Anak Putus Sekolah di Papua : Buramnya Pendidikan Setengah Hati

Sabtu, Agustus 22, 2009

Secara nasional, jumlah siswa sekolah dasar (SD) yang terpaksa berhenti sekolah atau drop out (DO) menunjukkan angka ribuan. Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB) mencatat, setiap harinya ada 2.000 anak SD yang DO. Data resmi dari 33 Kantor Komnas Perlindungan Anak (PA) di 33 Provinsi pada 2007, bahkan mencatat, jumlah anak putus sekolah mencapai 11,7 juta jiwa. Naik dari 2006 sebesar 9,7 juta anak.

Menurut Sekjen Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, kala itu, kasus putus sekolah yang paling menonjol terjadi di tingkat SMP, 48 %. Sedangkan SD 23 % dan SMA 29 %. Akumulasinya mencapai 77 %. Dengan kata lain, jumlah anak usia remaja yang putus sekolah tak kurang dari 8 juta jiwa. ‘’Angka putus sekolah ini cukup tinggi karena banyak anak di Indonesia dijadikan sumber penghasilan untuk menghidupi keluarga. Mereka datang dari keluarga miskin,’’ kata Meena Kumari Adnani, Managing Director YCAB. Ia juga memaparkan, sembilan juta anak dalam kelompok usia 5-14 tahun terdata sebagai pekerja anak. Sejak 1999, ditemukan juga 17 juta anak di atas usia 10 tahun masih buta huruf.

Di Papua, terjadi di Merauke. Vincent Mekiuw, Kepala Dinas Pendidikan Dasar membenarkannya. “Saya jujur saja, ada peningkatan jumlah anak putus sekolah yang disebabkan oleh faktor ekonomi. Dimana anak ikut terlibat untuk memenuhi ekonomi keluarga sehingga kesempatan anak untuk memperoleh pendidikan tidak ada,” ujarnya kepada JUBI belum lama ini.

Seperti Mekiuw, Unifah Rohsidih, Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Juni kemarin, dari hasil studi di empat wilayah termasuk Papua Barat, mengatakan, anak-anak usia 9-15 tahun terlibat berbagai jenis pekerjaan yang berakibat buruk terhadap kesehatan fisik, mental, dan seksual. Unifah mengatakan, awalnya pekerja anak tersebut hanya membantu perekonomian orang tua, tetapi lama kelamaan terjebak sebagai pekerja permanen. “Mereka akhirnya menikmati hasil pendapatan dan berakibat lebih sering bolos sekolah dan kemudian drop out,” ungkapnya.Penelitian tersebut merupakan hasil kerja sama dengan InternationalLabour Organization (ILO).

Temuan selanjutnya, anak bekerja dalam berbagai pekerjaan mulai dari pemulung, penjual koran, petugas parkir liar, pemilah sampah TPA, buruh petani dan perkebunan, pengemis, pembantu rumah tangga, pelayan toko dan restoran, pendorong gerobak di pelabuhan dan pasar, penjual platik di pasar, kuli angkut, penyelam mutiara dan ikan teripang di laut tanpa peralatan, kernet, nelayan, buruh bangunan, penjual sayur, dan menyemir. “Lama kerja anak-anak bervariasi antara empat sampai sembilan jam. Pagi hari kerja pukul 6.00-11.00 . Siang mereka sekolah. Sore hari kerja jam 16.00-19.00 . Pendapatan bervariasi antara Rp 7 ribu sampai Rp 20 ribu perhari, atau antara Rp 35 ribu sampai Rp 100 ribu per minggu,” ujarnya.

Di Jayapura, sejumlah anak putus sekolah lebih banyak tidak memperoleh bimbingan dari orang tua. Mereka dekat dengan minuman keras. Marthen Dou warga Dok V, mengatakan, “baik karena orang tua cerai atau karena sibuk kerja dan tidak ada lagi waktu untuk memperhatikan anak-anak mereka”. Akibatnya kata Douw mereka berkeliaran di kota Jayapura dan sudah mengenal miras serta mencium Aibon (Lem yang dapat memberi pengaruh mabuk). “Mereka bisa dipanggil anak anak aibon,” kata Douw.

Rombongan mereka semakin besar dengan banyak pula saudaranya yang datang dari Nabire.
Masalah ekonomi memang menjadi pendorong tak tertanganinya kasus-kasus putus sekolah. Diluar itu, ada juga kendala teknis yang bersifat mikro yang menjadi penyebab terhentinya anak bersekolah. Lokasi yang jauh, hilangnya tulang punggung ekonomi keluarga, serta pandangan tentang penting atau tidaknya pendidikan kerap menjadi penyebab anak enggan berangkat hingga akhirnya DO.

Di wilayah yang secara geografis sangat luas dan aksesnya terbatas, untuk mencapai sekolah yang berjarak puluhan kilometer tentu bukan perkara mudah. Misalnya Papua yang memiliki luas kabupaten dan kota rata-rata ribuan hingga puluhan ribu kilometer persegi. Selain sangat luas, jumlah sekolahpun terbatas. Dampaknya, persebaran tidak merata. “Kasus putus sekolah anak di tanah Papua, merupakan sebuah fenomena yang seharusnya tidak perlu terjadi jika saja pemerintah dengan cermat melihat bahwa pendidikan adalah kebutuhan mendesak untuk masa depan dan sebagai Hak asasi manusia,” kata Octovianus Takimai, Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Papua (IMAPA) Bandung.

Yayasan Pemuda Insos Kabor Biak, YAPIKBI, berpendapat beda. Dalam laporannya di situs YAPIKBI, pendidikan di Papua tidak pernah diprioritaskan. YAPIKBI, dengan direkturnya Agust Rumbiak menilai, Papua sudah sangat lama menjadi provinsi. Namun selalu terbelakang. Tingkat SDMnya juga sangat rendah. Padahal daerah ini memiliki kekayaan yang luar biasa. “Kwalitas pendidikan di Papua sangat rendah, ini terjadi pula di Biak”. “Tingkat pengetahuan anak yang menyelesaikan SD dan SLTP sangat rendah. Karena orang-tua tidak memiliki uang untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah kejuruan,” demikian disebutkan.

Ternyata masalah anak putus sekolah di Papua tidak hanya terjadi di wilayah pesisir. Di pegunungan, dari hasil survey World Vision Indonesia (WVI), 2007, disebutkan anak SD DO mencapai 40 %. “Mutu pendidikan Jayawijaya harus ada peningkatan, survey kami hanya 78 persen siswa yang berpartisipasi di tingkat SMP,” kata staf Departemen Komunikasi WVI, Enda Balina.

Di Papua Barat, jumlah anak DO berjalan lurus dengan kemiskinan yang mendera warganya. Fakta menunjukkan, provinsi dengan tingkat pendapatan rendah cenderung memiliki angka putus sekolah yang juga tinggi. Pada tahun 2007, Papua Barat termasuk dalam lima provinsi yang memiliki nilai produk domestik regional bruto (PDRB) terendah di antara 28 provinsi lain. Kecuali Maluku yang mencatat 1,45 %. Putus SD di wilayah ini, termasuk Sulawesi Barat, Maluku Utara, dan Gorontalo, mencapai 3-5 %. Di tingkat SMP, angkanya lebih tinggi lagi, 2-7 %. Kekurang berdayaan secara ekonomi jelas mempengaruhi kelangsungan pendidikan di wilayah dengan Ibukota Manokwari itu. Dengan pendapatan per kapita per tahun Rp 3 juta hingga Rp 5 juta, bersama dengan tiga wilayah lainnya, total anak putus SMP, hampir mencapai 10.000. Sementara lebih dari 31.000 siswa SD juga mengalami putus sekolah.

Ketua Dewan Pembina Dharma Wanita Persatuan (DWP) Kabupaten Keerom, Papua, Fransiska Ni Made Santun Watae, dalam acara penyerahan sertifikat kepada 114 anak putus SD beberapa waktu lalu, mengatakan, Dinas Pendidikan dan Pengajaran selayaknya harus memperhatikan anak putus sekolah tersebut.

Pernyataan Ni Made sepertinya dibuktikan. Sekjen Depdiknas Dodi Nandika, mengatakan, tahun ini Depdiknas menaikkan bantuan siswa miskin di semua level pendidikan. Bantuan itu, kata Dodi, langsung diberikan kepada siswa. Bantuan akan dimanfaatkan untuk keperluan pribadi siswa. Seperti, membeli seragam, buku tulis, maupun transport. Diharapkan bantuan ini dapat mengurangi angka putus sekolah secara bertahap. “Sehingga, akhirnya tak ada lagi anak putus sekolah,” ujarnya.

Angka putus sekolah usia 7-13 tahun mencapai 841 ribu dari total 28,1 juta siswa SD. Total dana yang dialokasikan Depdiknas sebesar Rp 3 triliun. Sementara anak usia SMP yang tidak dapat mengakses pendidikan sekitar 211.643 orang.

Untuk jenjang SD, jumlah penerima bantuan bertambah menjadi 2,2 juta dari sebelumnya 690 ribu anak. Demikian pula dengan SMP. Jumlah penerimanya tahun ini sebanyak 998 ribu anak dengan nominal bantuan Rp 48 ribu per bulan. Tahun sebelumnya, bantuan diterima sekitar 499 ribu anak.

Di jenjang SMA, beasiswa miskin diberikan untuk 310 ribu anak. Total anggaran yang dialokasikan sebesar Rp 242 miliar per tahun. Sementara untuk siswa SMK, bantuan diberikan untuk sekitar 928.539 siswa. Lebih banyak dibandingkan tahun lalu yang jumlahnya sekitar 700.000 siswa. Bantuan yang diterima siswa per tahun mencapai Rp 780 ribu. Anggaran yang dialokasikan cukup besar mencapai Rp 724 miliar. Bantuan ini lepas dari sumbangan warga Indonesia dan Belgia sebesar 7.000 euro untuk membantu anak putus sekolah di Indonesia. Termasuk Papua.
---------------------
Sumber:http://tabloidjubi.com/Dominggus A Mampioper/JR

BACA TRUZZ...- Anak Putus Sekolah di Papua : Buramnya Pendidikan Setengah Hati

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut