/MTs dan SMA/MA. Di sisi lain, kemampuan akademik anak didik kita juga semakin kentara keterpurukannya manakala dibandingkan dengan kemampuan akademik siswa negara-nagara lain berdasarkan hasil-hasil pengukuran lembaga-lembaga internasional.Kedua, bermunculannya siswa-siswa genius dari berbagai pelosok tanah air yang kenyataannya mampu menyabet penghargaan setelah bersaing dalam olimpiade di bidang ilmu pengetahuan bertaraf internasional.

Di lain pihak, kini juga bermunculan siswa-siswa yang memiliki kemampuan membanggakan dalam event-event lomba penelitian ilmiah remaja.Dua fakta kualitatif yang bertolak belakang itu, nampaknya harus disikapi secara bijak. Pelaku-pelaku pendidikan ditantang merancang pengembangan program yang memungkinkan anak didik terdongkrak kemampuan akademiknya. Dengan demikian, angka ketidaklulusan bisa ditekan seminim mungkin meski passing grade nilai kelulusan dari tahun ke tahun dinaikkan.

Di balik itu, pelaku pendidikan juga ditantang bertaruh program yang bisa mengakomodir anak-anak genius dalam berbagai mata pelajaran. Jumlah mereka mungkin cukup banyak, tapi hanya karena pendekatan pengajaran di sekolah yang masih konvensional, potensi mereka belum tergali.Jika nantinya anggaran pendidikan nasional minimal 20 persen dari APBN/APBD sudah terpenuhi, fenomena-fenomena pendidikan yang demikian agaknya lebih menarik untuk dipertaruhkan menjadi program pendidikan yang realistis. Tinggal persoalannya, kapan pemerintah merealisir amanat konstitusi yang bisa membuat sektor pendidikan sedikit booming anggaran?
-----------------------------------------------
Sumber: http://kabarindonesia.com/berita.php?pil=13&dn=20071107215048
BACA TRUZZ...- Mau Apa jika Anggaran Pendidikan 20 Persen?

Dari Gelaran Budaya Nusantara USD, “Tradisi Lemah Mudah Dijajah”

Rabu, November 14, 2007

Yogyakarta (KPP)--Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta mengadakan pekan Budaya bertema “Tradisi Lemah Mudah Dijajah—Menjadi Manusia sadar Budaya” pada 14-15 September 2007 di gedung Wanita Tama Jalan Adisucipto Yogyakarta.
Dalam pekan budaya ini Papua (Nabire) turut diundang melalui Ikatan Pelajar Mahasiswa Nabire (IPMANAB) Yogyakarta.
“Kami merasa senang karena IPMANAB diundang dalam pekan budaya ini untuk mempertunjukkan budaya kami. Keikutsertaan IPMANAB yang mewakili Papua ini akan memperkuat semangat kaum muda Papua untuk terus melestarikan budaya Papua. Karena bagaimanapun juga semua budaya itu sama. Tidak ada budaya yang lebih hebat. Juga tidak boleh ada budaya lain yang harus mendominasi dalam kehidupan bangsa”, demikin kata Joni Kristian Iyai Ketua IPMANAB Yogyakarta di sela-sela pekan budaya.
Senada juga sempat dikatakan Maria Iyai, Trikurniawan, dan Mateus Auwe yang ikut menjaga stand Papua (Nabire). “Kami merasa bangga dan senang menunjukkan budaya kami kepada orang lain. Ketika kami bisa menjelaskan kepada pengunjung dan orang lain melihat, kami merasa menjadi orang yang beridentitas. Kami merasa orang-orang yang memiliki harga diri,” kata mereka serentak.
Memprihatinkan dan Topeng
“Tradisi Lemah Mudah Dijajah”. Menurut Ketua Komunitas Pendidikan Papua Yogyakarta, Longginus Pekey, tema pekan budaya ““Tradisi Lemah Mudah Dijajah” itu memprihatinkan dan sekaligus topeng. Mengapa memprihatinkan? Karena tema itu menjadi topeng atas realitas.

“Yang menjadi pertanyaan adalah budaya yang mana. Karena selama ini, Indonesia yang memiliki keragaman budaya itu tidak mendapatkan tempat yang tepat. Yang ada selama ini adalah dominasi oleh bangsa dan budaya tertentu yang merasa budayanya lebih baik. Atau bangsa tertentu yang merasa mereka lebih beradab. Realitas ini sejak lama telah menjadi ancaman bangsa-bangsa seperti Papua, Kalimantan, Flores dan lain-lain,” kata Pekey.
Menurut dia, budaya yang dimaksud budaya sekedar hasil karya cipta manusia yang terlihat dan dapat ditunjukkan itu tetapi lebih kepada cara berpikir. Kenapa? Katanya, dominasi oleh cara berpikir ini terlihat melalui sistem pendidikan khususnya melalui buku teks yang seolah-olah budaya tertentu yang lebih maju.

“Dominasi budaya ini biasanya terlihat dalam pandangan kolonialis sentris yang berusaha menghegemoni untuk menjajah budaya-budaya pribumi. Hal ini pernah terjadi pada kasus Aborigin dan Indian oleh pemerintah Inggris. Dalam sistem kolonialis itu, yang akan dilakukan adalah unifikasi dan asimilasi. Inilah yang persis terjadi di Indonesia yang menganut berbeda-beda tetapi tetap satu yang ujung-ujungnya adalah mengindonesikan dan menjawakan daerah lain,” papar Pekey mahasiswa Pendidikan Sejarah USD itu.

Menurut Pekey, yang harus dilakukan saat ini adalah suku-suku pribumi harus membangun konsolidasi untuk menentukan kebebasan ekspresi budaya. Karena, sekalipun ini sudah era otonomi tetapi hal ini belum terjadi hampir di seluruh daerah.

Dia mencontoh kasus Papua. Ketika simbol budaya orang Papua “Bintang Kejora” dipajang dalam bentuk tas handphone di stand Papua (Nabire) pada pekan budaya ini Polisi memaksa untuk menurunkan. Kasus lain adalah tari Sampari saat Konfresnsi Adat Papua di Jayapura beberapa waktu lalu.

“Menyadari budaya adalah identitas maka budaya harus ditempatkan pada posisinya dan harus mendapatkan posisi setinggi-tingginya. Budaya Papua adalah sebuah pembebasan untuk mencapai kemerdekaan sejati. Kemerdekaan dalam berpikir dan berpendapat yang harus dihargai oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Oleh karena it, seharusnya tidak ada seorangpun yang menempatkan budaya Papua sebagai budaya yang terbelakang. Juga tidak ada seorangpun yang dapat menilai budaya lain karena budaya itu tak ternilai,” paparnya.
Dia menyarankan, orang Papua mulai saat ini harus menghargai dan mengembangkan budaya masing-masing sukunya. Orang Papua harus membangun penyatuan budaya suku-suku itu. Pluralisme budaya Papua harus kita (orang Papua) hargai dan ditempatkan setinggi-tingginya agar tidak terjadi seperti yang terjadi saat ini di Indonesia.
“Soalnya adalah saat ini terjadi dominasi budaya tertentu dalam pendidikan, ekonomi, dan bahkan sistem politik,” tukas Pekey. [yer]
BACA TRUZZ...- Dari Gelaran Budaya Nusantara USD, “Tradisi Lemah Mudah Dijajah”

Kontribusi Media Massa Menumbuhkan Minat Baca

Selasa, November 13, 2007

Oleh Johnherf

Pada kenyataannya, minat baca masyarakat masih rendah. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa budaya baca belum tumbuh pada masyarakat kita. Padahal, dalam era global membaca merupakan kunci dalam menjalani kehidupan. Akankah kita tetap menerima kenyataan kalau budaya baca belum tumbuh pada masyarakat kita? Doktor Endry Boeriswati, M.Pd. mengungkap kontribusi media massa menumbuhkan minat baca masyarakat seperti berikut ini.
Apabila minat baca masyarakat tumbuh maka masyarakat akan gandrung membaca berbagai sumber bacaan, masyarakat akan haus informasi. Kehidupan masyarakat tidak terlepas dari suatu budaya yang secara tidak langsung menjadi panutannya. Budaya dibentuk melalui aktivitas kebiasaan di lingkungan individu tersebut berada. Oleh karena itu, apabila kita akan menilai kebiasaan suatu masyarakat tidak bisa lepas dari budayanya.

Membaca dapat dikatakan sudah merupakan suatu aktivitas kebiasaan dalam suatu masyarakat. Hal ini terjadi apabila membaca dipandang sebagai alat untuk memperoleh informasi, sedangkan informasi merupakan kebutuhan mutlak dalam kehidupan, bahkan merupakan kebutuhan pokok seperti halnya sembako. Namun, pada kenyataannya informasi dapat diperoleh tidak hanya melalui membaca, melainkan ada sarana lain yang dapat digunakan untuk mendapatkan informasi.

Dosen mata kuliah membaca pada jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia fakultas Bahasa dan Seni di Universitas Negeri Jakarta itu menyampaikan urun rembug berjuluk “Menumbuhkan Minat Baca Masyarakat” yang diadakan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional bekerja sama dengan Lembaga Kantor Berita Nasional Antara, Kamis 23/8.

Membaca membutuhkan kemampuan awal yang sangat mendasar, yaitu melek aksara. Orang dapat membaca apabila orang tersebut mengenali huruf-huruf. Ini baru sampai pada jenjang membaca tingkat pemula yang sering disebut dengan membaca simbol (word recognition).
Mari kita melihat apakah masyarakat kita sudah merdeka dari “buta huruf”? Ya masih ada sebagain kecil masyarakat kita yang masih belum merdeka dari “buta huruf”. Berarti belum bisa membaca huruf. Kebiasaan membaca pada kalangan akademis pun masih rendah. Membaca adalah proses untuk memperoleh pengertian dari kombinasi beberapa huruf dan kata. Membaca adalah proses untuk mengenal kata dan memadukan arti kata dalam kalimat dan struktur bacaan. Hasil akhir dari proses membaca adalah seseorang mampu membuat intisari dari bacaan.

Kemampuan membaca yang kita harapkan adalah bukan sekedar kemampuan membaca simbol-simbol saja, tetapi membaca yang mampu memberikan suatu pemahaman baik yang tersurat maupun yang tersirat. Tentu memerlukan suatu kemampuan yang lebih tinggi dari hanya mengenali huruf. Keberhasilan dari membaca adalah pembaca mampu memproses informasi yang diterima dari simbol-simbol yang dibaca yang kemudian dihubungkan dengan apa yang sudah diketahui menjadi informasi yang bermakna. Tentu dalam hal ini diperlukan kognitif yang baik. Dengan kata lain, diperlukan suatu kemampuan penalaran yang baik yang tampak melalui kemampuan berpikir.

Bisa saja kita katakan membaca menuntut kemampuan berpikir. Lalu bagaimana dengan masyarakat kita? Ada indikator yang mengarah pada kemampuan berpikir hanya saja tidak kuat untuk disimpulkan, yaitu budaya instan. Haruskan budaya baca ditumbuhkan? Jawabannya 100% harus. Budaya baca harus ditumbuhkan sepanjang hayat beriringan dengan pendidikan. Membaca sebagai sarana mencerdaskan bangsa. Oleh karena itu, bangsa yang unggul adalah bangsa yang warganya mampu membaca. Kemampuan membaca dilatih melalui sekolah sejak SD sampai perguruan tinggi.

Berdasarkan pengalaman, pelajaran membaca di sekolah masih pada taraf membaca teknis, padahal dari sekolah dituntut melahirkan orang yang mampu membaca interpretasi. Guru masih banyak belum menuntut siswa untuk menjadi pembaca mandiri, artinya membaca menjadi suatu kebutuhan mencari informasi sebagai bahan pemecahan masalah. Karena siswa disodori oleh informasi siap pakai sehingga tanpa melalui membaca siswa sudah mendapat informasi. Inilah sisi lain yang belum mendorongnya budaya baca.

Tiap bulan September diperingati sebagai Bulan Gemar Membaca dan Hari Kunjung Perpustakaan. Ini merupaya upaya pemerintah untuk menumbuhkan minat membaca dan menandakan bahwa membaca merupakan persoalan bangsa yang bersifat nasional sehingga pemerintah turun tangan. Persoalan membaca ternayata menjadi persoalan bersama dan sangat urgen.

Persoalan membaca juga persoalan pendidikan, apabila siswa yang memiliki minat membaca tinggi akan berprestasi tinggi di sekolah, sebaliknya siswa yang memiliki minat membaca rendah, akan rendah pula prestasi belajarnya. Dampak dari kenyataan ini adalah lahirlah generasi yang memiliki prestasi rendah, tentu ini mengkhawatirkan pemerintah. Secara umum minat dapat diartikan sebagai suatu kecenderungan yang menyebabkan seseorang berusaha untuk mencari atau mencoba aktivitas-aktivitas dalam bidang tertentu. Minat juga diartikan sebagai sikap positif seseorang terhadap aspek-aspek lingkungan.

Ada juga yang mengartikan minat sebagai kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan menikmati suatu aktivitas disertai dengan rasa senang. Minat juga merupakan perhatian yangkuat, intensif dan menguasai individu secara mendalam untuk tekun melakukan suatu aktivitas.

Aspek minat terdiri dari aspek kognitif dan aspek afektif. Aspek kognitif berupa konsep positif terhadap suatu obyek dan berpusat pada manfaat dari obyek tersebut. Aspek afektif tampak dalam rasa suka atau tidak senang dan kepuasan pribadi terhadap obyek tersebut. Minat membaca meliputi kesenangan membaca, kesadaran akan manfaat membaca, frekuensi membaca dan jumlah buku bacaan yang pernah dibaca oleh anak. Dengan demikian, minat membaca adalah sikap positif dan adanya rasa keterikatan dalam diri anak terhadap aktivitas membaca dan tertarik terhadap buku bacaan.

Aspek minat membaca meliputi kesenangan membaca, frekuensi membaca dan kesadaran akan manfaat membaca. Hasil penelitian minat baca masyarakat di Tangerang mengungkapkan bahwa salah satu indikator bahwa masyarakat berminat terhadap membaca adalah masyarakat mengetahui dan paham bahwa membaca mempunyai makna yang sangat besar dalam kehidupannya. Namun, pendapat tersebut tidak berkorelasi dengan frekuensi membaca.
Frekuensi membaca masyarakat sangat rendah. Dari penelitian ini juga menungkap bahwa kendala yang dihadapi untuk membaca adalah kurangnya sarana, yaitu bahan yang dibaca, seperti koran, majalah, dan buku. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa masyarakat memiliki minat membaca sangat tinggi, tetapi konasi dari minat tersebut belum dapat diimplementasikan yang terhalang oleh kekurangmanpuan untuk mengakses sumber bacaan, sehingga yang tampak masyarakat dinilai kurang berminat membaca atau minat membaca masyarakat rendah.

Rendahnya minat membaca masyarakat akar permasalahannya bukan pada minat atau kemauannya ternyata adalah sarananya yang kurang mendukung untuk action membaca yang rendah. Masyarakat belum secara merata menikmati kemudahan untuk mengakses bahan bacaan sehingga membaca belum menjadi suatu kebutuhan seperti sembako. Padahal, manfaat membaca sama seperti manfaat sembako pada kehidupan masyarakat.
Kemudahan mengakses bahan bacaan dapat diperoleh melalui toko buku bagi masyarakat yang mampu membeli bahan bacaan atau melalui perpustakaan bagi yang tidak mampu untuk memiliki buku. Kedua pilihan tersebut sangat berat. Bagi masyarakat yang kurang mampu bisa memanfaatkan perpustakaan. Tetapi seperti kita ketahui berapa banyak jumlah perpustakaan yang ada di sekitar masyarakat? Jika pun ada, masyarakat harus mencari waktu khusus untuk mengunjungi perpustakaan dengan jam kunjungan terbatas. Jadi, kendalanya adalah rendahnya daya beli bahan bacaan (koran, majalah dan buku).

Atas dasar itu, kontribusi media massa dalam menumbuhkan minat baca berkorelasi dengan bahan bacaan tidak terbatas. Korelasinya antara lain melalui buku atau majalah, dan koran yang juga dapat dikatakan sebagai bahan bacaan. Selanjutnya penyebutan media massa dibatasi hanya pada media cetak dan lebih khusus lagi koran.

Sebenarnya, koran telah tercatat dalam sejarah berperan menumbuhkan minat baca masyarakat. Dahulu, kala saya anak-anak sering lewat kantor kelurahan, sering melihat pemandangan sekerumunan orang dewasa. Namun, di dalam kerumunan itu ternyata “hanya” membaca koran yang ditempel di papan kelurahan. Sayang, pemandangan ini sulit ditemukan kembali. Mengapa koran tidak mengisi ruang kosong ini?

Dari keuntungan produksi dapat disisihkan untuk memberikan subsidi koran bagi masyarakat dengan memberikan secara gratis entah untuk setiap RT yang harus ditempel di papan pengumuman. Mungkin dapat juga dilakukan dengan bekerja sama dengan Pemda menerbitkan koran gratis tidak setebal koran nasional. Seperti kita ketahui bahwa yang mendorong masyarakat berminat membaca apabila membaca tersebut memberikan manfaat baginya.
Dengan demikian yang diperlukan adalah relevansi isi bahan bacaan dengan kehidupan pembacanya. Saat ini koran telah terbit dengan spesifikasinya; ada yang mengkhususkan berdasarkan isi ada mengkhususkan berdasarkan tingkat pembacanya yang semuanya berorientasi profit. Dalam hal ini koran dapat digunakan sebagai sarana untuk menumbuhkan minat baca masyarakat Bagaimana strateginya? Pertama, kita tentukan siapa yang akan ditumbuhkan minat bacanya? Masyarakat umum? Mungkin terlalu sulit karena variabel pengiringnya sangat kompleks.
Di samping itu, aktivitas membentuk suatu minat pada kelompok informal sangat sulit mengontrolnya, sehingga yang dapat dilakukan adalah imbauan atau penyadaran bukan tindakan menumbuhkan minat. Dengan demikian, penumbuhan minat yang dapat terkontrol dan dapat secara nyata terlihat adalah penumbuhan minat pada kelompok formal melalui edukasi.

Media massa dapat membentuk klub-klub baca pada setiap jenjang baik jenjang birokrasi di masyarakat atau berdasarkan keminatan objek bacaan. Dalam klub tersebut, anggota dapat menjadi motor yang dapat mempengaruhi orang lain berminat. Untuk menarik minat orang lain untuk maka perlu adanya rangsangan yang menarik, seperti kemudahan, pengistimewaan, dan hadiah.
Dengan adanya rangsangan ini orang akan merespon berdasarkan persepsinya apa yang dilakukan dengan membaca. Kegiatan yang membaca koran yang tanpa harus hadir di arena lomba, tetapi dapat dilakukan di mana saja. Bentuk lomba membaca bukan sekedar membaca teknis, tetapi membaca dengan memberikan tanggapan apa yang dibacanya yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Keuntungan kegiatan ini bukan hanya menumbuhkan minat baca masyarakat tetapi juga membelajarkan masyarakat untuk bernalar.
Kegiatan ini merupakan kegiatan dengan tujuan jangka pendek yang dapat dilakukan oleh pelaku media massa. Untuk menumbuhkan minat membaca secara permanen dapat dilakukan di proses pembelajaran.

Guru dapat mengoptimalkan tugas membaca bukan untuk menghafal isi bacaan atau untuk mencari informasi saja, tetapi membaca digunakan untuk mengkonstruksikan informasi yang diperoleh melalui membaca membentuk pengetahuan baru. Hal ini diperlukan latihan secara struktural dengan bahan bacaan yang bermakna. Ruang ini dapat diambil oleh pelaku media massa khususnya media cetak, yaitu dapat dilakukan dengan adanya koran edukasi.
Koran edukasi adalah koran yang secara khusus ditujukan untuk pembelajaran yang lebih mengutamakan pada how to learn. Seperti halnya TV edukasi yang ditangani oleh Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Depdiknas. Lalu siapa yang berminat untuk menangani koran edukasi untuk jutaan masyarakat sekolah ini? Inilah suatu tawaran yang dapat ditangkap oleh penerbit koran untuk memberikan kepedulian sosial bagi generasi mendatang.***
-----------------------------------------------------
Sumber:http://johnherf.wordpress.com/2007/10/08/kontribusi-media-massa-menumbuhkan-minat-baca/
BACA TRUZZ...- Kontribusi Media Massa Menumbuhkan Minat Baca

Banyak Cerita Rakyat Belum Digali

Provinsi Papua yang kaya akan budaya dan berbagai keunikan cerita rakyatnya, ternyata semua itu belum sepenuhnya tersentuh dan digali secara maksimal, dimana dari sekian banyak suku yang terdapat di Papua baru sekitar enam cerita rakyat yang dibuat buku.

Hal ini diakui Kasubdin Bina Bahasa Sastra dan Sejarah Dinas Kebudayaan Provinsi Papua, Drs. Masmur Asso, MA yang mengatakan bahwa sejak mulai tahun 2003 hingga 2007 ini, terdapat enam buku yang memuat cerita rakyat dari sejumlah daerah di Papua.
“Memang untuk pembuatan dan penyusunan cerita rakyat di berbagai daerah yang terdapat di Papua ini belum sepenuhnya digali, dan hingga kini baru terdapat enam cerita rakyat yang telah berbentuk buku,” ujarnya pada Papua Pos ketika ditemui diruang kerjanya, Senin (29/10) kemarin.

Dikatakan, dari keenam buku yang berisikan cerita rakyat di berbagai daerah meliputi, cerita rakyat ungkapan pribahasa daerah orang Beliem dan cerita rakyat dan ungkapan pribahasa orang Depapre yang dibuat pada tahun 2003, sedangkan pada 2004 dibuat cerita rakyat orang Nabire dan Enorotali.Pada tahun 2005 dilakukan penelitian terhadap pembuatan cerita rakyat orang Biak, dan pada tahun 2006 dicetak sebuah buku cerita rakyat orang Biak, juga pada tahun yang sama terdapat pembuatan buku cerita bagi masyarakat Kamoro dan Amungme.

Sedangkan untuk tahun ini, direncanakan cerita rakyat orang Serui sedang berjalan dengan tahapan pembuatan dan mencetak buku tersebut.Dijelaskan pula, hambatan yang dialami Dinas Kebudayaan dalam penggalian cerita rakyat yang dimiliki setiap daerah ialah, selain masalah dana ada sebuah ikatan dari suatu daerah terhadap cerita yang diinginkan, semacam ada kesakralan atau yang menyangkut dengan religius suatu daerah tertentu, dimana jika sejarah dari cerita yang diinginkan diberitahu maka yang menceritakan konon akan meninggal dunia.
“Jadi selain masalah keterbatasan dana, ada pula hambatannya mengenai pendataan atau penelitian terhadap cerita rakyat tidak dapat sepenuhnya dilakukan, masih ada yang bersifat sakral dan relegi terhadap menginformasikan sejarah di setiap daerah dengan konsekuensi yang tidak sembarangan,” pungkasnya.Meskipun begitu, pemerintah melalui Dinas Kebudayaan akan terus berupaya untuk terus menggali berbagai sejarah dan cerita rakyat lainnya disetiap daerah di Papua, sehingga kebudayaan di Papua semakin kental.**
--------------------------------------------
Sumber: http://www.papuapos.com/new/index.php?main=fullberita&id=4739
BACA TRUZZ...- Banyak Cerita Rakyat Belum Digali

PAK GURU CORNELIS MANANGSANG

“Saya Mau Hidup dan Mati Dengan Masyarakat Koteka”
Oleh Emanuel Goubo Goo*)

“Masa lampau, saya telusuri rawa-rawa, lembah yang penuh payau, gunung-gunung yang menjulang tinggi, tapi dijalani dengan tawa sebagai seni dengan harapan hasil perjuanganku suatu saat akan muncul generasi muda berkualiatas yang dapat merubah kehidupan masyarakat yang hidup dalam berbagai kerterbelengguan.
Dari sinilah saya menjalani hidup ini dengan tenang dan mau menyaksikan perubahan dan pembangunan yang dilakukan oleh anak-anak asuhan saya. Saya juga masih ingat kata-kata injil bahwa Betlehem yang daerah tandus saja lahir Sang Juru Selamat, begitupun di sini. Lika-liku hidup masyarakat begitu polos, lugu, bersahaja, monoton, tapi saya mau hidup dan mati dengan masyarakat koteka”.
”—Cornelis Manangsang.

“Orang lain tidak perlu tahu perjalanan hidup saya. Yang tahu hanya saya dengan Tuhan,“ kata Pak Guru Manangsang ketika ditemui kontributor Majalah “Selangkah” untuk menulis profil tentang dirinya. Penolakan untuk diwawancarai ini tentu bukan tanpa refleksi yang mendalam atas hidup dan pengabdian yang sungguh luar biasanya di daerah pedalaman. Pekerjaannya adalah ‘tentang pembangunan manusia, agar manusia menjadi manusia’. Karena membangun manusia maka, hubungannya adalah dengan PENCIPTA MANUSIA yang menginginkan keselamatan manusia dari segala keterbelakangan. Kira-kira begitulah refleksi pribadi Pak Guru Manangsang. Kontributor “Selangkah” mendatangi yang kedua kalinya, jawabannya masih sama (tidak mau diwawancarai). Setelah meyakinkan pentingnya pengalaman hidup Pak Guru Manangsang bagi generasi muda ke depan, akhirnya demi generasi muda, dia bersedia membuka kran perjalanan hidupnya.

“Pak Guru Manangsang”. Begitulah masyarakat pedalaman Nabire, tepatnya Desa Mauwa Distrik Kamuu, Kabupaten Nabire menyebut Bapak guru Cornelis Manansang (72). Kini genap sudah Cornelis Manansang berkarya 46 tahun di daerah Pedalaman Papua. Berkarya mulai dari Jayapura, Fak-fak, Kokonao, hingga menjelajahi daerah Pedalaman Paniai-Nabire. Tak heran bila masyarakat pedalaman mengenal dan menyebut pria asal Sanger ini dengan sebutan khas “Pak Guru Manansang”. “Tahun 2004 lalu saya pensiun tetapi saya tidak akan pulang kampong. Saya malah sudah beli tanah di Kampung Mauwa Distrik Kamuu, Kabupaten Nabire. Saya beli tanah untuk tempat peristirahatan terakhir sebelum saya dipanggil Tuhan,” kata Pak Guru tua ini 19 Oktober 2006 di rumahnya desa Mauwa.

Pria tua asal Sanger Sulawesi Utara (Cornelis Manansang) ini dilahirkan Tanggal 30 Oktober 1944 di Kampung Besum-Genyem Holandia waktu itu (Sekarang Jayapura-Red) dari pasangan Ferdinand Manangsang dan Hendrina Samuel. Pak Guru manangsang menuturkan, ayahnya (Ferdinand Manangsang) tiba di Papua tahun 1938 sebagai guru. Ayahnya masuk ke Papua sebagai guru lewat Wasior-Ransiki-Arfak - dan dipindahkan ke Genyem. Tahun 1940 Ferdinand Manangsang pulang ke kampung halamannya Sanger dan menikah dengan dengan Hendrina Samuel. Menurut Pak Guru Manangsang, ayahnya adalah tokoh GKI, namun terjadi kesalahpahaman dengan gereja dan pindah ke Katolik. Cornelis Manangsang sendiri dilahirkan Besum Genyem 30 Oktober 1944 dan dipermandikan di Fak-fak. Pak Guru Manangsang masuk sekolah VVS (vervolog School) di Fak-fak tahun 1950-an dan melanjutkan ke ODO (Ofdelling Dorops Onderwes) di Fak-fak tahun 1956-1959.

Sekolah menyelesaikan sekolah di ODO (sambil menunggu SK tugas) dia sempat mengajar di Kokonau selama tiga tahun. Kemudian dia (Pak Guru Manangsang) ditugaskan di Enarotali (kini ibukota Kabupaten Paniai). Setahun kemudian dipindahkan ke Obano, Paniai. Tahun 1960 pindah lagi Kuguwapa Bibida Paniai hingga 1968. Ketika baru memasuki daerah orang Moni di Bibida masyarakat mengganggap “setan” karena kulit maupun rambut beda dengan mereka. Demikian pengakuan pria yang tulang pipinya masih menggambarkan perjuangan pembangunan manusia ini.

Kata dia, tahun 1969 haru mengungsi ke Jayapura karena waktu itu terjadidi perang di Paniai. Walupun dalam keadaan perang, karena kecintaan dan harapannya yang besar untuk perubahan rakyat, ia kembali bertugas lagi di daerah Pedalaman Paniai, tepatnya di Timida. Tidak lama kemudian, lagi-lagi dia dipindahkan ke Badauwo, tepatnya tahun 1973. Pria Sanger yang menikah dengan Yonece Yufuwai anak perempuan Ondofolo dari Depapre, Jayapura ini melanjutkan studi KPG (Kolose Pendidikan Guru) 1975 di Nabire. Usai meneyelesaikan studi dipindahkan lagi ke SD YPPK Egebutu Distrik Kamuu tahun 1978. Tahun 1981 dia Kembali ditugakan lagi SD YPPK Moanaemani, kecamatan Kamuu. Selanjutnya, Pak Guru Manangsang dipindahkan ke SD YPPK Mauwa di kecamatan yang sama tahun 1985 hingga saat saat ini.
Menurut pengakuannya, Pah Guru Manangsang tak tega meninggalkan kampung ini (Mauwa).
“Saya sudah pensiun 2004 lalu, tapi tak henkang dari tempat tugas ini sebab saya datang daerah ini masih gelap. Sekarang saya mau melihat hasil gemblengan selama bertugas maka saya beli tanah, tempat di mana tulang belulang saya disemayamkan ketika saya dipanggil Tuhan“ ujar pria 6 anak ini.

Gubernur Bernabas Suebu pun sempat menyuruh pindah dari pedalaman ke Jayapura, namun dirinya tak tega meninggalkan daerah pedalaman. “Dari sinilah saya menjalani hidup ini dengan tenang dan mau menyaksikan perubahan dan pembangunan yang dilakukan oleh anak-anak asuhan saya. Saya juga masih inggat kata-kata injil bahwa Betlehem yang daerah tandus saja lahir sang jurus selamat, begitupun di sini. Lika-liku hidup masyarakat begitu polos, lugu, bersahaja, monoton, tapi saya mau hidup dan mati dengan masyarakat koteka. Saya tidak tega tinggalkan sebab ingin melihat anak-anak yang sudah sukses dari hasil keringat sejak saya masuk hingga kini. Akan muncul rasa bangga dan terharu ketika melihat anak-anak didikan saya berhasil dan suskses dalam berbagai aspek pembangunan”.

Kendatipun demikian, kata Pak Guru Manangsang tidak semua anak didik berhasil dalam belajarnya. Ada sebagian besar yang putus sekolah terutama anak-anak perempuan. “Dulu ketika mengajar di Enarotali, arangtua datang ke sekolah paksa anak gadisnya untuk dikawinkan, namun saya bersikeras mempertahankan siswi saya. Karena demikian orangtuanya takut pada saya dan tidak berani paksa anaknya nikah.Terkecuali anak perempuan sendiri ingin menikah barulah orang tua mengambil maskawin,” jelas Pak Guru Manangsang.

Pak Guru Manangsang bersaksi, ketika dirinya memasuki daerah pedalaman, masyarakat masih pakai cawat dan buyut (koteka & Moge), didukung dengan rata-rata tidak tau bahasa Indonesia. Maka, kantanya sebelum pergi bertugas dibekali dengan bahasa daerah di Enarotali selama 3 minggu. Kendati diibekali dengan kursus bahasa daerah, masih terbentur dengan masyarakat lokal di mana rata-rata belum memahami kehadirannya sebagai guru. Bagi dia, tantangan seperti itu justru semakin memperkuat tali persaudaraan dengan rakyat sederhana itu. Malahan tantangan dilihat sebagai suatu seni hidup. “Tantangann harus dianggap seni hidup yang patut dijalani (bukan dianggap suatu momok yang mematahkan semanggat) sehingga dari seni hidup dapat mengorbitkan generasi penerus bangsa Papua yang berkualitas. Saya masuk di Enarotali ketika berusia 14 tahun dengan gaji pertama 116 golden. Ketika itu, masyarakat belum mengenal uang, pegawai negeri tidak ada, yang ada hanyalah honei-honei dan polisi . Guru pun tidak ada”.

“Pada saat itu, gaji saja bisa diambil bila hendak ke Jayapura, tidak ada kios atau toko, yang ada hanya gudang misi. Karena daerah yang baru dibuka berbagai tantangan sempat bersanding namun dihadapi dengan tenang sebagai bumbu-bumbu kehidupan. Ketika memasuki tempat tugas baru di Enarotali masyarakat senang kehadiran guru waktu itu. Alat bantu mengajar menggunakan arang kayu, sebab kapur tulis pun tidak ada, kalau pesawat Biver tidak masuk maka terpaksa harus pakai arang kayu di atas kalam putih. Waktu itu masyarakat tidak mengenal mata uang, polisipun buta aksara, mereka naik pangkat bila menemukan suku dan daerah baru maka dinaikan pangkat. Waktu itu sekolah hanya tiga kelas, lantas mereka ikut ujian di Epouto untuk masuk kelas IV. Setelah itu, untuk melanjutkan kelas V dan VI mereka berjalan kaki tembus ke Kaimana menuju ke Fak-fak,” demikian kata Pak Guru yang mengaku gaji pertama 16 golden waktu Belanda dan gaji pokok 12.000 (dua belas ribu rupiah) ketika Indonesia masuk (pasca PEPERA-red).

Selain kecintaannya terhadap terhadap masyarakat koteka, dia tidak ingin pulang ke kampung halamannya karena ingin menyelamatkan anak-anak kandungnya yang merupakan dititipkan TUHAN. “Saya malu bila anak kandung tidak berhasil, sementara anak didik saya berhasil. Makanya tak perlu mengira saya buka kios untuk mencari harta kekayaan melainkan mencari uang untuk biaya anak saya yang masih kuliah. Guru-guru pendatang yang lain memiliki tanah, rumah mewah di Nabire tetapi saya hanya beli tanah di sini sekedar menjalani sisi hidup isteri dan anak-anaknya”.

Selain dua alasan di atas, Pak Guru Manangsang tidak ingin meninggalkan pedalaman (desa Mauwa) karena tenaganya masih dibuhkan di sekolah. Misalnya, cat sekolah, tulis papan nama, pendataan guru, lambang dan lainnya. Sementara itu, masyarakat setempat tidak ingin Pak Guru Manangsang pergi dari kampung mereka (Mauwa). Lantas, ketika masyarakat Mauwa menghadapi masalah maskawin, sumbangan gereja, atau persoalan lain dia selalu turun tangan untuk menyelesaikannya.

“Di mana berkarya disitulah tempat tulang belulang isteri dan saya disemayamkan. Di daerah ini saya masuk ketika dunia Paniai masih hidup dalam kegelapan, keterisolasian, keterbelakangan hingga kini sudah banyak perubahan dalam segala dimensi, ” tandas mantan Kepala Sekolah SD YPPK Mauwa ini. Lebih berbahagia dan menikmati ketenangan karena menyatu dengan masyarakat maka tak bisa diganggu oleh siapapun. “Anak-anak saya misalnya walaupun rambut, kulit berbeda dengan masyarakat asli tetapi bahasa daerah (bahasa Mee) merekalah yang lebih fasih. Maka, jangan heran kalau saya turun ke kota hanya beberapa hari lalu pulang ke kampung halaman alias Mauwa secepatnya. Kota adalah daerah kumuh yang penuh dengan kebisingan.”

“Saya ingin sama seperti ayah saya, dia mati di daerah tempat tugasnya, maka saya pun ingin mati di sini, maka saya sudah beli tanah untuk dikebumikan bila saya dipanggil Tuhan. Tanah saya dan anak-anak saya bukan di Sanger, tetapi saya lahir di sini, anak-anak saya lahir di sini dan di sinilah kami mengabdi hingga ajal tiba” kata Pak Guru Manangsang mantan kepala sekolah SD YPPK Mauwa ini.

Sekarang, Guru-guru Cenderaung Turun ke Kota
“SEKARANG ini banyak guru baru ditugaskan di sini tapi lebih condong turun ke kota dengan berbagai alasan. Guru sekarang mereka berpendidikan tinggi, namun kedisiplinan sanagat kurang. Mereka tidak bersemangat, disiplin, dan tidak mencintai profesi. Dulu, sangat disiplin. Ketika cuti misalnya diberi waktu hanya dua minggu, maka dua hari sebelum habis masa cuti harus ada di tempat tugas,” kata Pak Guru Manangsang kesal.

Kata dia, dulu guru punya moralitas tetapi sekarang tidak ada moralitas dan rasa tanggung jawab terhadap masa depan anak-anak dan bangsa Papua. “Kalau terlambat masuk, bagaimana dengan murid saya. Guru-guru sekarang malahan ada yang beralih profesi (politik). Bila turun ke kota buat liburan tiga sampai liam bulan baru pulang. Sekarang anak (siswa) mengganggap orang sampah dan tidak dihargai. Sehinnga jangan heran tamatan sekarang sangat kurang jumlah siswanya dan kualitanya juga merosot. Semasa saya datang tidaka ada PNS dan daerah ini masih gelap dengan dunia luar. Selama mendidik sangat jarang keluar dari tempat tugas, sekalipun itu liburan panjang. Saya tidak mau mengorbankan anak-anak didik hanya karena berfoya-foya di kota”.

Hingga saat ini masih terngiang dalam benak Pak Guru Manangsang kapan akan melihat dan menikmati kebehasilan anak–anak didiknya yang mengajar dengan tekun dan penuh tanggung jawab.

Tidak Ada Penghargaan
Menjadi seorang pengajar sekaligus pendidik siswa di sekolah dan masyarakat sekitarnya selama 70-an tahun adalah bukan perjuangan main-main. Perjuangan pembebasan manusia dari kungkungan berbagai keterbelakangan yang dilakukan Pak Guru Manangsang adalah istimewa. Berbicara keselamatan maka kita juga berbicara masalah pembebasan, maka otomatis harus bicara bagaimana pendidikan kita membangun manusia untuk menjadikan dirinya dan lingkungannya bebas. Pembebasan manusia melalui pendidikan maka kita harus bicara siapa yang akan membebaskan. Tujuh puluh tahun mengabdi dan berkarya di pedalaman adalah perjuangan pembebasan manusia seperti yang dinginkan Allah pencipta Manusia. “Manusia harus dibebaskan dari keterbelangan, keter-keter yang lain sampai pada akhirnya pembebasan dari ketertindasan teritorial.

Pak Guru Manangsang, mangabdi kepada masyarakat di bawah payung Yayasan Katolik hingga puluhan Tahun tetapi tidak pernah mendapat penghargaan apapun. Sementara itu, penghargaan dari pemerintah masih belum apa. Kalau berbicara soal penghargaan, kata Pak Guru Manangsang belum ada sampai saat baik berupa piagam maupun berupa uang. Namun bagi dirinya, yang penting dia telah mengabdi dengan sunguh-sungguh dan dia puas dengan pengabdian itu. Sehingga, dia lebih melihat penghargaan bukan dengan manusia tetapi hal itu urusan dengan Tuhan pencipta manusia yang ia didik.

“Apa yang saya buat dalam karya dan pengabdian di dunia pendidikan hanya Tuhanlah yang tahu dan akan memetik buah-buah balasan ketika menghadap di hadirat sebab mendidik anak-anak disini bukan balik memperbodoh orantua melainkan lebih menyiapkan dan mencetak manusia yang dapat membangun, merubah masyarakat dan dunia. Zaman saya telah berlalu dan telah diberikan kepada anak-anak didik untuk membangun dan merubah dunia serta manusia menuju, meraih kesejahteraan hakiki. Selagi masih diberi napas kehidupan, saya akan menyaksikan buah –buah hasiil karya dan didikan. Dulu manusia dan alamnya hidup dalam keterbelakangan, keterisolasian, namun kini telah dirubah oleh anak-anak didik, maka hal itu menjadi kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri bagi saya,” harap Pak Guru Manangsang.

Sistem Pendidikan Jawa Tidak Cocok untuk Papua
Ketika meminta sedikit komentar tentang sistem pendidikan terbaru, alias KBK, kata Pak Guru Mamangsang, sistem pendidikan dewasa ini tidak pas diterapakan di Papua sebab dirancang menurut rancangan orang Jawa. “Kurikulum dirancang menurut pola pikir orang Jawa padahal sistem pendidikan harus disesuaikan dengan kondisi suatu daerah. Dalam buku diambil contoh mobil, kereta, dan lainnya. Seolah-olah keadaan daerah sama dengan daerah Papua. Orang Papua yang ada di daerah pedalaman tidak mengenal itu. Maka sekarang harus disesuaikan ala budaya setempat,” demikian ungkapan kekecewaan sistem pendidikan yang mengharuskan segala sesuatu yang hakikatnya beda harus sama.

Pak Guru Manangsang dari pedalaman Papua berpesan, kiranya para pakar pendidikan yang susun bahan ajar, disusun menurut kemauan kondisi dan kemauan mereka. Jangan campur adukan dengan kepentingan-kepentingan tertentu yang akhirnya akan mengakibatkan hal yang fatal bagi orang lain. Kembali kepada hakikat pendidikan yang sesuangguhnya, yaitu membebaskan manusia. “Kalau dulu ketika zaman Belanda kami mengajar mereka buat buku ajar sesuai budaya di sini. I.S Kijne menyusun buku-buku ala Papua lalu kita terapkan dan banyak siswa yang berhasil. Bahan ajar yang kini dikirim dari Jawa ketinggalan jauh. Walaupun demikian saya bangga dengan anak-anak dari sini yang ke Jawa. Mereka mampu bersaing dengan orang –orang Jawa bahkan ada yang berani menerbitkan buku-buku”, katanya mengkritik.

“Kejujuran dan Cinta Kasih”
Ketika ditanya apa landasan hidupnya, Pak Guru Manangsang sedang tenang mengatakan “KEJUJURAN DAN CINTA KASIH adalah yang utama dalam hidup saya. Hal ini tertanam dalam hati dan menjadi semangat dan sprit dalam berkarya. Kunci utama dalam menjalanai tugas apapun kejujuran dan cinta Kasih menjadi tumpuan hidup melangkah dalam membangun dunia. Dari situlah akan datang kebahagian, ketenangan, lahir bathin dalam diri pribadi”.

Menurut Pak Guru Manangsang hidup itu bagaikan cermin. “Ibarat dalam cermin ketika kita lihat dengan senyum, dia juga akan lihat dengan senyum dan sebaliknya. Maka kita melaksanakan segala sesuatu dengan hati dan penuh senyum maka hati kita akan terasa damai dan semuanya akan berjalan dengan baik. Tergantung kita, kalau kita baik kehidupan itupun akan baik”.

Kata dia, mendidik dan membina orang bagian dari pekerjaan cinta kasih kepada Tuhan dan sesama. Cinta akan tugas dan profesi akan mewarnai dan merangkai kehidupan yang bernuansa seni. Kalau ada cinta kasih dalam hati tantangan apapun akan menjadi dorongan dan seni hidup menuju ke jalan ILAHI. Cinta kasih akan menembusi perbedaan, agama, ras, suku dan adat istiadat”.

*) Kontributor SELANGKAH di NABIRE-PANIAI
------------------------------------------------------
Sumber: Majalah SELANGHKAH
BACA TRUZZ...- PAK GURU CORNELIS MANANGSANG

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut