Pendidikan untuk Rakyat dan Problematika Imperialisme Pendidikan

Jumat, November 12, 2010

Berikut ini merupakan hasil diskusi Tim Diskusi Iyoo/Ihoo (12/11). Naskah diskusi tentang Pendidikan untuk Rakyat dan Problematika Imperalisme Pendidikan adalah naskah yang ditulis oleh Asrul Nasution, S.Pd,. Sementara Diskusi itu sendiri berlangsung di Kantin Kampus Sanata Dharma Yogyakarta, Pukul 10.00-12.30.

Sebagai sebuah realitas yang tidak dapat ditawar, pendidikan memiliki peran yang teramat urgen bagi perkembangan pribadi manusia.






Keterbelakang Pendidikan Rakyat
Pendidik dan peserta didik merupakan komponen dalam dunia dan proses pendidikan formal. Seorang pendidik bertugas untuk mengarahkan dan mentransformasikan pengetahuan yang dimilkinya kepada peserta didiknya.
“Kenyataannya kebanyakan guru hanya terus mentransferkan apa yang dimilikinya kepada peserta didik ibaratnya botol kosong yang selalu dan siap untuk diisi oleh materi tanpa melihat kemampuan dna perkembangan yang sedang terjadi pada peserta didik,”tandas Mateus Auwe.
Problem yang juga masih terus membudaya dalam dunia pendidikan saat ini ialah bahwa kurangnya perhatian guru pada aspek afektif dan psikomotori siswa karena kebanyakan guru hanya melihat perkembangan siswa dari kognitif sehingga kemampuan siswa hanya dilihat dan diukur dari pencapaian assesment aspek skor dan nilai peserta didik.

“Guru harus melihat perkembangan siswa dari ketiga komponen tersebut yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik siswa dan juga perlu disosialisasikan kepada masyarakat luas bahwa ketiga komponen itu sangatlah penting bukan hanya kempuan kognitif,” kata Selpianus Adi. 

Keterbelakangan pendidikan ini juga tak terlepas dari tersedianya berbagai macam sarana dan prasarana dari suatu sekolah tersebut. Ketersediaanya hal ini juga ikut membantu mensukseskan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan sebelumnya. Terutama di Papua ketersediannya sarana dan prasarana yang belum memadai juga menghambat pencapaian tujuan pendidikan tersebut. 

“Di Papua sarana dan prasarana juga ikut mempengaruhi perkembangan dari pendidikan tersebut. Prasarana yang terbagi atas fisik dan nonfisk juga perlu untuk diperhatiakn oleh pemerintah. Pemerintah seharusnya melaksanakan suatu program yang tepat sehingga bisa diterapkan di masyarakat pada negara yang sedang berkembang seperti Indonesia,” kata Agustinus Dogomo.

Imperialisme Pendidikan

Istilah imperialisme merupakan istilah yang digunakan untuk melakukan penjajahan ataupun suatu usaha untuk melakukakan penyerangan baik dalam bentuk sosial, budaya, politik, militer, ataupun pendidian terhadap wialyah yang dianggap sebagai objek lawan. 
Di indonesia khususnya di Papua terdapat begitu banyak orang pintar yang sebenarnya ingin bersekolah dan ingin mengambangkan minatnya tetapi biaya yang dibutuhkan saat ini sangatlah mahal. Seolah biaya yang sangat mahal itu menutupi jalan manusia untuk mengambangkan kemampuanya. 
Pendidikan formal saat ini seolah-olah hanya milik orang yang berlatar belakang kaya saja. Besarnya biaya pendidikan mulai tingkat pendidikan dasar hingga perguruan tinggi sungguh mengagumkan inilah yang disebut sebagai salah satu contoh imperialisme pendidikan yang terjadi saat ini di negara kita.

Pendidikan untuk Rakyat

Ungkapan Paulo Freire mengenai pendidikan memanusiakan kembali manusia dari dehumanisasi struktural dan sistem sosial yang menindas hingga kini tidak akan pernah terlupakan. “Pendidikan itu sangat penting bagi manusia perubahan dapat dilakukan lewat pendidikan dan praktek nyata karena unsur yang ada di dalamnya saling terkait dan saling saling mempengeruhi,”kata Germanus Yerino Madai. 

Pendidikan harus mampu menjadi penyelamat mansuia dari ketertindasan, kemiskinan, kemeralatan dan marginalisasi.

Upaya untuk memanusiakan manusia merupakan segmen utama dari pendidikan. Dalam UU tentang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional, pada pasal 5 dijelaskan, “bahwa setiap Warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Itu artinya setiap anak bangsa di negeri ini memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan tanpa melihat latar belakang kehidupanya. 

Sudah saatnya pemerintah dan orang-orang yang berkompoten di bidang ini melihat hal itu, memikirkan kembali pendidikan rakyat yang kian terpuruk. Potensi penduduk negaraini yang cukup besar merupakan sumber daya yang sangt peotensial untuk mensuplai orang-orang yang berkualitas. Ragam cara yagn dapat dilakukan untuk menyelamatkan anak rakyat ini dari kebodohan dan ketertindasan. 

Akhirnya perubahan dalam dunia pendidikan ini merupakan tanggung jawab dari setiap komponen dan bidang yang ada karena dunia pendidikan tidak terlepas dari bidang yang lain seperti ekonomi, politik, pemerintahan dan lain sebagainya.(O_C).
BACA TRUZZ...- Pendidikan untuk Rakyat dan Problematika Imperialisme Pendidikan

Angka Putus Sekolah Tinggi, PKBM Terbengkalai

Rabu, November 10, 2010

Sejak dinobatkan sebagai kabupaten penyumbang angka putus sekolah terbesar di Papua pada tahun 2008, belum ada upaya-upaya maksimal yang dilakukan kalangan pendidikan guna meminimlisir angka putus sekolah di Kabupaten Merauke. Ironisnya lagi, 18 PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) yang didirikan tak berjalan maksimal lantaran tak memiliki dana operasional. Belum lagi, sejumlah PKBM yang terpaksa ditutup karena kekurangan dana.

Padahal, sebagian warga Papua yang putus sekolah memanfaatkan PKBM sebagai tempat mengasah kemampuan baca, tulis dan berhitung.

Permasalahan ini mencuat ketika Forum Komunikasi PKBM mengeluhkan pembagian dana ujian paket nasional sebesar 300 juta rupiah kepada Komisi A DPRD Merauke. Keluhan tersebut dilatari oleh pembagian dana yang tak sesuai dengan jumlah rombongan belajar dan letak geografis dari masing-masing PKBM.

Bahkan, diindikasikan sisa dana yang dipergunakan, telah disalahgunakan peruntukkannya.
“Dana yang dikucurkan ke setiap PKBM tidak merata, sedangkan penyelenggaraan ujian paket ini cukup lama, yaitu 7 hari. Namun setelah dihitung hanya terpakai 75 juta rupiah, sehingga kami merasa tidak puas dengan kinerja Kepala Bidang Pendidikan Luar Sekolah,” papar Ketua PKBM Berdikari Kimaam Soleman Yambormias.

Yang lebih mencemaskan bagi pengurus PKBM, Bidang PLS tidak akan melaksanakan ujian paket nasional ke-2 pada bulan November mendatang. Sedangkan dalam setahun, setiap kabupaten wajib melaksanakan ujian paket nasional sebanyak 2 kali. “Ini merugikan warga belajar, sementara antusias warga belajar cukup tinggi untuk ikut ujian,” tukasnya.

Dirinya mengaku, hanya mendapatkan dana sebesar 8.700.000 rupiah untuk membiayai seluruh proses ujian paket di distrik Kimaam. Sementara untuk sampai ke tiga distrik di wilayah Kimaam, dana tersebut sangat tidak mencukupi.

“Kami hanya diberi kuitansi kosong untuk diisi, sedangkan sisa dana tidak pernah diinformasikan secara transparan. Pembagian dana berbeda-beda dan tak rasional, tidak tahu pertimbangannya apa,” keluhnya.

Yang paling menyedihkan lagi, kata Soleman, dari seluruh Kabupaten di Tanah Papua, hanya Kabupaten Merauke saja yang hingga kini tak menyediakan dana sharring bagi pendidikan luar sekolah. “Inilah yang bikin kami malas bekerja, tutor mau laksanakan tugas tapi juga butuh makan,” tukasnya.

Sergius Womsiwor, Ketua PKBM Wasur melihat ketidaktransparanan dana ujian paket, sebagai bom waktu bagi pendidikan non formal. Bahkan pernyataan Kabid PLS yang menyatakan dana ujian paket sebesar 300 juta rupiah tak ada nilainya, itu sudah menunjukkan tidak adanya kepedulian terhadap pendidikan.

“Jujur saja, sebenarnya kami berencana jahat untuk tahan LJK dan boikot ujian paket,” tandasnya.

Sergius i menegaskan, angka putus sekolah yang cukup tinggi di Kabupaten Merauke, bukanlah mengada-ada. Tapi fakta yang harus diseriusi penyelesaiannya. Contohnya saja, di sejumlah kelompok belajar, ada kepala kampung yang hanya lulus SD bahkan tak lulus SD. Sergius berpendapat, dana untuk PKBM cukup besar, namun tak dapat diakses oleh PKBM-PKBM yang tersebar di sejumlah distrik pinggiran kota Merauke.

Warga belajar kebanyakan masih didominasi warga Papua di pinggiran kota, banyak anak-anak dan banyak pula para orang tua. Untuk proses belajar, kata Sergius dirinya berpendapat bahwa PLS mengadopsi home school yang ada di Amerika. Di mana perbandingannya, 50% untuk belajar mandiri, 30% tatap mukan dan 20% tugas.

“Kami tidak bisa menyulitkan warga belajar dengan aturan, sehingga kami fleksibel tanpa mengesampingkan aturan yang ditetapkan,” ujarnya.

Selama ini, lanjutnya, para pengelola PKBM melaksanakan proses pembelajaran tanpa dana sedikitpun. Hanya berbekal niat dan tekad untuk menolong masyarakat, para pengelola PKBM itu bekerja.

Mengajak warga untuk cinta belajar, menurut Sergius, bukanlah hal yang mudah. Pasalnya, masalah budaya dan ekonomi mempengaruhi seseorang untuk termotivasi dalam kegiatan belajar mengajar. “Kami harus temui warga di dusun-dusun untuk belajar, apalagi menjelang ujian paket nasional, kami agak kerepotan mengumpulkan mereka,” keluhnya.

Kepala Bidang Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Vonny Runtu secara dihubungi terpisah menegaskan, dana ujian paket nasional sebesar 300 juta rupiah yang kini dipertanyakan sejumlah pengelola PKBM, telah dibagi habis sesuai prosedur operasional standar ujian nasional.

Hal ini, bertentangan dengan pernyataan sejumlah pengelola PKBM yang Rabu kemarin mengadukan permasalahan tersebut kepada Komisi A DPRD Merauke.

“Dana itu sudah saya bagi ke setiap pos-pos dana. Namun memang dana tersebut tidak memungkinkan untuk dibagi berlebihan ke pos pengawas mengingat dana tersebut sangat minim,”ujar Vonny Runtu.

Menurut Vonny, dana sebesar 300 juta rupiah tersebut dibagi untuk pembelian ATK, biaya monitoring sekaligus pengiriman barang juga biaya pengawasan bagi 16 PKBM. Hal ini, sekaligus menepis tuduhan adanya penyalahgunaan dana yang ditujukan bagi dirinya.

“Memang kami akui kebutuhan dana setiap PKBM pasti berbeda. Namun karena hanya mengandalkan bantuan dana dari Pemda Merauke, maka dana itu sangat tidak mencukupi,” jelasnya.

Dirinya mengakui, setelah mendengar adanya keluhan dana pengawas ujian paket nasional dari sejumlah pengelola PKBM, pihaknya langsung mengumpulkan seluruh pengawas untuk meminta klarifikasi. Dalam pertemuan itu, dirinya meminta laporan pertanggungjawaban keuangan kepada pengawas untuk diketahui kekurangannya.

“Saya minta pertanggungjawaban dulu kepada mereka karena sampai sekarang beberapa pengelola belum memberikan laporan keuangan. Jika mereka tidak melaporkan, bagaimana kita bisa mengetahui kekurangan di lapangan? Kadang-kadang mereka pikir uang itu besar, namun kalau dibagi-bagikan itu kecil jumlahnya dan sudah sesuai dengan standar operasional,” paparnya panjang lebar.

Melalui kesempatan itu, Vonny menghimbau agar kondisi ketidakberuntungan anak-anak Papua, untuk tidak di tekan dengan keadaan-keadaan yang tidak beruntung.
“Di Merauke yang paling banyak adalah anak-anak putus sekolah, namun tak seluruhnya diakomodir karena kekurangan dana. Kalau mau jujur dana untuk PLS sangat minim dan kondisi PKBM di Merauke tidak memenuhi syarat karena tidak ada biaya, padahal mereka mengakomodir masyarakat kurang mampu untuk tetap bersekolah. Sehingga saya harapkan ada perhatian,” tandasnya.

Menyikapi hal itu, anggota Komisi A DPRD Merauke, Moses Yeremias Kaibu mengatakan, sikap pemerintah yang tak melihat PLS sebagai bagian dari pembangunan pemerintah merupakan bentuk kelalaian pemerintah dalam menganulir angka putus sekolah yang notabene terjadi kalangan masyarakat Marind.

Apalagi, sejak 2008, Kabupaten Merauke tercatat sebagai Kabupaten penyumbang angka putus sekolah terbesar di Papua. Sikap pemerintah semacam ini, kata Moses menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dan membiarkan proses pembodohan terus terjadi dikalangan orang Papua. Apalagi, di wilayah lain di Papua saat ini, tengah giat-giatnya meminimalisir angka putus sekolah. “Pemerintah diharapkan tidak tutup mata terhadap masalah ini, dan ke depan DPRD Merauke berupaya memperjuangkan anggaran bagi PLS,” tandasnya. (Jubi/Indri Qur’ani)

Sumber: www.tabloidjubi.com



BACA TRUZZ...- Angka Putus Sekolah Tinggi, PKBM Terbengkalai

Standarisasi Sarana Pendidikan Asmat

Pengambilan kebijakan yang timpang terasa di bidang pendidikan. Buktinya, sarana dan prasarana pendidikan belum merata di semua daerah. Di Asmat, fasilitas pendidikan belum secanggih di Jawa. Sarana dan prasarana hampir di semua satuan pendidikan yang ada di Kabupaten Asmat jauh dari memadai.

“Pemerintah daerah di Selatan Papua seharusnya membuat standarisasi penyediaan sarana dan prasarana pendidikan secara merata,” kata Kepala SMA Negeri 1 Agats, Leonardus Serewi dalam perbincangan dengan JUBI baru-baru ini.

Perhatian pendidikan di 7 distrik dan 139 kampung yang ada di Kabupaten Asmat harus lebih diprioritaskan. Caranya, alokasi anggaran tiap tahun harus ditambah porsinya. Sebab selayaknya sarana pendidikan harus sesuai penyebaran jumlah penduduk, usia murid sekolah serta faktor ekonomi, faktor sosial-budaya dan geografis setempat. SMA Negeri 1 Agats yang terletak di ibukota kabupaten saja minim sarana dan prasarana pendidikan. “Di sekolah saya, tidak ada sarana seperti yang dimaksud dalam aturan standarisasi pendidikan nasional,” kata Leo.

Bukan hanya perpustakaan dan laboratorium bahasa atau IPA. Fasilitas pendukung rekreasi, olahraga dan perumahan guru juga terbatas, bahkan tak ada. Di Distrik Sawaerma, sebaran bangunan sekolah (SD) tidak sesuai jumlah penduduk. “Ada bangunan sekolah (baru) dengan kepadatan penduduk tidak mencapai 100 KK (kepala keluarga),” ujar P. Rahawarin.

Sebaliknya, distrik atau wilayah penduduk padat jarang mendapat program pembangunan gedung sekolah. Rata-rata tiap SD tak memiliki sarana belajar seperti buku-buku pelajaran, perpustakaan, alat peraga dan pendukung simulasi pembelajaran siswa.

Standarisasi pendidikan seharusnya dilakukan sesuai rasio pembanding. Seperti rasio bangunan gedung SD terhadap jumlah anak usia sekolah (anak usia 7-13 tahun), SMP (13-15 tahun) dan siswa tingkat SMA (15-18 tahun). “Tapi realisasi pembangunan gedung sekolah selama ini tidak memperhitungkan jumlah anak usia sekolah,” kata Rahawarin. Tak hanya standarisasi gedung sekolah. Standarisasi isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, penilaian pendidikan, pemantauan dan pelaporan pencapaian serta pengendalian mutu pendidikan secara berencana, berkala dan kontinyu, menurut dia, harus dilakukan.

Penyediaan sarana dan prasarana pendidikan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005, Pasal 42 hingga Pasal 48. Bahwa sarana dan prasaran harus diselenggarakan di tiap satuan pendidikan. Tanpa diskriminasi demi pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional dan kejiwaan peserta didik.

Untuk membangun pendidikan di Asmat agaknya cocok dengan sekolah berpola asrama. Paling tidak, setiap distrik harus ada sekolah berpola asrama yang dilengkapi fasilitasnya. “Selama ini banyak anak malas ke sekolah, karena salah satu alasannya, di kampung tidak ada gedung sekolah,” tutur Thomas Pattuci, guru SD Sawaerma.

“Anak-anak biasanya takut pergi sekolah di kampung atau distrik lain, karena orang tua sering menceritakan peristiwa perang antar marga dan rumpun di masa silam,” katanya. Namun menurut Thomas, karena sarana dan prasaran di tiap sekolah penting, diharapkan tanpa diskriminasi. Baik dalam kegiatan belajar mengajar, penyebaran tenaga guru maupun pemerataan sarana prasarana di setiap satuan pendidikan. “Agar tujuan pendidikan nasional dapat terealisasi dan dirasakan secara adil oleh masyarakat Asmat.” Fakta selama ini, pembangunan sebuah gedung sekolah tak disertai perpustakaan, tempat berolahraga, tempat beribadah, laboratorium, bengkel kerja, dan tempat rekreasi.

“Hampir tiap SD minim fasilitas penunjang proses pembelajaran seperti listrik, komputer atau penggunaan teknologi informasi dan komunikasi,” tutur Yohanes Kwaito, guru di Pantai Kasuari. Jangankan tingkat distrik, sekolah-sekolah di ibukota Kabupaten Asmat saja mengalami keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan.

Leonardus Serewi berharap, setiap sekolah menengah mesti ada standar keragaman peralatan laboratorium IPA. Begitupun laboratorium bahasa dan komputer serta peralatan pembelajaran lain. “Kebutuhan sarana pendidikan harus diuraikan dalam daftar jenis agar nanti disediakan,” katanya. Sesuai aturan standarisasi, jumlah peralatan laboratorium dinyatakan dalam rasio minimal jumlah peralatan atau perlengkapan peserta didik. Begitupun perpustakaan, standar buku perpustakaan harus dinyatakan dalam jumlah judul dan jenis buku. Jumlah buku teks pelajaran dinyatakan dalam rasio minimal jumlah buku teks pelajaran masing-masing mata pelajaran terhadap jumlah peserta didik bersangkutan.

“Buku-buku di perpustakaan memuat standarisasi uji kelayakan isi, bahasa, penyajian dan kegrafikan buku teks yang dilakukan oleh BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) dan ditetapkan dengan peraturan menteri. Tapi selama ini tidak ada pengadaan buku pelajaran sesuai kebutuhan siswa,” papar Leo.

Menteri Pendidikan Nasional menetapkan keputusan Nomor 053/U/2001 yang menjadi petunjuk bagi pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) tentang pedoman penyusunan standar pelayanan minimal penyelenggaraan persekolahaan bidang pendidikan dasar dan menengah. Ini menjadi acuan bagi Provinsi berkenaan dengan pelayanan minimal yang wajib dilakukan oleh kabupaten/kota.

Ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan dapat menunjang proses pembelajaran secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisisipasi aktif. Juga akan memberikan ruang cukup bagi prakarsa, kreativitas dan kemandirian bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Asmat, Amatus Ndatipits mengatakan, demi keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan, pihaknya terus berupaya mengatasi minimnya saran dan prasarana pendidikan di Asmat.

“Untuk sementara kita fokuskan ke beberapa sekolah. Kita benahi dari tahun ke tahuan. Mudah-mudahan 5 sampai 10 tahun mendatang kualitas pendidikan kita setara dengan lulusan dari daerah lain,” tandasnya.

Dari data yang ada, Tahun Ajaran 2006/2007, di Kabupaten Asmat terdapat 6 sekolah Taman Kanak-kanak (TK), 2 diantaranya berstatus sekolah negeri. Rasio murid TK terhadap ruang belajar mencapai 25 orang per ruang belajar. Sedangkan rasio murid terhadap guru mencapai 14 orang untuk 1 orang guru TK. Tingkat SD, ada 104 sekolah, 80 sekolah berstatus negeri dan 24 lainnya sekolah swasta. Rasio murid SD terhadap guru mencapai 33 orang. Rasio murid terhadap ruang belajar tercatat 18 orang siswa per kelas.

Tingkat SMP sebanyak 8 sekolah, 7 SMP negeri dan 1 SMP swasta. Rasio murid terhadap ruang belajar mencapai 30 siswa. Rasio murid terhadap guru tingkat SMP mencapai 15 siswa. Sedangkan SMA hanya 1 sekolah, jumlah siswa mencapai 465 orang siswa. Rasio siswa terhadap ruang belajar sebesar 52 siswa, artinya satu kelas terdapat 52 siswa.
Wajah pendidikan Tahun 2007 tentu berbeda dengan saat ini. Tapi masih banyak anak belum bersekolah. Sementara jumlah sekolah sudah bertambah. Saat ini ada 130 SD, 18 SMP, 3 SMA dan 1 SMK. Jumlah tenaga guru secara keseluruhan sebanyak 708 guru.

Lantaran minimnya anggaran daerah (APBD Asmat Rp 700 Miliar), kata Amatus, semua sarana dan prasarana di tiap satuan pendidikan tak mungkin direalisasikan sekaligus. “Dalam satu tahun saja tidak bisa kita jawab semuanya. Saat ini kita fokuskan beberapa sekolah dan yang lain nanti tahun berikut,” tutur Ndatipits.

Pengadaan sarana dan prasarana baru dilakukan di Sekolah Satu Atap Sawaerma dan beberapa sekolah di Agats, ibukota Kabupaten Asmat. Ke depan, pemerintah harus menyediakan sarana dan prasarana pendidikan sesuai kebutuhan siswa dan sekolah. Agar kegiatan belajar mengajar berlangsung efektif, termasuk bimbingan dan konseling demi meningkatkan kecerdasan intelektual, sosial, emosional dan kejiwaan generasi muda Asmat. (JUBI/Willem Bobi)

Sumber:www.tabloidjubi.com
BACA TRUZZ...- Standarisasi Sarana Pendidikan Asmat

15 Tahun Pendidikan Berpola Asrama

Tak ada donatur tetap, tak jadi soal. Niat memerdekakan anak-anak tak berdaya, berhasil. Sekolah lengkap dengan asrama menjadi tempat ratusan anak menatap cerahnya masa depan.

Nabire--Udara pagi terasa dingin membeku. Suasana hening sesekali diselingi gemuruh angin menghantam tebing dan menghilang setelah menyusuri lembah. Hangatnya kehidupan mulai terasa ketika terdengar suara anak-anak memuji Tuhan. Pujian itu membawa harapan dan cerita akan masa depan bagi setiap orang yang tinggal jauh dibalik gunung berbalut awan dan hampir tak terjangkau.

Bilogai, daerah nun jauh di pedalaman Papua. Kini ibukota Kabupaten Intan Jaya. Sejak belasan tahun silam, di ibukota Distrik Sugapa, Yayasan Pelayanan Desa Terpadu (PESAT) hadir. Membuka sekolah, TK Cenderawasih, lengkap dengan asrama. Ya, Pdt. Daniel Alexander merintis pendidikan berpola asrama di pedalaman Papua.
Anak-anak Suku Moni diasuh dan dididik di sekolah itu. Sama seperti sekolah-sekolah yang diselenggarakan Yayasan PESAT di Nabire, TK Cenderawasih pun mendidik anak-anak dengan pola asrama.

Bedanya anak-anak di Sugapa belum mengenal Bahasa Indonesia. Betul-betul masih membawa karakter khas pedalaman. Karenanya, Gestinov Hutubesy, mengaku, mendidik anak-anak dari berbagai latar belakang memang agak susah. “Tapi kami berusaha terapkan pola khusus, pendekatan kasih sayang agar mereka bisa menerima, berubah dan memiliki karakter yang baik, sopan, ramah dan bergaul dengan siapa saja,” tutur pembina asrama itu.

Bagi Gestinov, perubahan sikap dan perilaku anak-anak asuhnya bisa membuat senang orang tua dan famili mereka. Ini sudah bagian dari membawa terang kepada orang lain, minimal keluarga.

“Pendidikan utama di tempat kami ini bukan hanya bidang akademis semata. Kita lebih utamakan pada impartasi kehidupan dari guru dan pengasuh kepada setiap murid,” kata Eliezer Edo Odo, Ketua Yayasan PESAT.

Mandi, gosok gigi, makan teratur, dan pola hidup sehat adalah bagian dari impartasi. Proses impartasi bisa berjalan baik karena mereka hidup bersama dalam satu lingkungan kecil: asrama. Apa yang dilakukan guru atau pengasuh, itulah yang dilihat dan ditirukan anak-anak, sebagai sebuah pelajaran kehidupan.

Semua berlangsung setiap hari selama satu tahun dengan tetap disertai pendidikan kerohanian dan akademis. Setelah usia masa satu tahun, anak-anak yang mengalami perkembangan, dikirim ke Nabire untuk melanjutkan pendidikan. Tak terasa, anak-anak yang pertama dididik kini sudah melanjutkan pendidikan lebih tinggi.

Anak Sugapa yang melanjutkan sekolah di Nabire memiliki prestasi bagus. Ini tentu membanggakan. Ini bukti bahwa Tuhan tak pernah salah dalam mengutus dan menempatkan setiap pelayanan dari Yayasan PESAT.

Tak pernah dibayangkan Pdt. Daniel Alexander, di pedalaman Sugapa ada anak-anak hebat. Keluarganya rata-rata petani. Tingkat kesehatan buruk. Apalagi pendidikan, memprihatinkan. “Papua memiliki putra-putri terbaik yang siap memberkati dunia. Mereka anak-anak pilihan Tuhan,” ucap Pdt. Daniel.

Ia terbeban untuk lebih maksimal lagi di Sugapa. Bisa menjangkau dan terus melayani anak-anak yang tidak ke Nabire. Tetapi semua harus direncanakan dengan matang. Untuk menjangkau Sugapa, butuh biaya besar. Pesawat terbang satu-satunya sarana transportasi ke sana.

Sejak awal, Daniel berkomitmen memerdekakan anak-anak yatim di Tanah Papua. Memberi pelayanan pembinaan mental spiritual, kepribadian, kedisiplinan dan pendidikan. Sekolah serta asrama kemudian dibangun di beberapa daerah. Hasil perjuangannya mulai terasa. Ia bekerja dengan hati. Bekerja untuk memanusiakan generasi tak berdaya.

Ratusan anak yang nyaris terhempaskan jaman berhasil ia selamatkan. Pengasuh, pembina dan guru-guru turut mendukung karya luhurnya bagi generasi Papua.
Rabu, 25 Agustus 2010, ratusan anak berusia kurang dari lima tahun, beberapa diantaranya berusia belasan tahun, tampak ceriah. Mengenakan pakaian adat dengan hiasan di badan. Memenuhi komplek SMP-SMA Anak Panah Nabire. Mereka mengikuti acara perayaan 15 tahun Yayasan Pelayanan Desa Terpadu (PESAT) berkarya di Tanah Papua.

Rata-rata anak yatim piatu. Selama ini mereka tinggal di asrama. Asrama Anugerah, Agape, Gilgal dan Asrama Yudea. Mereka diasuh para pembina. Juga dididik guru-guru di sekolah.

Selain Taman Kanak-kanak (TK): Agape, Shekina, Samabusa, Wanggar dan ada beberapa TK di pinggiran Kota Nabire, Yayasan yang dirintis Pdt. Daniel Alexander juga mendirikan sekolah dasar (SD) dan sekolah lanjutan (SMP dan SMA). Semua sekolah dibangun di satu kawasan, tepatnya di Kalibobo. Di situ pula dibangun asrama bagi anak-anak asuhnya.

Guru-guru yang direkrut tak diragukan kualitasnya. Doktor sekalipun bersedia tinggal bersama anak-anak di asrama.

Oktovianus Pogau dalam artikelnya (www.pogauokto.blogspot.com/2009/12/pesat-nabire-membangun-pendidikan.html) menulis suasana persaudaraan dan kekeluargaan di asrama. Anak-anak dari berbagai daerah menjadi satu keluarga besar. Mereka mendapat pembinaan dan pendidikan.

“Yayasan PESAT dalam karya dan pelayanannya tidak sekedar mendidik Anak-anak Asli Papua sejak TK hingga SMA menjadi pintar dan cerdas semata. Membentuk karakter seorang anak justru lebih diprioritaskan,” demikian Okto.

Selama 15 tahun, yayasan dengan konsep pendidikan berpola asrama, sedikit banyak membantu anak-anak tak mampu ekonominya, juga yang sudah kehilangan orang tua.

Pendidikan berpola asrama dianggap tepat untuk membangun pendidikan di Tanah Papua. Anak-anak negeri tidak hanya pintar, cerdas, trampil, tetapi mesti berjiwa kreatif, berakhlak dan berkarakter agar kelak mereka bisa membangun negeri ini.

Tak hanya di Nabire, Pdt. Daniel Alexander juga melebarkan sayapnya di daerah lain. Yakni di Kabupaten Intan Jaya, Mamberamo Raya, Keerom, Manokwari, Mimika dan beberapa kabupaten lain. Di Kabupaten Mimika, Yayasan PESAT menggandeng LPMAK membangun asrama dan sekolah.

Pihak yayasan bergulat untuk menyiapkan hari cerah masa depan Anak-anak Papua. “Kita berkarya di tengah keterpurukan pendidikan di negara ini,” ujar Pdt. Daniel Alexander dalam refleksinya pada perayaan HUT ke-15 Yayasan PESAT.

Di mata Pdt. Daniel Alexander, pendidikan kita kian terpuruk karena tiadanya ketulusan hati orang maupun lembaga negara mau bekerja dan mengabdi demi banyak orang. “Kalau mau jujur, birokrasilah yang menjajah rakyat. Di negara ini orang sakit seharusnya tidak perlu bayar saat berobat. Anak sekolah juga tidak perlu bayar. Kekayaan amat berlimpah yang diberikan Tuhan semestinya digunakan dengan baik untuk membangun manusia. Tapi, faktanya justru tidak,” tuturnya.

Karena itu, “Jangan pernah bilang sudah merdeka di negara ini, sebab 65 tahun kita belum merdeka. Selama ini masih ada kemiskinan, masih ada korban kelaparan, masih ada orang tidak sekolah karena tidak ada uang, selama orang-orang seperti itu masih ada, negara kita belum merdeka.”

Pelbagai kegagalan, kata Daniel, penyebabnya setiap orang tak tahu bertanggung jawab kepada siapa. Pemerintah dengan konstitusinya ada untuk bertanggungjawab kepada Tuhan dan rakyat. Ini soal pengabdian. Jika ada pengabdian, tentu hal luar biasa akan terjadi. Hidup menjadi luar biasa. “Dalam konteks ini, saya harus berkarya. Karya dan pelayanan ini sebagai pertanggungjawaban moril saya kepada Tuhan dan masyarakat. Saya mendidik anak-anak agar kelak mereka berguna bagi banyak orang.”

Pengabdiannya memang patut dijempol. Gubernur Provinsi Papua, Barnabas Suebu, SH bahkan mengakui karya luhur: menyiapkan calon pemimpin masa depan negeri ini.
Pujian juga disampaikan Bupati Nabire, Isaias Douw. “Terima kasih banyak Pak Daniel dan semua yang bekerja di Yayasan PESAT. Kalian telah meringankan beban pemerintah daerah di bidang pendidikan.” (JUBI/Markus You)

Sumber:www.tabloidjubi.com

BACA TRUZZ...- 15 Tahun Pendidikan Berpola Asrama

Guru Papua: Pemkab Jayapura Siapkan Tahapan Pemberhentian Forkorus Yaboisembut

 "Saya bicara untuk hak-hak adat masyarakat Papua. Jika saya dipecat, itu bukan yang pertama. Sudah ratusan orang Papua telah dipecat dari PNS karena bicara hak-hak sosial, buday, dan politik. Saya guru maka saya bicara itu," kata Forkorus.

Pemerintah Kabupaten Jayapura rupanya tidak mau kompromi dengan pegawainya yang tidak bisa mentaati implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Bahkan tantangan Ketua Dewan Adat Papua Forkorus Yaboisembut S.Pd yang selama ini merupakan PNS di SKPD Dinas Pendidikan Pemkab Jayapura juga terancam diberhentikan.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Jayapura Dra Yuliana Yoku dalam menjawab permintaan Bupati Jayapura Habel M Suwae S.Sos MM untuk segera menjawab tantangan Forkorus itu mengaku telah menyiapkan tahapan-tahapan pemberhentian pegawai yang membandel dan tidak loyal dalam menjalankan tugas Negara.

Menurut Yuliana tahapan ini telah diawali dengan pemanggilan kepada Forkorus namun yang bersangkutan tidak datang. Dan hal ini akan dilakukan lagi, termasuk melewati tahapan administrasi lainnya yakni pemberhentian hak-haknya sebagai PNS di Pemkab Jayapura. “Kita akan tindak lanjut dengan tahapan-tahapan yang berlaku sesuai aturan yang ada, hingga pada eksekusi terakhir yakni pemecatan,” tegas mantan Kepala SMA N 1 Sentani ini.

Hal lain yang dikatakan Yuliana bahwa tindakan ini dilakukan oleh pihaknya sama sekali tidak ada kaitannya dengan unsur-unsur politis ataupun menganggap Forkorus sebagai penghianat, karena menurut Yuliana apa yang selama ini diperjuangkan oleh Forkorus adalah hak asasinya yang perlu dihargai.

Namun dirinya hanya menjalankan amanah Peraturan Pemerintah yang berlaku di Republik ini.

Yuliana juga mengaskan bahwa tindakan ini bukan dikhususkan kepada Forkorus saja tetapi juga kepada para oknum PNS lain di lingkungan Dinas Pendidikan yang selama ini tidak pernah melaksanakan tugas berdasarkan data asbsensi yang dimiliki pihaknya.

Sementara itu Ketua DAP Forkorus Yaboisembut S.Pd saat dikonfirmasi kemarin mengatakan itu adalah hal yang wajar untuk dilakukan sesuai peraturan yg ada, tergantung penilaian dari Pemerintah saja. Namun menurut Forkorus dirinya tidak kaget dengan hal itu karena sebelum dirinya mengalami ini sudah ada ribuan orang Papua yang memiliki nasib seperti itu ketika harus memperjuangkan hak-hak politik orang Papua secara utuh harus merelakan pekerjaannya jika dirinya sebagai aparat Pemerintah.

Menurut Forkorus dirinya hanya pejabat kecil saja, sebelumnya mantan Gubernur Provinsi Irian Jaya Elieser Bonay juga mengalami hal yang demikian, sehingga dirinya tidak kaget ataupun takut ketika harus diberhentikan dari PNS, dan menganggap apa yang dilakukan oleh Pemerintah adalah tindakan penjajahan terhadap hak-hak bangsa yang mereka jajah berdasarkan paham pendekatan history


Sumber: http://bintangpapua.com
BACA TRUZZ...- Guru Papua: Pemkab Jayapura Siapkan Tahapan Pemberhentian Forkorus Yaboisembut

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut