Diare di Nabire Telan 50 Jiwa

Sabtu, Mei 17, 2008

Sejak awal April lalu sedikitnya sudah 50 orang meninggal akibat diare yang mewabah di Distrik Moane Mani, Kabupaten Nabire, Papua. Informasi terakhir, hari Selasa (13/5) ini seorang prajurit TNI dari Kodim Nabire yang bertugas di Distrik Moane Mani, Marius Gane, meninggal akibat diare. Dia meninggal dunia setelah dirawat intensif di RS Marthen Indey, Jayapura.

Berkait dengan itu, Ketua Komisi A DPR Papua (DPRP) Yance Kayame dan anggota Komisi E DPRP Josephina Pigay di Jayapura, Selasa (13/5) mendesak agar Pemprov Papua dan Pemkab Nabire segera turun tangan mengatasi masalah ini. "Kami mendesak Pemprov Papua dan Pemkab Nabire secepatnya mengambil langkah mengatasi situasi kehidupan masyarakat Distrik Moane Mani yang sangat tidak kondusif di bidang kesehatan itu," kata Yance Kayame.

Menurut dia, pemerintah setempat seharusnya telah mengambil langkah-langkah nyata sejak terjadinya wabah diare pada awal April lalu, namun hingga kini setelah jatuh banyak korban pun pemerintah belum berbuat sesuatu.

Anggota Komisi E DPRP Josephina Pigay bahkan mengaku sudah lebih dari satu bulan berupaya meminta bantuan Pemprov Papua agar secepatnya mengirimkan tenaga medis dan obat-obatan ke Distrik Moane Mani, namun Pemprov Papua tidak bereaksi sedikitpun.

"Kami telah berulang kali mendatangi Kantor Gubernur Provinsi Papua di kawasan DOK II Jayapura untuk meminta bantuan pemerintah mengatasi problem kemanusiaan itu, namun pemerintah bergeming. Kami bahkan mendapat jawaban dari pejabat pemerintah bahwa uang tidak ada. Tidak ada dana emergency," katanya.

Pigay bahkan mengaku sampai malu mendatangi kantor Gubernur Papua secara terus-menerus bagaikan pengemis tak berdaya yang meminta belaskasihan.

-------------------------------------------------------------------

Sumber: kompas/FokerLSMPapua.org

BACA TRUZZ...- Diare di Nabire Telan 50 Jiwa

Pendidikan, Sekolah, dan Fenomena Mencari Ijazah

Oleh Longginus Pekey*)


“Saya melihat di televisi orang tidak memiliki ijazah ada yang sukses menjadi pengusaha besi bekas” Kata Hilmy, siswa kelas tiga sekolah alternatif SMP Qaryah Thayyibah di lereng Gunung Merbabu. Ia tenang-tenang saja dan tidak begitu peduli dengan hasil Ujian Nasional (UN) (Kompas, 24/5/06).


Ungkapan di atas tidak mudah diterima oleh sebagian besar orang di negeri ini, terutama orang tua siswa dan siswa yang tidak lulus UN. Bahkan ditemukan ada siswa yang frustrasi dan bahkan mencoba bunuh diri, karena merasa gagal, terutama menghadapi tuntutan orang tua ataupun guru bahwa anaknya harus lulus UN.

Dalam hal itu, pada saat UN kecurangan sering terjadi, misalkan menyontek atau dengan sengaja ada pihak tertentu (guru) membeberkan soal sebelum pelaksanaan UN, karena sekolah ingin menampilkan mutu yang “semu” hanya untuk mendapat jempol dari orang tua murid dan pemerintah. Ya, kalau tidak mau dibilang bisnis pendidikan. Barangkali pemerintah setempatpun membiarkan bocornya soal UN? Entalah!



Kembali pada ungkapan Hilmy di atas. Ungkapan Hilmy dan realitas berpikir kita bertolak belakang. Bahkan dilema. Di satu sisi kita sekolah untuk mendapat ijazah dan mencari pekerjaan. Di sisi lain ada fakta, bawa ijazah bukan satu-satunya untuk mencapai kesuksesan. Dari ke dua kondisi nyata seperti itu tidak bisa ditolak dan tidak salah kalau kita memandang ijazah sangat penting. Begitupun sebaliknya bila dikatakan ijazah tidak penting sebagai tolak ukur sukses seseorang.


Dengan begitu, kedua pandangan seperti itu pantas untuk direfleksikan, tanpa mendeskreditkan salah satunya, muncul pertanyaan mendasar, mana yang paling penting. Memperoleh pendidikan, sekolah, atau memperoleh ijazah? Ada banyak jawaban. Tetapi yang jelas menurut Dr. Mochtar Buchori (1993) ada tiga jawaban.


Pertama,
pandangan pendidikan adalah yang terpenting. Paulo Freire ahli pendidikan dari Amerika Latatin yang pernah memprakarsai pembebasan buta huruf berpedapat bahwa pendidikan adalah sebagi basis pembebasan. Ia pernah menemukan bahwa orang dewasa manapun dapat belajar membaca dalam waktu empat puluh jam (Ivan Ilic 1982). Lebih jauh lagi dari pembebasan buta huruf itu, pendidikan pada prinsipnya adalah membebaskan manusia dari keterasingannya, membuat orang menjadi semakin kritis menghadapi persoalan hidup, terutma dewasa ini.


Menurut pandangan ini sebenarnya semua tempat dapat dijadikan sekolah. Entah itu di laut, darat, gunung, lembah maupun di mana saja di setiap tempat dapat dijadikan untuk memupuk ilmu sesuai konteks hidup dari setiap individu. Pemahaman seperti itu terkait erat dengan inti pemahaman mengenai pendidikan menurut Dr. Mochtar Buchori (1993), yaitu sebagai proses pemupukan pengetahuan, keterampilan dan sikap untuk mewujudkan segenap potensi yang ada dalam diri seseorang.


Kedua,
pandangan bahwa yang penting sekolah. Kualitas ataupun mutu sekolah tidak diperhatikan. Kelompok ini meyakini bahwa yang penting bisa sekolah, mau jadi apa urusan belakangan. Karena memang menurut Dr. Mochtar Buchori (1993) sejak dulu orang tahu sekolah tidak lain dari wahana yang dipergunakan untuk melangsungkan proses pendidikan.


Walaupun menurut Iva Illich melalui bukunya Bebas dari sekolah (1982) secara radikal menolak sekolah, karena di era yang kapitalistik sekolah menjadi pembanding bagi si miskin dan si kaya. Seperti yang mulai ataupun sedang tampak di negeri ini sekolah menjadi tampilan menarik dengan wajah sebagai pembanding antara kelas sosial. Orang kaya mendapat fasilitas dan media pembelajaran yang baik dibandingkan yang miskin. Selain itu sekolah sebagi institusi formal selama ini pemerintah mengeluarkan uang besar, namun sampai sekarang belum menunjukan kemajuan mutu pendidikan.


Ketiga,
pandangan yang berasumsi pada ijazah. Menurut Dr. Mochtar Buchori (1993) ijazah memang penting sebagai tanda pengakuan, bahwa seseorang telah menyelesaikan suatu program pendidikan tertentu. Hanya saja ada pemahaman yang agak keliruh, apapun pendidikan yang didapat, melalui cara apa saja yang penting mendapatkan ijazah. Pandangan sepeti ini sangat berbaya, karena bisa mendorong kita untuk bersifat instan dan spekulatif, tidak menghargai proses pendidikan, karena kesannya yang penting dapat ijazah ilimunya belanganan. Pemikiran itu terkadang didukung oleh pihak akademi maupun orang tua yang ingin melihat anaknya cepat selesai dan mendapat kerja. Misalkan saja, tidak jarang kita mendengar ungkapan seorang guru dan dosen, bahkan orang tua mengatakan “sekolah yang rajin biar cepat selesai, mendapatkan ijazah dan bisa bekerja”.


Dari ketiga pandangan itu sebenarnya menurut Mochtar Buchori (1993) sejak dahulu orang sudah memiliki pandangan bahwa pendidikan, sekolah dan ijazah adalah satu kesatuan yang tidak terpisah. Ketiga hal itu bila diperdebatkan hanya membuang waktu dan hanya menguras otak untuk membahasnya, karena akan tidak masuk akal kalau dipertentangkan. Karena semuanya memiliki isi atau substansi yang sama.


Tetapi alam dan situasi serta kondisi sekarang tidak sedikit orang yang ternyata memandang nilai tertulis atau ijazah seperti barang mewah. Dengan begitu orang sekolah memang untuk mencari ijazah. Artinya, di sini terjadi penyatuan pemahaman mengenai pendidikan, sekolah dan ijazah menyatu semakin meluruskan pemahaman kita, bahwa sekolah bila diartikan sebagai wahana mendapatkan pengetahuan atau pendidikan dan sekolah juga menjadi wahana untuk mendapatkan ijazah.


Dengan begitu kita akui bahwa, di situlah letak penting ijazah terutama sebagai ukuran ilmu pengetahuan atas suatu jenjang pendidikan tertentu. Atau dalam arti lain ijazah sudah selayaknya menjadi tolak ukur dari skill atau kemampuan seseorang, toh sebagai ukuran kompetensi layak dan tidaknya diterima menjadi karyawan. Karena tidak bisa dipungkiri, bahwa ijazah bagi kebanyakan masyarakt kita diidentikan dengan karyawan dan pegawai (negeri ataupun swasta).


Lantas bagaiman dengan lapangan kerja di negeri ini belum bisa menampung para pencari kerja. Sementara setiap tahun penyandang ijazah sarjana, SMA dan SMP yang bertambah. Padahal usaha keras melalui proses sekolah tahap demi tahap yang menyita waktu dan energi sejak tingkat SD, SMP, SMU, Perguruan Tinggi sudah dilakukan untuk mendapatkan ijazah. Dengan begitu, apa yang harus diajarkan di sekolah baik formal maupun noformal harusnya dipikirkan secara matang, agar siswa yang ditamatkan dari sebuah sekoalah (SMP, SMA ataupun Perguruan Tinggi) setidaknya membawa bekal ijazah melainkan ada keterampilan yang bisa dikembangkan di masyarakat.


Jual Beli Ijazah

Lepas dari hal di atas, ada fenomena yang sama sekali tidak terpuji dan tidak mendidik. Saat ini banyak terjadi jual beli ijazah. ”Ada uang ada barang, ada uang ada ijazah dan gelar.” Pernyataan itu menjadi semakin trend pada tahun-tahun terakhir ini. Ada segelintir orang termasuk beberapa pejabat dan artis menyandang ijazah palsu. Mereka membeli dan menggunakan ijazah “aspal” atau asli tapi palsu dengan begitu nyaman.


Hal seperti itu terjadi karena mendapat dukungan dari beberapa universitas dari dalam maupun di luar negeri yang melakukan pembelajaran dengan membuka program “kelas” tertentu bagi pencari gelar. Pembelajarannya dilakukan kapan saja dibutuhkan. Sering dilakukan dalam hotel atau apartemen berbintang. Anehnya walaupun pertemuannya minim, kadang hanya tiga kali pertemuan, namun ada jaminan mendapat gelar sesuai permintaan dan jumlah uang yang dibayar. Perbuatan seperti ini sebenarnya adalah bentuk dari pembodohan dan justru akan merendahkan kualitas dan mutu pendidikan.


Sebenarnya pemakai dan pemberi ijazah palsu tergolong telah melakukan kejahatan. Sama dengan tindakan kriminal karena melakukan kejahatan akademik, hukumannya penjara. Seperti tertera dalam pasal 68 ayat (1) UU Sisdiknas yang berbunyi: “Setiap orang yang memberi ijasah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi dan/atau vokasi dari suatu pendidikan yang tidak memenuhi prasyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan /atau pidana denda paling banyak lima ratus juta rupiah”. Ayat 2 mengatakan: “Setiap orang yang mengunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi dan/atau vokasi yang diperoleh dari suatu pendidikan yang tidak memenuhi prasyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak lima ratus juta rupiah”


Bunyi pasal-pasal itu bukan suatu yang menakutkan atau dapat menghentikan tindakan penggunaan ijazah palsu. Lemahnya penegakan hukum dalam penerapannya menjadi celah besar bagi tindakan kriminal seperti itu. Jangankan teroris mereka yang sudah ketahuan menggunakan ijazah palsu saja diselamatkan dari jebakan hukum. Sehingga meninggalkan kesan aturan dan hukum dibuat untuk dilanggar dan dapat dibeli dengan uang.


Persoalan jual beli ijazah di atasi menjadi semakin rumit karena melibatkan banyak pihak di dalamnya, seperti pihak intansi pemerintahan, pihak kampus dan bahkan keamanan. Yang bisa dilakukan menyangkut persoalan ini, paling tidak adalah merubah cara berpikir masyarakat yang serba instan dengan memberikan pemahaman bahwa, belajar bukan untuk sekolah dan bukan sekedar mencari ijazah, tetapi belajar itu untuk hidup diri sendiri dan membuat orang lain hidup. Lebih penting adalah setelah melalui proses pendidikan tidak menjadi pembunuh kehidupan.

*) Ketua Komunitas Pendidikan Papua

BACA TRUZZ...- Pendidikan, Sekolah, dan Fenomena Mencari Ijazah

Otonomi Khusus dan Good Governance

Oleh Harry Nenobais*)

Belakangan ini jika kita perhatikan melalui media cetak maupun media elektronik terlihat kembali maraknya aksi-aksi protes yang dilakukan sebagian masyarakat dan mahasiswa yang berada di Papua maupun di luar Papua terhadap implementasi Otonomi Khusus Papua.

Protes tersebut pada intinya berisi tentang kekecewaan terhadap hasil implementasi otonomi khusus yang sudah tidak lagi sesuai dengan cita-cita yang tercantum dalam UU No. 21/2001. Pada dasarnya otonomi khusus menurut UU No. 21/2001 adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Propinsi Papua dan Rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selain itu pula, di dalam undang-undang ini menghendaki adanya suatu kebijakan yang strategis dalam rangka peningkatan pelayanan, akselerasi pembangunan dan pemberdayaan seluruh rakyat Papua, terutama orang asli Papua. Dengan keberadaan undang-undang ini diharapkan dapat meminimalkan kesenjangan antara Propinsi Papua dengan propinsi lain.

Namun, setelah hampir delapan tahun implementasi otonomi khusus tidak membawa perubahan yang signifikan bagi seluruh rakyat Papua. Keadaan ini diperkuat oleh berbagai hasil penelitian. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Agus Dwiyanto, dkk dalam wadah Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM (2003) terhadap sepuluh propinsi di Indonesia, termasuk Propinsi Papua.

Dalam penelitian tersebut menghasilkan beberapa temuan, yaitu sejak diberlakukannya kebijakan desentralisasi, kualitas dan akes pelayanan publik khususnya kepada masyarakat miskin masih rendah, APBD yang tidak berorientasi kepada kepentingan publik, tetapi lebih berorientasi kepada kepentingan DPRD dan birokrasi, kurang dilibatkannya masyarakat dalam proses perencanaan, implementasi, dan evaluasi kebijakan publik, masih lemahnya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, serta rendahnya kualitas kinerja aparatur pemerintahan daerah.

Keadaan ini semakin diperparah oleh rendahnya kapabilitas dan aksesbilitas masyarakat terhadap penyelenggaraan tata pemerintahan yang berlangsung. Rendahnya kapabilitas dan akseptabilitas masyarakat, membuat kalangan elit lokallah yang lebih dominan menikmati kekuasaan. Mereka telah menjadi "raja-raja kecil" yang membangun "kerajaannya" bagi keuntungan dan kekayaan pribadi. Kenyataan ini pernah dikemukakan oleh Barnabas Suebu (2007): "Saya melihat ada dua dunia di Papua. Pertama, dunia birokrasi yang pesta pora dengan uang otonomi khusus. Kedua, dunia rakyat kecil di kampung-kampung. Dunia yang terus berteriak, menjerit, menangis, miskin dan papa. Mereka hidup dalam kemiskinan dan kebodohan. Bahkan ada yang mati karena lapar".

Aksi protes yang dilakukan oleh sebagian masyarakat dan mahasiswa terhadap hasil pelaksanaan otonomi khusus tentunya perlu dicermati secara arif dan cerdas, sebelum akhirnya menimbulkan permasalahan yang lebih besar dan kompleks. Bertitik tolak pada kenyataan di atas, mungkin kita bertanya. Mengapa implementasi otonomi khusus selama ini tidak dirasakan manfaatnya oleh rakyat Papua? Mengapa dalam perjalanannya otonomi khusus tidak sesuai dengan cita-cita semula? Apa yang keliru dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan yang ada? Sehingga perlu dilakukan perbaikan-perbaikan. Semua ini perlu dicari upaya pemecahannya supaya implementasi otonomi khusus tidak semakin jauh dari cita-cita semula.

Apa itu Good Governance? Good governance atau tata pemerintahan yang baik merupakan konsep yang cukup baru di Indonesia. Konsep ini diperkenalkan ke Indonesia melalui lembaga-lembaga internasional, seperti PBB, UNDP, World Bank dan ADB. Semua lembaga internasional ini berkeyakinan bahwa good governance sebagai penentu untuk mencapai keberhasilan pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan.

Pada tahun 1990 misalnya, di forum pertemuan Komite Bantuan Pembangunan, para menteri dari negara-negara donor sepakat bahwa ada keterikatan erat antara sistem politik yang terbuka, demokratis dan akuntabel, hak individual, beroperasinya sistem ekonomi yang efektif dan berkeadilan, dengan tingkat penurunan kemiskinan. Sebaliknya, sistem administrasi dan kebijakan pemerintah yang buruk di banyak negara berkembang menjadi kendala utama mencapai pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan (lihat Hetifah Sj Sumarto, 2004).

Governance menunjuk pada pengertian bahwa kekuasaan tidak lagi semata-mata dimiliki atau menjadi urusan pemerintah semata. Governance menekankan pada pelaksanaan fungsi governing secara bersama-sama oleh pemerintah dan lembaga-lembaga lain, yaitu swasta/bisnis maupun masyarakat sipil, LSM. Dan kualitas governance adalah faktor terpenting untuk menjamin suksesnya menghapuskan kemiskinan dan membangun fondasi menuju masyarakat yang pro-orang miskin dan berkeadilan (Kateherine Marshall, Direktur Bank Dunia, 2004).

Good governance itu adalah penyelenggaraan pemerintahan secara partisipatif, efektif, jujur, adil, transparan, dan bertanggung jawab kepada semua level pemerintahan, mulai pemerintahan desa/kampung, pemerintahan kabupaten/kota, pemerintahan propinsi dan pemerintahan pusat. Melalui good governance terciptanya keseimbangan di antara tiga aktor yaitu pemerintah, swasta/bisnis, masyarakat sipil dalam penyelenggaraan pemerintahan. Mengapa? Karena masing-masing aktor saling memerlukan dan melengkapi.

Dalam pelaksanaan good governance ada prinsip-prinsip yang harus dihormati oleh semua aktor, yaitu partisipasi, trasnparansi, akuntabel, efektif dan efisien, kepastian hukum, kesetaraan, responsif, konsesus, pengawasan publik, dan profesionalisme. Oleh Karena itu penyelenggaraan sistem pemerintahan harus melibatkan banyak pelaku, jaringan, dan lembaga di luar pemerintah untuk mengelola masalah dan kebutuhan publik.

Perwujudan Good Local Gorvernance
Apakah mungkin good governance dapat terwujud di Papua? Bagaimana realisasi dan mekanismenya? Otonomi Khusus Papua sebenarnya membuka peluang yang amat lebar bagi terciptanya good gorvernance. Hal ini telah banyak dikemukakan David Osbrone dan Ted Gaebler (1992); Manor (1998); Cornwall dan Gaventa (2001) bahwa pemerintahan lokal memiliki peluang besar untuk mendorong demokratisasi karena proses desentralisasi lebih memungkinkan pemerintahan yang lebih responsif, inovatif, produktif, representatif, transparan, dan akuntabel sehingga membuka peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Dengan good local governance maka pemerintah daerah, sektor swasta/bisnis, masyarakat secara bersama-sama bergerak dan bekerja dalam penyelenggaraan pemerintahan. Perwujudan good local governance tentu saja sangat tergantung pada para stakeholders yang terlibat dalan governance itu sendiri. Aspek-aspek yang harus disentuh adalah pada bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Bagi Papua perwujudan good governance sudah sangat mendesak diselenggarakan agar cita-cita otonomi khusus dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh rakyat Papua.

Apalagi saat ini masyarakat Papua yang dicengkram kemiskinan (80%), semakin tidak berdaya ketika berhadapan dengan melambungnya harga-harga kebutuhan pokok. Oleh karena itu, masing-masing aktor perlu memahami tugas dan fungsinya secara baik. Selanjutnya, tentu saja perlu diupayakan terbentuknya relasi yang menuju kepada sinergi di antara tiga aktor tersebut yang bersifat check and balances.

Pemerintah daerah dalam tugas-tugasnya yaitu membuat kebijakan, memberikan pelayanan publik, penegakan hukum, dan pemberantasan korupsi harus memiliki profesionalisme dan kinerja yang tinggi, karena ditenggarai rendahnya profesionalisme dan kualitas kinerja pemerintah daerah merupakan salah satu penghambat terbesar bagi terwujudnya good local governance.

Maka amatlah penting segera dilakukan reformasi birokrasi pemerintahan secara kelembagaan, manajemen, dan personil sehingga terciptanya akuntabilitas, transparansi, efektivitas, efisiensi, dan profesionalitas dalam setiap pembuatan kebijakan, pelayanan publik, penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Kemudian masyarakat sipil (LSM, gereja, partai politik, lembaga adat, kelompok studi, organisasi profesi, yayasan, dan sebagainya) menjalankan fungsi-fungsi reperesentasi kolektif dari rakyat, kemudian penyaluran layanan publik serta layanan tanggung jawab terhadap masyarakat lainnya.

Di sinilah pemberdayaan dan akses kepada lembaga-lembaga masyarakat harus ditingkatkan. Dan sektor swasta/bisnis (pengusaha, pedagang, rekanan, dan sebagainya) tugasnya adalah memproduksi barang dan jasa, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan investasi. Kesemua tugas dari masing-masing aktor tersebut harus benar-benar dilandasi oleh cita-cita bersama yaitu untuk menciptakan kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan bagi seluruh rakyat Papua.

Pemerintah kabupaten/kota dan propinsi merupakan pemeran kunci bagi terwujudnya good governance yaitu sebagai katalisator sekaligus koordinator bagi masyarakat sipil dan sektor swasta/bisnis untuk bersama-sama membentuk kolaborasi yang efektif mengatasi dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Sehingga pada akhirnya cita-cita otonomi khusus dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Papua, karena untuk itulah kitorang Papua bernegara Indonesia. Tuhan menyertai kita semua.

*)Alumnus MAP-UGM,
Guru SMA Kristen Anak Panah, dan SMA YPPK Adhi Luhur Nabire serta
Dosen STT Walter Post Cabang Nabire
BACA TRUZZ...- Otonomi Khusus dan Good Governance

Corat-coret Baju Saat Lulus.. Bijakkah?

Selasa, Mei 13, 2008

Oleh Silvi Anhar

Sejak dahulu, yang ku tahu, hingga detik ini, aksi corat-coret baju seragam setelah selesai ujian selalu jadi pemandangan rutin dimana-mana.

Dahulu, aksi corat coret seragam dilakukan memang benar-benar setelah semua ujian sekolah sudah selesai. Kalau dulu selesai dihari terakhir EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional), langsung dijalan-jalan para siswa-siswi saling mencoret-coret, entah baju, rok, rambut bahkan fasilitas umum ikut-ikutan jadi korban mereka.

Dahulu, EBTANAS dilakukan setelah EBTA, jadi benar-benar setelah EBTANAS sudah tidak ada ujian atau kegiatan disekolah lagi, hanya tinggal menunggu pengumuman lulus atau tidak (yang notabene nya semua sudah bisa memprediksi bahwa mereka pasti lulus, hebatkan :))

Nah, sekarang, EBTANAS (diganti dengan istilah UN /Ujian Nasional) dilaksanakan lebih dahulu sebelum EBTA yang sekarang disebut US (ujian Sekolah) baru dilaksanakan dua minggu setelah UN.

Tapi, para siswa-siswi dibeberapa tempat sudah main corat-coret.

Untuk siswa SMA, mungkin sudah mengerti, jadi saat UN selesai tanggal 23 April yang lalu, tidak ada aksi corat-coret, mungkin sudah sadar bahwa belum ketahuan lulus masak sih udah nyoret-nyoret.?

Tapi untuk siswa SMP yang baru saja selesai UN, entah karena sudah merasa yakin lulus, atau sekedar sok-sok an, langsung main corat-coret. Padahal US (ujian Sekolah) masih ada didepan mata.

Nah, sebenarnya, penting ga sih? Bijak ga sih aksi corat coret tersebut?

Memang ini semua tergnatung penilaian pribadi masing-masing.

Ada yang bilang, ah ini kan cuman sekali-sekali.. lagian yang dikorbanin baju seragamnya cuman satu, dan buat kenang-kenangan kalo kami pernah SMA.

Atau, ah, yang dicoret-coret ini baju yang udah agak kusam kok. Buat asyik-asyik aja, kalau ga ikutan ntar dibilang kuper, sok alim, sok baik dsb.

Yah itu lagi-lagi semua tergantung pribadi masing-masing.

Padahal, walau cuman satu baju yang dikorbankan, tapi coba kalo satu-satu baju itu per-individu dikumpulkan tiap sekolah, tiap kota, lalu tiap propinsi, berapa jumlah baju seragam yang dapat terkumpul?

Nah padahal dibelahan tempat lain, masih banyak mereka yang untuk beli satu baju seragam saja, duhhh susahnya minta ampun. Boro-boro mau beli seragam, buat makan sehari-hari saja mereka sudah keblinger.

Semoga adik-adik SMP, dan SMA, bisa merenung sebelum melakukan aksi corat-coret ini.

Coba diadakan aksi damai, misal kegiatan aksi corat-coret dialihkan ke aksi corat-coret di buku tahunan, atau agenda kelas atau agenda sekolah (semua tergantung sekolah masing-masing). Nah itu menurutku lebih asyik, akan banyak kata-kata kenangan disertai tanda tangan juga mungkin foto yang ditempel. Buku atau agenda itu akan bisa di"pamer"kan ke anak- cucu kelak :)

Dan seragam yang memang sudah tidak digunakan, yang masih bagus, bisa dikumpulkan untuk disumbangkan untuk saudara-saudara kita yang memang membutuhkannya.

Dan semoga adik-adik semua lulus dan dapat melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi lagi.

---------------------------------------------------
Sumber: http://www.wikimu.com/News/DisplayNewsSekolah.aspx?id=8144
BACA TRUZZ...- Corat-coret Baju Saat Lulus.. Bijakkah?

Orang Miskin Dilarang Sekolah


oleh: Wahjoe Witjaksono

Masa Ujian sekolah masih berlangsung, UN SMA sudah berlalu, UN SMP sudah berlalu, mulai 12 Mei 2008 satu percobaan baru dilakukan UASBN SD. Yang jelas semua siswa termasuk guru dan orang tua stres dan pusing tujuh keliling (bahkan lebih) menghadapi UN & UASBN yang tingkat keberhasilannya belum bisa dibuktikan. Setelah selesai ujian siswa dan orang tua masih disibukkan dengan jenjang pendidikan berikutnya, mau masuk SMP mana, SMA mana, kuliah di mana? Untuk yang berduit tak masalah mau masuk sekolah manapun tidak jadi soal, sedangkan bagi yang miskin masih menjadi tanda tanya besar.

Undang-Undang Dasar yang mengamanatkan Anggaran Pendidikan 20%, sepertinya hanya tertulis saja dan tidak ada niat pemerintah untuk melaksanakannya, coba kita bandingkan belanja pendidikan dibandingkan belanja pejabat besar mana? Secara nilai memang besar Belanja Pendidikan, tetapi kalau kita hitung jumlah yang harus dibiayai, perbandingannya sangat-sangat jauh.

Kalau baca di salah satu harian dimana untuk masuk ke PTN saja biayanya sangatlah besar, dan yang jelas orang menengah ke bawah pasti tidak akan mampu apalgi orang miskin. Saya jadi ingat waktu dulu, SD gratis kalaupun ada SPP hanya Rp. 25-100 rupiah, SMP dan SMA uang sekolah berkisar 1.000-1.500 rupiah, kalaupun ada pembangunan tidak lebih dari 100 ribu itupun terkadang dicicil 10 kali, kuliah cukup dengan 120 ribu per semester untuk teknik dan 60 ribu rupiah untuk non teknik, tanpa ada uang masuk yang besarnya antara 5 juta sampai diatas 100 juta. Itu semua terjadi di sekolah favorit sehingga hampir semua kalangan masyarakat bisa menikmati pendidikan, apalagi ada program bea siswa atau program yang peringkat 1 bebas SPP semester berikutnya.

Tetapi untuk saat ini jangankan berpikir kuliah masuk SMP atau SMA saja membuat rakyat miskin tidak akan sanggup sekolah, kalaupun sekolah mereka harus sekolah di pinggiran dengan kualitas seadanya dan tidak dijamin lulus UN/UASBN.

UUD sebenarnya mengamanatkan pemerintah untuk membiayai pendidikan bagi semua kalangan dengan semurah-murahnya, tetapi kesadaran Pemerintah terhadap pentingnya pendidikan bagi semua rakyatnya sangatlah kurang dan pendidikan bagi mereka prioritasnya lebih rendah dibandingkan dengan politik. Jadi kebijakan pemerintah dan Pelaku Pendidikan (Sekolah Negeri,PTN) mengatakan "Orang Miskin Dilarang Sekolah". Program BOS sepertinya tidak bisa menggratiskan biaya pendidikan tetapi hanya mengurangi biaya pendidikan bagi orang miskin, haruskan digalakan lagi program orang tua asuh secara nasional? Biar kita bisa mengatakan "Orang Miskin Harus Masuk Sekolah"

Sumber: http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=8184

BACA TRUZZ...- Orang Miskin Dilarang Sekolah

Menggugat Sekolah

oleh: Ferdinandus Setu

Akhir-akhir ini kita dikagetkan, dikejutkan sekaligus disadarkan untuk kembali menggugat konsep sekolah yang telah ada. Bagaimana tidak. Ujian Nasional (UN) yang belakangan ini menjadi program top-down ternyata menciptakan korban tidak sedikit. Banyak sekolah, baik SMP maupun SMU, yang sengaja membentuk tim khusus untuk meningkatkan ”mutu” sekolah mereka dengan cara-cara curang. Beberapa guru dipaksa atau terpaksa mengerjakan terlebih dahulu soal-soal UN sebelum ujian dimulai, lantas kunci jawaban atas soal-soal tersebut disampaikan kepada siswa. Guru dipaksa kepala sekolah. Kepala sekolah dipaksa kepala dinas pendidikan. Kepala dinas pendidikan dipaksa bupati, walikot ataupun gubernur di wilayahnya masing-masing untuk meningkatkan ”mutu” pendidikan. Alhasil segala cara pun dilakukan, termasuk dengan cara curang sekalipun. Sekolah akan mendapatkan citra buruk jika angka kelulusan di sekolahnya kecil. Hal ini tentu berujung pada ditutupnya sekolah tersebut.

Kompas, Minggu (11/5/08) menurunkan laporan ”perang Gerilya si Umar Bakri”. Kompas menulis : Kekisruhan dalam UN belakangan mungkin mencerminkan sikap bangsa yang hipokrit. Di satu sisi, pemerintah ngotot mematok standar kelulusan sebagai cermin peningkatan mutu. Saat bersamaan, standar itu dicapai dengan berbagai tipu muslihat, trik, atau lewat perang gerilya yang melibatkan para guru. Laporan pada section”kehidupan” itu benar-benar membuka mata kita untuk melakukan redefinisi atas konsep sekolah yang ada.

Redefinisi Sekolah

Banyak kebodohan tidak selalu dibawa sejak lahir tetapi seringkali diciptakan orang setelah dilahirkan ke dunia. Kebodohan yang sama kerap dilestarikan setelah orang menjadi dewasa dan hidup di tengah masyarakatnya. Untuk itu, mengupayakan kecerdasan merupakan kondisi mutlak demi humanisasi. Seorang pakar pendidikan, M. J. Lengeveld menilai bahwa pada prinsipnya manusia adalah makhluk yang dapat dididik (animal educabile), makhluk yang harus dididik (animal educandum), makhluk yang dapat dan harus dididik dan sekaligus mendidik (homo educandus).

Hampir selama 30 tahun siswa SD sampai SMU tidak mengalami pendidikan yang sungguh membebaskan, tetapi justru pemaksaan dan pemasungan kebebasan berpikir para siswa. Hal ini terutama karena pendidikan di Indonesia telah lama digunakan sebagai alat politik penguasa untuk tetap melanggengkan kekuasannya dengan dalih kesatuan dan nasionalisme (Suparno, 2001:150).

Kecemasan akan masa depan pendidikan sudah berkali-kali dinyatakan oleh para pemikir pendidikan. Sinisme, satire, dan kredo yang berjuang menyingkap selubung praktik-praktik kotor pendidikan muncul tanpa henti: deschooling society (masyarakat bebas dari sekolah) dari Ivan Illich, the end of school menurut Everett Reimer, pedagogy of the oppressed dalam pandangan Paulo Freire dan the end of education menurut Neil Postman.

Neil Postman sebagai seorang pedagog dalam bukunya The End of Education (Kematian Pendidikan) menyatakan bahwa pendidikan di sekolah bisa jadi sangat konservatif, terutama ketika sekolah lebih banyak berperan sebagai tembok pembatas daripada ruang yang lapang untuk pergerakan pikiran. Proses pendidikan di sekolah tampak sebagai sosok yang tidak mengenal belas kasihan. Pendidikan, demikian Postman, juga lebih banyak mengajarkan ketidakberdayaan (Postman, 2001: viii). Sekolah, menurutnya, telah kehilangan maknanya sebagai wahana pendewasaan bagi seluruh penghuni di dalamnya dan otoritas-otoritas yang bersinggungan dengan keberadaannya.

"Apa bedanya sekolah dengan penjara jika ruang-ruang kelas bagi siswa lebih mirip kerangkeng-kerangkeng; pintu yang tertutup ketika pelajaran berlangsung sehingga siswa kehilangan cakrwala optik alternatif; bangku-bangku memaku tubuh para siswa supaya tidak sedikitpun bergerak; dan tentu saja guru-guru yang berperan mirip sipir penjara, marah jika dikritik, menolak jika ada usulan, membentak jika ada kesalahan dan memukul ketika ada yang dirasakannya pantas dipukul,” demikian Postman.

Secara lebih spesifik, ada tiga sasaran emansipatorik dalam pendidikan, yaitu mengantar peserta didik menjadi:

Pertama, manusia eksplorator yang suka mencari, bertanya, berpetualang, dengan bertolak dari keyakinan bahwa manusia yang bertanya jauh lebih tinggi tingkatnya dibandingkan dengan yang hanya pintar menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sudah ada.

Kedua, manusia kreatif, pembaru, berjiwa terbuka dan merdeka, kritis, kaya imajinasi dan fantasi, tidak mudah menyerah pada nasib.

Ketiga, manusia integral yang paham dan sadar akan multidimensional kehidupan, paham akan kemungkinan jalan-cara alternatif, pandai membuat pilihan yang benar atas dasar pertimbangan yang benar, yakin akan pluralitas kehidupan sekaligus mampu mengintegrasikannya ke dalam suatu keranga pengertian dan perilaku yang sederhana (Supratiknya, 1999: 273).

Apa yang harus dilakukan?

Sekolah-sekolah kita dewasa ini membutuhkan redefinisi atas peran dan fungsinya. Menggagas redefinisi sekolah berarti:

Pertama, para murid harus diajak melihat dan memahami kebenaran sebagai alat bagi manusia untuk memecahkan berbagai persoalan kehidupan. Pendidikan harus berubah sesuai dengan perubahan masalah yang dialami masyarakat. Dewey menolak keras metode pengajaran otoriter dan yang menekankan hafalan karena ini berarti para murid tidak diberi kesempatan untuk menyelidiki dan menemukan kebenaran.

Kedua, metode pembelajaran perlu dibenahi lagi supaya lebih dialogis. Guru dan siswa saling belajar membangun pengetahuan dan mengusahakan sistem pembelajaran yang lebih demokratis.

Ketiga, perlu diusahakan kejujuran dalam pencarian pengetahuan. Persoalan menyontek, menyuap guru untuk menaikkan nilai dan memanipulasi nilai siswa, jual beli ijazah, pemakaian gelar akademik palsu, harus diberantas dengan tegas.

Keempat, policy pendidikan harus lebih otonom dan bukan sentralisasi ketat. Penyeragaman kurikulum hanyalah kamuflase dari penipuan dan kelicikan sepihak, malah membebani pelaku pendidikan di daerah-daerah. Policy UN adalah salah satu contoh nyata betapa policy pendidikan di negeri ini cenderung sentralistik. Pemerintah Pusat terlalu mendaulat dirinya sebagai ”sang maha tahu” yang berhak mendikte seluruh komponen bangsa.

Kelima, fungsi guru tetap penting. Karena itu perlu guru yang kritis, yang terbuka terhadap kritikan dan yang kritis terhadap setiap aturan dari atas.

Keenam, perlu ditingkatkan pendidikan nilai (humaniora), pendidikan budi pekerti demi penanaman nilai-nilai luhur kehidupan.

Ketujuh, menurut John Dewey, sekolah sebaiknya tidak diasingkan dari masyarakat, sehingga para siswa dapat belajar dari masyarakat dan sebaliknya masyarakat sekitar dapat diikutsertakan dalam menghidupi dan membangun sekolah. Masyarakat adalah sekolah yang sejati. Melalui interaksi dengannya peserta didik dapat diarahkan untuk menjadi anggota masyarakat yang baik dan bertanggung jawab.

Kedelapan: orang tua adalah pendidik yang pertama dan utama. Keluarga adalah sekolah yang pertama. Karena itu fenomena home scholling yang belakangan ini tumbuh menjamur patut diapreasiasi sebagai tanggung jawab keluarga atas proses pendidikan buah hatinya.

Menutup tulisan ini, saya teringat proverbia Latin: Non scholae sed vitae discmus. Kita belajar bukan untuk sekolah tapi untuk hidup. Artinya bahwa nilai yang kita raih, angka yang kita dapat, prestasi yang kita capai di bangku sekolah bukanlah yang utama, sebab yang paling penting adalah bagaimana kita menimba sebanyak-banyak sari kehidupan dari sekolah untuk bekal perjalanan hidup kita.

Membahas sekolah, saya juga teringat satu ungkapan klasik yang cukup membekas di hati : setiap orang adalah guru, setiap tempat adalah sekolah, dan setiap aktivitas kita adalah belajar. Selamat ”bersekolah”.

Salam,

----------------------------------------------

Sumber: http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=8194

BACA TRUZZ...- Menggugat Sekolah

PAUD atau PADU, Dimana Titik Temunya?

Oleh : Wendie Razif Soetikno, S.si., Mdm

KabarIndonesia - Pendidikan Awal Usia Dini (PAUD) dan Pendidikan Anak Dini Usia (PADU).

Pengertian PAUD dan PADU sering dicampur-adukkan.
  1. PAUD adalah pendidikan luar sekolah seperti Kelompok Bermain dan Penitipan Anak, yang umumnya berjalan sendiri-sendiri dengan polanya masing-masing, sedangkan PADU adalah pendidikan sekolah seperti Taman Kanak-kanak (TK), yang sudah mulai dibina dan diasuh oleh Depdiknas.
  2. PAUD dipahami sebagai program persiapan untuk masuk TK, sedangkan PADU dimengerti tidak lebih sebagai institusi persiapan masuk SD. Akibatnya PAUD dianggap melulu sebagai kegiatan bermain dan PADU akan mempunyai bobot lebih bila tidak banyak memasukkan kegiatan bermain, padahal pandangan seperti ini keliru. "Bahkan banyak orang tua yang berharap anaknya dapat baca, tulis dan berhitung setelah lulus PADU. Kesalahpahaman ini sangat mengganggu, " ujar Fasli Djalal (sekarang Dirjen Dikti Depdiknas). Padahal untuk memberikan pelayanan usia dini, unsur permainan ini yang seharusnya lebih menonjol. Bermain untuk belajar dan bukan belajar untuk belajar.
Pedoman yang bisa dipegang adalah pengertian yang ditelusur dari KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) yang menyatakan bahwa : Yang menjadi subyek dari PAUD adalah anak-anak pada usia muda (balita), sedang yang menjadi subyek dalam PADU adalah pendidikan. Karena subyeknya berbeda, maka telaah dan implementasinyapun akan jauh berbeda. Oleh sebab itu Pemerintah berhak mengawal PADU dan tak bisa campur tangan dalam PAUD (karena subyek balita dianggap masuk ke ranah keluarga atau ranah privat). Hal ini nampak jelas dalam definisi Pemerintah tentang pendidikan prasekolah dan tafsir Pemerintah atas hakekat PADU.

Untuk menghindari masalah multi tafsir pengertian PADU, Pemerintah mengeluarkan PP no. 27 tahun 1990 tentang Pendidikan Prasekolah yang tujuannya : membantu meletakkan dasar ke arah perkembangan sikap, pengetahuan, ketrampilan dan daya cipta yang diperlukan oleh anak didik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan untuk pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya. Namun pengertian pendidikan prasekolah ini banyak yang direduksi dalam masyarakat. Istilah PADU belum jelas dipahami benar oleh masyarakat. Seringkali rancu bahwa PADU masih diumpamakan persiapan pendidikan sebelum masuk sekolah dasar. Pengertian Taman Kanak-kanak pun tak lebih dari sekedar sekolah persiapan.

Oleh karena itu, maka penjabaran PADU disosialisasikan pemerintah melalui Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No 51/0/2001 tanggal 19 April 2001 yang mengintegrasikan antara aspek pendidikan, kesehatan dan gizi.
Ketiga faktor ini merupakan:
  • faktor penentu bagi tingkat intelektual, kecerdasan dan tumbuh kembang anak, serta
  • faktor pencegah kurangnya stimulasi yang diterima anak pada usia dini, yang bisa menyebabkan masa keemasan perkembangan anak hilang dan tersia-siakan begitu saja
Lalu mengapa Pemerintah hanya mengatur soal PADU dan "memisahkannya" dari PAUD? Karena Pemerintah selama ini menganut paham continental yang menganggap anak sebelum umur 4 tahun belum layak untuk "disapih" ("dipisahkan" dari orang tuanya) sehingga PAUD selalu dianggap sebagai domain keluarga

Apa yang penting (baik untuk PAUD maupun PADU)? Jawabnya adalah bermain. Selain memberikan kesenangan, bermain mampu mengembangkan daya imajinasi anak. Bermain merupakan salah satu pendekatan dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran bagi anak usia dini. Aktivitas bermain perlu dilakukan karena anak membutuhkan pengalaman langsung dalam inter-aksi sosial yang menjadi modal dasar bersosialisasi. Dalam bermain, mereka akan melibatkan seluruh pikiran, tubuh dan spirit mereka. Proses ini merangsang perkembangan berbagai bagian otak sehingga mampu menstimulasi kecerdasan.

Ada sembilan kecerdasan dalam teori multiple intelligences yang dapat distimulasikan melalui permainan, yaitu kecerdasan verbal-linguistik (cerdas kata-kata), logika-matematika (cerdas angka), visual-spatial (cerdas gambar), gerak-kinestetik (cerdas tubuh), musical (cerdas musik), intra-personal (cerdas diri), interpersonal (cerdas antar-orang), naturalis (cerdas alam), dan eksistensialis (cerdas hakekat).Perkembangan tingkat kecerdasan seseorang dipengaruhi oleh tiga faktor mencakup faktor biologis, sejarah hidup pribadi, dan latar belakang kultural & historis. Tingkat perkembangan multiple intelligences anak usia 4-5 tahun (yang selama ini digolongkan dalam PAUD) berbeda dengan anak usia 5-6 tahun (yang selama ini dimasukkan dalam PADU).

Pada anak usia 4-5 tahun, pola pikir mereka masih egosentris dan belum dimensional. Mereka juga belum mampu mengambil perspektif orang lain. Sedangkan pada anak usia 5-6 tahun, selain lebih memahami sudut pandang orang lain, mereka juga mampu memfokuskan diri pada berbagai aspek permasalahan sekaligus serta mengubah pikiran.

Dalam buku Cerdas Melalui Bermain : Cara Mengasah Multiple Intelligences pada Anak sejak Usia Dini oleh Tadkiroatun Musfiroh (Grasindo, Jkt, 2008) diulas berbagai jenis permainan untuk menstimulasi multiple intelligences dari kedua kelompok usia di atas berikut tabel indikator pencapaian stimulasi kecerdasan.
Dengan demikian, anak sungguh-sungguh dapat bermain untuk belajar dengan tolok ukur yang jelas dan terukur.

Langkah apa yang perlu diperhatikan (baik untuk PAUD maupun PADU)(a) availability, (b) accessibility, (c) acceptability, (d) adaptability. Merujuk pada pasal 26 ayat 2 DUHAM (Deklarasi Universal HAM) 1948, keempat aspek di atas akan menentukan ketercapaian pemenuhan sarana pembelajaran yang terpenting yaitu ketrampilan membaca, menyatakan pendapat, kemampuan berhitung dan pemecahan masalah serta penguasaan isi dari dasar-dasar pembelajaran yaitu pengetahuan, ketrampilan, nilai-nilai hidup dan sikap (essential learning tools (such as literacy, oral expression, numeracy, and problem solving) and the basic learning content (such as knowledge, skills, values and attitudes) - (lihat lampiran).

Tanpa memperhatikan keempat aspek di atas, baik PAUD maupun PADU akan kehilangan arah dan tujuan eksistensinya, yang hasilnya adalah belajar sambil bermain (buahnya adalah main-main) atau belajar untuk belajar (buahnya adalah pengkarbitan anak)

Lampiran Konvensi tentang Hak-hak Anak (1989) pasal 28:
  • ayat 1 : States parties recognize the right of the child to education, and with a view to achieving this right progressively and on the basis of equal opportunity, they shall, in particular : (a) Make primary education compulsory and available free for all; (e) Take measures to encourage regular attendance at schools and the reduction of drop-out rates
  • (Negara-negara pihak mengakui hak anak atas pendidikan, dan dengan tujuan mencapai hak ini secara bertahap dan berdasarkan kesempatan yang sama, khususnya mereka akan : (a) menetapkan agar pendidikan dasar menjadi wajib dan tersedia secara cuma-cuma untuk semua anak; (e) mengambil langkah-langkah untuk mendorong kehadiran anak secara teratur di sekolah dan untuk menurunkan tingkat putus sekolah)
Indikatornya : Merujuk pada pasal 26 ayat 2 DUHAM 1948 dan pasal 13 ayat 1 Kovenan tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya 1966, tujuan pendidikan yang paling fundamental adalah education shall be directed to the full development of the human personality. Dalam preliminary report-nya (1999) kepada Commission on Human Rights United Nations, pelapor khusus hak atas pendidikan, Katarina Tomasevski, mengemukakan empat cirri-ciri yang esensial yang perlu diperhatikan, yaitu : (a) availability, (b) accessibility, (c) acceptability, (d) adaptability. Untuk memperoleh penjelasan tentang empat ciri-ciri tersebut, berikut ini dikutipkan butir 6 General Comments E/C.12/1999/10, 8 Desember 1999 :
  • (a) availability : berbagai institusi dan program pendidikan harus tersedia dalam jumlah yang memadai, dengan fasilitas sanitasi, guru-guru yang terlatih dan materi-materi pengajaran yang memadai
  • (b) accessibility : berbagai institusi dan program pendidikan harus dapat diakses oleh semua orang tanpa diskriminasi, terutama oleh kelompok-kelompok yang paling rentan
  • (c) acceptability : bentuk dan isi pendidikan, termasuk kurikulum dan metode pengajarannya dapat diterima, relevan, sesuai dengan budaya siswa dan berkualitas
  • (d) adaptability : pendidikan harus fleksibel dan dapat beradaptasi dengan kebutuhan perubahan social dan komunitas serta mampu merespons kebutuhan siswa tanpa membedakan status sosial dan budayanya.
Dalam butir 9 General Comments, basic learning needs didefinisikan sebagai :"essential learning tools (such as literacy, oral expression, numeracy, and problem solving) and the basic learning content (such as knowledge, skills, values and attitudes) required by human being to be able to survive, to develop their full capacities, to live and work in dignity, to participate fully in development, to improve the quality of their lives, to make informed decisions, and to continue learning"

--------------------------------
Daftar Pustaka:
Damanik, Jayadi, et al, 2005 Perlindungan dan Pemenuhan Hak Atas Pendidikan, Komnas HAM, Jakarta, 86 hal.Freire, Paulo, 2001 Pedagogi Hati, Kanisius, Yogyakarta, 167 hal.Litbang Kompas, 2008Mencerdaskan Anak Usia Dini, Kompas Minggu, 20 April 2008
halaman 11Musfiroh, Tadkiroatun, 2008
Cerdas Melalui Bermain : Cara Mengasah Multiple Intelligences pada Anak sejak Usia Dini, PT Grasindo, Jakarta, 300 hal.Ramly, Nadjamudin, 2005
Membangun Pendidikan

-----------------------------------------------------------
Sumber:http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=13&dn=20080511154441
BACA TRUZZ...- PAUD atau PADU, Dimana Titik Temunya?

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut