Nilai Pedagogis Paulo Freire dan Masa Depan Pendidikan Papua

Sabtu, Agustus 04, 2007

Oleh Yermias (Igntius) Degei*)

Pendidikan di tanah Papua nampaknya sudah tidak berhasil ditinjau dari aspek pedagogis. Terutama ketika terjadi peralihan kekuasaan tanah Papua dari tangan Belanda ke Indonesia. Dunia pendidikan Papua kering dari aspek pedagogis, dan sekolah nampak lebih mekanis sehingga seorang anak sekolah cenderung kerdil karena tidak memunyai dunianya sendiri.

Untuk itu, diperlukan adanya satu upaya baru dalam menjalankan proses pembelajaran. Baru, dalam pengertian berbeda dari yang selama ini melembaga dalam dunia pendidikan di tanah Papua. Salah satu metode pendidikan yang dinilai tepat dijalankan di situasi daerah seperti Papua adalah konsep pendidikan Paulo Freire yang dikenal dengan pendidikan proses pembebasan.

Paulo Freire?
Paulo Freire (lihat profil di arsip artikel http://pendidikanpapua-kpp.blogspot. com ini) menemukan jawaban dari sebuah pikiran kreatif dan hati nurani yang peka atas kesengsaraan dan penderitaan luar biasa di sekitarnya. Kondisi ketertindasan di daerahnya cukup menggambarkan pola keumuman praktek pendidikan di dunia ketiga. Daerah yang tertindas dari segala sisi itulah tumbuh kebudayaan bisu.

Paulo Freire mengungkapkan bahwa proses pendidikan -dalam hal ini hubungan guru-murid- di semua tingkatan identik dengan watak bercerita. Murid lebih menyerupai bejana-bejana yang akan dituangkan air (ilmu) semau gurunya. Karenanya, pendidikan seperti ini menjadi sebuah kegiatan menabung. Murid sebagai "celengan" dan guru sebagai "penabung".

Secara lebih spesifik, Freire menguraikan beberapa ciri dari pendidikan yang disebutnya model pendidikan "gaya bank" tersebut adalah: “Guru mengajar, murid diajar”, “Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa”, “Guru berpikir, murid dipikirkan”, “Guru bercerita, murid mendengarkan”, “Guru menentukan peraturan, murid diatur”, “Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui”, “Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya”, “Guru memilih bahan dan ini pelajaran, murid (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu”, “ Guru mencampuradukan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid”, “Guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka”

Sebagai jawaban atas pendidikan gaya bank tersebut, Freire menawarkan bahwa sesungguhnya pendidikan semestinya dilakukan secara dialogis. Proses dialogis ini merupakan satu metode yang masuk dalam agenda besar pendidikan Paulo Freire yang disebutnya sebagai proses penyadaran (pendidikan pembebasan).

Pendidikan Papua Sungguh Anti Realitas
Pendidikan Papua tidaklah berangkat dari satu realitas masyarakat. Memang jauh dari realitas. Rakyat Papua ada di kampung-kampung dan bekerja di kebun. Tetapi, kenyataan tersebut tidak dipahami dengan baik di setiap jenjang pendidikan di Papua. Apakah dalam proses pembelajaran maupun dalam kegiatan riset. Sehingga yang hasil dari proses pendidikan adalah konsep. Hasil belajar diditerapkan langsung untuk keberlangsungan hidup. Padahal pendidikan hakikatnya adalah untuk hidup.
Contoh kasus pendidikan anti realitas dalam pembelajaran di Papua. Anak -anak SD di Papua harus belajar tentang Kereta, Becak, Siti, Budi, dan lain-lain (pembelajaran Jawa sentries) yang tidak ada disekiranya. Siswa yang baru berkembang itu tidak melihat langsung di sekitanya tentang apa yang dia belajar itu. Semuanya adalah barang-barang yang berada di luar realitas kehidupan.

Nah…dalam konteks ini, sebagai anak yang baru berkembang, secara psikologis dia selalu berada dalam situasi stress. Kita tidak dapat melihat. Mengapa? Karena apa yang dia belajar adalah sesuatu yang abstrak (tidak dapat lihak di sekitarnya). Teman mainya, tidak ada yang namanya Siti dan Budi. Yang ada adalah nama-nama seperti Kris, Natalis dan lain-lain. Apalagi nama-nama benda, gunung dan nama-nama kota adalah sungguh jauh dari kehidupannya. Cara berpikir anak umur SD adalah mekanis, bukan analitis. Jadi, ini adalah kasus pendidikan yang anti realitas dan terkesan politis.

Contoh lainnya dapat kita cermati dalam pendidikan agama di persekolahan. Pendidikan agama diajarkan secara antirealitas. Padahal pluralitas kehidupan beragama kita merupakan realitas yang tidak perlu dipungkiri lagi. Pendidikan agama masih diajarkan sebagai bagian dari usaha seseorang untuk memonopoli Tuhan dan kebenaran, dan dengan sendirinya menghakimi orang lain yang berbeda agama dengannya. Akibatnya, realitas kehidupan beragama kita kurang berfungsi sebagai pengikat persaudaraan dan membantu menumbuhkan kearifan dan sikap rendah hati untuk saling menghormati dan saling memahami perbedaan yang ada. Pada akhirnya, pluralitas kehidupan beragama lebih cenderung menjadi penyebab konflik yang tak habis-habisnya.

Tanah Papua yang katanya kaya raya itu, relitas ekonomi rakyat masih berada dalam kategori miskin dan terbelakang. Realitas ini tidak pernah dijadikan bahan pijakan untuk menentukan pmbangunan pendidikan di tanah Papua. Sekolah di Papua lebih mirip sebagai industri kapitalis daripada sebagai pengemban misi sosial kemanusiaan dalam mencerdaskan kehidupan rakyat.

Sementara untuk sekolah tinggi di Papua lebih mirip toko kelontong. Perguruan Tinggi yang bermunculan di Papua kini berkeping-keping dengan membuka sekaligus menawarkan aneka program studi jangka pendek dan program ekstensi. Tujuannya jelas, penjualan kelontong itu lebih berorientasi profit (mengejar keuntungan materi) ketimbang pengembangan ilmu untuk kehidupan rakyat yang lebih baik.

Fungsi sekolah masa lalu yang mengemban misi agung sebagai pencerdas kehidupan bangsa, kini tak ubahnya lahan bisnis untuk memperoleh keuntungan. Otonimi Khusus yang berjalan selama enam tahun di Papua ternyata gagal membangun pendidikan untuk kehidupan rakyat Papua.

Hanya kelompok elit sosial-lah yang yang mendapatkan pendidikan cukup baik. Anak-anak dari keluarga miskin tidak bisa sekolah sekalipun tingkat SMA. Padahal uang Otonomi Khusus berkelimpahan di Papua. Katanya. Kaum miskin menjadi kaum marjinal secara terus-menerus. Merekalah yang disebut Paulo Freire sebagai "korban penindasan".

Proses penindasan yang sudah mewabah dalam berbagai bidang kehidupan semakin mendapat legitimasi lewat sistem dan metode pendidikan yang paternalistik, murid sebagai obyek pendidikan, intruksisional dan anti dialog. Dengan demikian, pendidikan pada kenyataannya tidak lain daripada proses pembenaran dari praktek-praktek yang melembaga. Secara ekstrim Freire menyebutkan bahwa sekolah tidak lebih dari penjinakan. Digiring ke arah ketaatan bisu, dipaksa diam dan keharusannya memahami realitas diri dan dunianya sebagai kaum yang tertindas. Bagi kelompok elit sosial, kesadaran golongan tertindas membahayakan keseimbangan struktur masyarakat hierarkis piramidal.

Pendidikan Papua Harus Dialogis dan Hadap Masalah
Penerapan metode pendidikan konvensional, anti dialog, proses penjinakan, pewarisan pengetahuan, dan tidak bersumber pada satu realitas masyarakat, maka orang Papua harus merefleksikannya. Ini agenda mendesak di era Otonomi Khusus. Pendidikan Papua harus berangkat dari proses dialogis antar sesama subyek pendidikan. Dialog yang lahir sebagai buah dari pemikiran kritis sebagai refleksi atas realitas. Hanya dialoglah yang menuntut pemikiran kritis dan melahirkan komunikasi.
Tanpa komunikasi tidak akan mungkin ada pendidikan sejati. Sebagai respon atas praktek pendidikan anti realitas, Freire mengharuskan bahwa pendidikan harus diarahkan pada proses hadap masalah. Titik tolak penyusunan program pendidikan atau politik harus beranjak dari kekinian, eksistensial, dan konkrit yang mencerminkan aspirasi-aspirasi rakyat. Program tersebut diharapkan akan merangsang kesadaran rakyat dalam menghadapi tema-tema realitas kehidupan. Hal ini sejalan dengan tujuan pembebasan dari pendidikan dialogis. Pendidikan yang membebaskan, menurut Freire, agar manusia merasa sebagai tuan bagi pemikirannya sendiri. Jadi, pendidikan yang harus dibangun di Papua saat ini adalah dialog dan hadap masalah. Sehingga, dalam konteks Papua, rakyat Papua menjadi tuan di atas tanahnya sendiri.

Masa Depan Pendidikan Papua
Pendidikan untuk masa depan Papua haruslah dibebaskan dari suasana bisnis, agen perpanjangan kapitalisme gaya baru: kapitalisme pendidikan, dan tentu saja politisasi. Budaya pura-pura harus kita hilangkan. Sudah realitasnya seperti itu, pendidikan yang dibangun jauh dari realitas yang sudah dia lihat. Jangan pura-pura tidak tahu dan tidak melihat. Kurikulum pendidikan di Papua harus berangkat dari realitas rakyat Papua saat ini, penataan kembali pendidikan agama, penanaman demokrasi dan menumbuhkan pemikiran kritis. Karena tujuan pendidikan juga bukan hanya kognitif semata, maka tinjauan apektif dan psikomotorik harus pula dijadikan bahan acuan dalam menjalankan proses pendidikan. Pendidikan harus berangkat dan memupuk keterampilan sosial dan keterampilan hidup.

Masa depan rakyat dan tanah Papua tergantung dari sekarang. Otonomi Khusus telah berjalan enam tahun, tetapi belum menampakkan wajah perubahan pendidikan di tanah Papua. Tahun depan (2008) Otonomi Khusus akan berumur tujuh tahun. Tahun berikutnya lagi akan berumur delapan tahun dan seterusnya sampai masa 25 tahun Otonomi Khusus itu akan habis, lalu apa? Jadi, kewenangan pembangunan pendidikan di tanah Papua yag atur melalui Undang-Undang Otonomi Khusus itu benar-benar harus digunakan untuk membangun rakyat Papua di atas tanah mereka.

Orang-orang yang akan duduk di Dewan Pendidikan Papua yang telah dibentuk itu, kiranya menjadi dewan yang benar-benar berpikiran kreatif, berhati nurani yang peka atas kesengsaraan dan penderitaan luar biasa di sekitarnya. Harapannya adalah pendidikan yang dibangun di tanah Papua benar-benar dialogal dan hadap masalah masalah, sehingga rakyat menyadari dirinya, sesamanya, lingkungannya, dan masa depannya. Ini bukan zamanya lagi, rakyat Papua tidak menyadari dirinya, sesamanya, lingkungannya, masa depannya. Karena memang bukan kodrat menjadi budak di atas tanah yang menghasilkan susu dan madu. Ini menyedihkan.***

*) Sekretaris Komunitas Pendidikan Papua

Catatan: Tulisan ini pernah dipublikasikan juga di www.wikimu.com.
BACA TRUZZ...- Nilai Pedagogis Paulo Freire dan Masa Depan Pendidikan Papua

D-Papua?

Oleh Yermias (Ignatius) Degei*)

Pemerintah Provinsi Papua telah membentuk Dewan Pendidikan Papua. Dewan Pendidikan Provinsi Papua itu diberi nama D-PAPUA.

Cenderawasihpos menulis, motivasi pembentukan Dewan Pendidikan Provinsi Papua ini, sehubungan dengan perkembangan manajemen pendidikan dewasa ini yang membutuhkan partisipasi masyarakat agar terwujud transparansi dan akuntabilitas guna mencapai pendidikan di Papua yang bermutu. Pembentukan Dewan Pendidikan ini juga sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam Perdasi Pendidikan Nomor 5/2006 pasal 1 ayat 36 dan pasal 26 ayat 1-6, serta Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 40 Tahun 2003.

Untuk pembentukan Dewan Pendidikan Provinsi Papua tersebut, Dinas P dan P Provinsi Papua telah memulai melakukan pertemuan dengan instansi-instansi atau lembaga-lembaga yang dinilai terkait dengan rencana pembentukan Dewan Pendidikan tersebut. Dalam pertemuan yang digagas Dinas P dan P Provinsi itu seperti silansir Cenderawasihpas, antara lain hadir sekitar 20-an orang.

Mereka dari Dinas Pendidikan dan Pengajaran (P dan P) Provinsi Papua, DPRP, BUMN/BUMD, LSM/Yayasan, Pengusaha, Media Massa dan lainnya.Dari pertemuan pertama yang dilakukan di Aula Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Dinas P dan P Provinsi Papua itu, berhasil membentuk Tim Formatur (Tim Regulasi) yang terdiri dari 9 orang. Tim formatur ini diketuai oleh Drs. James Modouw, MMT (Kepala Dinas P dan P Provinsi Papua) dengan para anggota masing-masing Drs. Festus Simbiak, M.Pd (Perguruan Tinggi), Dra. Hulda I.W Imbiri (DPRP), Yan Tebay (Yayasan/LSM), J. Pangaribuan (Kanwil Agama), Yustin (Kadin Papua), Yan Tethol (Penyusun Perdasi), Ir. F.A Wospakrit, M.Sc (MRP) dan Joko Suhendro (Media).

Usai pertemuan yang berlangsung lebih dari tiga jam tersebut, Kapala Dinas Pendidikan dan Pengajaran (P dan P) Provinsi Papua, Drs. James Modouw, MMT menjelaskan, Dewan Pendidikan Provinsi Papua itu, nantinya akan memiliki beberapa fungsi. Diantaranya sebagai siperviser, sebagai mediasi dan sebagai kontrol atau pengawasan pelaksanaan pembangunan dunia pendidikan di Provinsi Papua.

''Dewan Pendidikan ini nanti, kurang lebih sebagai lembaga pemberi arah kebijakan dunia pendidikan di daerah kita ini. Atau yang lebih gampang kita sebut dengan pemerhati pendidikan,'' kata James Modouw mengawali pembicaraan seperti dikutip cenderawsihpos.

Disebut sebagai superviser, karena keberadaan Dewan Pendidikan itu nanti, bukan hanya melakukan kritik, tapi lembaga ini akan menawarkan solusi-solusinya agar dunia pendidikan di Papua menjadi lebih baik. Dan dikatakan mediasi, karena Dewan Pendidikan ini nanti akan menjadi mediator antara keinginan masyarakat dengan pemerintah. Bahkan diharapkan, tidak hanya bisa melakukan mediasi di daerah, tapi juga di Jakarta (Pemerintah Pusat), dan bahkan dengan pihak dunia internasional. Kemudian dikatakan sebagai kontrol, karena keberadaan Dewan Pendidikan ini nanti akan selalu memberikan pengawasan terhadap jalannya pembangunan dunia pendidikan di Papua.

Adapun posisi Dewan Pendidikan itu nanti adalah menjadi lembaga independen, sehingga fungsi sebagai superviser, mediasi, dan pengawasan (kontrol) terhadap pendidikan khususnya di tanah Papua, betul-betul sesuai harapan masyarakat banyak.

''Dalam hal ini, pemerintah hanya sebagai regulator (Pembuat Aturan),''tandasnya. Lebih jauh dikatakan, dalam pelaksanaannya nanti, Dewan Pendidikan akan mendampingi gubernur dalam membuat kebijakan di dunia pendidikan. Dia (Dewan Pendidikan) harus mampu memberikan konstribusi arahan terhadap pemerintah khusus untuk kebijakan pendidikan. ''Tentunya mereka (Dewan Pendikan) itu akan memperjuangkan kepentingan masyarakat, khususnya di dunia pendidikan,''ujarnya lagi. Dan dalam keweangannya itu, Dewan Pendidikan memang hanya sebatas memediasi, sebagai superviser dan kontrol.

''Tapi tetap saja diharapkan mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kebijakan pendidikan, sebagai badan pendukung percepatan pembangunan pendidikan di Papua ini,''tegasnya. Adapun mereka yang akan menjadi anggota Dewan Pendidikan ini nanti, sebagaimana yang diamanatkan dalam Perdasi adalah para pakar/ahli pendidikan.

''Tapi tetap saja melibatkan elemen lain, karena di sini ada dua pendekatan yakni pendekatan kepakaran dan pendekatan partisipatif. Memang ada yang sebagai pemikir, namun juga harus ada yang lain untuk melengkapi fungsi-fungsi seperti pengawasan dan mediasi,''tuturnya.

Karena itu, setelah dibentuknya tim formatur yang terdiri dari 9 orang tersebut, selanjutnya tim formatur itu nanti akan melakukan pertemuan-pertemuan yang lebih intensif lagi, guna mengiventarisir orang-orang yang pantas menjadi anggota Dewan Pendidian tersebut.

Cenderawasihpos mengutip, Wakil Ketua Komisi E DPRP, Dra. Hulda Ida Wanggober Imbiri, MM mengatakan, Dewan Pendidikan itu nanti harus menjadi alat kontrol setiap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Hal itu dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantintas sumber daya manusia (SDM) yang ada di Papua.

''Kontrol perlu dilakukan karena pendidikan tidak hanya menyangkut bidang studi yang diajarkan di sekolah, tapi juga berkaitan dengan moral manusia dalam kehidupan sehari-hari,''ujarnya."Pendidikan yang baik, tidak hanya menciptakan manusia yang pandai, tapi juga mempunyai budi pekerti luhur,"kata Hulda yang juga bagian dari Tim Regulasi Pembentukan Dewan Pendidika Provinsi Papua ini.

Apa Benar D-Papua itu Independen
Ditempat yang terpisah, ketua Komunitas Pendidikan Papua,Longginus Pekey mengatakan, pada prinsipnya mendukung dewan pendidikan yang telah dibentuk itu. "Saya dan teman-teman di Komunitas Pendidikan Papua (KPP) pada prinsipnya mendukung penuh dengan adanya Dewan Pendidikan di Papua. Namun ketakutan kami adalah jangan sampai indepensi yang dimaksud itu tidak terjamin. Lantas, yang menggagas D-Papua adalah justru oleh pelaksana pendidikan di daerah yang justru harus dievaluasi oleh lembaga independen. Bahwakan aturannya dibuat oleh pelaksanan. Ini yang menjadi pertanyaan bagi saya dan teman-teman di KPP,"kayanya.

Pekey mengatakan, pada awalnya saya berpikir bahwa dewan pendidikan Papua itu dibentuk oleh gabungan sarjana pendidikan dan -nonkependidikan dari berbagai disiplin ilmu yang prihatin dengan pendidikan Papua. Artinya mereka adalah independen tanpa pengaruh atau semacam interpensi dari siapapun di Papua dalam mengamati pembangunan pendidikan di Papua.

"OTSUS yang telah berjalan 6 tahun itu, di bidang pendidikan belum menampakkan wajah baru dari sisi kualitas. Kalau ada mungkin itu kuantitas. Ujian Nasional juga terjadi penyulapan di mana-mana. Tapi kita berharap Dewan Pendidkan pendidikan Papua itu tidak hanya menjadi sebuah dewan yang menunggu anggaran cair untuk menjalankan program. Buku-buku yang masuk juga perlu dipertimbangkan kelokalannya. Sementara itu, persoalan guru secara kuantitatif dan kualitas juga hal yang penting. Masalah kurikulum sampai pada pendekatan-pendekatan dalam pembelajaran.

Mengenai D-Papua, kata Pekay, yang terpenting adalah keterlibatan para sarjana pendidkan yang memahami benar hakikat pendidikan di dalam D-Papua. Keterlibatan itu juga harus melalui seleksi. Bukan asal cabut. Itu mungkin akan memberikan wajah baru. Tapi itu, kalau bekerja dengan hati nurani untuk masa depan orang dan tanah Papua yang lebih baik. ***

*) Sekretaris Komunitas Pendidikan Papua
BACA TRUZZ...- D-Papua?

Manarmakeri

Pengantar

Manarmakeri adalah tokoh utama dalam sebuah mite (bukan legenda atau dongeng) di daerah Biak Papua. Mite Manarmakeri memunyai latar belakang sejarah, dipercayai oleh masyarakat sebagai cerita yang benar-benar terjadi, dianggap suci, mengandung hal-hal yang ajaib, dan tokohnya (Manarmakeri) adalah Dewa.

Mite ini telah tersebar di seluruh tanah Papua sejak dulu. Ada sebuah keyakinan dari masyarakat penutur mite ini bahwa seperi janjinya, Manarmakeri akan kembali suatu saat. Sampai hari ini, masih dinantikan kedatangan Manarmakeri di daerah penutur cerita maupun di seluruh Papua.

Cerita serupa yang tergolong mite terdapat di tiap suku di tanah Papua. Cerita-cerita ini membuat rakyat Papua tetap eksis untuk hidup di tengah berbagai persoalan dengan harapan bahwa janji-janji tokoh dalam mite di setiap daerah yang menjanjikan hari baru (Papua Baru) itu, suatu saat nanti akan terjadi. Cerita ini sengaja saya tulis di wikimu (bisa-bisanya kita…) untuk para anggota dan pengunjung agar ada wacana baru selain berita dan artikel. Selamat membaca!

Oleh Yermias (Ignatius) Degei*)

***
Lelaki tua itu bernama Manarmakeri. Ia berasal dari kampung Sopen daerah Biak Numfor Papua. Tubuh Manarmakeri penuh dengan kudis. Suatu ketika, dia membuat kebun di atas bukit di belakang kampung Sopen, tepatnya di Yamnaibori. Kebun itu ditanami dengan tanaman keladi, ubi jalar, labu dan berbagai tanaman lainnya. Manarmakeri mengelilingi kebunnya dengan pagar untuk menghindari serbuan dari babi hutan.

Suatu pagi yang cerah, Manarmakeri pergi ke kebun. Sesampai di kebun Manarmakeri terkejut melihat tanamannya yang habis dimakan babi hutan. Ia memeriksa pagar dan ternyata, tidak ada tanda-tanda masuk. “Dari mana binatang itu masuk ya. Pagar masih utuh,” kata Manarmaki terheran-heran.

Manarmakeri memutuskan untuk menjaga kebunnya pada malam hari. Hari sudah malam Manarmakeri bersiap-siap dengan makbak (tombak nibun) pada tempat yang tersembunyi di pinggir kebun. Tiba-tiba seekor babi hutan muncul di tengah kebun. Dengan penuh kemarahan dan keherangan Manarmakeri melemparkan makbaknya ke arah babi hutan yang sedang asyik makan tanaman. Seketika terdengar suara gaduh disusul jeritan kesakitan babi hutan itu “ Ae, ae……yamnai…. (aduh… saya berhenti…). Lalu babi hutan itu menghilang secara tiba-tiba bersama makbak yang tertancap di badannya.

Keesokan harinya Manarmakeri mengikuti jejak babi hutan itu melalui darah yang menetes sepanjang jalan setapak. Akhirnya dia tiba pada sebuah goa di tengah hutan. Manarmakeri memasuki goa itu dan dia melihat makbaknya bersandar di dinding dengan keadaan utuh dan bersih. Ketika menoleh ke kiri dan ke kanan terdengarlah suara yang “menegurnya”. “Siapakah engkau dan mau ke mana? Apa yang kau cari di sini? Bawalah makbakmu dan keluar membelakangi saya.” Bagaimana saya harus berjalan? tanya Manarmakeri. “Kerjakanlah apa yang aku perintahkan kalau tidak kau akan jatuh,” jawab suara itu.

Sebelum dia melakukan perintahnya, suara berkata lagi, “Apakah engkau mengenali mereka?” Tiba-tiba tabir matanya terbuka dan terlihat sebuah kampung yang bersih, indah, banyak penduduk, dan terang. Rupanya di sana tidak ada kemiskinan, kelaparan, penganiayaan, peperangan, dan penuh kebebasan.

“Waktumu belum tiba untuk mendiami tempat ini, sebab kamu masih berada dalam dunia sasar (semu). Kampung yang kamu lihat ini adalah tempat “koreri”. Bawalah makbak itu dan kembalikan ke tempatmu,” kata perintah suara itu. Lalu dengan penuh penasaran Manarmakeri meninggalkan tempat itu dan kembali ke kampungnya. Di kediamannya ia merenungkan rahasia koreri. Koreri adalah saat manusia mengalami kehidupan baru yaitu kehidupan yang penuh kebebasan dan kebahagiaan.

***
Keesokan harinya Manarmakeri mendengar, anak Mananwir (kepala kampung) menemukan seekor Manswar (kasuari) tua bersama seorang gadis yang cantik di suatu tanjung. Burung kasuari duduk di dalam laut dan membiarkan ikan-ikan kecil mendekat pada bulunya, kemudian kasuari itu kembali ke tepi pantai lalu menggoyangkan badannya sehingga ikan-ikan berjatuhan di atas pasir. Kemudian seorang gadis muncul tiba-tiba dari balik belukar dan memungut ikan-ikan tersebut dan memasukannya ke dalam inawen (sejenis keranjang). Kemudian gadis kecil itu naik di atas punggung Manswar dan mereka berdua menghilang.

Anak Mananwir terpesona melihat gadis canitik yang aneh itu. Ia menceritakan kejadian itu sekaligus keinginannya untuk mengawini gadis cantik itu kepada ayanya. Lalu ayahnya mengajak seluruh penduduk kampung Sopen untuk membantu mencari dan menangkap Manswar tua bersama gadis cantik yang sedang bersembunyi di sekitar tanjung, tidak jauh dari kampung Sopen.

Semua laki-laki yang kuat di seluruh kampung Sopen berkumpul di rumah Mananwir untuk menerima amanat untuk segera menangkap kedua makhluk aneh itu. Mananwir berjanji, “Bagi yang berhasil menangkap gadis jelita itu dan membawa pulang ke rumah saya, maka ia berhak mengawini anak perempuan saya yang bungsu”. Mendengar janji itu, para pemuda segera membentuk pasukan pengepung.

Dengan semangat yang menggebu-gebu, pasukan pengepung meninggalkan kampung Sopen menuju tanjung tempat persembunyian kasuari dan gadis itu. Mereka mengepung tanjung itu lalu dengan sorak-sorai mempersempit lingkaran, namun perhitungan mereka meleset. Kasuari tua itu berhasil meloloskan diri bersama si gadis jelita.

Usaha penangkapan pada hari pertama gagal. Pasukan kembali ke kampung. Mereka berkumpul kembali dan merencanakan taktik baru untuk mengepung dan menangkap gadis itu. Keesokan harinya, pasukan mengepung tanjung itu dengan taktik yang baru, namun usahanya gagal seperti pada hari pertama.

Kini mereka berkumpul di rumsram (rumah tempat berkumpul kaum pria) untuk evaluasi kegagalan dan merencanakan cara penangkapan pada hari berikutnya. Secara kebetulan si lelaki tua (Mananarmekeri) itu lewat di depan para pemuda yang duduk di rumsram. “Oi, para pemuda, kalian sedang bicara apa? Beberapa dari mereka menjelaskan tentang usaha yang sedang mereka lakukan. Mendengar hal itu, Manarmakeri menawarkan dirinya untuk ikut mencari. Namun tawaran itu justru menjadi lelucon para pemuda. “Kami yang muda dan kuat saja tidak berhasil mengepung dan menangkap kasuari serta gadis itu, apalagi kamu yang penuh kudis dan kaskado ini … ,” kata salah satu pemuda. Ada juga menghina Manarmakeri, “Cis, sedangkan kami yang muda dan kuat tidak sanggup, apalagi kau orang tua yang sudah korengan, lebih baik pakailah waktumu untuk mengusir lalat dan mengupas koreng dari badanmu itu.”

Mendengar kata-kata yang menyakitkan itu, Manarmakeri membatalkan tawarannya untuk ikut pada hari ketiga. Ia ingin melihat apa hasil dari usaha pengepungan pada hari itu. Usaha pengepungan hari ketiga masih belum membuahkan hasil. Anak Mananwir terus merindukan gadis itu. Mukanya makin murung dan putus asa menyaksikaan kegagalan demi kegagalan yang dialami pasukan itu. Melihat anak kepala kampung itu, para pemuda mulai merasa malu. Kini mereka kehabisan taktik untuk menangkap gadis itu.

Kini satu-satunya jalan bagi para pemuda adalah harus meminta bantuan kepada orang hobatan untuk menemukan suatu cara mistik yang dapat mengalahkan kekuatan kedua makhluk itu. Namun salah satu pemuda mengusulkan untuk mencoba yang terakhir kalinya. Untuk kesempatan ini tanpa basa-basi dan tawar-menawar, Manarmakeri ikut mengambil bagian dalam usaha pengepungan pada hari keempat itu. Seluruh pasukan sudah disusun atas beberapa lapisan lalu melingkari tanjung. Kini tidak ada celah lagi untuk melewati sesuatu. Mananarmakeri mengambil tempat pada daerah bakau yang penuh lumpur.

Pengepungan dan gemuruh sorak serta pekikan dari pasukan pengepung terdengar. Kasuari dan gadis jelita merasa benar-benar terjepit. Tidak ada jalan lain, satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri mereka yaitu melalui daerah bakau penuh lumpur yang pasti tidak diawasi para pemuda. Secara diam-diam kasuari itu melewati daerah lumpur itu, namun sial. Kakinya tertahan oleh lumpur dan memperlambat larinya. Manarmakeri yang sudah sembunyi di tempat itu dengan mudah saja mengejar dan menangkap sang gadis dari punggung Manswar .dan memeluknya dengan sekuat tenaga sehingga tidak sempat lagi meloloskan diri. Sedangkan Manswar itu sempat meloloskan dirinya ke hutan. Sejak kejadian itu di Biak tidak ada lagi burung Manswar (kasuari) sampai saat ini.

Dengan penuh semangat Manarmakeri membawa gadis jelita itu kepada Mananwir Mananwir Sopen. Namun, sebagai hadiah bukan anak bungsu yang dijanjikan sebelumnya, tetapi seekor babi. Dia menerima hadiah itu dengan tenang, lalu menyerahkannya kepada saudara-saudaranya untuk bakar batu (barapen). Manarmakeri memperbolehkan mereka untuk mengambil kayu bakar, keladi, daun pisang serta sayuran di kebun miliknya, Yamnaibori. Mereka membuat barapen di hutan dekat kebun Manarmakeri. Setelah selesai masak, babi beserta sayur dibagi-bagikan kepada seluruh sanak saudara di kampung Sopen. Harapan Manarmakeri untuk mendapatkan daging yang bagus, tinggal harapan. Dia (Manarmakeri) hanya diberikan tulang kepala yang sudah tidak ada daging.

“Kenapa saudara-saudara saya sendiri memperlakukan saya seperti ini. Mereka tidak menghargai saya sebagai manusia. Saya sudah membantu kepala kampung menagkap putri kasuari. Hadiahnya bukan anak perempuannya yang bungsu. Diberikan seekor babi. Bukan itu saja. Babi itu sudah diserahkan dengan baik-baik kepada saudara-saudaraku untuk dimasak, bahkan kayu api, keladi sayur yang dimasak itupun diambil dari kebun saya sendiri. Akhirnya, saya diberikan bagian yang tidak pantas.” Mananarmakeri merasa benar-benar tidak dihargai sebagai warga kampung Sopen. Akhirnya, Manarmakeri mengambil keputusan untuk untuk meninggalkan kampung yang dicintainya itu.

***
Maka keesokan harinya, pagi-pagi buta sebelum warga kampung bangun tidur, Manarmakeri menyiapkan perahu kecilnya. Ia tidak lupa membawa dayung, konarem (penimba air) dan tongkatnya. Di tengah perjalanan angin Wambrau (Barat) bertiup dengan kencang dan menyebabkan ombak sehingga ia mendarat di kampung Maundori. Tetapi tidak bisa karena banyak karang. Akhirnya ia mengeluarkan tongkat wasiatnya untuk menggores karang lalu terjadilah suatu terusan.

Melalui terusan itu, ia dapat mendarat. Setelah angin redah ia melanjutkan perjalanannya menyusuri pantai. Ketika mendekati kampung Sorido ia menangkap seekor ikan dan membawanya ke rumah napiremnya (saudara sepupu) yang bernama Padawankan di kampung Mokmer. Ketika ikan dimasak mereka membagi-bagikannya tanpa mengingat istrinya. Istrinya menanyakan bagiannya ternyata telah habis. Istrinya marah dan kemarahannya didengar oleh Manarmakeri. Ia meminta pamit dan pergi ke Meokbundi.
***
Manarmakri sampai di Meokbundi. Dia hendak melakukan suatu pekerjaan yang digemarinya, yaitu menyadap nira (saguer kelapa). Ia meminta kelapa kepada penduduk Sokani, tetapi tidak dikasih. Manarmakri mengambil kelapa yang bertunas dan menanamnya. Kelapa yang ia taman itu pertumbuhannya ajaib. Kelapa itu sudah tumbuh besar dan sudah dapat disadap. Manarmakri hidup dengan menyadap nira (saguer).

Pada suatu hari ia melihat nira yang ada dipohon itu habis diambil orang. Dia tanya kepada semua orang, namun tidak ada yang mengaku. Terpaksa ia mengintai untuk menangkap pencurinya. Pada malam pertama ia berjaga-jaga di bawah pohon. Keesokan harinya ia melihat nira masih dicuri juga. Untuk malam kedua dibuatnya pora-pora (kaderen) di tengah pohon kelapa lalu dia menjaga. Namun, sama saja pencuri itu masih juga meminum nira itu. Ia terus penasaran dari mana mereka mengambil.

Pada malam ketiga karena penasaran dan marah, ia naik dan duduk bersembunyi di tengah-tengah cabang dan daun kelapa. Sepanjang malam ia berjaga dengan tabah. Menjelang dini hari hari, pencuri turun dari langit menuju puncak pohon kelapa. Manarmakeri menangkap pencuri itu lalu terjadilah suatu pergumulan yang sengit. Dalam pergumulan tersebut ternyata pencuri itu adalah Makmeser atau Sampari (bintang pagi). ”Lepaskanlah saya karena hari hampir siang!” kata Sampari. Namun Manarmakeri tidak mau melepaskannya. “Saya tidak akan melepaskanmu sebelum engkau memberikan apa yang kudambakan selama ini, “kata Manarmakeri.

Bintang itu menyebut banyak hal yang ada di dunia ini, tetapi masih ada yang belum disebut sehingga Manarmakeri tetap terdiam dan tidak mau melepaskan bintang itu. “Katakanlah sekarang, apa yang kau kehendaki,’ kata Sampari itu, “Berikanlah kepadaku ”koreri syeben”, pinta Manarmakeri. “Karena matahari terbit permintaanmu aku kabulkan dan sekarang ini koreri telah kau miliki. Bila Insoraki anak gadis panglima Rumbrak pergi ke pantai dan mandi bersama teman-temannya dekatilah lalu petiklah buah bintanggur dan lemparkan ke laut. Kamu akan melihat sesuatu terjadi pada Insoraki dan itu kejadian koreri,” kata Sampari.

Setelah beberapa hari berselang dilihatnya beberapa gadis pergi mandi dipantai. Cepat-cepat Manarmakeri pergi dan bersembunyi di balik pohon Mars (bintanggur). Diperhatikannya gadis itu satu demi satu tampaknya olehnya seorang gadis yang tercantik yaitu Insoraki.

Dia memetik buah bintanggur lalu melemparkan ke laut. Buah itu hanyut dan tersentuh pada payudara Insoraki. Insoraki kaget lalu memungut buah itu lalu melemparkanya kedarat. Peristiwa itu terulang sampai tiga kali berturut-turut. Setelah peristiwa itu terjadi Insoraki merasa ada suatu kelaian pada dirinya. Orang tua terkejut karena anak gadisnya hamil. Orang tua Insoraki bertanya kepada penduduk Meokbundi, tetapi seorang tidak mengetahuinya. Insoraki termenung dengan hal yang menimpanya karena ia tidak pernah bergaul dengan laki-laki. Setelah tiba saatnya melahirkan, lahirlah seorang anak laki-laki. Kerana anak itu telah lahir dan dirasa akan membawa perubahan dan kedamaian maka mereka menamakannya Manarbeu (pembawa damai).

Pertumbuhan anak itu semakin besar dan sudah dapat bicara. Setiap ia menangis ia selalu menanyai ayahnya. Pada suatu hari mereka berkumpul dan bermufakat untuk mengadakan Wor (suatu pesta besar). Dengan pesta itu Manarbeu dapat menunjuk siapa bapaknya. Pada hari yang ditentukan para tamu telah tiba dan acara segera dimulai. Insoraki dan anaknya duduk paling depan supaya Manerbeu dapat menentukan bapaknya.

Pada pesta itu mereka mengharuskan para pemuda untuk lewat berjalan di depan Insoraki dan anaknya. Namun tidak seorang pun dikenali oleh Manerbeu. Perarakan terakhir Manarmakeri adalah khusus untuk orang tua. Manarmakri mengantre pada bagian terakhir. Manarmakeri penuh kudis dan di tanganya memegang tongkat dan setangkai daun untuk pengusir lalat. Ketika ia lewat di depan ibu dan anak itu, Manerbeu langsung menunjuk Manarmakeri dan berkata, “Ibu itu bapak saya!”

Ketika anak itu ingin memeluk ayahnya, Insoraki menahannya karena jijik pada tubuh Manarmakeri yang penuh kudis itu. Manarbeu berhasil lari dari pegangan ibunya dan bertemu dengan ayahnya. Karena, Manarmakeri dihina dan diusir oleh warga, maka mereka pergi meninggalkan kampung itu. Akhirnya, Insoraki ikut dan pergi bersama-sama dengan Manarmakeri menuju ke arah barat.
***
Dalam perjalanannya ke Barat itu, Manarbeu tiba-tiba ingin bermain pasir di sebuah pulau dengan pasir putih yang tiba-tiba muncul. Setelah Manarbeu puas bermain, mereka berlayar terus meninggal pulau Yapen menyisi pulau Supiori yang makin lama makin jauh menuju ke barat. Dalam perjalanan itu, tiba-tiba muncul sebuah pulau kecil di atas permukaan laut dan makin lama makin besar. Ternyata pulau itu lebih dari pulau yang baru saja ditinggalkan dan tidak bergunung. Perahu karures dari Manarmakeri berlayar menyusuri pantai pulau itu sampai pada suatu pulau kecil dan Manarbeu kembali berhastrat untuk bermain pasir di pulau kecil itu. Karena dia terus merengek untuk bermain, terpaksa perahu didaratkan dan Manarbeu boleh bermain-main di atas pasir itu.

Perjalanan terus dilanjutkan. Sesampai di pulau besar itu ternyata belum didiami oleh manusia. Manarmakeri mengambil empat batang lidi yang ditancapkan di atas pasir dan kemudian dia mengucapkan mantera-manteranya. Setelah membaca mantera, keempat lidi itu berubah menjadi empat suku asli pulau itu yang kemudian di kenal sebagai Pulau Numfor . Manarmakeri memperingatkan mereka agar bila dari antara mereka meninggal tidak boleh ditangisi karena mereka akan dibangkitkan. Apabila mereka mematuhi permintaan itu, maka mereka akan hidup dalam ketenteraman, kedamaian dan berkelimpahan.

Dalam kenyataannya mereka tidak mematuhi apa yang dikatakan oleh Manarmakeri. Ketika dari antara mereka meninggal, mereka tangisi dia. Hal itu benar-benar membuat Manarmakeri kecewa. Bukan hanya itu, ketika mereka kekurangan bahan makanan mereka berlayar ke pulau Yapen dan menukarkan ikan dengan sagu yang sesungguhnya bertentangan dengan apa yang perintahkan oleh Manarmakeri. Kejadian itu membuar dia kecewa dan merasa keberadaannya di daerah itu tidak dihargai. Dia mengingat kembali pengalamannya di kampung Sopen, kemudian di pulau Meobundi, di kampung Krawi dan terakhir di Numfor.

Manarmakeri tidak betah tinggal di daeah itu. Dia mengambil keputusan untuk pergi dari orang-orang dan negerinya sendiri untuk mencari tempat yang aman dan tenang. Dia pergi meninggalkan tempat itu ke suatu tempat yang penuh ketenangan dan kedamaian. Dia memperoleh rahasia hidup abadi yang ingin ia sumbangkan kepada sesamanya manusia tetapi tidak mau dimengerti untuk itu dia pergi. Dia pergi untuk suatu ketika kembali membawa suatu kehidupan baru berkelimpahan dan penuh kedamaian abadi seperti janji kibaran sampari (bintang kejora). Dia sempat meninggalkan beberapa pesan kepada warganya supaya jangan suka membunuh, jangan suka mencuri hak milik orang lain, dan menyiapkan rumah yang besar untuk menampung kekayaan yang akan datang dari sebelah barat.

Setelah berpesan demikian Manarmakeri bersama istrinya Insoraki naik perahu untuk pergi meninggalkan tempat itu. Namun anaknya Manarbeu terlihat masih asyik bermain pasir putih yang indah. Ketika Manarmakeri memintanya untuk naik ke parahu Manarbeu tidak mau. Dia asyik bermain seakan-akan pasir adalah teman seumurnya sampai dia tidak mau meninggalkannya. Untuk mengakali anaknya Manarmakeri melemparkan sepotong kayu yang kemudian berubah menjadi seekor ular bisa. Melihat ular itu, Manarbeu takut dan segera naik ke perahu. Sejak itu ular bisa tersebut berkembang menjadi baik di pulau Numfor dan hingga kini pulau itu dikenal sebagai pulau yang penuh dengan ular bisa.

Untuk kesekian kalinya Manarmakeri harus meninggalkan rakyatnya. Perahu segera bertolak meninggalkan pulau Numfor menuju ke sebelah Barat. Ia menyebrani selat dan lautan menyusuri pantai di pulau-pulau. Manarmakeri pernah singgah di sekelompok pulau yang kini dikenal sebagai kepulauan Raja Ampat. Setelah beberapa lama tinggal dan menyebarkan pengajarannnya, ia melanjutkan perjalanannya menuju ke barat. Sejak keberangkatan hingga kini ia belum kembali. Menurut pesan yang ditinggalkan, ia akan kembali pada suatu saat dengan membawa kedamaian, harta benda serta makanan yang berkelimpahan. Saat saya kembali, sampari akan berkibar-kibar dari ujung pulau hingga ke ujung pulau di atas tanah ini.

Dalam perjalanannya ke Barat itu, Manarbeu tiba-tiba ingin bermain pasir di sebuah pulau dengan pasir putih yang tiba-tiba muncul. Setelah Manarbeu puas bermain, mereka berlayar terus meninggal pulau Yapen menyisi pulau Supiori yang makin lama makin jauh menuju ke barat. Dalam perjalanan itu, tiba-tiba muncul sebuah pulau kecil di atas permukaan laut dan makin lama makin besar. Ternyata pulau itu lebih dari pulau yang baru saja ditinggalkan dan tidak bergunung. Perahu karures dari Manarmakeri berlayar menyusuri pantai pulau itu sampai pada suatu pulau kecil dan Manarbeu kembali berhastrat untuk bermain pasir di pulau kecil itu. Karena dia terus merengek untuk bermain, terpaksa perahu didaratkan dan Manarbeu boleh bermain-main di atas pasir itu.

Perjalanan terus dilanjutkan. Sesampai di pulau besar itu ternyata belum didiami oleh manusia. Manarmakeri mengambil empat batang lidi yang ditancapkan di atas pasir dan kemudian dia mengucapkan mantera-manteranya. Setelah membaca mantera, keempat lidi itu berubah menjadi empat suku asli pulau itu yang kemudian di kenal sebagai Pulau Numfor . Manarmakeri memperingatkan mereka agar bila dari antara mereka meninggal tidak boleh ditangisi karena mereka akan dibangkitkan. Apabila mereka mematuhi permintaan itu, maka mereka akan hidup dalam ketenteraman, kedamaian dan berkelimpahan.

Dalam kenyataannya mereka tidak mematuhi apa yang dikatakan oleh Manarmakeri. Ketika dari antara mereka meninggal, mereka tangisi dia. Hal itu benar-benar membuat Manarmakeri kecewa. Bukan hanya itu, ketika mereka kekurangan bahan makanan mereka berlayar ke pulau Yapen dan menukarkan ikan dengan sagu yang sesungguhnya bertentangan dengan apa yang perintahkan oleh Manarmakeri. Kejadian itu membuar dia kecewa dan merasa keberadaannya di daerah itu tidak dihargai. Dia mengingat kembali pengalamannya di kampung Sopen, kemudian di pulau Meobundi, di kampung Krawi dan terakhir di Numfor.

Manarmakeri tidak betah tinggal di daeah itu. Dia mengambil keputusan untuk pergi dari orang-orang dan negerinya sendiri untuk mencari tempat yang aman dan tenang. Dia pergi meninggalkan tempat itu ke suatu tempat yang penuh ketenangan dan kedamaian. Dia memperoleh rahasia hidup abadi yang ingin ia sumbangkan kepada sesamanya manusia tetapi tidak mau dimengerti untuk itu dia pergi. Dia pergi untuk suatu ketika kembali membawa suatu kehidupan baru berkelimpahan dan penuh kedamaian abadi seperti janji kibaran sampari (bintang kejora). Dia sempat meninggalkan beberapa pesan kepada warganya supaya jangan suka membunuh, jangan suka mencuri hak milik orang lain, dan menyiapkan rumah yang besar untuk menampung kekayaan yang akan datang dari sebelah barat.

Setelah berpesan demikian Manarmakeri bersama istrinya Insoraki naik perahu untuk pergi meninggalkan tempat itu. Namun anaknya Manarbeu terlihat masih asyik bermain pasir putih yang indah. Ketika Manarmakeri memintanya untuk naik ke parahu Manarbeu tidak mau. Dia asyik bermain seakan-akan pasir adalah teman seumurnya sampai dia tidak mau meninggalkannya. Untuk mengakali anaknya Manarmakeri melemparkan sepotong kayu yang kemudian berubah menjadi seekor ular bisa. Melihat ular itu, Manarbeu takut dan segera naik ke perahu. Sejak itu ular bisa tersebut berkembang menjadi baik di pulau Numfor dan hingga kini pulau itu dikenal sebagai pulau yang penuh dengan ular bisa.

Untuk kesekian kalinya Manarmakeri harus meninggalkan rakyatnya. Perahu segera bertolak meninggalkan pulau Numfor menuju ke sebelah Barat. Ia menyebrani selat dan lautan menyusuri pantai di pulau-pulau. Manarmakeri pernah singgah di sekelompok pulau yang kini dikenal sebagai kepulauan Raja Ampat. Setelah beberapa lama tinggal dan menyebarkan pengajarannnya, ia melanjutkan perjalanannya menuju ke Barat. Sejak keberangkatan hingga kini ia belum kembali. Menurut pesan yang ditinggalkan, ia akan kembali pada suatu saat dengan membawa kedamaian, harta benda serta makanan yang berkelimpahan. “Saat saya kembali, sampari akan berkibar-kibar dari ujung pulau hingga ke ujung pulau di atas tanah ini.” ***

*) Sekretaris Komunitas Pendidikan Papua
Catatan: Cerita ini pernah dipublikasikan melalui www.wikimu.com
BACA TRUZZ...- Manarmakeri

Pendidikan Pembebasan Berbasis Andragogi (Kombinasi Ivan Ilich dan Paulo Freire

Oleh PURYANTO*)

SEKOLAH itu lebih berbahaya daripada nuklir. Ia adalah candu! Bebaskan warga dari sekolah,” begitu kata Ivan Ilich. Kecaman sinis ini hingga saat ini bukanlah sekadar ungkapan apriori terhadap sekolah. Ia menjadi mantra yang hidup dan menantang bagi para pemikir pendidikan.

Kata-kata itu menjadi berbobot bukanlah sekadar ungkapannya yang bertendensi pada sikap asal nyleneh, melainkan didasarkan fakta yang melatarbelakanginya. Ilich saat itu melihat semua bentuk sekolah di berbagai negara telah terjebak pada semangat berpikir yang didasarkan tuntutan-tuntutan kebutuhan formal sekolah. Implikasi dari dominasi keduannya ini kemudian melahirkan suatu corak pendidikan yang hanya sekadar menjadi agen reproduksi sistem dan struktur sosial yang tidak adil seperti relasi gender, relasi rasisme, dan sistem relasi kekuasaan.

Relasi itulah yang kemudian memunculkan sikap ketidakpercayaan pada netralitas pendidikan oleh para pemikir kritis radikal seperti Frantz Fanon, Paulo Freire, Antonio Gramsci, dan Ivan Ilich. Mereka menganggap bahwa segala macam bentuk pemikiran tidaklah berdiri sendiri seperti yang diasumsikan para pemikir liberal. Ia hadir dari sebuah prosesi sejarah dan selalu terkait dengan situasi zaman saat pemikiran itu ada.

Memang, dalam tataran kognitif objektivitas menjadi sebuah keabsahan bagaimana netralitas ilmu pengetahuan tetap harus diposisikan. Pemikiran itu juga menegaskan bahwa masalah yang terjadi di masyarakat bukanlah terkait dengan persoalan politik ekonomi yang ada. Oleh sebab itu, orientasi pendidikan tidak bisa dihubungkan dengan keadaaan ekonomi politik di luar pendidikan.

Objektivikasi mengacu pada asumsi independensi sesuatu yang berdiri sendiri. Dalam bidang pemikiran, ia menjadi keharusan untuk lepas dari asumsi yang lahir dari segala macam bentuk pemikiran sebelumnya. Ia juga menjadi antitesis daripada asumsi-asumsi teologis zaman pertengahan yang selalu didominasi mistisime gereja (agama). Menjadi keharusan di sini adalah fakta dan data (empirisme) sebagai sebuah argumen untuk menyimpulkan segala sesuatu.
Lantas, apa yang salah dari pemikiran ini? Dalam tafsiran kritis, kata objektivikasi ini tidak ada salahnya, bahkan ia tetap harus dijadikan titik dasar metode penalaran terhadap realita. Namun, ketika ia diletakkan pada soal makro berkaitan dengan latar belakang pemikirannya, yang terjadi adalah wujud keharmonisan antara ide dan materi.

Ie menurut paham kritis adalah suatu bentuk premis dan kesimpulan yang dalam faktanya (bukan yang seharusnya) akan selalu terkait dengan persoalan yang melingkupinya. Oleh karenannya, pemikiran macam apa pun objektivnya ia menjadi sebuah entitas yang tidak mandiri dari realita sosial. ”Netralitas” ini pula oleh kalangan pemikir kritis radikal dikritik sebagai pemikiran yang tidak bertanggung jawab sekaligus terjebak pada arus hegemoni ideologi dominan kapitalisme. ”Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa bersikap netral, objektif maupun berjarak dengan masyarakat (detachment) seperti anjuran aliran positivisme”. (Fakih Mansour, 1999:22)

Konsepsi keberpihakan pendidikan ini sesungguhnya juga menjadi kritis solusi kaum liberal yang naif melihat maju atau mundurnya sebuah masyarakat hanya didasarkan aspek mentalitas. Terkait dengan kepentingan ekonomi politik modal di atas, adalah suatu kewajaran bila kemudian Presiden Megawati yang kita ketahui sangat lunak dengan program dan kebijakan ekonomi IMF dan Bank Dunia ini tanpa merasa berdosa kemudian mengatakan bahwa betapa soal mentalitas yang pada gilirannya juga menampilkan kadar disiplin sosial yang rendah bagi bangsa kita (Kompas, 2/5/2002).

Ketidaknetralan pendidikan ini rasanya amat sulit diterima oleh kalangan pemikir liberal termasuk di Indonesia. Independensi pendidikan yang dikembangkan oleh para pemilik modal selama masa Orde Baru setidaknya adalah wujud keberhasilan the dominant ideology (pembangunanisme) IMF dan Bank Dunia dalam melakukan transaksi investasi kebijakan arus modal. Ini juga yang kemudian banyak menyingkirkan peran pemikir kritis seperti Arief Budiman dan Sritua Arief untuk cukup puas menggagas ide di luar jalur kekuasaan.

Apa sesungguhnya pendidikan kritis?

Di atas telah diuraikan posisi pendidikan berkaitan dengan persoalan relasi sosialnya beserta kritik pemikiran kritis radikal terhadap kenetralan pendidikan aliran liberal/positivisme. Pertanyaan kemudian, apa sesungguhnya pendidikan kritis ini?

Pendidikan kritis pada dasarnya merupakan aliran, paham dalam pendidikan untuk pemberdayaan dan pembebasan. Pendidikan haruslah berbentuk suatu usaha yang mengarah pada cita-cita ideal/positif bagi umat manusia. Ia berfungsi sebagai usaha refleksi kritis, terhadap the dominant ideology ke arah transformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, strata gender, kemiskinan, marginalisasi kaum bawah dan penyelewengan HAM, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil.

Lebih idealnya, Paulo Freire mengatakan bahwa pendidikan haruslah berorientasi pada konsepsi dasar memanusiakan kembali manusia yang telah mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur sosial yang menindas (Pedagogi of the Opresed, New York 1986:67). Ia juga melakukan kritik terhadap kapitalisme dan mencita-citakan perubahan sosial dan struktural menuju masyarakat yang adil dan demo-kratis, suatu masyarakat tanpa eksploitasi dan penindasan.

Oleh karena itu, pendidikan dalam mainstream ini adalah media untuk resistensi dan aksi sosial yang tidak dapat dipisahkan dan merupakan bagian dari proses transformasi sosial. Perangkat pisau analisis yang dipakai dalam memahami kontradiksi sosial adalah perspektif kelas. Analisis kelas ini ini lebih memfokuskan pada relasi struktur sosial, ketimbang hanya memfokuskan pada korban eksploitasi. Dengan demikian, yang menjadi agenda utama pendidikan kritis adalah tidak sekadar menjawab kebutuhan praktis untuk mengubah kondisi golo-ngan miskin, terbelakang, namun juga (meminjam istilah Antonio Gramsci) adalah melakukan counter hegemoni dan counter wacana terhadap ideologi sosial yang telah mengakar dalam keyakinan.

Metode praksis
Metode praksis yang dipakai dalam persoalan ini bertitik tolak dari model pendidikan di luar kebanyakan sekolah formal yang kini banyak kita saksikan. Kalau pedagogi kita kenal sebagai manajemen mendidik anak, metode yang dipakai pendidikan kritis adalah andragogi yang dikenal sebagai mendidik orang dewasa.

Perbedaan keduanya sangat mencolok. Walaupun pedagogi bukan hanya seni mendidik anak dalam kategori usia, kebanyakan kita me-nyaksikan model ini dipakai oleh sistem sekolah kita. Pengertiannya adalah menempatkan murid sebagai anak-anak yang dianggap masih kosong dari ilmu pengetahuan. Ibarat botol kosong, ia perlu diisi dan setelah penuh, sang murid telah dianggap lulus/selesai.

Konsekuensi metode ini adalah menempatkan peserta didik secara pasif. Murid sepenuhnya menjadi objek dan guru menjadi subjek. Guru mengurui, murid digurui, guru memilihkan apa yang harus dipelajari, murid tunduk pada pilihan tersebut, guru mengevaluasi murid dievaluasi. Kegitan belajar ini me-nempatkan guru sebagai inti terpenting sementara murid menjadi bagian pinggiran (Seri Pendidikan Popular, 1999:24).

Berbalik dari itu, andragogi adalah pendidikan pendekatan orang ”dewasa” yang menempatkan murid sebagi subjek dari sistem pendidikan. Knowles (1970), menggambarkan murid sebagai orang dewasa diasumsikan memiliki kemampuan aktif untuk merencanakan arah, memiliki bahan, menyimpulkan, mampu mengambil manfaat, memikirkan cara terbaik untuk belajar, me-nganalisis dan meyimpulkan, serta mampu mengambil manfaat dari pendidikan. Fungsi guru adalah sebagai ”fasilitator”, bukan menggurui. Oleh karena itu, relasi antara guru dan murid bersifat multicomunication dan seterusnya.

Itulah yang diharapkan dari Ivan Ilich saat pendidikan kemudian sebagai sarana bagi ajang kreativitas minat dan bakat peserta. Visi pendidikan yang demokratis, liberatif kemudian menjadi kebutuhan yang pokok ketika kita masih punya satu cita-cita tentang bagimana pentingnya membangun kehidupan yang humanis. ***

*) Penulis adalah editor buku tinggal di Bandung.
BACA TRUZZ...- Pendidikan Pembebasan Berbasis Andragogi (Kombinasi Ivan Ilich dan Paulo Freire

Buramnya Pendidikan di Kabupaten Nabire

Oleh Yermias (Ignatius) Degei*)

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi permintaan Litbang Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Nabire (IPMANAB) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai bahan diskusi bagi anggota IPMANAB DIY. Topik yang diberikan kepada saya beberapa pekan lalu adalah “Pembangunan Pendidikan di Kabupaten Nabire”. Sayangnya, topik tersebut tidak sempat didiskusikan dalam forum besar. Hanya dapat didiskusikan dalam forum kecil saja. Jadi, tulisan ini adalah sebuah panduan diskusi yang saya persiapkan pada saat itu.

Saya rasa, poin-poin pokok dari realitas pembangunan pendidikan di kabupaten Nabire yang telah kami diskusikan itu perlu dipublikasikan untuk kepentingan pembangunan pendidikan di kabupaten Nabire. Tujuannya adalah mencoba mengungkapkan fenomena pembangunan pendidikan di kabupaten Nabire beberapa tahun terakhir.

Bagian awal dipaparkan tentang “HAK mahasiswa” dalam kaitannya dengan pembangunan pendidikan; kemudian tentang bangunan SMP dan SMA baru di Nabire; kemudian tentang fenomena “Akta 4” instan; selanjutnya sedikit tentang pelaksanaan Ujian Nasional; dilanjutkan dengan penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS); kemudian pemaparan buram pendidikan dasar di pedalaman Nabire secara sekilas; dan diakhiri dengan rekomendasi konkret atas beberapa persoalan.

Bantuan Studi Mahasiswa: HAK yang Tergadai
Mahasiswa asal kabupaten Nabire adalah aset pembangunan Papua dan khususnya kabupaten Nabre. Mahasiswa itu aset masa depan maka menjadi suatu kewajiban pemerintah daerah untuk memperhatikan (mendukung) mahasiswa. Dukungan yang saya maksud adalah berupa fasilitas belajar dan bantuan studi. Mahasiswa punya hak untuk mendapatkan perhatian itu. Namun kenyataan selama ini berkata lain. Nyatanya adalah siapa dekat, siapa tunduk, siapa berani, siapa saudara!

Selama beberapa tahun terakhir mahasiswa Nabire seakan anak ayam kehilangan induk. Tidak punya asrama (yamewa/hamewa) sehingga setiap saat mahasiswa harus menyewa gedung atau tempat untuk pertemuan. Bahkan ketika pemerintah kabupaten Nabire datang ke Yogyakarta untuk memberikan bantuan gempa, mahasiswa Nabire harus menyewa kantin Universitas Sanata Dharma untuk tempat pertemuan. Lantas, IPMANAB Yogyakarta tidak memiliki asrama (yame owa/hamewa) untuk tempat pertemuan. Mahasiswa Nabire di Yogyakarta tidak punya tempat untuk berkumpul bersama sebagai satu keluarga Nabire di Yogyakarta.

Sementara itu, bantuan studi yang merupakan HAK mahasiswa juga telah tergadai. “Kami akan kasih bantuan, kalau kamu tidak kritis”. Mahasiswa dituntut untuk tunduk dan manut pada sebuah kebobrokan. Pemerintah daerah selama ini takut pada kekritisan mahasiswanya. Bukankah seharusnya pemerintah harus bangga melihat asetnya kritis.

Orang tua mahasiswa (pemerintah daerah Nabire) yang seharusnya membiarkan anak-anaknya tumbuh dan berkembang dengan idealisme-idealisme masa depan, justru dipangkas habis dengan kepentingan politik sesaat. Idealisme mahasiswa seakan-akan diharapkan tukar dengan yang sebenarnya HAK mahasiswa, yaitu mendapatkan fasilitas dan bantuan studi. Bukan sebuah kebohongan apabila mahasiswa mengatakan HAK kita selama ini menjadi proyek kepentingan politik. Diskriminasi (nepotisme) juga mendapat ruang dalam proyek pemberian bantuan studi.

Orang tua (pemerintah daerah) punya alasan kadaluarsa untuk tidak memenuhi HAK mahasiswa. Pemerintah terus dan selalu membawakan mahasiswa pada kepengurusan IPMANAB masa lalu. Artinya, ketika mahasiswa dengan kepengurusan yang baru mengajukan permohonan untuk bantuan asrama, jawabannya adalah “kalian tidak akan menjaga dengan baik seperti dulu”. Padahal kepengurusan (orang-orang/oknum-oknum) yang tidak menjaga asrama dengan kepengurusan saat ini sungguh berbeda. Apakah memang harus disamakan? Tentu tidak. Kepengurusan sekarang lain dengan kepengurusan masa lalu. Maka sebenarnya bukan menjadi sebuah alasan mendasar untuk tidak memenuhi HAK mahasiswa. Entalah!

Mengapa mendapatkan bantuan adalah HAK mahasiswa?
Dana Otonomi khusus (Otsus) untuk pembangunan pendidikan di tanah Papua adalah alasannya. Dana Otsus Papua mencapai milyaran. Sebagai mahasiswa Nabire punya hak untuk mendapatkan dana pendidikan yang katanya milyaran rupiah itu. Dana pendidikan untuk tiap kabupaten di Papua jumlahnya sama. Dari dana yang jumlahnya sama itu, coba perhatikan kabupaten lain. Kabupaten lain sungguh nyata dan transparan dalam pengalokasian untuk mahasiswanya. Banyak data tentang hal ini, misalnya mahasiswa Puncak Jaya digaji Rp 500.000/bulan.

“Bupati Kabupaten Puncak Jaya, Drs Elieser R mengatakan, setiap mahasiswa asal Puncak Jaya diberikan biaya kuliah Rp 500.000,00/bulan. Uang sebesar itu diberikan secara merata setiap bulan. Pemberian biaya kuliah ini tidak hanya bagi mereka yang kuliah di Jayapura, namun yang kuliah di luar provinsi Papua seperti di Manado, Jogjakarta dan sejumlah provinsi lainnya juga ikut diberikan. Bahkan menurutnya, khusus untuk membiayai kuliah mahasiswa yang berjumlah kurang lebih 2.000 orang ini pemerintah daerah harus mengeluarkan anggaran sekitar 9 miliar rupiah dari APBD tiap tahun. Setiap tahun anggaran bantuan bagi mahasiswa asal Puncak Jaya ini jumlahnya meningkat terus. "Anggaran setiap tahunnya, khusus untuk biaya kuliah mahasiswa ini berubah-ubah, artinya terus mengalami peningkatan karena jumlah mahasiswa dan biaya yang digunakan tentunya terus bertambah," ujarnya kepada wartawan usai meresmikan Asrama Kinaonak di Youtefa, Kotaraja, Kamis (22/9) kemarin.
Anggaran 9 miliar rupiah ini dikhususkan untuk biaya mahasiswa, artinya anggaran beasiswa untuk tingkat SD, SMP dan SMA belum termasuk, atau posnya tersendiri. Selain diberikan tunjangan biaya untuk kuliah, mahasiswa asal Puncak Jaya ini juga dibuatkan sejumlah asrama, baik di Jayapura maupun di luar provinsi Papua. Seperti di Jogjakarta, Sulawesi Utara (Manado) dan sejumlah provinsi lainnya juga dibagunkan asrama mahasiswa, (Ito, Cenderawasih Pos).

Data tentang bantuan berupa biaya studi dan fasilitas (asrama) dapat juga dibandingkan dengan kabupaten lain. Misalnya, kabupaten Sorong Selatan, jangankan bantuan, kepala daerah langsung datang ke tiap kota studi untuk berdialog dengan mahasiswa. Sungguh luar biasa! Mahasiswa memang rindu pemimpin seperti itu. Banyak contoh lain, Merauke, Wamena, Biak, Seruai, Fak-fak dan kabupaten lainnya sudah ada asrama putra dan putri. Yang menarik dari kabupaten lain adalah pemerintah membangun komunikasi dengan mahasiswa sehingga pemerintah tahu benar mahasiswanya. Tahu yang berarti, tahu tentang data bidang A ada berapa orang, bidang B ada berapa dan seterusnya.

Akhirnya pemerintah merencanakan dengan baik bidang apa yang kurang dan bidang apa yang musti harus mendapat perhatian. Tentukan sesuai kebutuhan di lapangan. Pertanyaannya adalah ke manakah dan diatur dengan manajemen seperti apakah dana pembangunan pendidikan untuk kabupaten Nabire selama ini? Kita tidak tahu entah ke mana HAK mahasiswa Nabire di Yogyakarta. Memang, perlu diakui bahwa bantuan insidental itu ada, yaitu berupa bantuan transportasi ketika mahasiswa pulang liburan. Sayangnya, itupun kalau kita mampu bertahan berhari-hari di kantor kabupaten. Selain itu, beberapa waktu lalu pemerintah Nabire juga melakukan pendataan mahasiswa tugas akhir, namun penyalurannya meninggalkan berbagai pertanyaan. Bantuan itu tidak dinikmati oleh semua mahasiswa Nabire yang sudah mengumpulkan data dan memang punya HAK untuk itu.

Mekanisme dan dasar penentuan jumlah bantuan tidak jelas. Ada yang dapat satu juta, ada yang satu juta lima ratus, ada pula yang sampai lima juta dan ada juga yang justru tidak dapat. Bahkan, konon dikabarkan sekelompok anak dapat 18 juta per orang? Apakah itu adil? Mahasiswa eksak yang sebenarnya membutuhkan dana lebih banyak untuk penelitian justru ada yang dapat satu juta saja. Lebih aneh lagi tidak ada konfirmasi dari pemerintah tentang nama-nama mahasiswa yang telah dibantu (yang sudah ditransfer uangnya) dan yang belum berdasarkan data yang telah dikumpulkan beserta alasannya. Bantuan sungguh meninggalkan kecemburuan sosial antar mahasiswa Nabire di Yogyakarta.

Dalam sebuah diskusi forum kecil itu, Derek Mote sesepuh mahasiswa mengatakan, mendapatkan asrama dan bantuan studi itu HAK mahasiswa. HAK itu ada dan HAK itu harus mahasiswa dapat. Namun selama ini pemerintah Nabire memperlakukan adik-adik tidak manusiawi. Padahal mahasiswa ini adalah anak-anak dari pemerintah. Pemerintah itu orang tua kita, maka mestinya dia perhatikan kita.

“Saya sebagai sesepuh sangat sedih melihat kalian (mahasiswa) harus menyewa tempat pertemuan, harus tinggal dua tiga orang di satu kamar, dan ada yang putus studi karena tidak ada biaya. Selama ini pemerintah justru sibuk dengan politik. Terutama tentang Pemekaran Provinsi Irian Jaya Tengah, Kotamadya Nabire dan pemekaran Kabupaten Dogiyai. Ini tidak benar. Bahkan anehnya HAK mahasiswa itu justru di bawah ke dalam masalah politik. Artinya HAK mahasiswa dipolitisir,” kata Derek Mote tugas belajar dari PT Freeport Indonesia di Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan Yogyakarta ini.

Kata Derek, kita berdoa saja, mudah-mudahan bantuan pendidikan yang adalah HAK kita itu selanjutnya tidak tergadai oleh kepentingan tertentu. Pemerintah Nabire bagaimanapun juga adalah orang tua kita, maka mereka tetap akan memperhatikan kita.

SMP dan SMA Baru: Proyek Jitu Era OTSUS
Pendidikan yang pada hakikatnya membantu manusia (muda) untuk menemukan diri dan mengantarkan ke arah alam kedewasaan untuk membebaskan diri dari berbagai keterbelakangan sungguh tidak nampak di Papua. Jangan heran bila berpuluh-puluh tahun anak-anak di pedalaman harus belajar tentang Becak, Kereta, Gunung Bromo, Ini Bapak Budi dan segala macam yang ada di Jawa. Ini pendidikan abstrak atau pendidikan pembodohan. Membuat orang tidak mengenal tentang dirinya, lingkungan dan yang penting tentang masa depannya.

Mereka tidak berkembang sungguh. Pemberlakuan Otonomi Khusus (otsus) di tanah Papua seakan menjadi angin segar untuk melakukan perubahan di berbagai bidang, termasuk pembangunan pendidikan. Namun dari sistemnya orang Papua masih belum bisa berbuat banyak. Orang Papua hanya bisa membangun dari sisi fisik, yaitu sekolah baru dan perbaikan sekolah yang sudah ada, namun itupun belum sepenuhnya.

Sana sini masih banyak yang harus dibenahi. Angin segar yang dibawa oleh Otsus ini dimanfaatkan oleh banyak orang. Pemanfaatannya dari sisi yang mendatangkan uang, yaitu memperbanyak sekolah. Hampir di setiap kabupaten orang mulai membuka sekolah baru “banyak-banyak”. Apakah itu negeri maupun swasta atas nama SDM.

Sumber Daya Manusia Papua yang tertinggal menjadi alasan utama mengejar dana Otsus yang memang tidak sedikit. Peluang ini diintip oleh orang-orang tertentu di Papua, khususnya di Nabire. Banyak orang mengusulkan ke pemerintah untuk membuka sekolah baru. Mereka bersembunyi di balik ketertinggalan. Ketertinggalan benar-benar menjadi daun untuk membungkus proyek kejahatan kemanusiaan itu. Kejahatan kemanusiaan karena usulan pembanguan “sekolah baru” itu tanpa pertimbangan berbagai hal yang harus dipenuhi (fasilitas, guru, kurikulum, sistem pembelajaran dan tetek bengek lainnya) yang harus diperhatikan di sebuah “sekolah baru”.

Hasil dari institusi pendidikan bernama sekolah itu hanya nilai dan ijazah. Di sekolah yang dibangun dengan dasar yang tidak bagus, pembelajaran terjadi hanya sebatas transfer pengetahuan. Siswa seakan menjadi kertas kosong yang dicorak-coret oleh guru semaunya. Guru menjadi mahatahu, siswa belajar, guru mengajar. Tidak ada keterampilan, pendidikan dan moral. Cara ini namanya marginalisasai dengan cara paling rapi dan baru, yaitu pembodohan orang Papua oleh orang luar dan orang sendiri di era Otsus. Pemerintah daerah harus berani membongkar pembodohan berkedok “pembangunan sumber daya manusia” ini.

Jumlah sekolah yang banyak tidak menjamin peningkatan SDM. Sumber daya manusia hanya akan terbangun apabila lembaga yang bernama sekolah itu benar-benar dibangun dengan guru, fasilitas, manajemen serta sistem pembelajaran yang baik. Keberanian pemerintah diuji di sini, apakah pemerintah berani dan memunyai visi yang mulia untuk SDM sehingga mengefektifkan kembali sekolah-sekolah yang ada. Artinya mengurangi dan melengkapi. Kongkretnya bubarkan saja sekolah-sekolah yang terkesan main-main dan hanya cari uang tanpa membangun SDM dan fasilitas untuk benar-benar membangun sumber daya manusia. Pemerintah memang selektif karena kini sekolah sudah menjadi bisnis (kapitalisme yang licik---istilah Ivan Ilich).

Dalam diskusi, Alumnus SMTP Pertanian Nabire, Derek Mote mengatakan, sekolah-sekolah SMA yang baru itu justru akan melahirkan penggangguran baru yang tidak terampil. “SMA Negeri 3 Bomonani dan SMA Negeri di Moanemani misalnya, tidak akan menghasilkan apa-apa. Salah satu sekolah dari dua SMA itu harus segera dijadikan SMK. Daerah pedalaman harus dibangun sekolah yang sesuai dengan keadaan lingkungan dan masyarakat. Kebanyakan masyarakat di pedalaman itu masih petani dan peternak tradisional, sehingga perlu dibangun atau salah satu SMA diganti dengan SMK. Harapannya pertanian dan peternakan tradisional itu lambat laun meningkat menjadi pertanian dan peternakan semi modern,” kata mahasiswa yang menyelesaikan sekolah dasarnya di SD Negeri Moanemani dan menyelesaikan SMP Negeri Bomomani Mapia itu.

“Akta 4” Instan di Kabupaten Nabire?
Sejarah selalu berulang. Dulu, guru-guru "dikejar-kejar" akta mengajar. Sekarang para sarjana non-kependidikan "mengejar-ngejar" akta mengajar. Tidak salah memang, karena bunyi salah satu pasal Undang-Undang Guru dan Dosen adalah kewajiban setiap tenaga pengajar memiliki akta mengajar. Selain UU yang mewajibkan “Akta 4” juga di daerah-daerah seperti Nabire yang kekurangan guru adalah hal yang menggembirakan apabila para sarjana non-kependidikan mengejar-ngejar “akta 4” . Semakin banyak sarjana non-kependidikan yang “mengejar-ngejar”“Akta 4” semakin terpenuhi pula kekosongan guru di sekolah.

Terpenuhinya tenaga guru itu tidak hanya dari sisi kuantitas tetapi juga dari sisi kualitasnya. Lantas, program “Akta 4”/Mengajar bertujuan untuk membekali kompetensi mengajar yang profesional. Kompetensi bidang studi dan memadukannya dengan metodologi pembelajaran yang tepat baik secara teoretik maupun praktik untuk diimplementasikan dalam proses pembelajaran. Karena tidak hanya kuantitas maka, program “Akta 4” membekali kompetensi mengajar bagi sarjana non-kependidikan. Program Akta-4” ini mensyaratkan beban studi 36 SKS sampai dengan 40 SKS dengan kurikulum paket yang dapat diselesaikan dalam waktu 2 (dua) semester.

Fenomena yang terjadi di kabupaten Nabire tidak semulia itu. Dikabarkan, salah satu kepala SMP swasta di kota Nabire membuka kesempatan bagi sarjana non-kependidikan untuk mendapatkan “Akta 4” dalam waktu yang singkat. Konon, “Akta 4” yang mensyaratkan beban studi 36 SKS sampai dengan 40 SKS dengan kurikulum paket yang dapat diselesaikan dalam waktu 2 (dua) semester itu dapat diperoleh secara instan.

Fenomena ini, memang suatu keuntungan bagi yang membutuhkan atau terdesak oleh kebutuhan ekonomi dan harus cepat kerja. Namun masalahnya mungkin mengenai mutu pendidikan yang ditawarkan para pengelola "Akta 4" itu. Apakah dapat dijamin menghasilkan tenaga pengajar dan pendidik handal, atau sekadar memenuhi formalitas kepemilikan sertifikat? Dalam hal ini, pihak yang berwenang wajib memperhatikannya.

Politisasi Ujian Nasional: Siswa Lulus atau Meluluskan
Meluluskan sama dengan menjadikan lulus; diluluskan (ada bantuan/siswa pasif ). Sementara lulus berarti berhasil dalam ujian tanpa unsur bantuan. Standar keberhasilan pendidikan di sebuah sekolah atau sebuah kabupaten diukur dengan kompetensi lulusan. Bicara soal hakikat dari pendidikan berarti nilai serta kelulusan itu bukan ukuran. Ukurannya adalah sejauh mana siswa itu menjadi kompeten dengan apa yang dia pelajari, menjadi dirinya sendiri, mengenal diri dan lingkungannya, memiliki wawasan untuk saat ini dan ke depan.

Bagaimana siswa dapat memahami dan menerapkan apa yang dipelajarinya di ruang kelas dalam kehidupan nyata, baik keterampilan maupun sikap. Dia dapat mencerminkan kompetensinya melalui nilai di atas kertas tanpa bantuan apa-apa dalam ujian dan dari siapapun. Membantu siswa pada saat ujian itu jelas-jelas membunuh anak untuk tidak berkembang. Budaya itu harus kita tinggalkan. Ada beberapa kasus terkait Ujian Nasional yang terjadi di Nabire beberapa waktu lalu menarik untuk disoroti.

Pada ujian tahun 2006, misalnya dikabarkan beberapa sekolah di Nabire sudah mendapatkan soal ujian beberapa hari sebelum pelaksanaan Ujian Nasional. Guru mengajarkan para siswa berdasarkan soal Ujian Nasional yang telah didapatnya. Kemudian apabila masih ada siswa yang tidak lulus, maka pada ujian susulannya siswa hanya mengisi nama, kemudian blangko isiannya di isi oleh guru. Hasilnya adalah lulus seratus persen.

Lulus seratus persen di sekolah tertentu dengan proses meluluskan ini dinilai sebagai keberhasilan sekolah bersangkutan maupun bagi pemerintah. Sekolah yang benar-benar meletakkan pendidikan pada hakikatnya dan bila pada saat Ujian Nasional tidak lulus beberapa orang maka sekolah tersebut harus dicap tidak berkualitas. Jadi sekolah tertentu termasuk pemerintah melihat keberhasilan pembelajaran bukan dengan kompetensi tetapi sejauh mana sekolah itu membantu meluluskan siswanya pada ujian nasional. Kompetensi siswa adalah urusan belakang.

Yang penting semua siswa harus diluluskan demi gengsi dan kepentingan. Kalau pendidikan masih harus dipolitisir demi nama baik sekolah dan pemerintah semata, maka itu merupakan penggianatan atas pembangunan sumber daya manusia yang sesungguhnya, yaitu mempertemukan manusia dengan kodrat sejatinya KEMANUSIAAN. Kita harus mengakhiri!

Dana BOS: Bantuan untuk BOS, Kepala Sekolah, atau OS?
Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) berasal dari kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) untuk meringankan beban pendidikan. Terutama untuk meringankan uang SPP bagi siswa. Namun kenyataan berkata lain. Siswa tetap membayar SPP dalam jumlah yang sama degan sebelum ada BOS, bahkan bertambah mahal.

Persoalannnya tidak hanya itu, penyaluran dana BOS di Kabupaten Nabire justru mengisahkan beberapa pertanyaan, apakah dana BOS ini untuk Bos (pejabat terkait), untuk kepala sekolah, untuk OS (operasional sekolah) atau justru ketiga-tiganya? Saya akan bercerita. Ini menarik.

Ada tiga cerita. (1) “Dana BOS bantuan untuk Bos?” Akhir tahun 2005, saya amati para kepala sekolah SD dari pedalaman Nabire membanjiri kota Nabire. Mereka tinggal berbulan-bulan. Setiap hari pulang pergi ke kantor dinas pendidikan seakan-akan sudah menjadi kantor mereka. Suatu ketika saya bertanya kepada seorang kepala SD. “Pak, akhir-akhir ini guru-guru SD memenuhi dinas pendidikan hampir setiap hari itu ada apa? “Kami menunggu pencairan dana BOS dari dinas,” katanya menjelaskan.

Bapak guru kepala SD dari pedalaman ini mengatakan bahwa dia dan teman guru lainnya sudah berbulan-bulan menunggu pencairan dana BOS. Ketika ditanya mengapa lama-lama, pak guru itu mengatakan, pihak dinas menunda-nunda hingga berbulan-bulan untuk membangikan dana BOS. Semua data yang diminta telah kami kumpulkan. Pada awalnya ambil uang di kantor pos, kemudian dialihkan ke bank Papua, lalu katanya pemrintah akan membukakan rekening di Bank Rakyat Indonesia (BRI).

Saya hanya dengar cerita itu. Selanjutnya saya tidak tahu, dana BOS dibagikan setelah berapa lama, melalui bank apa, dan dalam bentuk apa? Apabila tidak dijelaskan dengan baik mengapa harus lama, mengapa pada awalnya lewat A lalu berubah lewat B dan seterusnya berarti ini menjadi wilayah abu-abu yang meninggalkan pertanyaan. Jumlah dana yang besar, jangka waktu di bank lama, bunganya berapa? Dari tempat A ke tempat B juga kalau diberikan keterangan bisa memunculkan kecurigaan persekongkolan. Kalau tidak transparan, pertanyaan “Dana BOS bantuan untuk BOS (?), bisa menjadi jawaban dalam konteks ini.

(2) Dana BOS bantuan untuk kepala sekolah? Suatu ketika salah satu staf direktorat Jendral Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda, Departemen Pendidikan Nasional melakukan kunjungan kerja di daerah. Pada saat itu dia lebih banyak bergaul dengan para guru. Dia juga tanya-tanya dan cari tahu informasi tentang penggunaan dana BOS kepada guru-guru. Sebagian guru tidak tahu bahwa dia dari Jakarta. Secara spontan seorang guru berkata, “Aduh bagi dana BOS cepatkah? Saya banyak utang jadi. Orang-orang yang punya utang ada tunggu di rumah. Saya sudah janji untuk ganti mereka punya uang dengan dana BOS.” Karena penasaran staf dari pusat ini berkomentar lagi, “Iyo sekolah kami juga ada pinjaman untuk perbaiki kursi dan meja”. Lalu kata guru yang tadi, “Kalau saya punya itu utang pribadi. Bukan atas nama sekolah”.

Cerita ini juga mengisahkan betapa banyak guru di pedalaman merasa bahwa dana BOS adalah uang pribadi mereka sehingga menggunakan seenaknya untuk kepentingan mereka. Kalau hal seperti ini yang terjadi, maka benar bahwa dana BOS bantuan untuk kepala sekolah?

(3) “Dana BOS untuk Operasional Sekolah?” Tujuannnya memang mulia adanya. Dana itu merupakan bantuan operasional, khususnya untuk meringankan beban siswa untuk membayar SPP. Dengan adanya dana BOS diharapkan beban siswa untuk membayar SPP berkurang bahkan ditiadakan, namun tagihan tetap saja ada. Sebenarnya, dana BOS itu bukan untuk Bos, bukan juga untuk kepala sekolah dan memang bukan untuk siapa-siapa. Dana BOS memang harus dikembalikan pada tujuan mulianya, yaitu untuk meringankan beban siswa.

Wajah Buram Pendidikan Dasar di Pedalaman Nabire
Seorang anak SMA di Nabire melaporkan, pendidikan di daerah pedalaman (pegunungan) kabupaten Nabire sangat hancur atau sangat tertinggal dari daerah daerah lain. Dari data yang ada jumlah sekolah yang terdapat di daerah pedalaman (pegunungan) kabupaten Nabire sekitar 60-an sekolah dasar. Sekolah-sekolah tersebut terdapat dalam 4 distrik di antaranya: Kecamatan Sukikai, Kecamatan Mapia, Kecamatan Kamuu dan Kecamatan Ikrar Idakebo.

Dari sekian banyak sekolah tersebut, hanya 4 sekolah yang murid-muridnya dapat menerima pelajaran dengan baik dan lancar, karena gurunya dan fasilitasnya (gedung sekolah) lengkap, yaitu: SD YPPK St. Maria Timepa, Kecamatan Mapia, SD INPRES Bomomani, Kecamatan Mapia, SD YPPK St. Yoseph Moanemani, Kecamatan Kamuu, dan SMP YPPK St. Fransiskus Asisi Moanemani, Kecamatan Kamuu, sehingga murid-murid dari ke empat sekolah tersebut boleh dikatakan menonjol dari sisi prestasinya. Terutama dari sisi berberbahasa Indonesia, berhitung, bergaul dengan masyarakat luar dan sebagainya. Keempat sekolah ini merupakan sekolah yang dianggap mutunya agak baik di daerah pegunungan (pedalaman) Kabupaten Nabire. Sedangkan sekolah–sekolah yang lain murid-muridnya tidak dapat menerima pelajaran dengan baik karena beberapa hal.

Pertama, kurangnya guru di setiap sekolah, misalnya saja, SD INPRES Deneiode (Kecamatan Sukikai) 6 kelas ditangani oleh 1 (satu) guru, yaitu pak guru Benendiktus Magai karena guru di sekolah tersebut hanya dia sendiri; SD YPPGI Adauwo 6 kelas ditangani oleh 3 guru; SD YPPGI Magode, 6 kelas ditangani oleh 2 guru; dan masih ada sekitar 50-an sekolah. Ini bukan fiksi, ini fakta di lapangan yang didata oleh seorang siswa SMA di Nabire. Keterbelakangan siswa bukan karena murid-muridnya yang tidak mampu tetapi karena tidak ada guru yang bersedia untuk mengatur, menjaga, mengajar, mengarahkan dan mendidik mereka. Kebanyakan guru tinggal di kota dan mereka ke pedalaman hanya pada saat ujian.

Belum ada pengawasan langsung dari dinas pendidikan setempat. Sementara itu guru-guru yang masih mengajar di setiap sekolah di pedalaman (pegunungan) kabupaten Nabire semuanya sudah lanjut usianya, pak guru Leonardus Degei, 63 tahun usianya, pak guru Marius Petege, 66 tahun usianya, dan masih bayak guru lain yang se-umur dengan mereka. Tidak ada upaya persiapan guru dari dinas setempat atau pemerintah untuk menggantikan mereka. Sebenarnya dari pemerintah mengirimkan guru-guru pendatang (non pribumi) untuk mengajar di daarah pedalaman tetapi guru-guru tersebut cepat kembali lagi ke kota karena mereka tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya sehingga membuat mereka tidak bertahan hidup di pedalaman.

Epilog: Sebuah Rekomendasi
Pendidikan adalah yang paling baik untuk mengangkat harkat dan martabat manusia. Pendidikan adalah alat pembebasan dari berbagai ketertinggalan. Pendidikan ada untuk mempertemukan manusia dengan kodrat sejatinya, yaitu KEMANUSIAAN. Maka rekomendasi kongkret dan segera dari realitas yang dipaparkan di atas adalah:

Hubungan (komunikasi) antara mahasiswa Nabire tiap kota studi di seluruh Indonesia dengan pemerintah daerah Nabire harus dibangun kembali. Bantuan berupa fasilitas belajar (asrama) dengan pengawasan dan evaluasi berkala adalah suatu hal yang mendesak. Selain itu, beasiswa atau minimal bantuan berkala tiga bulanan atau semesteran bagi mahasiswa Nabire, khususnya bagi mahasiswa yang orangtuanya tidak mampu. Bantuan Praktek Kerja Lapangan (PKL), Kuliah Kerja Nyata (KKN), serta bantuan tugas akhir juga adalah harus diperhatikan. Untuk bantuan yang terakhir ini pemerintah daerah dan pengurus IPMANAB di tiap kota studi di Papua dan luar Papua perlu komunikasi untuk kepentingan pendataan. Pengurus IPMANAB setiap triwulan melaporkan berapa orang yang PKL, berapa yang KKN, berapa yang penelitian, serta berapa orang yang wisuda sekaligus bidang ilmu dari masing-masing mahasiswa. Pendanaan untuk ini harus ditetapkan dari APBD dan tranparansi penyalurannya adalah hal yang penting umtuk kelancarannya.

Sesuatu yang awalnya baik, prosesnya baik tetapi akhirnya tidak baik adalah roh jahat. Sekolah-sekolah baru, terutama SMA awalnya untuk membangun SDM orang Papua, prosesnya baik, hasilnya adalah nilai tinggi tetapi tidak berkompeten juga adalah kapitalisme yang licik. Sekolah yang benar adalah sekolah yang mendampingi anak-anak untuk belajar menemukan diri, mengenal lingkungan, mengenal masa depan dan mempersiapkan secara kognitif, afektif dan psikomotorik sehingga benar-benar menjadi kompeten. Banyak sekolah baru di Nabire akan menjadi roh jahat dalam pembangunan sumber daya manusia. Maka, bila perlu pemerintah mengefektifkan sekolah-sekolah baru. Sekolah Menengah Atas (SMA) yang tidak sesuai dengan konteks daerah juga akan melahirkan pengangguran baru yang tidak kompeten. Maka, beberapa SMA di pedalaman, khususnya SMA Negeri Bomomani dan SMA Negeri Moanemani harus diganti menjadi SMK pertanian dan peternakan.

“Akta 4” mensyaratkan beban studi 36 SKS sampai dengan 40 SKS dengan kurikulum paket yang dapat diselesaikan dalam waktu 2 (dua) semester tidak dapat diperoleh secara instan. Hal ini terutama, jika kita ingin membangun sumber daya manusia Papua, khususnya kabupaten Nabire. Membangun manusia bukan instan seperti yang dilakukan oleh salah satu kepala SMP swasta di Nabire itu. Kita butuh proses. Yang dilakukan kepala SMP swasta di Nabire itu adalah menyelamatkan yang gurunya untuk saat ini dan membunuh yang bibit (masa depan anak-anak Papua). Pemerintah seharusnya bertindak tegas dan menghentikan atau mengelola dengan benar demi generasi Papua yang akan di datang.

Biarkan Ujian Nasional mengevaluasi kompetensi siswa secara benar. Saatnya kita tinggalkan gengsi dan politisasi ujian nasional. Dengan membiarkan siswa mengerjakan sendiri tanpa bantuan, akan membantu kita untuk mengevaluasi keberhasilan sekolah dan khususnya siswa. Yang harus dibantu adalah bukan pada ujian nasional. Kita harus membantu dalam proses belajar siswa di sekolah. Dinas terkait bisa membantu siswa dengan menyediakan fasilitas perpustakaan umum meningkatkan profesionalisme tenaga pengajar, melakukan evaluasi semester dan lainnya. Bagi sekolah dan guru adalah dengan proses pendampingan yang serius. Kita harus beralih ke budaya lain yang lebih rasional.

Dana BOS untuk Operasional Sekolah. Itu tujuan utamanya memang. Dana itu merupakan bantuan operasional, khususnya untuk meringankan beban siswa untuk membayar SPP. Dengan adanya dana BOS diharapkan beban siswa untuk membayar SPP berkurang bahkan ditiadakan. Jangan membebani siswa dan orang tua dengan biaya yang tidak penting di era BOS. Yang jelas, dana bos itu bukan untuk Bos, bukan juga untuk kepala sekolah dan memang bukan untuk siapa-siapa. Dana BOS memang harus dikembalikan pada tujuan mulianya, yaitu untuk meringankan beban siswa. Kita harus berani!

Salah satu indikator keberhasilan pembangunan di kabupaten Nabire adalah pembangunan pendidikan dasar di pedalaman Nabire. Maka pendidikan di pedalaman Nabire harus ditangani secara khusus dan serius. Pelengkapan fasilitas, terutama buku-buku pelajaran, peningkatan profesionalisme guru dengan evaluasi yang benar, serta beasiswa putra pedalaman untuk belajar di bidang keguruan juga harus dilakukan oleh pemerintah. Sebenarnya, permasalahan pendidikan tidak sekedar itu (bisa jadi bukan itu yang utama) tetapi persoalan-persoalan pokok dan nyata di kabupaten Nabire yang dipaparkan di atas ini perlu di diskusikan secara lebih serius dan mendalam untuk menemukan kebenaran dan mencarikan solusi yang lebih mendalam demi perubahan pendidikan kota kita tercinta, Nabire.

*) Sekretaris Komunitas Pendidikan Papua

Catatan: Tulisan ini pernah dipublikasikan melalui www.wikimu.com
BACA TRUZZ...- Buramnya Pendidikan di Kabupaten Nabire

Peningkatan Profesionalisme Tenaga Pengajar: Agenda Mendesak Pembangunan Pendidikan di Tanah Papua

Oleh Yermias (Ignatius) Degei*)

Prolog

Pendidikan pada dasarnya diselenggarakan dalam rangka membebaskan manusia dari berbagai persolan yang melingkupinya dan mempertemukan manusia dengan kodrat sejatinya, yakni kemanusiaan. Paulo Freire melalui Yunus, (2002) mengatakan, pendidikan adalah salah satu upaya pengembalian fungsi manusia agar terhindar dari berbagai keterbelakangan, maka pendidikan harus menjadikan alat pembebasan. Maka itu, kualitas pendidikan dapat dilihat dari sejauh mana suatu bangsa membangun manusianya untuk membebaskan dirinya dan lingkunganya.

Dalam rangka membebaskan manusia dari berbagai keterbelakangan itu bangsa kita terus dan selalu mencari format pendidikan yang sesuai untuk membebaskan manusia Indonesia dari berbagai keterbelakangan. Pencarian format pendidikan itu terlihat dengan perubahan kurikulum setiap selang sepuluh tahun. Namun kurikulum yang selalu dimunculkan itu justru menambah persoalan pendidikan kita, karena kurang tersosialisasi dan para pelaku pendidikan dilapangan enggan menerjemahkan serta merealisasaikan konsep-konsep tersebut dalam pembelajaran di sekolah. Dalam hal ini di tanah Papua , misalnya selama ini konsep-konsep kurikulum kurang tersosialisasikan dengan baik kepada praktisi pendidikan (guru). Selain itu guru sebagai praktisi di lapangan tidak pernah dilibatkan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mengetahui konsep-konsep tersebut. Kalaupun dilibatkan melalui kegiatan seminar, pelatihan atau lokalarya sekalipun hanya berlalu sebagai kewajiban. Bukan suatu kebutuhan.

Bagaimana mungkin sebuah kurikulum berhasil, kalau roh kurikulum itu tidak menjiwai seorang guru. Misalnya, ketika secara konseptual kurikulum Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) diterapkan dengan harapan meningkatkan keaktifan siswa secara fisik, mental, intelektual dan emosional. Dalam penerapan CBSA itu guru menjadi kambing hitam kegagalan kurikulum tersebut. Sementara itu, banyak pihak menilai kurang adanya sosialisasi mengakibatkan penerjemahan yang kurang baik di lapangan oleh praktisi dilapangan (guru). Persoalan pendidikan di Papua tidak hanya itu, kebanyakan guru (tamatan tahun 70-an) sampai saat ini sulit melepaskan diri dari model pembelajaran yang mereka terima dari guru mereka di bangku Sekolah Guru Bawahan (SGB) dan Sekolah Pendidikan Guru (SPG).

Penerapan kurikulum 2004 yang dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di Papua, dikhawatirkan akan mengalami nasif yang sama dengan kurikulum CBSA dan kurikulum lainya. Anita Lie (2005) mengatakan, penggunaan berbagai jargon dalam kurikulum nasional misalnya, siswa aktif, kompetensi, kewarganegaraan dan sebagainya tidak dilandasi dengan paradigma yang mantap dan relevan dengan konteks budaya dan lingkungan setempat. Selain itu, selama kurikulum berlum tersosialisasi atau diterjemahkan dengan baik oleh guru dalam pembelajaran, maka kualitas pendidikan di suatu daerah tetap akan terpuruk.

Keterpurukan kualitas dan kuantitas pendidikan di Papua yang tak pernah terselesaikan ini tidak terlepas dari mutu tenaga pengajar yang ada. Selain itu, persoalan geografis, fasilitas, kesejahteraan guru, kesesuaikan kurikulum dengan budaya dan lingkungan hidup, penanganan yang kurang becus dari pemerintah dan keseriusan pemerintah daerah dan banyak persoalan lainya menjadi masalah klasik yang tak pernah terselesaikan.

Faktor yang satu mempengaruhi factor yang lain. Misalnya, apabila fasilitasnya memadai, apakah juga akan didukung oleh profesionalisme guru. Kalau profesionalisme guru memadai, bagaimana dengan kesejahteraan gurunya. Karena tentu saja, fasilitas dan seprofesional apapun seorang, kalau kesejahteraan belum memadai tentu saja dia akan mencari penghasilan tambahan. Dia akan pergi meninggalkan tugas utamanya, sehingga di sekolah hanya catat dan ceramah. Dalam keadaan seperti ini tahap perencanaan dan evaluasi tidak pernah terjadi di sekolah sehingga apa yang harus diajarkan dan hasilnya bagaimana tidak pernah terlihat. Itulah mata rantai keterpurukan pendidikan di Papua.

Secara khusus kompetensi (profesionalisme) guru di tanah Papua sungguh juga menjadi suatu factor utama ketertinggalan pendidikan. Selama ini, pihak-pihak yang peduli dengan pendidikan Papua masih berpikir fasilitas dan tenaga pendidik. Perhatian dan peningkatan kompetensi tenaga pengajar masih belum begitu terlihat. Sebenarnya, tenaga pengajar harus memahami bagaimana merencanakan pembelajaran (model, metode, dan media), proses pembelajaran dan sampai pada tahap evaluasi adalah hal yang perlu dilakukan seorang guru (pengajar). Karena memang berbicara mengenai peningkatan kualitas pendidikan di tanah Papua tidak terlepas dari kompetensi tenaga pengajar. Penanganan pendidikan yang bagus dari pemerintah, fasilitas yang memadai, kesejahteraan guru cukup, serta kurikulum berbasis budaya dan lingkungan Papua, nampaknya belum cukup menjawab persoalan pendidikan di Papua. Sebenarnya, persoalan utama keterpurukan pendidikan di tanah Papua tidak terlepas dari profesionalisme tenaga pengajar.

Untuk itu, peningkatan kompetensi tenaga pengajar merupakan satu aspek penting yang harus juga mendapat bagian dalam penanganan pendidikan di tanah Papua. Nampaknya memang peningkatan profesionalisme tenaga pengajar bukan sekedar isu tetapi benar-benar suatu keharusan yang harus dijawab. Persoalannya adalah oleh siapa, melalui apa dan bagaimana cara atau mekanisme meningkatkan profesionalisme tenaga pengajar? Apakah pemerintah atau lembaga independen atau justru kedua-duanya. Dan kalau itu sudah jelas, realitas sosial budaya dan lingkungannya bagaimana dan kompetensi seperti apa yang harus ditingkatkan?

Kompetensi Tenaga Pengajar Ideal
Berbicara tentang kompetensi guru adalah berbicara tentang pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dimiliki seorang tenaga pengajar serta penerapannya di dalam pekerjaan sesuai dengan kebutuhan lapangan. Standar kompetensi guru meliputi tiga komponen, yakni (1) kompetensi pengelolaan pembelajaran dan wawasan kependidikan; (2) kompetensi akademik sesuai materi pembelajaran; dan (3) pengembangan profesi, (Depdiknas, 2004).

Kompetensi pertama menyangkut: penyusunan rencana pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai prestasi pembelajar, melaksanakan tindak lanjut hasil penilaian pembelajar. Kompetensi kedua menyangkut menguasaan keilmuan dan keterampilan sesuai materi pembelajaran (bidang ilmu). Sedangkan yang ketiga menyangkut pengembangan profesi tenaga pengajar dengan terus belajar dan menulis baik karya ilmiah maupun karya popular untuk seminar maupun publikasi di media massa. Karena seorang pengajar diharapkan mengembangkan profesionalismenya dengan membaca dan menulis (pengembangan profesi).
Secara rinci kompetensi guru yang diharapkan oleh KBK menuju profesionalisme tenaga pengajar, (Depdiknas, 2004) adalah:

A. Pengelolaan Pembelajaran
Penyusunan Rencana Pembelajaran, menyangkut: mendeskripsikan tujuan pembelajaran, menentukan materi pembelajaran sesuai kompetensi yang telah ditentukan, mengorganisasian materi, mengalokasi waktu, menentukan metode, merencanakan prosedur pembelajaran, menentukan media pembelajaran, dan menentukan sumber belajar.

Melaksanakan Pembelajaran, menyangkut: membuka pelajaran sesuai metode, menyajikan materi pelajaran secara sistematis, menerapkan metode dan prosedur yang telah ditentukan, mengatur kegiatan siswa di kelas, menggunakan media pembelajaran, menggunakan sumber belajar, memotivasi siswa dengan berbagai sumber, melakukan interaksi dengan siswa/pembelajar, memberikan pertanyaan umpan balik, menyimpulkan pembelajaran, dan menggunakan waktu secara efektif dan efisien.

Menilai Prestasi Belajar, menyangkut: menyusun perangkat penilaian, melaksanakan penilaian, memeriksa jawaban/memberikan skor tes hasil belajar, menilai hasil belajar, mengolah hasil penilaian, menganalisis hasil penilaian, menyimpulkan hasil penilaian, menyusun laporan hasil penilaian, dan memperbaiki soal.

Tindak Lanjut Penilaian, menyangkut: mengidentifikasi kebutuhan tindak lanjut hasil penilaian, menyusun program tindak lanjut hasil penilaian, melaksanakan tindak lanjut, mengevaluasi tindak lanjut, dan menganalisis hasil evaluasi.

B. Wawasan Kependidikan
1. Memahami Landasan Kependidikan, menyangkut: menjelaskan tujuan dan hakikat pendidikan, menjelaskan tujuan dan hakikat pembelajaran, menjelaskan konsep dasar pengembangan kurikulum, dan menjelaskan struktur kurikulum.

2. Memahami Kebijakan Pendidikan, menyangkut: menjelaskan visi, misi dan tujuan pendidikan nasional, menjelaskan tujuan pendidikan tujuan intitusional pendidikan, menjelaskan sistem dan standar kompetensi guru, memanfaatkan standar kompetensi siswa, menjelaskan konsep pengembangan pengelolaan pembelajaran yang dilakukan, menjelaskan konsep pengembangan manajemen pendidikan yang diberlakukan, dan menjelaskan konsep dan struktur kurikulum.

3. Memahami Tingak Perkembangan Siswa, menyangkut: menjelaskan psikologi pendidikan yang mendasari perkembangan siswa, menjelaskan tingkat-tingkat perkembangan siswa, dan mengidentifikasi tingkat perkembangan siswa.

4. Memahami Pendekatan Pembelajaran, menyangkut: menjelaskan teori belajar yang sesuai dengan pembelajaranya, menjelaskan strategi dan pendekatan, dan menjelaskan metode pembelajaran.

5. Menerapkan Kerja Sama dalam Pekerjaan, menyangkut: menjelaskan arti dan fungsi kerja sama dan menerapkan kerja sama dalam pekerjaan.

6. Memanfaatkan Kemajuan IPTEK dalam Pendidikan, menyangkut: menggunakan berbagai fungsi internet terutama email dan mencari informasi, menggunakan computer minimal untuk mengetik, dan menerapkan bahasa Inggris untuk memahami literature.

C. Kompetensi Akademik
Kompetensi akademik, yakni menguasai materi pembelajaran sesuai bidangnya.

D. Pengembangan Profesi
Pengembangan profesi, menyangkut: menulis karya ilmiah hasil penelitian, menulis karya ilmiah hasil tinjauan bidang pendidikan, menulis ilmiah popular, menulis buku modul/diktat, membuat alat pelajaran, menciptakan karya seni, dan mengikuti kegiatan pengembangan kurikulum, dan lain-lain.

Pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dimiliki seorang tenaga pengajar yang diharapkan memang suatu tuntutan yang tidak bisa ditawar-tawar. Itupun kalau memang semua pihak memahami hakikat pelaksanaan pendidikan sebagai proses pembebasan. Tenaga pengajar diharapkan memahami dan harus menerapkan di dalam pekerjaan sesuai dengan kebutuhan lapangan.

Perlu disadari bahwa proses memahami kompetensi tensebut dan menerapkannya oleh tenaga pengajar merupakan bukan hal yang gampang. Persoalan pendidikan di tanah Papua bukan sekedar persoalan tenaga pengajar. Ada banyak persoalan yang kait mengait justru akan mempengaruhinya. Berikut ini akan dipaparkan berbagai persoalan yang melingkupi dunia pendidikan di Papua, khususnya kompetensi tenaga pengajar di tanah Papua.

Realitas Kompetensi Tenaga Pengajar di Papua
Kompetensi tenaga pengajar di Papua sama tidak menggembirakannya dengan pembangunan infrastruktur penungjang pendidikan dan kesejahteraan guru. Dari sisi infrastruktur hampir seluruh bangunan peninggalan zaman kolonial. Begitu pula tenaga guru. Sebagian besar guru (khususnya di pedalaman) adalah juga tamatan Sekolah Guru Bawahan (SGB) zaman klonial. Selebihnya adalah tamatan Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Hal yang sungguh memprihatinkan adalah sebagian banguanan sekolah yang dibangun pada zaman kolonial itu, kini sudah ditutup karena persoalan tenaga pengajar. Di pedalaman, sampai saat ini dapat ditemui sebuah sekolah hanya satu atau dua guru saja (baru masalah kuantitas belum lagi masalah kualitas). Demikian adanya kuantitas infrastruktur (yang tidak berisi) dan tenaga pengajar.

Lain persoalan kalau berbicara mengenai kompetensi (mutu) atau kualitas guru yang ada di Papua hingga saat ini, lebih-lebih di pedalaman. Kompetensi tenaga pengajar di Papua terlihat dengan kualitas lulusan. Banyak siswa tamatan sekolah dasar maupun sekolah menengah pertama di pedalaman yang tidak bisa membaca dan menulis dapat bercerita tentang kompetensi guru di Papua, khususnya di pedalaman.

Keterpurukan kompetensi atau mutu guru di Papua disebabkan karena banyak faktor. Seperti yang telah dipaparkan pada bagian atas bahwa, faktor yang satu menyebabkan faktor yang lain. Faktor mendasar merosotnya mutu guru di Papua menurut pengalaman penulis, antara lain karena:

(a) Sekitar 80 persen guru (khususnya guru SD dan SMP) yang ada di Papua, khususnya di pedalaman adalah guru-guru produk paradigma pendidilan lama (antara tahun 70-an sampai 90-an). Proses pembelajaran yang dilakukan adalah cara pembelajaran yang mereka terima di bangku sekolah puluhan tahun yang lalu. Sistem transfer pengetahuan kaya bank. Para guru itu adalah tamatan Sekolah Guru Bawahan (SGB) zaman klonial. Selebihnya adalah tamatan Sekolah Pendidikan Guru (SPG).

Mereka (guru-guru) tidak pernah tahu dan tidak pernah diberitahu secara benar dan tepat mengenai teknik, metode dan paradigma pendidikan yang baru. Kalaupun seandainya ada sosialisasi secara baik tentang paradigma pendidikan baru, dengan fasilitas apa mau dibelajarkan. Buku paket saja mereka masih menggunakan buku paket yang mereka gunakan (ajarkan) sejak tahun 70-an.

(b) Lemahnya penguasaan bahan yang diajarkan. Jangankan penguasaan paradigma pendidikan atau kurikulum baru, bahan yang harus diajarkan penguasaannya masih lemah. Akibat dari itu situasi pembelajaran yang terjadi adalah MSH (mencatat sampai habis). Pembejarah tidak pernah tahu untuk apa dia belajar, apalagi mengerti apa yang dia catat.

(c) Ketidaksesuaian dengan bidang yang dipelajari guru dengan yang diajarkan di sekolah.

(d) Para guru jarang belajar dari keberhasilan dan kegagalan dari pembelajan yang mereka lakukan.

(e) Kurangnya wibawa guru terhadap murid.

(f) Lemahnya motivasi dan dedikasi yang sungguh-sungguh menjadi pendidik. Kebanyakan orang menjadi guru hanya kebetulan saja sebagai alternative terakhir. Pembangunan manusia tidak bisa lepas dari rendahnya mutu guru (kompetensi intektual) dan material. Faktor materil yang kecil ini menyebabkan orang muda yang berkualitas malas menjadi guru. Yang menjadi guru adalah mereka yang terpaksa dan mutunya biasa-biasa saja.

(g) Keterlibatan guru dalam penyusuan kurikulum sudah tidak ada. Guru hanya sebagai operator kurikulum. Padahal konteks ideal guru harus terlibat mulai dari persiapan penyusunan kurikulum, penyusunan, pelaksanaan, dan sampai pada tahap evaluasi.

(h) Kurangnya kematangan emosional, kemandirian berpikir dan keteguhan sikap. Dari kepribadian mereka tidak siap menjadi pendidik. Kebanyakan guru dalam hubungannya dengan murud hanya berfungsi sebagai pengajar bukan pendidik.

(i) Lemahnya perhatian dan kontrol langsung ke lapangan oleh pemerintah daerah, dalam hal ini pelaksana pendidikan di daerah. Pelaksana pendidikan di daerah malas turun ke lapangan. Tidak pernah ada tinjauan dan sosialisasi paradigma pendidikan baru. Ada rencana training para guru dengan dana yang besar dengan waktu yang panjang, misalnya. Setelah dana tersebut sudah ada, materi dipadatkan yang penting ada laporan, ada presensi, ada piagam untuk urusan credit poit, dan uang tranfort dibagikan. Tidak pernah ada evaluasi dan kontrol. Pokoknya kegiatan terlaksana dan dana terpakai habis. Titik.

(j) Kesejahteraan guru. Kurangnya kesejahteraan guru yang memadai sungguh berpengaruh pada kompetensi guru. Karena gaji gurunya kecil, para guru selalu saja mencari penghasilan tambahan. Guru di kota, pada sore hari berprofesi sebagai tukang ojek atau pekerjaan lain yang mendatangkan uang. Guru di pedalaman pulang sekolah bekerja kebun atau piara ternak. Tidak ada waktu lagi untuk membaca, merencanakan pembelajaran, mengevaluasi. Pokoknya pergi ke sekolah menghabiskan materi pelajaran. Anehnya, kadang-kadang gaji para guru sering terima pertengahan bulan, akhirnya setelah menerima gaji hanya menutup utang. .

Upaya Peningkatan Mutu Guru
Peningkatan kompetensi (profesionalisme) guru adalah juga peningkatan kualitas pendidikan di Papua, walaupun tetap dan terus tak akan terselesaikan. Karena memang masalah pendidikan di Papua adalah sangat kompleks. Namun dari sisi kompetensi guru perlu dicari berbagai alternatif penigkatan profesionalisme guru.

Dari pemaparan kompetensi guru idel dan realitas tenaga pengajar yang dipaparkan di atas perlu terus dicari upaya-upaya memperbaiki mutu guru di Papua. Beberapa yang perlu dilakukan oleh guru, pemerintah pusat dan daerah serta lembaga swasta adalah sebagai berikut:
(a) Tidak boleh memposisikan guru hanya sebagai operator kurikulum dan terlalu banyak berharap kepada kompetensi guru. Kompetensi akan tercipta apabila guru terlibat langsung dalam perencanaan kurikulum, pelaksanaan kurikulum dan sampai pada tahap evaluasi kurikulum.

(b) Pemerintah membantu para guru untuk mengajar dengan lebih efektif dan efisien. Artinya pemerintah harus membentuk sebuah lembaga pendidikan sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat. Bersama lembaga ini pemerintah dapat membantu para guru untuk meningkatkan mutunya. Lembaga ini bertugas, melaksanakan analisis langsung di lapangan, merencanakan program sesuai kebutuhan di lapangan, melaksanakan kegiatan (pelatihan, lokakarya atau bentuk kegiatan apapun yang tepat untuk meningkatkan mutu pengajar sesuai kebutuhan lokalitas dan tentu saja tuntutan zaman), mengkontrol, dan melakukan evaluasi jangka pendek dan jangka penjang serta memprogramkan kembali.

(c) Di kabupaten-kabupaten di Papua perlu dibagun laboratorium micro teaching. Melalui laboratorum ini juga membantu para guru untuk meningkatkan kemampuan mereka mengajar dan mengelola bahan untuk mengajar. Melalui laboratorium ini berbagai model dan pendekatan diajarkan kepada para guru dan terus dilakukan evaluasi terus menerus supaya para guru semakin mantap.

(d) Pemerintah perlu membagun pusat penelitian, pengembangan dan pelayanan. Hal ini hubungannya dengan kebijakan atau paradigma pendidikan baru dan dengan kenyataan dilapangan bisa sepaham.

(e) Tidak kalah pentingnya adalah melalui dinas pendidikan dan pengajaran kabupaten perlu dilakukan sosialisasi dan evaluasi setiap semester. Untuk mempermudah sosialisasi dan evaluasi ini pemerintah daerah perlu menempatkan pegawai di tiap distrik serta perpustakaan di tingkat distrik.

(f) Idelisme guru yang murni kini sudah tidak terlihak lagi, maka idealisme murni para guru harus ditumbuhkan. Guru dihadapkan pada dua pilihan, apakah tetap berdiri pada idealisme yang utuh atau uang. Karena harapan profesianlsime guru yang ideal akan menjadi apabila guru lepas dari persaoalan matraial dan permasalahn lain yang melingkupinya. Kalau ekonomi guru tidak teratasi sekolah sebagai lembaga pengabdi kemanusiaan semakin hari meremuk-redam.

(g) Kebanggaan guru harus ditumbuhkan. Ada beberapa hal yang memungkinkan hal ini seperti ungkapan Y. Triyono, SJ. Kepala SMP Kanisius Jakarta, (Basis, 2005) adalah: (a) Aktualisasi potensi diri. Kerena itulah kemampuan, kreativitas, dan keberanian guru harus diberi ruang. (b) terpenuhinya kebutuhan mendasar antara lain mengakuan, hormat, perhatian, kepedulian dan sebagainya. (c) keselarasan antara pekerjaan dan nilai-nilai yang diyakininya.

Epilog
Sebenarnya, ketertinggalan pendidikan sepanjang zaman di Papua bukan semata faktor kompetensi (profesionalisme) guru. Persoalan pendidikan di Papua adalah masalah keseriusan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Kurang adanya kontrol langsung baik sosialisasi paradigma pendidikan, kontorol pelaksaan pendidikan dan penggunaan bantuan dana pendidikan di lapangan adalah salah satu faktor keterpurukan pendidikan. Dan memang banyak problema lainnya. Persoalan yang satu mengakibatkan persoalan yang lain.

Namun tentu saja, perkembangan selalu menuntut perubahan. Demikian juga dengan dunia pendidikan, maka gurupun harus berubah sesuai paradigma pendidikan kekinian. Perkembangan pendidikan, kemajuan teknologi, psikologi pendidikan, dan pedagogi, serta cara manusia belajar menuntut lembaga pendidikan khususnya guru memikirkan kembali. Maka tidak ada jalan lain, kalau memang kita mau mengubah wajah pendidikan Papua, maka guru harus berubah dan kita harus membuat guru berubah.

Membuat guru berubah (profesional) adalah dengan melibatkan guru dalam perencanaan, pelaksanaan dan sapai pada evaluasi serta umpan balik. Selain itu pemerintah pusak harus membentuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) pendidikan di Papua. Lembaga ini ikut ambil bagian dalam pelaksanaan pendidikan di daerah. Mulai dari mengadakan pelatihan-pelatihan tentang paradigma pendidikan baru, mengadakan penelitian, peninjauan ke lapangan langsung, merencanakan program peningkatan mutu tenaga pengajar dengan evaluasi setiap semester. Lembaga ini bisa juga melakukan pengawasan langsung terhadap pengelolaan pendidikan di daerah.

Terlepas dari berbagai kendala, harapannya adalah guru harus berubah atau dibuat berubah. Perubahan yang dimaksud bukan sekedar kompetensi intelektual tetapi juga kecakapan intrapersoanal. Guru yang dewasa adalah guru yang memahami, menerima dan mampu berelasi, dengan diri sendiri, secara mendalam. Selain itu, menumbuhkan nilai-nilai, tujuan-tujuan, aspirasi, etik, dan filosofi seorang guru. Karena kemampuan interpersonal kualitas relasi dengan orang lain, misalnya, rekan kerja, murid, orang tua murid, karyawan, dan masyarakat adalah bagian dari kompetensi yang harus dimiliki guru. Jadi, intinya adalah kompetensi guru perlu ditingkatkan. Sejalan dengan itu, kesejateraan guru juga harus menjadi perhatian yang sejalan dengan peningkatan mutu. Pemerintah pusat harus membentuk salah satu lembaga yang benar-benar mempunyai motivasi untuk mengubah. Melalui lembaga itulah berbagai kegiatan peningkatan mutu dapat dilakukan, termasuk idealisme dan kebanggaan guru.

*) Sekretaris Komunitas Pendidikan Papua

Catatan: Tulisan ini pernah dipublikasikan melalui www.wikimu.com dan pernah dimuat di Tabloid Suara Perempuan Papua. Dari berbagai sumber (sumber ada di penulis)
BACA TRUZZ...- Peningkatan Profesionalisme Tenaga Pengajar: Agenda Mendesak Pembangunan Pendidikan di Tanah Papua

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut