AKSESIBILITAS PELAYANAN PENDIDIKAN DI PAPUA

Selasa, September 18, 2007

Oleh : Muslimin B. Putra
Rencana pengadaan 3.000 guru oleh Dinas Pendidikan dan Pengajaran Pemerintah Provinsi Papua merupakan suatu upaya yang baik dalam hal pemenuhan hak-hak Ekosob (Ekonomi, Sosial dan Budaya) warga Papua. Menurut Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Papua, James Modouw, perekrutan guru tersebut dalam rangka meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan di Papua (Sinar Harapan, 9 Mei 2007:5).
Bila pengadaan tersebut berjalan paralel dengan kebijakan pemenuhan HAM, maka hal ini menjadi suatu langkah yang sangat berarti. Terlebih lagi hal ini sejalan dengan cita-cita perjuangan nasional bangsa Indonesia yang ingin mencerdaskan kehidupan bangsa.

Selain rencana pengadaan guru, juga bagi guru di pedalaman sejak 23 Mei 2007 yang telah menjalankan tugasnya akan diberi berbagai tunjangan. Sedangkan guru-guru sukarelawan yang selama ini mengajar di pedalaman, juga akan diangkat. Mereka nantinya akan dilatih menjadi guru yang profesional, bahkan akan diikutsertakan mengikuti kuliah untuk meraih predikat strata 1 (S1).

Indikator HAM Pendidikan
Undang-Undang No. 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (HESB) merupakan payung hukum bagi pemenuhan hak-hak Ekosob warga negara Indonesia, termasuk penduduk Indonesia di Papua. Karena itu, konteks pengadaan 3000 guru di Papua dapat didudukkan sebagai upaya pelaksanaan UU No 11/2005.

Indikator HAM yang dikenal selama ini dalam bidang pendidikan yaitu availability (ketersediaan), accessibility (keteraksesan), adaptability (ketersesuaian), dan acceptability (keberterimaan). Sebenarnya indikator tersebut digunakan untuk mengukur implementasi hak-hak Ekosob pada umumnya, tetapi bisa diterapkan secara khusus pada implementasi hak atas pendidikan.

Dengan adanya rencana pengadaan guru di Papua, sedikitnya pemerintah Papua bisa dianggap telah berusaha memenuhi indicator availability (ketersediaan). Ketersediaan disini bila dijabarkan secara khusus adalah ketersediaan tenaga pengajar untuk melayani para peserta didik dari para warga/penduduk Papua. Ketersediaan lainnya yang perlu dipenuhi oleh pemerintah Papua adalah ketersediaan prasaran pendidikan agar nantinya terjadi keseimbangan antara tenaga pengajar (guru) dengan sarana pengajaran (gedung sekolah). Bila lebih spesifik lagi maka semua kebutuhan yang mendukung kelancaran jalannya proses pendidikan dan pengajaran seharusnya dipenuhi secara simultan.

Setelah indikator keteraksesan terpenuhi, maka kewajiban pemerintah Papua berikutnya adalah memenuhi indikator accessibility (keteraksesan). Keteraksesan disini bisa diartikan sebagai terbukanya akses bagi peserta didik warga Papua dalam mendapatkan pelayanan pendidikan dan pengajaran pada lembaga pendidikan. Situasi geografi Papua yang bergunung-gunung dengan tingkat infrastruktur yang masih minim merupakan kondisi aktual sekaligus tantangan pemenuhan hak atas pendidikan di Papua. Tentunya dalam upaya pemenuhannya dibutuhkan waktu dan anggaran yang sangat besar. Tetapi dengan tekad untuk mewujudkan pemenuhan hak atas pendidikan, pemerintah Papua diwajibkan untuk memenuhinya dalam bentuk politik anggaran yang pro pemenuhan hak Ekosob, sekalipun secara gradual.

Rencana penyediaan pelatihan dan janji untuk menjadikannya guru profesional dapat dijadikan sebagai upaya pemenuhan indikator adabtability (ketersesuaian). Sehingga disini dapat disebutkan bahwa pemerintah Papua telah berupaya menyesuaikan antara tingkat kebutuhan tenaga pengajar profesional dengan kebutuhan para peserta didik akan ilmu pengetahuan yang ditransfer dari para guru profesional tersebut. Meski banyak aspek lainnya dalam indikator adabtability, pengadaan guru profesional minimal dapat menjadi entry point dalam mewujudkan sistem pendidikan berbasis kompetensi.

Dengan penyediaan guru profesional akan menjadi tantangan tersendiri dalam memenuhi indikator acceptability (keberterimaan). Apakah tenaga pengajar terebut dapat diterima oleh peserta didik? Apakah kompetensi guru yang ada relevan dengan kebutuhan para peserta didik? Apakah guru profesional yang direkrut memahami budaya lokal agar proses transfer of knowledge dapat berjalan sesuai dengan yang direncanakan? Inilah sekelumit tantangan dari sekian banyak tantangan dalam pemenuhan hak atas pendidikan di Papua.***

*)Penulis adalah Analis Kebijakan Publik pada Puskajaknas, Jakarta.

--------------------------------------
Sumber:FokerLSMPapua.org, 27 Mei 2007

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut