Wacana Konspiratif Intelektual Papua

Sabtu, Januari 26, 2008

Jaksa Agung RI melarang buku Tenggelamnya Rumpun Melanesia (Yogyakarta, Galang Press, 2007) karya Sendius Wonda karena kejaksaan menganggapnya bisa ‘mengganggu ketertiban umum’. Kalau kita cermati substansinya, secara eksplisit dan berulang-ulang di dalam bukunya, Wonda berpendapat bahwa penyebaran pesat HIV/AIDS, kegemaran pada minuman keras di kalangan orang asli Papua, kekerasan aparat negara (TNI/Polri), kehadiran OPM, Keluarga Berencana, transmigrasi dan migrasi spontan serta ‘islamisasi’ di Papua adalah hasil program terencana pemerintah RI untuk memusnahkan orang asli Papua (ras Melanesia) yang juga beragama Kristen.

Tren Wondaisme
Tren Wondaisme—diambil dari nama penulisnya—bukanlah hal baru. Cara berpikir dan perspektif yang simplistis dan konspiratif ini bisa dibaca di banyak laman internet, didengar di berbagai diskusi, serta dibaca di beberapa buku yang ditulis oleh intelektual muda Papua. Bagi mereka, segala yang buruk di Papua adalah produk desain politik yang rapi dan sistemik dari Jakarta (bisa dibaca TNI, Pemerintah Pusat, BIN, dll). Jakarta diyakini memiliki kemampuan sistemik dan benar-benar ingin memusnahkan penduduk asli Papua (baca genocide). Dalam konteks wacana politik di Papua, perspektif Wondaisme cenderung klise dan tidak kritis. Bedanya dengan penulis yang lain, Wonda lebih emosional, tegas, dan hitam-putih.

Wondaisme meneguhkan dan merepresentasi suatu budaya teror yang mendalam dan meluas di Papua. Budaya ini merupakan produk khas dari sejarah dan pengalaman kekerasan (intimidasi, teror dan pembunuhan), serta keterpinggiran politis dan ekonomis orang Papua. Meskipun kekerasan fisik oleh aparat negara sudah berkurang, hingga hari ini aktivis Papua atau pun pendatang yang membela hak-hak dasar orang Papua masih mengalami intimidasi dan teror. Dirasakan oleh banyak pihak adanya operasi intelijen besar-besaran di Papua. Sementara itu, kehadiran pendatang yang makin besar dalam kuantitas dan semakin dominan di segala sektor terutama ekonomi, menjadi tekanan sosial tersendiri. Secara budaya, orang asli Papua juga mengalami ketakutan akan terjadinya ketersingkiran dan dalam bentuk yang ekstrim: kepunahan.

Ketakutan, ketakberdayaan dan upaya perlawanan yang dihasilkannya diberi ‘rumah’ dalam bahasa dan diinternalisasi serta dijustifikasi dalam dogma agama, revivalisasi adat, dan ideologi politik, sebagai strategi bertahan hidup. Sintesis ini mewujud dalam bentuk tradisi lisan seperti rumor, mob, doa-doa, cerita-cerita di rumah adat, dan tradisi baru tulisan seperti pesan pendek (sms), selebaran, dan buku seperti yang ditulis oleh Wonda. Dalam perspektif tradisional Papua, segala kejadian buruk, bahaya, dan krisis kehidupan bersumber dari disharmoni antara manusia dan swanggi (kekuatan supranatural). Kini, secara metaforis, swanggi itu bertransformasi menjadi pemerintah NKRI, BIN, TNI, dan sebagainya.

Tradisi Baru Intelektual Papua
Dari sudut pandang yang lain, kita seharusnya bergembira dengan tumbuhnya tradisi tulisan dan lapisan intelektual baru Papua. Di antara para intelektual itu, pertama, ada yang reflektif seperti Benny Giay dan Phil Erari. Kedua, ada yang menggebu dan berani seperti Socratez Yoman, Sem Karoba, Yafeth Kambai dan Jacobus Dumupa. Sendius Wonda termasuk di kelompok kedua. Di antara yang muda, karya Decki Pigay adalah salah satu yang terbaik: runtut, detil, dan relatif mampu menjaga jarak. Ada kemiripan wacana di antara para penulis ini. Terkecuali Erari, kebanyakan memiliki satu paradigma oposisi politik identitas dalam memahami konflik Papua, yakni: Indonesia, Melayu, Rambut Lurus, Pendatang dan Islam versus Papua, Melanesia, Keriting, pribumi dan Kristen.

Sebagian dari mereka adalah produk pendidikan NKRI yang sering dituduh gagal. Sebagian lagi adalah produk pendidikan dari luar negeri. Semangat menulis dan perspektif politik yang makin berani adalah juga didorong oleh semangat reformasi dan transisi politik di Indonesia, yang dengan segala kekurangannya, semakin liberal dan demokratis. Dengan begitu orang terdorong dan berani menyatakan pikiran dan pendapatnya secara terbuka. Yang positif dari perkembangan ini adalah pemerintah terbantu memahami salah satu sisi kondisi psikologis dan kultural orang asli Papua. Fenomena ini seharusnya menjadi masukan yang berguna untuk memperbaiki kebijakan dan sikap pemerintah pusat di Papua.

Anomali Demokrasi
Kejaksaan Agung menggunakan UU No 5/1969 sebagai dasar untuk melarang peredaran buku tersebut. Definisi tentang “mengganggu ketertiban umum” tentu cenderung sepihak dan subyektif serta terbuka untuk diperdebatkan. Kebijakan yang menggunakan ‘pasal karet’ ini, di mata para pendukung demokratisasi di Indonesia, bertentangan dengan semangat reformasi, keterbukaan dan demokratisasi di Indonesia. Secara prinsip, kebijakan itu dianggap bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28, UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No 11/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik.

Sudah banyak buku yang isinya mirip karya Wonda, dan ternyata tidak dilarang dan ‘ketertiban umum’ tidak juga terganggu. Pihak kejaksaan melupakan kenyataan bahwa pembaca umum juga memiliki kecerdasan untuk menilai apakah isi buku tertentu berbobot atau tidak. Kalau isinya tidak berdasar tentu akan segera dilupakan orang. Seperti dalam pengalaman sejarah, pelarangan buku adalah iklan gratis. Publik menjadi penasaran dan memburu buku tersebut. Pasar gelap beroperasi dan buku menjadi laris, mahal dan terkenal.

Dalam hal ini, Wonda boleh berterima kasih pada Jaksa Agung RI yang menjadi biro iklan sukarela untuk promosi bukunya. Pelarangan buku Wonda oleh Kejaksaan Agung adalah kebijakan defisit. Dalam perhitungan politik, kebijakan itu merugikan citra pemerintah RI. Pelarangan buku itu simbol represi dan sikap otoriter yang diwarisi dari Orde Baru. Kebijakan ini bisa menjadi senjata untuk terus menunjukkan pada dunia internasional bahwa Indonesia yang sudah mulai demokratis, bertindak diskriminatif di Papua. (Foto: Cunding Levi, TSPP)

Sumber: http://muridan-papua.blogspot.com
(Versi panjang artikel ini dimuat di Tabloid Suara Perempuan Papua, awal Januari 2008)
BACA TRUZZ...- Wacana Konspiratif Intelektual Papua

DARI PELATIHAN PAUD DAN KEAKSARAAN FUNGSIONAL

Kamis, Januari 24, 2008

“Mengawali Pembangunan SDM Papua dengan PAUD”

BOMOMANI (Selangkah)--Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan hal yang paling penting dalam pembangunan sebuah bangsa. Berbicara tentang pembangunan adalah juga berbicara tentang sejauh mana kesiapan SDM yang berkualitas untuk membangun. Tanpa SDM yang cukup kita tidak dapat membangun sebuah bangsa secara kuantitas dalam bentuk pembangunan fisik maupun kualitas hidup masyarakatnya.

Demikian kata sekretarus Komunitas Pendidikan Papua (KPP), Yermias Degei mengawali materinya tentang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) pada pelatihan PAUD dan Keaksaraan Fungsional yang diselenggarakan oleh Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) KOBOUGE di Bomomani Kecamatan Mapia pedalaman Nabire pada 17 Desember 2007.

Pada pelatihan bertema ”Revitalisasai Anak Bangsa Menuju Hasrta Masyarakat Melalui PAUD dan Keaksaraan Fuungsional” itu Degei mengatakan, SDM yang berkualitas adalah SDM yang tidak sekedar memiliki kemampuan kognitif (intelektual) belaka tetapi juga memiliki kepedulian atau jiwa sosial, hati nurani, hubungannya dengan Yang Maha Kuasa (spritualitas) serta memiliki fisik yang baik (psikomotorik) untuk melakukan perubahan (pembangunan). Keseimbangan antara unsur kognitif, afektif, spritual dan psikomotorik sangat penting dan perlu dibangun di tanah Papua.
“Dengan demikian pembangunan SDM Papua yang benar-benar berkualitas harus dibangun dari PAUD. Kalau kita berbicara tentang perbaikan pendidikan Papua untuk menciptakan SDM orang Papua yang berkualitas maka harus mulai dari suatu gerakan bersama PAUD. Kita harus mengawali pembangunan SDM orang Papua yang berkualitas itu dengan dengan membangun PAUD,” katanya.
Di hadapan 80 peserta utusan dari enam distrik di daerah pedalaman kabupaten Nabire dia mengatakan, berbagai penelitian telah membuktikan bahwa usia di bawah enam tahun (balita) atau kini lebih dikenal dengan ‘Anak Usia Dini’ adalah usia yang paling kritis atau paling menentukan dalam pembentukan karakter dan kepribadian seseorang. Termasuk juga pengembangan intelegensi hampir seluruhnya terjadi pada usia di bawah lima atau enam tahun.

“Hasil penelitian di bidang Neurologi menemukan bahwa perkembangan intelektual sampai dengan 4 tahun = 50 %, sampai dengan 8 tahun = 80 %, dan sampai dengan 18 tahun = 100%. Sementara pertumbuhan fisik otak pada 0 tahun =25 %, 6 tahun =90%, dan 12 tahun = 100 %,” paparnya.

Dia mengatakan, masa emas perkembangan anak hanya datang sekali (terutama pada usia di bawah 4 tahun), karena itu tidak boleh disia-siakan. Anggapan bahwa pendidikan baru bisa dimulai setelah usia SD tidak benar. Bahkan pendidikan yang dimulai pada usia TK (4-6 tahun) pun sebenarnya sudah terlambat.
“Kita, biasanya siap mengorbankan waktu bertahun-tahun dan uang berjuta-juta rupiah untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Untuk apa? — untuk mendapatkan sedikit tambahan intelegensi, karena sedikitnya kemampuan sel-sel otak yang tersisa. Sebaliknya orang kurang memperhatikan pendidikan anak-anak pada usia belia. Anak-anak usia belia memiliki bermilyar-milyar sel-sel syaraf otak yang sedang berkembang dan memiliki kemampuan yang dahsyat....serta daya ingat yang kuat.
Maka pendidikan yang menanamkan nilai-nilai luhur kemanusiaan (pengembangan intelegensi/kecerdasan, karakter, kreativitas, moral, dan kasih sayang universal) sangatlah perlu diberikan pada anak-anak sejak usia dini,”jelas Degei.

Siapa yang Melakukan PAUD?
”PAUD dapat dilakukan oleh semua orang tua dan siapa saja yang mengetahui bagaimana caranya. Jika orang tua karena satu dan lain hal tidak melaksanakan fungsinya sebagai pendidik, fungsi ini dapat dialihkan (sebagian) kepada pengasuh, lembaga pendidikan/penitipan anak, lingkungan atau siapa saja yang mampu berperan sebagai pengganti. Peran pengganti ini dapat dilakukan baik di lingkungan keluarganya (pengasuh/baby sitter) atau di luar lingkungan keluarga seperti TPA, Kelompok Bermain atau lembaga PAUD lain. Namun, di pedalaman belum memiliki TPA, Kelompok Bermain (hanya di ibu kota distrik) atau lembaga PAUD lain maka lebih banyak dilakukan oleh orang tua di rumah,” katanya menjawab pertanyaan peserta.
Dia memaparkan, berbicara masalah pendidikan, hendaknya kita jangan hanya terpaku pada sistem persekolahan yang dibatasi empat buah dinding putih dengan bangku yang tertata rapi. Bagi anak usia dini, orang tua merupakan guru yang terpenting dan rumah tangga merupakan lingkungan belajar utamanya. ”Harus diingat bahwa fungsi PAUD bukan sekedar untuk memberikan berbagai pengetahuan kepada anak, melainkan yang tidak kalah pentinnya adalah untuk mengajak anak berpikir, bergaul, berekspresi, berimajinasi tentang berbagai hal yang dapat merangsang pertumbuhan hal-hal baru dan memperkuat yang telah ada serta menyeimbangkan berfungsinya kedua belahan otak. Oleh karena itu lingkungan yang baik untuk PAUD adalah lingkungan yang membuat anak melakukan kegiatan demikian,” kata Degei menjelaskan.

Lebih lanjut dia menjelaskan,. lingkungan yang kondusif adalah faktor penting bagi perkembanan anak. Tidak selamanya anak ingin bermain bersama atau minta ditemani. Pengaturan lingkungan yang membuat anak dapat bergerak bebas dan aman untuk kegiatan bermain dan bereksplorasi merupakan kondisi yang sangat baik bagi perkembangan anak. Kegitan bermain dan bereksplorasi sangat penting bagi anak untuk meningkatkan daya imajinasi dan kreativitas serta diperolehnya pengalaman-pengalaman baru. Apabila anak tekun berlama-lama dalam suatu kegiatan, menandakan tingginya minat anak terhadap kegiatan itu, sebab secara psikologis pada urnumnya anak di bawah usia 6 tahun ketekunannya terhadap suatu objek tidak lebih dari 2 menit.

Bermain Bagi Anak Dini Usia Itu Penting
Dalam makalahnya, Degei mengatakan, bermain bagi anak adalah kegiatan yang serius tetapi menyenangkan. Menurut Conny R. Serniawan, bermain adalah aktivitas yang dipilih sendiri oleh anak karena menyenangkan, bukan karena hadiah atau pujian (Serniawan, 2002). Melalui bermain semua aspek perkembangan anak dapat ditingkatkan. Dengan bermain secara bebas anak dapat berekpresi dan berekplorasi untuk memperkuat hal-hal yang sudah diketahui dan menemukan hal-hal baru. Melalui permainan, anak-anak juga dapat mengembangkan semua potensinya secara optimal, baik potensi fisik maupun mental intelektual dan spritual.


Anggapan yang Keliru
Lebih lanjut dia mengatakan, selama ini ada anggapan dari masyarakat kita bahwa lingkungan yang baik untuk perkembangan anak (bayi) adalah ruangan yang berdinding putih, bersih dan tenang. Hal itu merupakan sebuah anggapan yang keliru, karena ruangan tanpa rangsangan semacam itu justru menghambat perkembangan anak.

Sementara itu, banyak orang tua berpendapat bahwa pendidikan baru dimulai setelah anak masuk sekolah dasar dan kecerdasan merupakan faktor bawaan. Pendapat ini merupakan kesalahan besar, karena kita telah menyia-nyiakan periode emas perkembangan anak.

”Memang benar bahwa faktor bawaan juga berpengaruh terhadap kecerdasan seseorang, tetapi pengaruh lingkungan juga merupakan faktor yang tidak kalah pentingnya. Jika faktor bawaan dimisalkan sebagai modal dasar, maka faktor lingkungan merupakan pengembangannya. Tanpa diperkaya oleh lingkungan modal dasar tersebut tidak akan berkembang, bahkan bisa jadi menyusut,” paparnya. [Tim LaPut/Selankah]
BACA TRUZZ...- DARI PELATIHAN PAUD DAN KEAKSARAAN FUNGSIONAL

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut