FSGSD se-Kabupaten Nabire Mengancam Boikot UN

Senin, Februari 04, 2008

Nabire (selangkah)--Guru sekolah dasar (SD) se-kabupaten Nabire yang tergabung dalam Forum Solidaritas Guru SD (FSGSD) Kabupaten Nabire kembali mengancam mogok mengajar dan memboikot ujian nasional (UN) tahun ajaran 2007/2008 mendatang setelah pada Agustus 2007 melakukan mogok mengajar selama satu bulan lebih.

Mereka menilai, pemerintah kabupaten Nabire tidak mengabulkan hasil musyawarah yang telah disepakati dan ditandatangani pada 21 September 2007 oleh Bupati Nabire Drs. A.P. Youw dan Ketua Dewan Perwakilan (DPR) kabupaten Nabire, Daniel Buto serta disaksikan oleh Inspektur Jenderal Depdiknas, M. Sofyan, SH. M.Si, Kepala Dinas Pendidikan Provinisi Papua, Drs. James Modouw, M.MT, Pimpinan DPRD Provinsi Papua Sekretaris Komisi E Yoseph Pigai, S.Sos, dan Ketua PSGSD Yusak Ernes Tebay.

Ketua PSGSD Kabupaten Nabire, Yusak Ernes Tebay mengatakan, hasil musyawarah nomor tujuh mengatakan bahwa semua permintaan guru SD (uang makan, insensif, pakaian dinas, kekurangan gaji, dan berkala) termasuk kekurangan akan diakomodir melalui APBD tahun 2008. Namun, dalam sidang APBD kabupaten Nabire 2008 tidak diakomodir hal itu. Pemerintah justru mengakomodir kepentingan pemekaran Dogiyai dan rencana pemekaran Irian Jaya.

”Guru SD se-Kabupaten Nabire telah melakukan pertemuan dan telah disepakati bahwa mulai pekan depan, para guru akan turun ke jalan untuk meminta realisasai hasil musyawarah nomor tujuh. Kalau hal ini tidak dilaksanakan oleh pemerintah maka, 196 SD se-Kabupaten Nabire sepakat untuk melakukan aksi mogok hingga akan mengboikot UN,” kata Tebay.

Guru SD se-Kabupaten Nabire melakukan aksi mogok mengajar selama satu bulan lebih pada Agutus 2007 karena mereka menilai pelaksanaan Dana Alokasi Khusus (DAK) kabupaten Nabire sejak 2003-2006 dilaksanakan melalui mekanisme APBD. Pemerintah tidak mengikuti pelaksanaan DAK sesuai keputusan Mendiknas No. 5 tahun 2006 tentang pelaksanaan DAK secara swakelola oleh sekolah dan Komite Sekolah, tetapi dilakukan melalui penyusunan APBD yang dikeluarkan oleh menteri keuangan dan menteri dalam negeri. Selain itu ada tuntutan uang makan bagi PNS, insensif bagi guru, pekaian seragam bagi guru, reformasi aparatur di Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Nabire. ***
BACA TRUZZ...- FSGSD se-Kabupaten Nabire Mengancam Boikot UN

Cenderawasih

Minggu, Februari 03, 2008

Di daerah Fak-fak tepatnya, pegunungan Bumberi hiduplah seorang perempuan tua bersama seekor anjing betina. Perempuan tua bersama anjing itu mendapatkan makanan dari hutan berupa buah-buahan dan kuskus. Hutan adalah ibu mereka yang menyediakan makanan untuk hidup. Mereka berdua hidup bebas dan bahagia di alam.

Suatu ketika, seperti biasanya mereka berdua ke hutan untuk mencari makan. Perjalanan yang cukup memakan waktu belum juga mendapatkan makanan. Anjing itu merasa lelah karena kehabisan tenaga. Pada keadaan yang demikian tibalah mereka berdua pada suatu tempat yang ditumbuhi pohon pandan yang penuh dengan buah. Perempuan tua itu serta merta memungut buah itu dan menyuguhkannya kepada anjing betina yang sedang kelaparan. Dengan senang hati, anjing betina itu melahap suguhan segar itu. Anjing betina itu merasa segar dan kenyang.

Namun, anjing itu mulai merasakan hal-hal aneh di perutnya. Perut anjing itu mulai membesar. Perempuan tua itu memastikan bahwa, ternyata sahabatnya (anjing betina) itu bunting.Tidak lama kemudian lahirlah seekor anak anjing. Melihat keanehan itu, si perempuan tua itu segera memungut buah pandan untuk dimakannya, lalu mengalami hal yang sama dengan yang dialami oleh sahabatnya. Perempuan tua itu melahirkan seorang anak laki-laki. Keduanya lalu memelihara mereka masing-masing dengan penuh kasih sayang. Anak laki-laki diberi nama: Kweiya.

Setelah Kweiya menjadi besar dan dewasa, dia mulai membuka hutan dan membuat kebun untuk menanam makanan dan sayuran. Alat yang dipakai untuk menebang pohon hanyalah sebuah pahat (bentuk kapak batu). Karenannya, Kweiya hanya dapat menebang satu pohon setiap harinya. Ibunya ikut membantu dengan membakar daun-daun dari pohon yang telah rebah untuk membersihkan tempat itu sehingga asap tebal mengepul ke langit. Setiap kali, hutan lebat itu dihiasi dengan kepulan asap tebal yang membumbung tinggi. Keduanya tidak menyadari bahwa mereka telah menarik perhatian orang dengan mengadakan kepulan asap itu.
Konon ada seorang pria tua yang sedang mengail di tengah laut terpaku melihat suatu tiang asap yang mengepul tinggi ke langit seolah-olah menghubungi hutan belantara dengan langit. Dia tertegun memikirkan bagaimana dan siapakah gerangan pembuat asap misterius itu. Karena perasaan ingin tahu mendorongnya untuk pergi mencari tempat di mana asap itu terjadi. Lalu ia pun segera menyiapkan diri dengan bekal secukupnya dan dengan bersenjatakan sebuah kapak besi, ia pun segera berangkat. Pria itu berangkat bersama seekor kuskus yang dipeliharanya sejak lama. Perjalanannya ternyata cukup memakan waktu. Setelah seminggu berjalan kaki, akhirnya ia mencapai tempat di mana asap itu terjadi.

Setibannya di tempat itu, ternyata yang ditemui adalah seorang pria tampan membanting tulang menebang pohon di bawah terik panas matahari dengan menggunakan sebuah kapak batu berbentuk pahat. Melihat itu, ia menghampiri lalu memberi salam: “weing weinggiha pohi” (artinya selamat siang) sambil memberikan kapak besi kepada Kweiya untuk menebang pohon-pohon di hutan rimba itu. Sejak itu pohon-pohonpun berjatuhan bertubi-tubi. Ibu Kweiya yang beristerahat di pondoknya menjadi heran. Ia menanyakan hal itu kepada Kweiya, dengan alat apa ia menebang pohon itu sehingga dapat rebah dengan begitu cepat.

Kweiya nampaknya ingin merahasiakan tamu baru yang datang itu. Kemudian ia menjawab bahwa kebetulan pada hari itu satu tangannya terlalu ringan untuk dapat menebang begitu banyak pohon dalam waktu yang sangat singkat. Ibunya yang belum sempat melihat pria itu percaya bahwa apa yang diceritakan oleh anaknya Kweiya memang benar. Dan karena Kweiya minta disiapkan makanan, ibunya segera menyiapkan makanan sebanyak mungkin. Setelah makanan siap dipanggilnya Kweiya untuk pulang makan. Kweiya bermaksud mengajak pria tadi untuk ikut makan ke rumah mereka dengan maksud memperkenalkannya kepada ibunya sehingga dapat diterima sebagai teman hidupnya.

Dalam perjalanan menuju rumah Kweiya memotong sejumlah tebu yang lengkap dengan daunnya untuk membungkus pria tua itu. Lalu setibanya di dekat rumah, Kweiya meletakkan, “bungkusan tebu” itu di luar rumah. Sewaktu ada dalam rumah Kweiya berbuat seolah-olah haus dan memohon kepada ibunya untuk mengambilkan sebatang tebu untuk di makannya sebagai penawar dahaga. Ibunya memenuhi permintaan anaknya lalu keluar hendak mengambil sebatang tebu. Tetapi ketika ibunya membuka bungkusaan tebu tadi, terkejutlah ia karena melihat seorang pria yang berada di dalam bungkusan itu. Serta-merta ibunya menjerik ketakutan, tetapi Kweiya berusaha menenangkannya sambil menjelaskan bahwa dialah yang mengakali ibunya dengan cara itu. Harapan agar ibunya mau menerima pria tersebut sebagai teman hidupnya, karena pria itu telah berbuat baik terhadap mereka. Ia telah memberikan sebuah kapak yang sangat berguna dalam hidup mereka nanti. Sang ibu serta merta menerima baik pikiran anaknya itu dan sejak itu mereka bertiga tinggal bersama-sama.

Setelah beberapa waktu lahirlah beberapa anak di tengah-tengah keluarga kecil tadi, dan kedua orang tua itu menganggap Kweiya sebagai anak sulung mereka. Sedang anak-anak yang lahir kemudian dianggap sebagai adik-adik kandung dari Kweiya. Namun dalam perkembangan selanjutnya dari hari ke hari hubungan persaudaraan antara mereka semakin memburuk karena adik-adik tiri dari Kweiya merasa iri terhadap Kweiya.

Pada suatu hari, sewaktu orang tua mereka sedang mencari ikan, kedua adiknya bersepakat mengeroyok Kweiya serta mengiris tubuhnya sehingga luka-luka. Karena merasa kesal atas tindakan kedua adiknya itu, Kweiya menyembunyikan diri di salah satu sudut rumah sambil meminta tali dari kulit pohon “Pogak nggein” (genemo) sebanyak mungkin. Sewaktu kedua orang tua mereka pulang ditanyakan di mana Kweiya tetapi kedua adik tirinya tidak berani menceritakan di mana Kweiya berada. Lalu adik bungsu mereka, yaitu seorang anak perempuan yang sempat menyaksikan peristiwa perkelahian itu menceritakannya kepada kedua orang tua mereka. Mendengar cerita itu si ibu tua merasa ibah terhadap anak kandungnya. Ia berusaha memanggil-manggil Kweiya agar datang. Tetapi yang datang bukannya Kweiya melainkan suara yang berbunyi: “Eek..ek, ek, ek, ek!” sambil menyahut, Kweiya menyisipkan benang pintalannya pada kakinya lalu meloncat-loncak di atas bubungan rumah dan seterusnya berpindah ke atas salah satu dahan pohon di dekat rumah mereka.

Ibunya yang melihat keadaan itu lalu menangis tersedu-sedu sambil bertanya-tanya apakah ada bagian untuknya. Kweiya yang telah berubah diri menjadi burung ajaib itu menyahut bahwa, bagian untuk ibunya ada dan disisipkan pada koba-koba (payung tikar) yang terletak di sudut rumah. Ibu tua itu lalu segera mencari koba-koba kemudian benang pintalan itu disisipkan pada ketiaknya lalu menyusul anaknya Kweiya ke atas dahan sebuah pohon yang tinggi di hutan rumah mereka. Keduanya bertengkar di atas pohon sambil berkicau dengan suara: wong, wong, wong, wong, ko,ko, ko, wo-wik!!

Dan sejak saat itulah burung cenderawasih muncul di permukaan bumi di mana terdapat perbedaan antara burung cenderawsih jantang dan betina. Burung cenderawasih yang buluhnya panjang di sebut siangga sedangkan burung cenderawasih betina disebut: hanggam tombor yang berarti perempuan atau betina. Keduanya dalam bahasa Iha di daerah Onin, Fak-fak.

Adik-adik Kweiya yang menyaksikan peristiwa ajaib itu meresa menyesal lalu saling menuduh siapa yang salah sehingga ditinggalkan ibu dan kakak mereka. Akhirnya mereka saling melempari satu sama lain dengan abu tungku perapian sehingga wajah mereka ada yang menjadi kelabu hitam, ada yang abu-abu dan ada juga yang merah-merah, lalu mereka pun berubah menjadi burung-burung. Mereka terbang meninggalkan rumah mereka menuju ke hutan rimba dengan warnanya masing-masing. Sejak itu hutan dipenuhi oleh aneka burung yang umumnya kurang menarik di bandingkan cenderawasih.

Ayah mereka memanggil Kweiya dan istrinya dan menyuruh mengganti warna buluh, namun mereka tidak mau. Ayah mereka khawatir buluh yang indah itu justru mendatangkan mala petaka bagi mereka. Dia berpikir suatu ketika orang akan memburuh mereka termasuk ketiga anaknya yang lain. Ayah merasa kecewa kerena mereka tidak mengindahkan permintaan mereka untuk berubah buluh. Kini Ayahnya kesepian dan sedih, ia melipat kedua kaki lalu, menjemburkan dirinya ke dalam laut dan menjadi penguasa laut “Katdundur”.
---------------------------------------------
Sumber: Penyesuaian dari Depdiknas--Cerita Rakyat Papua, (1883;23-26)
BACA TRUZZ...- Cenderawasih

Kohei/Koyei

Di daerah pedalaman Nabire, tepatnya daerah Makewapa, hiduplah satu kelurga yang miskin. Keluarga itu termiskin di daerah itu. Mereka tidak memunyai makanan dan harta benda. Keluarga itu bernama Kibiuwo. Keluarga Kibiuwo terdiri atas lima orang, yaitu Ibu Kibiuwo, nama pertama Neneidaba, anak kedua Noku, dan anak ketiga Yegaku. Anak yang pertama dan kedua laki-laki dan yang ketiga adalah anak perempuan. Nama ayahnya tidak pernah disebut-sebut sampai sekarag (masih dirahasiakan).

Mereka tidak ada nota/nuta (ubi jalar), nomo (talas), digiyonapa/ugubo (sayur hitam), mege dan dedege (mata uang adat suku Mee), ekina (ternak babi), dan tidak ada harta benda lainnya. Pada saat itu, makanan yang ada hanyalah nota/nuta (ubi jalar) jenis kadaka dan digiyonapo/ugubo (sayur hitam). Pada saat itu, musim kelaparan dan krisis ekonomi berkepanjangan. Tanaman nota/nuta (ubi jalar), nomo (talas), dade/boho (sayur gedi), eto (tebu) dan lainnya terbatas.

Kelurga Kibiuwo duduk dalam rumah dan berbincang-bincang bagaimana mengatasi kelaparan yang menimpa keluarganya. Tiba-tiba saja ibu Kibiuwo serasa ingin buang air kecil. Dengan sendirinya, Ibu Kibiuwo serta merta berlari ke belakang rumah dan secara tiba-tiba melepaskan air kemihnya. Dilihatnya, air kemih itu berwarna merah. Ternyata ia melepaskan air kemih dalam bentuk darah, tepat di atas rerumputan yang rendah.

Dengan perasaan takut dan heran Ibu Kibiuwo memasuki rumah tanpa bersuara dan komentar. Ia terus bertanya-tanya dan merenungkan dalam hatinya, mengapa air kemihnya berdarah? Ia benar-benar heran karena selama hidupnya belum pernah terjadi hal serupa. Baru pertama kali terjadi seperti itu.

Mereka melanjutkan perbincangannya untuk terus mencari jalan keluar untuk mengatasi kelaparan yang sedang dan akan menimpa kelurga mereka. Ibu Kibiuwo tidak menceritakan kejadian yang menimpa dirinya ketika buang air kecil di luar sana. Tiba-tiba perbincangan mereka terputus oleh suara tangisan bayi.

Suara tangisan itu semakin besar, seakan meminta pertolongan orang. Mendengar tangisan bayi itu, serta-merta berdiri dan keluarlah mereka dari dalam rumah dan memperhatikan dari arah mana bayi itu menangis. Mereka berdiri di halaman rumah dan memperhatikan sekelilingnya. Suara tangisan semakin dekat, namun mereka tidak menemukan ibu yang mengendongnya atau ibu yang sedang melahirkan di dekat rumah mereka. Mereka terus melakukan pematauan di sekeliling rumah untuk mencari perempuan yang sedang duduk menyusui atau berdiri mengendong dan membujuknya. Tidak ada ibu yang melewati sekitar rumah mereka. Mereka terus melakuan pencarin. Tangisan terus bertubi-tubi.

Dengan penasaran mereka semakin ke belakang, tangisan anak semakin keras dan semakin dekat. Tangisan bayi mulai ke arah di mana Kibiuwo membuang air kemih berdarah. Akhhirnya, mereka menemukan seorang bayi lemah tergeletak persis di tempat Kibiuwo membuang air kemih. Dilihatnya, air kemih yang berdarah itu sudah tidak ada lagi.

Melihat bayi yang tidak berdaya itu, keluarga Kibiuwo merasa sayang. Ibu Kibouwo mengambil bayi itu dan membawa masuk ke dalam rumah, karena ia teringat peristiwa yang terjadi padanya. Ia merawat anak itu dengan senang hati, walaupun dalam kelaparan yang dasyat. Bayi itu terlahir dari lingkungan keluarga yang miskin dan kesusahan makanan. Ibu Kibiuwo bertanya-tanya apakah anak ini terlahir dari air kemihnya atau tidak.

Untuk memastikannya, ia menyuruh anak-anaknya untuk pergi bertanya-tanya kepada warga setempat disekeliling mereka. Warga di sekitaranya heran mendengar cerita itu. Mereka justru bertanya siapa gerangan yang meletakkan bayi itu di dekat rumah keluarga miskin itu. Terutama karena di daerah itu tidak ada ibu hamil.

Warga sekitar justru berdatangan ke rumah Ibu Kibiuwo untuk melihat bayi itu. Dengan demikian Ibu Kibiuwo benar-benar yakin bahwa bayi itu berasal dari air kemihnya. Ia merasa bayi itu pembawa berkat bagi keluarganya. Namun suaminya yang tidak disebutkan namanya itu merasa, bayi itu adalah ayayoka artinya anak bayangan atau anak roh. Alasan suaminya adalah karena anak itu tidak memiliki ayah dan ibunya yang jelas. Lagi pula Ibu Kibiuwo merahasiakan air kemihnya yang berdarah tersebut.

Suaminya berencana membunuh bayi itu, namun Ibu Kibiuwo melarang keras untuk membunuh. Suaminya masih ngotot untuk membunuh bayi lemah itu. Dia mengatakan ayayoka bisa membawa malapetaka bagi keluarga. Melihat niat suaminya, Ibu Kibiuwo memeluk dan terus membelai bayi itu. Melihat kasih sayang istrinya yang ditunjukkan melalui pelukan dan belaian itu, ia mengurungkan niatnya untuk membunuh bayi tersebut.

Suaminya menerima anak itu sebagai anak kandungnya. Ia menamai anak itu sesuai prasangkanya, yaitu “Ayayoka”. Hingga umur bayi itu enam bulan dia masih belum makan dan minum. Setiap kali Ibu Kibiuwo menyuap makanan dan minuman ke dalam mulut bayi itu terus dimuntahkannya. Namun bayi itu sehat dan mulus. Tidak pernah menangis untul meminta makanan dan minuman. Ketiga anaknya (Neneidaba, Noku dan Yegaku) menganggap bayi itu sebagai adik mereka. Mereka sungguh sayang kepadanya.

Hari berlalu tahun berganti, anak itu tetap sehat dan mulus. Melihat kondisi badannya yang agak kecil, mulus, sehat, dan berenergi, ayahnya memberikan nama baru baginya, yaitu Koyeidaba/Koheidaba. Koyei (daba)/Kohei (daba) yang berarti anak berbadan agak kecil, mulus, tetapi sehat dan berenergi. Koyei/Kohei menjadi nama kebanggaan ayahnya termasuk keluarga miskin itu.

Memasuki umur tujuh bulan, anak itu mulai berkarya melalui anusnya. Ia mengeluarkan makanan, harta serta ternak. Semua makanan dan ternak yang dikeluarkannya masih dalam keadaan mentah dan hidup. Ia mengeluarkan ubi mentah, talas mentah, apu (sejenis ubi jalar yang batangnya terlilit pada pohon di sekitarnya), sayur hitam mentah, sayur lilin mentah, sayur gedi mentah, bermacam-macam jenis tebu, bermacam-macam jenis pisang, buah-buahan termasuk buah merah mentah dan lain-lain. Tujuan Koyei/Kohei agar semuanya dapat dikembangbiakkan.

Berupa harta benda misalnya: mege (kulit kerang yang dipakai sebagai mata uang suku Mee); dedege (sejenis kulit kerang yang kecil berwarna putih untuk perhiasan leher), manik-manik biru tua yang dipakai sebagai perhiasan keher) dan lain-lain.

Sementara berupa ternak seperti: ekina (babi) yang masih hidup sebanyak dua ekor. Dua ekor babi itupun berkembang secara cepat, karena banyak makanan. Keluarga Kibiuwo menjadi keluarga yang berkecukupan di daerah itu. Keluara Kibiuwo tidak mengalami kelaparan lagi, kelahiran Koyei/Kohei menjadi berkat tersendiri bagi kehidupan mereka. Setelah keluarga Kibiuwo menjadi berkecukupan, tersebarlah berita itu di seluruh daerah. Melihat keluarga Kibiuwo yang berkecukupan berkat kehadiran Koyei/Kohei, muncul bermacam-macam pendapat dalam masyarakat di daerah itu.

Ada yang mengatakan, kehadiran Koyei/Kohei sebagai penyelamat dari kirisis ekonomi; ada yang berpendapat Koyei/Kohei sebagai peredam makanan, harta, dan ternak; ada juga yang menyangka Koyei/Kohey adalah perampas, penghimpun dan penghilang kekayaan suku Mee, dan ada juga yang berpendapat Koyei/Kohey hanya memperkaya keluarganya sendiri oleh sebab itu dia harus disingkirkan.

Masyarakat daerah itu merasa bahwa keluarga paling termiskin di daerah itu semakin menjadi kaya. Kecemburuan terus meningkat. Masyarakat diam-diam menyepakati untuk membunuh Koyei/Kohei. Sementara Ayah dan Ibu Kibiuwo tiba-tiba meninggal secara bersamaan. Koyei/Kohei menghibur ketiga saudaranya untuk tidak menangisi kepergian orang tua mereka. Namun mereka terus tangisi orang tua mereka. “Akan datang hari yang indah hari tidak ada orag kaya dan orang miskin. Semua orang akan hidup damai tanpa kekurangan apapun. Semua orang akan diselamatkan. Janganlah tangisi mereka. Mereka akan hidup.” Demikian kata-kata Koyei/Kohei menghibur.

Sejak kepergian ayah dan ibunya, Koyei/Kohei mengambil alih semua urusan keluarga. Dia juga mengajarkan mereka tentang kehidupan yang indah tanpa bermusuhan, tentang keadilan, tentang hak atas tanah dan lain-lain sambil berkarya meciptakan makan dan harta bagi mereka. Ketiga anak itu berkecukupan dan setara dengan masyarat sekitarnya. Kesetaraan secara tiba-tiba berkat kehadiran Koyei/Kohei tidak diterima oleh masyarakat setempat. Mereka (masyarakat sekitarnya) terus membenci kehadiran Koyei/Kohei.

Kelompok masyarakat tertentu yang iri dengan karya Koyei/Kohei mulai menyebarkan isu yang yang tidak benar. Katanya, “Kita akan menjadi miskin, tiga bersaudara akan menguasai kita. Mereka yang tadinya miskin kini mulai menjadi kaya. Dia (Koyei/Kohei) mementingkan keluarganya saja.” Mereka menyebarkan isu itu ke seluruh masyarakat Mee.

Mengamati isu yang berkembang itu, Koyei/Kohei merasa bahwa perlu mengambil sebuah buku yang berisi seluruh adat istiadat, kebaikan dan kesempurnaan. Maka suatu hari dia mengutus Noneidaba dan Noku untuk pergi mengambil “Touye Kapogeiye/Touhe kapogeihe” (sebuah buku tentang kehidupan, kebaikan dan kesempurnaan) ciptaan Koyei/Kohei. Tempat penyimpangan buku itu hanya dia yang tahu. Tidak ada orang yang mengetahuinya. Masyarakat sekitar mengetahui bahwa Noneidaba dan Noku sedang bepergian keluar dari daerah itu. Mereka tidak tahu untuk apa kedua pemuda itu pergi. Kesempatan itu benar-benar dimanfaatkan oleh masyarakat daerah itu untuk menyerbu Koyei/Kohei. Namun, dia meloloskan diri ke arah Gunung Odiyai. Pengejaran terus dilakukan dari gunung ke gunung, terus lari melewati kampung yang satu ke kampung yang lain, sungai-sungai besar disebrani, bukit-bukit ditaklukan.

Pada suatu titik jumlah orang yang mengejarnya semakin banyak, dia sudah semakin lelah. Panah yang tertusuk pada lambungnya semakin membuat dia tidak bisa meloloskan diri. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Koyei/Kohei berkata:

“Sesungguhnya saya memberi kami makanan dan harta kekayaan, namun kamu tidak mengerti bahkan membunuhku. Karena itu sekarang kamu berusaha sendiri dengan susah payah. Peliharalah dua ekor babi itu baik-baik, karena kamu akan diadili sesuai dengan setimpal perbuatanmu.”

Akhirnya Koyei/Kohei menarik nafasnya yang terakhir. Ketika, Noneidaba dan Noku pulang membawa “Touye Kapogeiye/ Touhe kapogeihe” dari kejauhan terdengar ratapan adik Yegaku. Mereka berdua berlari-lari masuk ke dalam rumah dan mendekati adiknya ada gerangan apa dia meratap. “Adik…, itu adik… telah dikejar dan dibunuh semua orang di daerah ini. Dia sudah meninggal”, katanya sambil meratap. Mereka berdua masih bertanya-tanya kenapa adik mereka dibunuh. Sementara “Touye Kapogeiye/ Touhe kapogeihe” masih belum diserahkan kepada Koyei/Kohei untuk menjelaskan apa isi buku.

Yegaku masih meratap. Ketika, dia ingin menjelaskan lebih lanjut tentang proses penyerangan dan pembunuhan, rumah mereka justru dikepung. Masyarakat sekitar sudah siap dengan panah untuk menyerang mereka dua. Melihat kepungan itu, Noneidaba melarikan diri ke arah barat lalu sempat meloloskan diri ke dalam sebuah gua batu dan menghilang di situ.

Pada saat yang sama, Noku melarikan diri ke arah timur. Namun sial, dia tertembak panah dan tidak bisa melarikan diri. Noku masih belum mati tetapi dia menyerahkan diri untuk dibunuh sambil memegang erat-erat “Touye Kapogeiye/Touhe kapogeihe” di depannya. Dia membelakangi masyarakat (saat itu “Touye Kapogeiye/Touhe kapogeihe” ada di depan dia) dan memasrakan dirinya untuk ditembak di punggungnya. Pada saat panah tertancap dipunggungnya, Noku sempat berteriak dan mengatalan, “To kabu togo kabu kiyayaikaine” (saya tinggalkan segala kegelapan dan keburukan padamu). Lalu Noku berteriak histeris masuk ke dalam sebuah goa dengan membawa “Touye Kapogeiye/Touhe kapogeihe” lalu tembus ke daerah lain (dunia Barat).

Semua orang yang mengejar dan membunuh Koyei/Kohei dan Noku kembali ke kediaman Koyei/Kohei dan Noku. Di situ mereka memotong babi satu ekor dari dua ekor babi yang keluar dari anusnya Koyei/Kohei. Sementara, satu ekor babi berubah menjadi sebuah gunung dan kini dikenal dengan, “Gunung Duwanita”.

Selanjutnya, mereka memotong kepala Koyei/Kohei dan kulit perut babi, lalu menutupkan lubang gua bagian timur. Kemudian kepala babi dan perut Koyei menutupkan bagian barat. Sementara dagingnya mereka pesta bersama. Sesudah semuanya berakhir, mereka pulang ke rumah masing-masing dengan teriakan kegembiraan (yuwaita).

Segala kerahasiaan Koyei/Kohei tersirat dan tersurat dalam buku “Touye Kapogeiye/Touhe kapogeihe”. Saat ini sedang dicari oleh sekelompok suku Mee yang menamakan dirinya Utoumana (kelompok pencipta alat-alat budaya).

-------------------------------------------
Sumber: Penyesuian dari Yobee, Andreas, (2006: 42-49)
BACA TRUZZ...- Kohei/Koyei

KBM SMP Negeri I Mapia Belum Berjalan

Nabire (Selangkah)-- Hingga memasuki bulan kedua setelah libur natal dan tahun baru 2007/2008, kegiatan belajar mengajar (KBM) di SMP Negeri I Bomomani Mapia, pedalaman Nabire masih belum berjalan. Dikabarkan, sejak liburan natal dan tahun baru, para guru yang berlibur ke kota Nabire hingga saat ini masih belum naik ke pedalaman untuk mengajar. Akibatnya, sejak 7 Januari 2008 hingga jelang awal bulan ke dua (Februari) ini para siswa terlantar (KBM belum berjalan).

Beberapa pekan lalu dikabarkan, para siswa melakukan demonstrasi di sekolah dan melempari kaca sekolah. ”Kami demo di sekolah karena tidak ada guru yang mengajar. Semua guru masih di kota (Nabire). Selama satu bulan kami tidak belajar, sementara ujian nasional sangat berat. Kepala sekolah sekalipun baru ke pedalaman pada akhir bulan ini,” kata seorang siswa yang tidak mau disebutkan namanya.

”Saya mau pindah saja ke Nabire. Di atas (SMP Negeri I Bomomani: red) tidak dapat pelajaran, padahal kami bayar. Sekolah lain sudah sekolah seperti biasanya, tetapi kami masih libur. Kami juga akan menghadapi ujian yang sangat berat, tetapi guru tidak mengajar kami. Kalaupunn guru datang, kami harus membantu mencari kayu bakar atau makanan ternak milik pak guru,” katanya.

Ketika ditanya, mengapa para guru masih belum ke tempat tugas, salah satu siswa mengatakan, setiap kali ada liburan para guru selalu ke kota. ”Tidak tahu mereka buat apa. Kelihatannya, dinas pendidikan dan pengajaran juga malas tahu dengan keadaan ini. Kepala sekolah tidak pernah memberikan ketegasan kepada para guru, karena dia juga sama saja. Kepala sekolah selalu saja ada urusan di kota. Hasil laporan belajar (laport) semester ganjil masih belum dapat hingga saat ini. Soalnya wali kelas kami masih di ibu kota kabupaten Nabire. Anak-anak yang mau pindah sekolah sulit, karena wali kelas tidak selalu berada di sekolah,” kata siswa itu.

Seorang tokoh masyarakat dari pedalaman yang tidak mau namanya disebutkan mengatakan, pendidikan di pedalaman Nabire baik SD maupun SMP masih kacau-balau. Pendidikan seakan berjalan sebagai formalitas saja. Para guru masih suka lama-lama di kota. Kadang para siswa terlantar hingga satu atau dua bulan. Perwakilan Dinas Pendidikan dan Pengajaran yang ada di pedalaman jarang melihat soal ini.

”Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten juga terkesan malas tahu dengan keadaan pendidikan di pedalaman. Penyalagunaan dana BOS di sekolah-sekolah jarang ada kontrol yang baik. Mereka jarang melakukan kunjungan langsung di kampung-kampung. Selain itu, pemerintah juga selalu membuat janji kepada para guru, namun hingga saat ini belum tepati,” katanya kecewa. ***
BACA TRUZZ...- KBM SMP Negeri I Mapia Belum Berjalan

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut