Apa Kabar Sarjana Papua?

Kamis, Juni 24, 2010

Mencermati kiprah dan perjalanan sarjana Papua, kita patut prihatin.  Sarjana seharusnya memiliki bekal teori yang sangat kuat dan kritis, sehinga sanggup untuk menjadi agen perubahan justru jauh dari harapan. Sarjana di Papua justru banyak yang mengalami degradasi intelektual. Mereka tidak dapat membaca realitas sosial yang ada di hadapannya yang carut-marut. Kenyataan semacam ini masih diperparah lagi dengan minimnya pengalaman.
               
Kebanyakan masyarakat Papua beranggapan bahwa yang namanya sarjana merupakan salah satu insan yang memiliki suatu "kelebihan" (keistimewaan) dan patut dibanggakan. Masyarakat beranggapan bahwa para sarjana memiliki bekal teori yang sangat kuat dan kritis, sehinga sanggup untuk menjadi agen perubah. Pemikiran itu sudah mendarah daging dalam benak pikiran kita sejak dahulu. Namun yang terjadi, kita selalu mengunggul-ngunggulkan para sarjana dibandingkan dengan mereka yang tidak memunyai gelar sarjana. Padahal, pada realitas yang terjadi, agaknya statemen seperti tersebut sudah tidak cocok jika dikontekskan dengan keadaan sekarang di tanah Papua.
               
Banyak pihak menuding,  kemampuan teori dan praktis mahasiswa Papua di lapangan memprihatinkan. Sarjana Papua dekade sekarang ini bisa dikatakan sangat miskin terori dan juga tidak cakap untuk membaca gejolak sosial. Sehingga mereka hanya menjadi sarjana yang hanya menyandang gelar. Sungguh kenyatan yang benar-benar menyayat hati dan mencoreng identitas Papua.
               
Kenyataan semacam ini terbukti dengan banyaknya sarjana yang mengganggur (tidak melakukan sesuatu setelah lulus). Lebih banyak hanya menunggu tes PNS. Ini mungkin karena hakikat instansi pendidikan (Universitas) di Papua mengalami kegagalan dalam menjalankan misinya.
               
Sarjana lulusan Universitas di Papua secara umum sangat rendah, atau dengan kata lain sarjana Papua miskin intelektual. Sehingga secara tidak langsung menghambat perjalanan mutu pendidikan Papua. Penyebab minimnya intelektualitas para lulusan sarjana ini setidaknya disebabkan oleh dua hal.
               
Pertama, ketidaksinambungan kurikuler (Curricular Mismatch) pendidikan pra-universitas dengan pendidikan universitas. Dan yang kedua misorientasi pendidikan universitas. Setidaknya dua faktor inilah yang merupakan penghambat serta membuat para mahasiswa enggan untuk berekspresi, sehingga universitas hanya melahirkan mahasiaswa yang oportunis dan apatis. Oleh karena lemahnya mutu intelektualitas, maka semakin banyak pula para sarjana yang menganggur, karena kalah bersaing.
Berbicara tentang sarjana Papua tidak terlepas dari proses  yang terjadi dan dilalui di dalamnya selama mereka menempuh jenjang pendidikan. Justru kedua hal tersebutlah yang pada akhirnya akan menentukan bermutu tidaknya, serta matang mentahnya mutu kesarjanaan yang mereka sandang nantinya.
               
Salah satu penyebabnya menurut Prof. Djojodiguno "memang bocah Indonesia sejak bayi tidak pernah diajari untuk bertanya dan bersikap kritis, sehingga sampai sarjana sekalipun mereka tidak akan pernah memiliki rasa ingin tahu. Padahal, heran itu pangkal pandai.”
               
Diakui bahwa memang sejak mulai dari rumah anak-anak sudah dilatih dan dididik hanya untuk mendengarkan dengan tenang segala perkataan tanpa harus ada komentar yang dikeluarkan sedikit pun. Komentar boleh keluar jika memang benar-benar dibutuhkan, dan itupun hanya terbatas. Anak tidak diperbolehkan berbicara semaunya. Alhasil, anak didik tidak akan pernah memunyai nalar kritis sedikit pun, hanya menurut apa yang ia dengar.

Berpikir Praktis
Dalam bukunya yang berjudul  "Masa Lalu yang Membunuh Masa Depan" Yudi Latif mengatakan bahwa kesalahan fatal yang mungkin sering diperbuat oleh sarjana adalah ketika memasuki jenjang perguruan tinggi mereka lebih berorentasi pada sesuatu yang sifatnya praktis. Kebanyakan tujuan dari mahasiswa bukan untuk memburu ilmu ataupun mengasah pisau analisis, agar dapat membaca relitas sosial. Akan tetapi lebih mengedepankan atau untuk mengejar gelar dan ijazah sebagai legitimasi serta persyaratan dalam memudahkan untuk mendapatkan pekerjaan dengan yang menggiurkan.
               
Berpikir untuk ke arah lapangan kerja dan gelar memang bukan merupakan suatu dosa. Apalagi jika diikuti dengan prestasi yang memadai. Namun sayangnya, banyak mahasiawa yang justru tanpa ditopang oleh pengetahuan ilmu dan pendidikan yang memadai. Yang lebih memprhatinkan lagi, kesilauan terhadap "hantu status" ini telah banyak melahirkan mahasiswa yang oportunis.
               
Segalanya bisa diatur, yang penting bisa mengikuti ujian, nilai bagus, tidak pernah membuat kesalahan, apalagi menyangkal kehendak dosen. Adegan-adegan seperti titip tanda tangan, memelihara hubungan baik, skripsi aspal (asli tapi palsu), merupakan dinamika jalan pintas yang acap kali diperagakan dalam dunia kampus republik yang bertaburkan dengan "kampus ilmiah".
               
Jadi tidaklah mengherankan misalnya ketika banyak pelajar yang berbondong-bondong masuk ke fakultas ilmu pemerintahan. Kebanyakan tujuannya bukan untuk memperbaiki birokrasi pemerintahan yang carut-marut dan berkompetensi dalam bidangnya. Akan tetapi karena lebih dikedepankan egonya yang tergiur dengan tawaran dan godaan menjadi OKB—orang kaya baru—setelah menduduki suatu jabatan di pemerintahan.

Pengkhianatan Intelektual
Bagaimana pun juga, jika memperbincangkan perihal mutu dan kualiatas dari sarjana Papua memang sangat mengharukan serta memprihatinkan. Bagaimana tidak, sebab banyak sarjana Papua yang hanya berorientasi praktis dan belum memunyai nilai sosial yanng tinggi. Para sarjana Papua kebanyakan hanya berpikir untuk cepat selesai kuliah dan mendapatkan pekerjaan yang memadai. Alhasil yang mereka pikirkan juga hanya kepentingan mereka sendidri-sendiri, tanpa memikirkan bagaimana nasib masa depan bangsa Papua ke depan.
               
Polemik tentang peranan sarjana dalam pembangunan bangsa-negara memang sudah ada sejak lama. Namun, masih ada keluhan menyangkut pengkhianatan intelektual. Dalam artian, banyak sarjana Papua yang tidak peka terhadap masyarakatnya, terhadap perkembangan kesejahteraan rakyat dan pembangunan. Dan, sarjana semacam inilah yang telah melakukan pengkhianatan terhadap intelektual.

Namun, apa hendak mau dikata, nasi telah menjadi bubur. Semua itu sudah terjadi di tanah Papua. Namun, sebenarnya kita bisa saja memperbaiki kepincangan-kepincangan yang sedang dihadapi oleh para sarjana muda di Papua yang kita ciptakan. Asalkan ada keinginan dan harapan yang kuat, pasti semua itu bisa diperbaharui. Mutu pendidikan bisa ditingkatkan, meskipun membutuhkan waktu yang relatif lama. Sebab bagaimana pun juga sarjana Papua  diakui atau tidak merupakan agen of change yang nantinya menentukan maju tidaknya bangsa Papua. [Yermias Degei, Sekretaris Lembaga Pendidikan Papua]
----------------------------------

Sumber: Majalah SELANGKAH Edisi Januari-Maret 2010 
BACA TRUZZ...- Apa Kabar Sarjana Papua?

Perguruan Tinggi dan Korupsi: Catatan untuk PT di Tanah Papua

Korupsi adalah kejahatan. Korupsi itu kejahatan tertua di dunia yang sulit untuk diberantas. Tidak ada satu pun negara di dunia ini yang terbebas dari perbuatan korupsi. Dalam Kongres PBB tahun 1980 mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of The Offenders masyarakat internasional mengakui bahwa kejahatan korupsi merupakan tipe kejahatan yang sulit di jangkau hukum (offences beyond the reach of the law). Kesulitannya relatif antara lain karena kedudukan ekonomi dan politik yang kuat dari pelaku korupsi itu serta sistem penegakan hukum di suatu negara yang masih lemah (Lumbun, 2009).

Perilaku korupsi tidak selalu hanya disebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan pokok saja (corruption by need), tetapi banyak pula korupsi yang dilakukan oleh dorongan keserakahan (corruption by greed). Fenomena korupsi pada saat ini mengakar di berbagai kehidupan masyarakat. Korupsi digambarkan sebagai perbuatan yang tidak bermoral dan berkaitan dengan keserakahan dan ketamakan yang melibatkan birokrasi dengan anggota masyarakat dan pengusaha, hingga penyelenggara Negara(Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif), bahkan menyeret tokoh-tokoh masyarakat dari kalangan akademisi dan pemuka agama.

Ada dua tipe tindak korukpsi yang biasanya terjadi di birokrasi pemerintahan yakni korupsi yang kasat mata dan korkupsi yang tersembunyi. Korupsi tipe pertama yakni korupsi yang skalanya kecil misalnya pungutan liar yang dilakukan aparat pemerintah ataupun pungli yang terjadi di lingkungan pendidikan dengan alasan untuk mencari tambahan pendapatan. Korupsi jenis ini yang tiap hari tampak di depan mata dan dirasakan sudah menjadi penyakit masyarakat.

Tindak korupsi jenis kedua yakni tindak korupsi yang dilakukan secara ‘tak nampak’.  Jenis kedua ini skala korukpsinya sudah sistematik dan besar. Tindak korukpsi yang sistematik ini sudah jauh memasuki dan berpotensi merusak operasionalisasi negara dan memainkan peran penting akan penguasaan segelintir elit atas negara di mana proses formulasi kebijakan yang dibuat hanya untuk menguntungkan segelintir elit tertentu.
           
Prof. Dr. T. Gayus Lumbun, SH, MH   mengatakan, dampak dari perilaku korupsi ini telah menghambat upaya-upaya peningkatan kualitas hidup manusia, termasuk dalam rangka mengurangi atau menekan angka kemiskinan. Oleh karena itu, perilaku korupsi berdampak pada meningkatnya jumlah orang miskin. Semakin banyak orang melakukan tindakan korupsi, sesungguhnya semakin banyak jumlah rakyat yang menjadi miskin. Korupsi juga menciptakan kesenjangan yang semakin besar antara kaum miskin dan kaya di Indonesia.
           
Tindak pidana korupsi telah terjadi secara meluas, dan dianggap telah menjadi suatu penyakit yang sangat parah. Korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, menggerogoti demokrasi, merusak aturan hukum, dan memundurkan pembangunan, serta memudarkan masa depan bangsa. Hal ini telah membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengambil langkah dan sikap tegas untuk memerangi korupsi di negara ini. Presiden telah mengeluarkan Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

Namun, banyak pihak menyoroti bahwa Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004 tidak secara signifikan membrantas kejahatan yang sudah membahayakan kehidupan bangsa dan negara. Korupsi justru menjadi virus yang mematikan, menggerogoti dan membahayakan semua sendi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.

Dalam kondisi ini, institusi pendidikan (perguruan tinggi) memunyai peran yang besar dalam pemberantasan korupsi. Perguruan tinggi teruang dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Maka pemberantasan korupsi adalah tanggung jawab perguruan tinggi melalui mata kuliah anti korupsi. Republik Lithuania adalah contoh bagaimana institusi pendidikan berupaya mencegah program pendidikan antikorkupsi. Tujuannya adalah untuk membentuk posisi sipil aktif dan menumbuhkan intoleransi terhadap koupsi.
           
Lalu, apa sebab-sebabnya melakukan korupsi? Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan Republik Indonesia mengidentifikasi beberapa sebab terjadinya korkupsi, yaitu aspek individu pelaku korupsi, aspek organisasi, aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada.
           
Korupsi yang dilakukan oleh individu berkaitan dengan moral.Moral kurang kuat menghadapi godaan, penghasilan kurang mencukupi untuk kebutuhan yang wajar, kebutuhan yang mendesak, gaya hidup konsumtif, malas atau tidak mau bekerja keras, serta ajaran-ajaran agama kurang diterapkan secara benar. Ironis bahwa nilai-nilai agama, sikap solidaritas sosial tidak dilaksanakan dalam kehidupan bersama.
           
Korupsi yang dilakukan oleh organisasi lebih banyak terjadi karena kurang adanya keteladanan dari pimpinan. Tidak adanya kultur organisasi yang benar, sistem akuntabilitas di pemerintah kurang memadai, serta manajemen cenderung menutupi korkupsi di dalam organisasinya.
           
Sebab berikutnya adalah aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada.  Nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat yang kondusif untuk melakukan korupsi, masyarakat kurang menyadari bahwa masyarakat sendiri yang dirugikan oleh tindakan korupsi, kurangnya partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korukpsi, bahkan generasi muda dihadapkan dengan praktek korupsi sejak lahir.
           
Perbuatan korupsi tidak saja ditentukan oleh perilaku dan sebab-sebab yang sifatnya individu atau perilaku pribadi yang koruptif, tetapi disebabkan pula oleh sistem yang koruptif, yang kondusif bagi setiap individu untuk melakukan tindakan korupsi.
           
Lumbun mengatakan, perilaku korupsi tidak hanya dilakukan oleh pegawai negeri dalam bentuk penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, sarana jabatan, atau kedudukan. Tetapi korupsi  juga banyak dilakukan oleh pengusaha dan kaum profesional bahkan termasuk Advokat (suap). Beberapa kasus korkupsi ”mega skandal” yang merugikan keuangan negara sampai triliunan rupiah melibatkan pengusaha dan profesional yang saat ini menjadi buronan.

Lemahnya tata-kelola birokrasi di Indonesia dan maraknya tindak korupsi baik ilegal maupun yang ”dilegalkan” dengan aturan-aturan yang dibuat oleh penyelenggara negara, merupakan tantangan besar yang masih harus dihadapi negara ini. Kualitas tata kelola yang buruk ini tidak saja telah menurunkan kualitas kehidkupan bangsa dan bernegara, tetapi juga telah banyak memakan korban jiwa.  Efek dari buruknya tata kelola di negara ini mulai terlihat seperti kemiskinan yang relatif masih tinggi, pengangguran, gizi buruk, rendahnya kualitas pelayanan publik, rendahnya penerapan standar keselamatan modal transportasi serta ketimpangan antara kalangan masyarakat.

Dalam konteks Papua, aktivis HAM dan Anti Korupsi di Papua, serta Koordinator Gerakan Moral Masyarakat Adat Papua Anti Korupsi, Dorus Wakum  mengatakan, kasus-kasus kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Papua baik Pelanggaran Berat HAM (Pembunuhan dan Penghilangan paksa Alm. Theys H. Eluay dan Aris Toteles Masoka, Kasus Boswesen Berdarah, Biak Berdarah, Timika Berdarah, Wamena Berdarah, Wasior Berdarah, Abepura Beradarah, Puncak Jaya Berdarah, Nabire Berdarah dan lain-lain) dan kebijakan Otonomi Khusus yang salah dan melahirkan Orang Kaya Baru (OKB) dengan isu Papuanisasi yang merusak tatanan kehidupan adat paling bawah, dan pemekaran yang menyuburkan korupsi yang merajalela di mana-mana dalam jajaran pemerintahan daerah baik Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif.

Menurut Dorus Wakum, hal ini terjadi dikarenakan karena adanya proses pembiaran yang merupakan suatu strategi politik besar Pemerintah Pusat dan Daerah untuk memporak-porandakan kehidupan sosial, tatanan adat Masyarakat Papua. Sesungguhnya diketahui bahwa itu salah dan ini tidak benar tetapi sengaja dibiarkan dan seakan-akan Orang Papua bodoh dan tidak mengerti. Almarhum Cak Munir, SH., dalam suatu pertemuan di aula YPMD Kotaraja –Jayapura 2003 pernah mengatakan bahwa “ Otsus “adalah “ Souvenir politik Megawati bagi orang Papua”, ibarat gula-gula yang diberikan kepada orang Papua, lalu orang Papua saling berebutan dan berantam kemudian orang di Jakarta duduk melihat lalu menertawakan apa yang terjadi”.

Peran Kampus
Kampus (PT) memunyai peran yang tidak kalah penting dengan bidang-bidang lainnya yang ada di KPK dalam bidang pencegahan korupsi. Salah satu tugas, wewenang, dan kewajiban Komisi Pemberantasan Korkupsi (KPK), sebagaimana disebut dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 adalah melakuakn tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi. Dari sekian tugas, wewnang dan kewajiban yang diemban berbagai bidang di KPK, bidang pencegahan termasuk jarang disorot. Mungkin, bidang ini kalah ”seksi” dibanding bidang lainnya seperti bidang penindakan, bidang informasi dan data serta bidang pengawasan internal dan pengajuan masyarakat (Lumbun, 2009).
           
Tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi yang telah dilakukan oleh Bidang Pencegahan KPK meliputi pendaftaran dan pemeriksaan terhadap Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) dan menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi. Selain itu, Bidang Pencegahan juga menyelenggarakan program pendidikan dan kemapanye anti korupsi, sosialisasi pemberantasan korupsi, serta kerjasama bilateral dan multilateral dalam pemberantasan korupsi. Program pendidikan antikorukpsi yang dilakuakan oleh Bidang Pencegahan KPK ini perlu disambut baik oleh dunia pendidikan khususnya PT.
           
Pendidikan merupakan hal penting untuk menanamkan prinsip jujur dan objektif. Pemberantasan korukpsi diawali dengan pencegahan harus dimulai sejak dini. Salah satu yang bisa dilakukan adalah menanamkan prisip berbuat jujur di dalam diri seseorang sebelum terjun ke masyarakat. Berbagai upaya telah dilakukan oleh lembaga penegak hukum seperti KPK dan Kejaksaan untuk menumbuhkan budaya kejujuran, misalnya saja dengan mendirikan kantin-kantin kejujuran atau kafe-kafe kejujuran. Kejaksaan sendiri telah membuka 3000 kantin kejujuran di sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi walaupun masih ada kantin-kantin yang bangkrut karena ketidakjujuran, tetapi setidaknya dapat menjadi entry point yang bagus dalam rangka menumbuhkan budaya jujur.
           
Menumbuhkan kesadaran hukum adalah merupakan hal yang tidak mudah, tahu, dan mengerti hukum bukan berarti sadar akan hukum. Buktinya, banyak intelektual hukum dan praktisi-praktisi hukum yang tahu dan mengerti hukum tetapi tidak sadar akan hukum, sehingga banyak kita jumpai adanya akademisi-akademisi/intelektual hukum dan praktisi-praktisi hukum yang dipenjara karena melanggar hukum. Oleh karena itulah, membangun kesadaran hukum dapat kita mulai dari dunia pendidikan (PT).
           
Karena itu, kini saatnya dunia pendidikan untuk mendorong pemberantasan korupsi secara lebih serius lagi. Institusi pendidikan diyakini sebagai tempat terbaik untuk menyebarkan dan menanamkan nilai-nilai antikorupsi. Murid atau mahasiswa yang akan menjadi tulang punggung bangsa di masa mendatang sejak dini harus diajar dan dididik untuk membenci serta menjauhi praktek korupsi. Bahkan lebih dari itu, diharapkan dapat turut aktif memeranginya. Dengan cara melakukan pembinaan pada aspek mental, spiritual, dan moral, Karena, orientasi pendidikan nasional kita mengarahkan manusia Indonesia untuk menjadi insan yang beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia.
           
Pendidikan bisa dijadikan sebagai sarana  upaya preventif dan antisipatif dalam pemberantasan korupsi. Karena, manusia-manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, beriman, berakhlak mulia, memiliki kompetensi dan profesionalitas serta sebagai warga negara yang bertanggung jawab. Sehingga, mereka pun berupaya menghindarkan diri dari perilaku korupsi.
           
Terkait dengan penyelenggaraan program pendidikan anti korupsi, dunia pendidikan khususnya PT harus mulai memikirkan pembuatan kurikulum dan modul pendidikan anti korupsi yang diajarka di setiap tingkat pendidikan. Pendidikan anti korupsi tersebut bertujuan menanamkan nilai-nilai kejujuran dan keluhuran moral sejak dini kepada para pelajar. Tentunya materi pendidikannya akan berbeda-beda sesuai jenjang pendidikan. Dimulai dengan mengenalkan bagaimana hidup jujur dan mengapa jujur itu perlu untuk tingkat SD, begitu pula halnya dengan tingkat SMP. Sedangkan untuk tingkat SMA dan Perguruan Tinggi, materinya lebih ditekankan pada faktor budaya yang turut memengaruhi suburnya korupsi di Indonesia.
           
Selain menyusun kurikulum antikorupsi yang diajarkan oleh setiap mahasiswa, perguruan tinggi juga harus membersihkan dirinya dari birokrasi yang koruptif. Birokrasi yang terbatas dari korukpsi ini tidak hanya terjadi pada birokrasi rektorat/perguruan tinggi saja, tetapi birokrasi yang bersih dari korupsi juga harus terjadi pada birokrasi kemahasiswaan, seperti Senat Mahasiswa maupun Unit-unit Kegitan Mahasiswa lainnya.
           
Dalam hal melakukan upaya-upaya pemberantasan korupsi, PT dan mahasiswa harus menjadi garda terdepan. Sedangkan mahasiswa secara aktif dapat terus melakukan kampanye-kampanye antikorupsi. Meski dianggap kalah menarik dibanding penindakan, harus diakui peran Bidang Pencegahan dalam pemberantasan korupsi tak kalah penting. Efeknya memang tidak bisa dilihat sekarang, seperti kalau menindak koruptor. Efeknya baru ada nanti, beberapa tahun ke depan, untuk generasi mendatang. Kita harus mulai sekarang! [Redaksi majalah Selangkah dari berbagai sumber]

------------------
Sumber: Majalah SELANGKAH Edisi Januari-Maret 2010
BACA TRUZZ...- Perguruan Tinggi dan Korupsi: Catatan untuk PT di Tanah Papua

Gerakan Perubahan Mahasiswa dan Pendidikan Tinggi: Catatan untuk Mahasiswa Papua

Mahasiswa takut dengan Dosen,
Dosen takut dengan Dekan,
Dekan takut dengan Rektor,
Rektor takut dengan Menteri, Menteri takut dengan Presiden,
Presiden takut dengan Mahasiswa…
Alhasil, (Puisi ironi Taufik Ismail)

Prolog
Mahasiswa diidentikkan dengan “agent of change—agen perubahan”. Berbicara tentang perubahan erat sekali dengan mahasiswa (kaum intelektual muda). Harapan untuk perubahan dan pembaharuan dalam berbagai bidang di dunia mana pun berada di pundak mereka (mahasiswa). Perubahan yang positif dalam pembangunan sebuah bangsa--terutama bangsa Papua yang sedang berada dalam berbagai persoalan—adalah tantangan mahasiswa Papua saat ini.

Peran Pendidikan Tinggi dalam mendorong mahasiswa untuk melakukan gerakan-gerakan perubahan di Papua sangat penting. Pendidikan Tinggi di Papua harus berani keluar dari tudingan-tudingan selama ini bahwa “perguruan tinggi di Papua hanya melahirkan mahasiswa yang tidak kritis atas berbagai soal di tanah ini”. Perguruan tinggi juga harus tidak mengobral nilai dan ijazah seperti yang dituduhkan selama ini. Perguruan tinggi terus harus berupaya untuk meningkatkan mutu dan membangun budaya-budaya ilmiah dan diskusi untuk membangun kesadaran kritis mahasiswa. Peran pendidikan tinggi di tanah Papua penting untuk mendorong perubahan-perubahan yang baik.

Kita akui bahwa kata perubahan memang telah melekat pada tubuh dan jiwa para mahasiswa. Karena memang dari mahasiswalah muncul berbagai gerakan perubahan positif dalam sejarah. Peristiwa-peritiwa besar di dunia selalu identik dengan peran mahasiswa di dalamnya. Mahasiswa itu lahir dari pendidikan tinggi, maka pendidikan tinggi di Papua harus terus merefleksikan diri dan berani berubah. Nah, bagaimana gerakan moral perubahan mahasiswa itu dimulai?

Lahirnya Gerakan Perubahan Mahasiswa
Gerakan moral perubahan mahasiswa telah berkembang sejak didirikannya Universitas Bologna Paris dan Oxford pada abad ke 12 dan ke 13. Gerakan mahasiswa sedunia mulai muncul ketika terjadi penyerangan oleh tentara Hitler terhadap pertemuan mahasiswa sedunia pada tangal 17 November 1939 di Praha Cekoslowakia (Effendi Hasan, tanpa tahun). Akibat penyerbuan itu, sembilan pemimpin mahasiswa tewas dan imbasnya Universitas Charles pun ditutup. Peristiwa tersebut membuat mahasiswa sangat sedih karena telah melukai hati mereka dan ini bukan hanya di Cekoslawakia, akan tetapi juga di seluruh dunia. Setelah kejadian ini, mahasiswa pun bangkit sebagai kelompok penentang, peristiwa 17 November ini dijadikan sebagai International Student Day.

Selanjutnya, pada Maret 1945 di London diadakan pertemuan yang dihadiri oleh 24 mahasiswa dari seluruh dunia. Pertemuan tersebut telah menghasilkan satu kesimpulan untuk membentuk satu organisasi mahasiswa seluruh dunia yang dikenal dengan nama ‘Federasi Mahasiswa Seluruh Dunia’.

Pada bulan November, pertemuan ini dilanjutkan kembali juga di tempat yang sama selama 2 hari. Pertemuan ini dihadiri oleh 150 orang mahasiswa dari 38 negara di dunia. Pada waktu yang sama juga telah lahir satu lembaga mahasiswa yang didominasi oleh kelompok komunis yang diberi nama “The Word Federation Of Democratic Youth” (WFDY).

Kelahiran organisasi ini telah memengaruhi pertemuan di London, di mana organisasi Federasi Mahasiswa mengambil sikap beraliansi dengan WFDY atau tidak. Di sinilah mulai terjadi perpecahan di tubuh organisasi mahasiswa dan hampir saja organisasi Federasi Mahasiswa ini dibubarkan. Namun, satu tahun kemudian, tepat pada 17 November 1946 diadakan kembali pertemuan mahasiswa sedunia di Praha, Cekoslawakia. Dalam pertemuan inilah terbentuk organsisasi mahasiswa sedunia secara resmi yang diberi nama International Union Of Student (IUS).

Dikemudian hari, IUS mengalami perpecahan disebabkan oleh tiga faktor, pertama, IUS gagal melakukan protes terhadap Coup D’etat di Cekoslawakia pada Februari 1948. Sedangkan secara realita mahasiswa menggerakan gelombang demonstrasi menentang usaha Coup D’etat. Sebaliknya, Komunis dengan bantuan tentera merah Uni Soviet menindas aksi-aksi mahasiswa tersebut. Kedua, kegiatan IUS berkerjasama dengan WFYD yang melaksanakan kongres di Calcutta India pada tahun 1948. Ternyata kongres tersebut dijadikan alasan oleh pihak Komunis untuk melakukan kudeta di Asia seperti Burma, Malaysia, Filipina dan Indonesia. Faktor ketiga adalah IUS tidak mampu melakukan protes terhadap pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun pada tanggal 18 September 1948.

Perselisihan semakin hebat dari tahun ke tahun hingga menyebabkan perpecahan dalam tubuh gerakan mahasiswa. Namun, begitu perang Korea meletus, IUS melaksanakan kongres kedua di Praha pada 22 Juni 1950. Para mahasiswa dari negara Barat mengambil sikap menentang, mereka yang terdiri dari 21 wakil National Union Of Student mengadakan pertemuan di Stockholm Swedia. Dalam pertemuan itulah kemudian mereka melahirkan berdirinya The International Student Conference (ISC).

Sekelumit sejarah perkembangan gerakan mahasiswa dunia ini memang sangat riskan dari unsur perpecahan. Organisasi mahasiswa terpecah menjadi dua, satu bernama IUS yang berpusat di Praha, Cekoslawakia, sedangkan satu lagi bernama ISC yang berpusat di Leiden, Belanda. Perpecahan dalam tubuh organisasi mahasiswa ini merupakan cerminan terhadap perpecahan politik dunia, di mana terjadi persaingan dan gesekan antara dua blok raksasa dunia yaitu Uni Soviet versus Amerika Serikat yang terkenal dengan perang dingin.

Akibat perpecahan di tubuh organisasi mahasiswa, gerakan-gerakan mahasiswa lebih banyak menyusup dalam gerakan-gerakan di tingkat nasional. Seperti Revolusi di Hongaria pada 23 Oktober 1956, mereka menuntut agar para dosen yang menganut aliran Stalinist dipecat dari Universitas. Mahasiswa dan rakyat bersatu padu dalam gerakan tersebut, mereka menyerukan 'suara kemerdekaan dengan slogan kami ingikan kebebasan dan tentara Uni Soviet harus segera meninggalkan Honggaria'.Gerakan tersebut dihadiri oleh 100.000 mahasiswa. Gerakan ini disambut oleh tentara beruang merah dengan mengerahkan tank-tank, panser dan pesawat tempur.

Walaupun gerakan tersebut dilayani dengan kekerasan, namun semangat perjuangan mahasiswa tidak pernah mundur, malah mahasiswa terus bersemangat untuk memperjuangkan normalisasi sistem politik, kebebasan, demokrasi, keadilan, dan penghargaan terhadap martabat manusia. Gerakan demi gerakan terus mereka lakukan seperti di Lisbon, Portugis 1 Februari 1965. Mahasiswa menuntut demokrastisasi dan perbaikan sistem pendidikan serta kebebasan di Universitas.

Demikian juga gerakan di negara-negara lain baik di Perancis, Polandia, Belgia, Belanda, Inggris, Afrika, Maroko, Libya, Iran, Irak, Sudan, Kenya, Turki, Nepal, Korea Selatan, Filipina dan Indonesia. Mahasiswa tetap menjadi tonggak politik untuk melakukan segala perubahan di seluruh dunia.

Bagaimana dengan Indonesia?
Sejarah Indonesia tidak bisa lepas dari sejarah pergerakan mahasiswa. Sejarah Indonesia sebenarnya justru berawal dari gerakan organisasi mahasiswa Indonesia. Gerakan mahasiswa tahun 1908 yang dikenal dengan Boedi Oetomo adalah sebuah gerakan mahasiswa dengan tujuan yang jelas, yaitu perubahan. Mohammad Hatta misalnya, selama dia belajar di Belanda, bersama teman-temannya membentuk organisasi kemahasiwaan yang dikenal dengan Indische Vereeninging (yang selanjutnya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia). Kelahiran Perhimpunan Indonesia adalah contoh konkret bagaimana kaum terpelajar dan mahasiswa berada di garda depan sebuah bangsa dengan misi utamanya “menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan hak-hak kemanusiaan di kalangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan”.

Masih banyak contoh lain. Gerakan mahasiswa Indonesia tahun 1920-an dimotori tokoh mahasiswa di antaranya Soetomo (Indonesische Studie-club), Soekarno (Algemeene Studie-club). Pada tahun-tahun yang sama terbentuk lagi Persatuan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang mencoba menghimpun pemuda dan mahasiswa dari berbagai elemen yang menjadi cikal bakal munculnya Sumpah Pemuda.

Setelah kemerdekaan Indonesia, gerakan mahasiswa untuk perubahan terus berlanjut. Pada tahun 1966 muncul gerakan mahasiswa yang dikenal dengan istilah angkatan 66 (Radar Karawang, Mei 2005). Gerakan ini merupakan awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional setelah Indonesia merdeka, di mana sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan. Tokoh-tokoh mahasiswa saat itu adalah mereka yang sekarang berada pada lingkar kekuasaan yaitu Akbar Tanjung dan Cosmas Batubara.

Selanjutnya, Tahun 1972 muncul gerakan mahasiswa yang dikenal dengan terjadinya peristiwa MALARI (Malapetaka Lima Belas Januari). Gerakan ini menolak produk Jepang dan sinisme terhadap warga keturunan. Dan, Jakarta masih menjadi barometer pergerakan mahasiswa nasional. Tokoh mahasiswa yang mencuat pada gerakan mahasiswa ini seperti Hariman Siregar, sedangkan mahasiswa yang gugur dari peristiwa ini adalah Arif Rahman Hakim.

Pada Tahun 1980-an gerakan mahasiswa tidak begitu popular karena lebih terfokus pada perguruan tinggi besar saja. Puncaknya tahun 1985, ketika Menteri Dalam Negeri (saat itu Rudini) berkunjung ke ITB disambut oleh mahasiswa dengan demonstrasi dan terjadi peristiwa pelemparan terhadap Mendagri. Buntutnya, pelaku pelemparan yaitu Jumhur Hidayat terkena sanksi DO (Droup Out) oleh pihak ITB (pada pemilu 2004, Jumhur Hidayat menjabat sebagai Sekjen Partai Serikat Indonesia /PSI).

Isu yang diangkat gerakan mahasiswa tahun 1990-an adalah penolakan diberlakukannya Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Kordinasi Kampus yang membekukan Dewan Mahasiswa (DEMA/DM) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Mereka menolak larangan Mahasiswa terjun ke dalam politik praktis, yaitu dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0457/0/1990 tentang Pola Pembinaan dan Pengembangan Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi, di mana Organisasi Kemahasiswaan pada tingkat Perguruan Tinggi bernama SMPT (Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi). Kebijakan ini menjadikan aktivis mahasiswa dalam posisi mandul, karena pihak rektorat lebih leluasa dan dilegalkan untuk mencekal aktivis mahasiswa dengan men-DO. Mahasiswa hanya dituntut kuliah dan kuliah.

Pemerintah Orde Baru pun menggaungkan opini adanya pergerakan sekelompok orang yang berkeliaran di masyarakat dan mahasiswa dengan sebutan OTB (organisasi tanpa bentuk). Masyarakat pun termakan dengan opini ini karena OTB ini identik dengan gerakan komunis.

Sikap kritis mahasiswa terhadap pemerintah tidak berhenti pada diberlakukannya NKK/BKK, jalur perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis mahasiswa dengan memakai kendaraan lain untuk menghindari sikap refresif pemerintah, yaitu dengan meleburkan diri dan aktif di organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), PMKRI (Pergerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) atau yang lebih dikenal dengan kelompok Cipayung.

Gerakan mahasiswa tahun 1998 mencuat dengan tumbangnya Orde Baru dengan ditandai lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan, tepatnya pada tanggal 12 Mei 1998. Gerakan mahasiswa tahun 1998 mencapai klimaksnya pada tahun 1998, diawali dengan terjadi krisis moneter di pertengahan tahun 1997. Harga-harga kebutuhan melambung tinggi, daya beli masyarakat pun berkurang. Mahasiswa pun mulai gerah dengan penguasa ORBA, tuntutan mundurnya Soeharto menjadi agenda nasional gerakan mahasiswa. Ibarat gayung bersambut, gerakan mahasiswa dengan agenda reformasinya mendapat simpati dan dukungan yang luar biasa dari rakyat. Mahasiswa menjadi tumpuan rakyat dalam mengubah kondisi yang ada. Kondisi di mana rakyat sudah bosan dengan pemerintahan yang terlalu lama (32 tahun).

Gerakan mahasiswa tahun 1998 membawa simbol Rumah Rakyat yaitu Gedung DPR/MPR. Rumah rakyat menjadi tujuan utama mahasiswa dari berbagai kota di Indonesia. Seluruh komponen mahasiswa dengan berbagai atribut almamater dan kelompok semuanya tumpah ruah di sana. Tercatat FKSMJ (Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta), FORBES (Forum Bersama), KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) dan FORKOT (Forum Kota). Pada saat itu, elemen mahasiswa yang berbeda paham dan aliran dapat bersatu dengan satu tujuan, turunkan Soeharto. Perjuangan mahasiswa tahun 1998 harus dibayar dengan 4 nyawa mahasiswa Tri Sakti. Mereka gugur sebagai Pahlawan Reformasi, serta harus dibayar dengan tragedi Semangi 1 dan 2. Reformasi terus bergulir, perjuangan mahasiswa tidak pernah berhenti sampai di sini. Perjuangan mahasiswa terus tumbuh selama penguasa tidak berpihak kepada rakyat.

Bagaimana dengan Papua?
Kenyataan sejarah pergerakan mahasiswa Papua dimulai di Biak sekitar tahun 1934. Sekelompok Mahasiswa Papua yang didik oleh van Baal yang secara resmi mendirikan dan membangun kantor Gubernur perwakilan Belanda di Jayapura. Mereka yang dididik pada saat itu antara lain adalah N. Jouwe, M.W. Kaiseppo, P. Torei, M.B. Ramendey, A.S. Onim, N. Tanggakma, F. Poana dan Andullah Arfan. Mereka ini boleh dikatakan orang didikan (mahasiswa/pelajar) pertama di Papua yang melakukan perlawanan secara intelektual.

Mereka melakukan suatu gerakan untuk mengusir penjajahan dari muka bumi Papua dengan melakukan gerakan dan memetakkan anggota Dewan Nieuw Guinea Raad, serta merancang sebuah kehidupan yang lebih baik di Papua. Namun sayang, arus pergerakan kaum terpelajar ini melenceng karena di dalam tubuh mereka ada juga ‘judas-judas’. Gerakan mereka dipatahkan oleh orang Papua sendiri. Walaupun begitu, manuver mereka cukup dashyat, hingga saat ini sejarah bangsa-bangsa di dunia mencatatnya.

Gerakan mahasiswa Papua kembali pada tahun 1969. Mahasiswa Papua mengonsolidasikan diri dan turun ke jalan untuk melakukan protes atas hasil Pelaksanaan Pepera 1969. Mereka protes pada tanggal 12 Februari 1969 karena ada kecurangan di mana pihak Indonesia yang sedang memperebutkan Papua Barat justru yang melakukan PEPERA. Dan, dinilai tidak sesuai dengan ketetapan New York Agrremant yang menetapkan harus ada di bawah kendali UNTHEA. Demonstrasi ini dipimpin oleh Herman Wayoi dan Permenas Hans Torrey. BA. Para demonstran ini menuju ke kediaman utusan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) agar Pepera harus dilaksanakan sesuai dengan perjanjian New York yakni "One Man One Vote" dan menolak keinginan Indonesia untuk melaksanakannya atas asas musyawara mufakat melalui Dewan Musyawarah Pepera (DMP).

Gerakan mahasiswa bangkit lagi melalui Seni dan Budaya Papua yang dipelopori oleh Arnol Ap, Sam Kapisa dan kawan-kawan (mahasiswa Uncen di Jayapura) pada tahun 1972. Gerakan ini tumbuh dan berkembang, yang kemudian pada tanggal 15 Agustus 1978 menjadikan hari jadi Mambesak. Musik ini oleh Sam Kapisa dan Arnold Ap mengganggap sebagai musik yang suci sehingga mereka menamainya Mambesak, Nuri, yang menurut orang Biak adalah burung suci, tujuannya adalah untuk menghibur hati masyarakat Papua yang sedang diintimidasi, dianiaya, diperkosa dan dibinasakan. Musik-musik mambesak memberikan kekuatan perlawanan rakyat Papua dan mengembalikan jadi diri sebagai komunitas yang ‘beda dari bangsa lain’.

Akhirnya, gerakan ini berakhir dengan kematian Arnol Ap yang mengakibatkan 800 Masyarakat Papua melakukan pelarian ke PNG sebagai protes. Dan, di Jakarta, Simon Otis Piaref, Johannes Rumbiak, Jopie Rumanjau dan Loth Sarakan yang mempertanyakan kematian Ap dikejar aparat dan lompat pagar untuk meminta suaka politik di Kedutaan Belanda. Pada hari yang sama sekitar 300 masyarakat Papua mengantar mayat Arnol Ap dari Jayapura menuju tanah hitam, tempat peristirahatan terakhirnya.

Gerakan mahasiswa Papua muncul lagi pada tahun 1996, di Jayapura - Abepura mahasiswa Uncen dengan dipimpinan Benny Wenda (sekarang pemimpin Masyarakat Adat Papua—domisi di Inggris) melakukan protes atas kematian Dr. Thomas Wanggai yang tidak wajar, “setelah diberikan racun dengan minuman”. Mahasiswa menyambut mayat Thomas Wanggai di depan kampus untuk penghormatan terakhir, namun apa yang terjadi, bahwa ada konspirasi penipuan di sana, sehingga terjadi pemberontakan atas penipuan. Penipuan ini bermuara pada pembakaran mobil, toko-toko, dan pasar raya di Abepura. Dalam insiden ini 4 mahasiswa dan 1 anggota TNI pribumi meninggal dunia. Peristiwa ini adalah sejarah gerakan Mahasiswa Papua yang ada dalam memori masyarakat Papua.

Gerakan mahasiswa berikutnya adalah pecah pada tahun 1997. Mahasiswa Papua memprotes pembantaian TNI di Mapenduma, Jila, Bela, dan Alama. Protes ini dilakukan setelah mendapatkan laporan pelanggaran HAM oleh 3 gereja (Katolik, KIGMI dan GKIIJ) di Tanah Papua. Gerakan ini berdampak hingga ke luar pulau Papua. Apa lagi, saat itu dapat surat Senator Amerika Serikat yang meminta kepada pemerinta BJ Habibie untuk memberikan kesempatan kepada Timor-Timur dan Papua Barat untuk menentukan hak politik.

Gerakan tahun 1997 ini kemudian melahirkan organ politik mahasiswa Papua terbesar yang kemudian dikenal dengan nama Alinsi Mahasiswa Papua (AMP). Sedikit sejarahnya adalah Aliansi Mahasiswa Papua didirikan pada tanggal 30 Mei 1998 di Jalan Guntur Kawi, Manggarai, Jakarta Selatan. Organisasi ini lahir di tengah situasi peristiwa Biak Berdarah. Di tengah situasi politik Indonesia yang mulai goyah akibat tekanan-tekanan politik dari gerakan prodemokrasi Indonesia terhadap regime Soeharto dan mulai menguatnya tuntutan Reformasi Politik bagi sebuah perubahan yang berkeadilan serta terbukanya ruang demokrasi.

Di tengah situasi politik yang demikian di Indonesia, para mahasiswa Papua Barat dari berbagai kota di Indonesia berinisiatif membentuk sebuah organisasi politik yang akan mewadahi tuntutan-tuntutan politik mahasiswa Papua Barat secara jelas kepada Indonesia, terutama dalam hal “Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai Bangsa yang Merdeka”.

Dari sinilah cikal bakal perjuangan Pembebasan Nasional Papua Barat secara modern mulai ditorehkan secara efektif di Indonesia. Dalam perjalanan awal AMP banyak sekali kendala yang dihadapi karena tidak adanya pengetahuan bersama soal penerapan mekanisme organisasi gerakan politik (bukan paguyuban) dalam amanat perjuangan yang lebih besar. Untuk pertama kalinnya, AMP melakukan aksi besar-besaran pada tahun 1998. Di tengah-tengah maraknya tuntutan Kemerdekaan Papua Barat, pada tanggal 20 Juli 1998, seluruh mahasiswa perantau dari Sulawesi di antaranya (Menado, Toraja serta Ujung Pandang), Bali, Jawa di antaranya (kota Surabaya, Malang, Semarang, Solo, Salatiga, Yogyakarta, Bandung serta Jakarta) dan Sumatera yang berjumlah sekitar 665 orang mahasiswa melakukan demonstrasi di depan kantor Perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jakarta.

Aksi demonstrasi ini mengajukan tiga (3) buah pernyataan sikap politik yang menuntut PBB agar segera mengembalikan kemerdekaan Papua Barat yang telah diproklamasihkan pada tanggal 1 Desember 1961. Mendesak kepada Mahkama Internasional agar segera menggugat Indonesia yang dengan sengaja menghilangkan hak-hak kebangsaan (national right) tanah dan hak bangsa Papua Barat selama 35 tahun. Memberikan kewenangan penuh kepada PBB dan Amerika untuk membuka kembali kasus negara Papua Barat bagi suatu penyelesaian Internasional.

Selanjutnya, dengan menggunakan momen 1 Desember 2000 bersama kekuatan rakyat (PDP dan Mahasiswa) sepakat untuk melakukan aksi damai di seluruh wilayah Papua. Hal yang sama juga dilakukan oleh mahasiswa Papua se-Jawa-Bali dengan menggunakan nama Front Nasional Mahasiswa Papua (FNMP). Aksi ini berujung bentrok dan mengakibatkan 1 orang terkena tembakan peluru dan 4 mahasiswa ditangkap antara lain Mathius Rmbrapuk (Salatiga), Hans Gobay (Solo), Laun Wenda (Bandung), Joseph Wenda (Jakarta) dengan tuduhan makar dan penghinaan kepada negara serta mengganggu ketertiban umum.

Setelah panangkapan ke-4 Mahasiswa Papua, FNMP bersama Intitut Sosial Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta membentuk Tim Advokasi Papua (TIVA PAPUA) untuk mendampingi proses hukum. Untuk melakukan konsolidasi yang maksimal maka pada tanggal 13 Januari 2001 di Semarang FNMP melakukan konsolidasi pimpinan-pimpinan sehingga Pengurus Harian terbentuk saat itu dan sebagai Ketua Denny Felledari utusan Gerakan Mahasiswa Papua Radikal (GEMPAR)Yogyakarta dan sebagai Sekretaris Jenderal Petrus Tekege dari utusan Jaringan Independent untuk Aksi Kejora (JIAJORA) Semarang serta pengurus-pengurus kota, antara lain Semarang, Bandung, Salatiga, Yogyakarta, Surabaya, Malang dan Bali.

Untuk melakukan kerja-kerja yang lebih terukur dan maksimal maka pada tanggal 15-16 September 2002 FNMP melakukan konsolidasi pimpinan-pimpinan organisasi melalui konferensi II di Surabaya dan mengangkat Hendrik Sorondanya sebagai ketua. Selanjutnya, FNMP melakukan 3 kali pertemuan dengan beberapa organ di Jayapura seperti SONAMAPA, FKNMPB, dan FSMP. Maka, pada tanggal 13 Februari 2005 di Teras FISIP UNCEN disepakati dan telah di bentuk Panitia untuk wilayah Papua dalam rangka menjalankan kerja-kerja menuju Kongres FNMP. Organ-organ tersebut telah menyatakan kesiapannya untuk melakukan penyatuan dengan FNMP.

Dari tahapan konsolidasi tersebut terbentuklah Front Persatuan Mahasiwa Pemuda Demokratik Papua Barat (FPMDPB). FPMDPB didirikan sesuai kesepakatan bersama dalam Pra Kongres Mahasiswa Wilayah Papua tanggal 10 April 2005 bertempat di HOLTE KAMP Jayapura yang melibatkat masing–masing perwakilan FSMP, FKMP, FORGAPEMAKO, FKMNPB, PARLEMEN JALANAN, SONAMAPA, FMKB, FNMP dan DEHALING.

Pada tanggal 23 September 2007 melalui Kongres FNMP melakukan perubahan nama yang semula Front Nasional Mahasiswa Papua (FNMP) menjadi Front Nasional Mahasiswa dan Pemuda Papua (FNMPP) dengan kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Front Nasional Mahasiswa dan Pemuda Papua periode 2007–2009, Ketua Umum, Zakarias Horotta dan Sekretaris, Jenderal Elias Weah.

Pengalaman aksi masa pengembalian Otsus yang dimotori oleh mahasiswa di Jayapura pada tanggal 12 Agustus 2005, maka pada tanggal 25 Agustus 2005, bertempat di Aula STFT Fajar Timur, telah diadakan sebuah diskusi kritis yang menghasilkan beberapa rekomendasi, antara lain: tentang pembentukan front, nama front dan pada payung mana front ini bernaung. Apakah PDP atau OPM ataukah Independen? Diskusi itu menunjuk beberapa orang, mewakili organisasi masing-masing yang akan menjadi tim kerja untuk melaksanakan tugas-tugas terkait persiapan deklarasi front politik taktis ini.

Organisasi mahasiswa Papua yang telah sepakat untuk meneruskan proses pembentukan front ini adalah (1) Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), (2) Dewan Musyawarah Masyarakat Koteka (DeMMaK), (3) Dewan Adat Mamberamo-Tami (MAMTA), (4) Front Nasional Mahasiswa Papua (FNMP), (4) Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonesia (AMPTPI), (5) Koalisi Perjuangan Hak-hak Asazi Sipil Rakyat Papua, (6) Parlemen Jalanan, (7) Aliansi Perempuan Papua (APP Mamta), (8) Komite Mahasiswa Papua (KMP), (9) Front Persatuan Pemuda Mahasiswa Demokratik Papua Barat (FPMDPB), dan (10) serta (11) Solidaritas Perempuan Papua (SPP).

Masing-masing organisasi mahasiswa mengutus tiga orang wakilnya untuk duduk dalam Komite Persiapan Pembentukan Front (KPPF) Persatuan Perjuangan Rakyat (PEPERA) Papua Barat, atau disingkat KPPF PEPERA Papua Barat. Akhirnya, Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat (F-PEPERA-PB) terbentuk.

Gerakan-gerakan perubahan mahasiswa terus dilakukan baik melalui FMNP- PB, AMP-PB, AMPTPI, dan yang terbaru yaitu Komite Nasinal Papua Barat, dan Ikatan-ikatan Pelajar dan Mahasiswa serta forum-forum studi di bidang kuliah dan juga di setiap kampus di berbagai kota studi di Jawa dan Papua. Semua organisasi ini tampak memiliki satu muara yaitu perubahan bagi masyarkat Papua, baik sosial politik, sosial ekonomi, sosial kesehatan, sosial budaya dan sebagainya. Melalui organisasi-organisasi inilah mahasiswa Papua memperlihatkan eksistensinya melakukan perannya sebagai agent of change and social control, pelaku dalam perubahan. Dan, dari organisasi-organisasi ini memiliki potensi bagi lahirnya para pemimpin Papua di masa depan.

Gerakan perjuangan mahasiswa yang digambarkan di atas ini tidak semudah yang kita bayangkan. Perubahan ini harus dibayar mahal darah oleh timah petugas aparat yang tidak mengharapkan perubahan itu terjadi. Sejarah panjang gerakan mahasiswa merupakan salah satu bukti, kontribusinya, eksistensinya, dan peran serta tanggungjawabnya mahasiswa dalam memberikan perubahan dan memperjuangkan kepentingan rakyat.

Peran mahasiswa terhadap bangsa ini bukan hanya duduk di depan meja dan dengarkan dosen berbicara, akan tetapi mahasiswa juga memunyai berbagai perannya dalam melaksanakan perubahan untuk bangsa. Peran tersebut adalah sebagai generasi penerus yang melanjutkan dan menyampaikan nilai-nilai kebaikan pada suatu kaum, sebagai generasi pengganti yang menggantikan kaum yang sudah rusak moral dan perilakunya, dan juga sebagai generasi pembaharu yang memperbaiki dan memperbaharui kerusakan dan penyimpangan negatif yang ada pada suatu kaum.

Peran ini senantiasa harus terus terjaga dan terpartri di dalam dada mahasiswa baik yang ada di Papua maupun mahasiswa yang sedang belajar di luar Papua. Apabila peran ini bisa dijadikan sebagai sebuah pegangan bagi seluruh mahasiswa, “ruh perubahan” itu tetap akan bisa terus bersemayam dalam diri seluruh mahasiswa.

Gerakan perjuangan mahasiswa tidak boleh berhenti sampai kapan pun, gerakan perjuangan mahasiswa saat ini tidak hanya dengan bergerak bersama-sama untuk berdemonstrasi dan berorasi di jalan-jalan saja, akan tetapi wahai para “agent of change”, cobalah untuk bertindak bijak dengan intelektualisme, idealisme, dan keberanianmu untuk bisa senantiasa menanamkan ruh perubahan yang ada dalam dirimu untuk bisa memberi kebaikan dan berperan besar serta bertanggung jawab untuk memberikan kemajuan bangsa. Kata Hasan al Banna, “Goreskanlah catatan membanggakan bagi umat manusia”.

Membaca dan Menulis (Meneliti), Lanjutkan Gerakan Perubahan
Nah, apa yang harus dilakukan mahasiswa Papua sekarang untuk terus melakukan perannya sebagai “agent of change—agen perubahan”? Salah satu hal yang perlu terus dilakukan adalah melihat diikuti membaca dan menulis. Di lembaga-lembag pendidikan pun tradisi lisan mendominasi proses belajar mengajar sehingga minat baca-tulis jarang berkembang. Budaya lisan mendominasi kampus-kampus kita saat ini.

Membaca dan menulis untuk perubahan ke arah yang lebih baik sangat berarti karena mengurangi beban memori ingatan kita. Membaca dan menulis adalah salah satu cara untuk meningkatkan gerakan perubahan. Membaca juga akan terus meningkatkan kepekaan kita akan realitas sosial yang kita hadapi.

Jadi, kurangilah tradisi lisan, mendengar dengan membaca dan menulis, tukarkan pembelian barang-barang yang tak memberi input bermakna dengan membeli buku-buku ilmu pengetahuan, luangkanlah waktu sejenak dengan membaca di perpustakaan karena masa depan gerakan perubahan kita ditentukan masa hari ini dan masa hari ini ditentukan masa yang lampau.

Selain membaca dan menulis karya popular, hal lain yang mesti dilakukan adalah penelitian. Penelitian dari kata dasar teliti dan meneliti sebagai kata kerjanya, diartikan sebagai proses penelitian yang dilandasi oleh pemikiran ilmiah (didasari konsep ilmiah, teori, ataupun paradigma ilmiah) untuk menemukan kebenaran ilmiah (menemukan konsep maupun teori baru).

Setiap orang bisa saja meneliti. Namun tidak semua orang mampu meneliti dengan baik dan benar (valid and reliable). Bahkan, bagi seseorang yang telah memiliki pengalaman penelitian yang banyak masih sering mengalami kesalahan. Bisa dibayangkan bagi kita yang jarang membaca dan masih kurang atau bahkan tidak memiliki pengalaman penelitian sama sekali. Tentunya kesalahan-kesalahan dalam membuat kerangka berpikir ilmiah untuk ditorehkan dalam penelitian merupakan hal yang wajar.

Penelitian bukan sekedar menuliskan kalimat positif tentang apa yang menjadi masalah dan menarik untuk diteliti. Kemudian membuat kerangka teoritik yang banyak dan menjabarkannya dalam suatu metode tertentu. Namun, lebih penting dari suatu penelitian adalah bagaimana kita mampu merangkai penelitian dalam suatu logika yang berkesinambungan, mulai dari perencanaan, pembahasan topik, penguasaan masalah hingga ketepatan dalam menentukan metode apa yang digunakan. Ini merupakan langkah awal untuk kemudian menjadikan penelitian kita nantinya mampu dipertanggungjawabkan dan bermanfaat untuk gerakan-gerakan perubahan.

Penelitian sebetulnya merupakan sebuah momentum untuk mengetahui seberapa besarkah kompetensi kita dalam suatu displin ilmu tertentu dan seberapa besar penguasaaan kita pada ilmu tersebut. Dengan melakukan penelitian, maka kita akan tahu di mana letak kelebihan dan kekurangan kita dan lebih dari itu kita akan semakin memahami persoalan untuk bertindak.

Seorang peneliti yang sedang meneliti berarti dirinya sedang merefleksikan dan mengekspresikan keingintahuannya terhadap sesuatu. Timbul kepuasaan ketika seorang peneliti dapat menyelesaikan penelitiannya dengan baik. Terlebih penelitiannya tersebut dapat langsung bermanfaat bagi orang banyak. Selain itu, ketika sedang meneliti, berarti seorang peneliti sedang merefleksikan hasratnya dan segenap pengetahuan yang dimilikinya agar masalah yang ditelitinya dapat dterpecahkan.

Ketentuan lain yang mesti dimiliki oleh seorang peneliti adalah fokusnya terhadap pemecahan masalah. Artinya, seorang peneliti betul-betul menguasai apa yang menjadi permasalahan dan apa yang perlu untuk dilakukan guna mencari pemecahannya (kompeten). Selain itu, sifat yang perlu dimiliki oleh seorang peneliti adalah kejujurannya dalam mengungkapkan fakta-fakta yang ada dan dalam mengkaji masalah yang sedang ditelitinya.

Lebih jauh, seorang peneliti juga harus objektif dalam melaksanakan penelitian. Suatu kebenaran yang dicari dari sebuah penelitian akan didapat dari seberapa objektifkah kita dalam melakukan penelitian. Berpikir terbuka terhadap segala kemungkinan yang muncul dalam penelitian merupakan ketentuan lain yang mesti ada dalam diri peneliti. Hal ini agar kita tidak dituduh asal bicara.

Dengan demikian, peneliti nantinya mampu menelaah dan memberikan penyelesaian jawaban terbaik atas persoalan yang ada di lingkungan kita. Gerakan-gerakan perubahan yang berdasarkan pemahaman persoalan baik melalui pengamatan maupun penelitian yang mendalam adalah bentuk pengabdian kita pada perubahan ke arah yang lebih baik.

Kepekaan Sosial Mahasiswa dan Dilema Pendidikan Tinggi
Mahasiswa mestinya adalah kelompok intelektual yang memiliki kepekean sosial. Dan, dari mana kepekaan sosial itu lahir? Kepekaan itu lahir dari proses belajar (membaca, diskusi, menulis dan lainnya). Maka penciptaan kesempatan untuk memahami realitas sosial dengan berbagai kegiatan akademik dan sosial adalah penting. Kalau melihat kondisi nyata saat ini, masyarakat asli Papua hidup sangat memprihatinkan, baik dari sisi kehidupan ekonomi, budaya, politik dan lainnya. Kondisi ini mestinya menjadi suatu semangat kita untuk belajar di perguruan tinggi dengan harapan besar dapat mengubah kondisi ini.

Marso (Sekretaris Umum Forum Mahasiswa Muslim Purworejo) mengatakan, ada lima hal yang melatarbelakangi penyebab tumbuhnya kepekaan mahasiswa terhadap berbagai persoalan yang ujungnya bertitik fokus pada perjuangan membela kepentingan rakyat (http://ikhwahmuda.wordpress.com/2007/04/01).

Pertama, mahasiswa sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik memiliki persepektif atau pandangan yang cukup luas untuk dapat bergerak di semua lapisan masyarakat.

Kedua, mahasiswa sebagai golongan yang cukup lama bergelut dengan dunia akademis dan telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara generasi muda.

Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup unik di kalangan mahasiswa, dan terjadi akulturasi sosial budaya tinggi di antara mereka.

Keempat, mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasan, struktur ekonomi, dan memiliki keistimewaan tertentu dalam masyarakat sebagai kelompok elit di kalangan kaum muda.

Kelima, mahasiswa rentan terlibat dalam pemikiran, perbincangan, dan penelitian pelbagai masalah yang timbul di tengah kerumunan masyarakat, memungkinkan mereka tampil dalam forum yang kemudian mengangkatnya ke jenjang karier sesuai dengan keahliannya.

Peran pendidikan tinggi di Papua untuk menumbuhkan kepekaan sosial mahasiswa adalah penting. Pendidikan tinggi di Papua diharapkan ikut mendorong dengan gerakan-gerakan perubahan dengan menciptakan lima hal di atas untuk menumbuhkan kepekaan sosial mahasiswa.

Pendidikan tinggi diharapkan mendorong mahasiswa Papua peka dengan keadaan sosial dengan dasar intelektualitas, moril, dan spiritual yang baik pula. Pendidikan tinggi terus harus berupaya membangun kepekaan sosial mahasiswa dengan dasar intelektualitas, moral, dan spiritual untuk memimpin rakyatnya agar tidak mudah dibodohi.

Yang menjadi persoalan saat ini, peran mahasiswa sebagai agent of change and social control saat ini mulai pudar. Karakter pelopor perubahan yang seharusnya melekat pada diri mahasiswa mulai usang. Sedikit sekali peran nyata yang dapat dilakukan oleh mahasiswa. Kenapa hal itu terjadi?

Ada pendapat bahwa sistem pendidikan yang hanya ingin menciptakan tenaga kerja siap pakai dan siap jual, yang hanya “menggiring” mahasiswa dengan how to know things (penalaran teoritis) daripada penguasaan aspek how to do things (keterampilan) menyebabkan munculnya pandangan-pandangan pragmatis di kalangan mahasiswa. Mahasiswa hanya mau tahu dengan apa yang sudah ada di depannya tanpa mau membuka kesadaran kritisnya dan tidak ingin melihat lebih dekat tentang apa yang sebenarnya terjadi di lingkungan sosialnya.

Sistem pendidikan saat ini seperti pabrik yang hanya mencetak kuantitas, bukan kualitas. Oleh karena itu, banyak lulusan sarjana yang bekerja tidak sesuai dengan kompetensi atau jurusan yang diambil semasa kuliah. Demikian halnya dengan Program Percepatan Kuliah (PPK) yang saat ini sedang digalakkan oleh perguruan tinggi. Efek negatif yang dapat timbul pada diri mahasiswa ialah IP minded atau lebih dikenal dengan istilah SO (Study Oriented). Mahasiswa terbuai dalam teori-teori kuliahnya serta harus berpikir bagaimana memecahkan teori atau soal untuk sekadar mengejar nilai A, tanpa mau memikirkan aplikasi yang dapat bermanfaat bagi lingkungan sosialnya. Terciptalah mahasiswa yang pandai berteori dengan penguasaan aplikasi yang tipis.

Dalam kondisi seperti itu, kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang dapat meningkatkan kepekaan sosial mahasiswa dan penanaman nilai dan moral berkurang. Unit-unit kegiatan mahasiswa yang sebenarnya diramaikan dengan aktivitas dan kreativitas mahasiswa jarang ada. Banyak mahasiswa yang berpotensi untuk menghasilkan produk-produk teknologi maupun penemuan lain tidak terberdayakan. Tidak sedikit mahasiswa yang mau tidak mau harus meninggalkan aktivitas organisasi, sehingga lulusan yang dihasilkan pun kurang berkualitas, kurang dapat bersosialisasi dan bekerjasama, apalagi bergerak untuk perubahan.

Epilog
Mahasiswa sebagai agent of change and social control tak akan pernah berubah. Mahasiswa sebagai pelopor perubahan harus tetap menjiwai diri mahasiswa dan tak akan usang walau ditelan zaman. Lagi pula, mahasiswa merupakan iron stock bangsa di masa depan, sesuai dengan jargon yang kerapkali diutarakan, yakni student now leader tommorow. Oleh karena itu, perlu adanya orientasi kembali peran mahasiswa saat ini untuk menghasilkan pemimpin-pemimpin di masa yang akan datang, sehingga perubahan yang dicita-citakan bersama dapat terwujud.

Untuk perubahan itu, peran pendidikan tinggi di tanah Papua sangat diperlukan, juga peran pemerintah daerah. Dalam konteks Otsus Papua, pemerintah mendukung dalam bentuk membangun fasilitas belajar dan peningkatan mutu pendidikan yang dapat membangun kesadaran kritis mahasiswa dengan tidak hanya berintelektual tetapi punya moral (karakter).

Sejarah panjang gerakan mahasiswa merupakan salah satu bukti, kontribusinya, eksistensinya, dan peran serta tanggungjawabnya mahasiswa dalam memberikan perubahan dan memperjuangkan kepentingan rakyat.

Peran mahasiswa terhadap bangsa dan negeri ini bukan hanya duduk di depan meja dan dengarkan dosen berbicara, akan tetapi mahasiswa juga memunyai berbagai perannya dalam melaksanakan perubahan untuk bangsa Papua, peran tersebut adalah sebagai generasi penerus yang melanjutkan dan menyampaikan nilai-nilai kebaikan.

Peran ini senantiasa harus terus terjaga dan terpartri di dalam dada mahasiswa Papua baik yang ada di Papua maupun mahasiswa yang sedang belajar di luar Papua. Apabila peran ini bisa dijadikan sebagai sebuah pegangan bagi seluruh mahasiswa Papua, “ruh perubahan” itu tetap akan bisa terus bersemayam dalam diri seluruh mahasiswa Papua.

Gerakan perjuangan mahasiswa Papua tidak boleh berhenti sampai kapan pun, gerakan perjuangan mahasiswa saat ini tidak hanya dengan bergerak bersama-sama untuk berdemonstrasi dan berorasi di jalan-jalan saja, akan tetapi wahai para “agent of change”, cobalah untuk bertindak bijak dengan terus membaca, menulis dan bertindak. Belajarlah dari sejarah untuk membuat sejarahmu!***

-----------------------------
Sumber: Majalah SELANGKAH EDISI, Januari-Maret 2010
BACA TRUZZ...- Gerakan Perubahan Mahasiswa dan Pendidikan Tinggi: Catatan untuk Mahasiswa Papua

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut