Pariwisata Budaya: Pelestarian atau Komersial

Minggu, Agustus 05, 2007

Oleh Emanuel Goubo Goo*)

"Keanekaragaman corak budaya tradisonal Papua cukup menarik, namun kawasan budaya yang sangat potensial untuk dijadikan daya tarik wisatawan dalam negeri maupun luar negeri adalah Kawasan Lembah Baliem dan Kawasan Asmat." Hal ini diungkapkan Purnomo mantan Kanwil Deparpostel kini Dinas Pariwisata Papua beberapa waktu lalu dalam suatu jumpa pers. Pernyataan promositif ini ada benarnya bahwa salah satu sumber daya yang dapat menarik wisatawan di tanah Papua adalah manusia dan keunikan budaya dari 253 etnis yang mendiami di tanah ini.

Dua etnis yang menjadi incaran atau ajang pariwisata untuk turisme, juga tersohor hingga di belahan dunia barat adalah etnis Dani dengan culturenya (Muni, Pikon, Tari perang suku, pemukiman tradisonal, Silimonya) yang mendiami di daerah Wamena dan sekitarnya serta Etnis Asmat dengan budaya patung-patung Mbistnya.

Tulisan ini lebih bersikap antisipatif sebagai koreksi atau penyeimbang dari berbagai tulisan kepariwisataan yang hanya bernada promosi dua etnis tadi.

Etnis Dani di Lembah Baliem dan Asmat selalu dipromosikan serta ditampilkan ciri khas budayanya pada event-event seni budaya yang bergengsi baik ditingkat lokal, nasional, maupun di dunia Internasional. “Dalam upaya melestarikan budaya daerah demi memperkaya budaya nasional”. Kira-kira begitulah slogan promosi yang kita dengar dan baca melalui media massa.

Hampir setiap tahun terutama pada hari-hari besar nasional, kedua etnis ini selalu menampilkan seni budaya tradisionalnya (seni ukir, seni tari, seni drama dan lainnya). Pada saat itulah para pengusaha pariwisata memainkan peranannya untuk menarik para turis melalui berbagai pariwara. Para turispun membanjiri guna menyaksikan bahkan mencari cuplikan potret untuk dipajang maupun dikomersilkan.

Para penikmat seni dan tari yang datang melalui undangan promosi oleh pengusaha maupun pemerintah itu di satu sisi mendatangkan Pendapatan Asli Daerah namun sisi lain terkesan ‘masyarakat menjadi objek penderita dari upaya pengusaha dan pemerintah untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Hal ini adalah bentuk ketidakadilan terutama karena pengembangan pariwisata budaya lebih berorientasi ekonomis untuk kelompok tertentu. Dari sini dapat dipertanyakan pula, apa untungnya bagi masyarakat pendukung kebuadyaan? Etnis Dani misalnya, kita memaksa tetap tampil alami. Datang dengan busana perang dan perlengkapannya yang ditampilkan pada event-event seni budaya, sementara perang saudara pada etnis Dani sudah tidak ada. Apakah kita harus “memaksa” mereka seakan-akan hidup pada zaman dahulu, yang nantinya objek tontonan orang lain? Sementara masyarakat pendukung budaya ini bukan hidup zaman itu lagi.

Ini barang kali ada relevasinya dengan sebuah nada gugatan yang pernah dilontarkan oleh budayawan Sutan Alishjabana. “Upaya pelestarian ‘primitivisme’ masyarakat tradisional sama dengan pengembangan ‘Kebun Binatang’ manusia karena memaksa mereka untuk tetap hidup secara tradisional seperti halnya dengan melestarikan posisi mereka sebagai objek tontonan. Bukan masyarakatlah atau pelaku budaya yang menikmati hasil penampilan yang mereka lakukan tetapi pihak pengupaya.”

Sedangkan Dr. George Junus Aditjondoro mengangkat contoh di lapangan terbang Sentani Papua beberapa waktu lalu. “Kita dapat membeli foto-foto perempuan Lembah Baliem meneteki Babi. Memang hubungan emosional antara perempuan Balim dengan anak babi cukup erat, namun foto-foto yang ada di Airport Sentani di jual kepada turis, itu bukanlah hasil jepretan dari situasi-situasi yang alami, melainkan perempuan-perempuan itu dibayar untuk berpose sedemikian rupa lalu difoto. Inilah suatu contoh yang sangat visual dari aspek budaya asli yang sudah terenggut keluar dari konteks yang sebenarnya, kemudian dikemas dan dipajang untuk dikonsumsi wisatawan, serta menjadi sarana komersial.”

Dua pendapat di atas adalah keadaan yang nyata dalam pengembangan budaya di Papua, khususnya etnis Dani-Baliem dan Asmat. Mereka hanya promo ekonomi pariwisata dari pengupaya. Tak ketinggalan pula rekayasa dan manipulasi seni budaya ikut andil, kemudian dijadikan benda-benda berharga untuk komersial oleh para penjiplak seni yang memiliki pengetahuan formal demi medapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Di sini memang tidak ada penghargaan upaya pelestarian secara serius terhadap seni budaya orang Papua, bahkan keaslian seni budaya itu pun ikut terenggut.

Patung-patung Mbist yang diukir oleh orang Asmat misalnya, orang dengan mudah dan dapat kita jumpai dalam souvenir-souvenir di Hamadi atau dalam hotel-hotel berkelas bintang di Bali yang notabenenya patung-patung tersebut hasil karya orang Asmat dan dimanipulasi oleh manipulator demi keuntungan ekonomis, sehingga para wisatawan dapat memperoleh patung-patung Mbist disouvenir-souvenir di Ahmadi tanpa wisatawan harus membuang banyak waktu dan biaya ke Asmat atau menyaksikan tarian Asmat.

Sementara nilai Patung Mbist bagi orang Asmat memiliki nilai religi, sosial, ekonomi, kesenian, dan lainnya yang cukup diagungkan oleh pendukung budayanya.
Lantas guna mendapatkan secuil rupiah itu layaklah kita komersilkan suatu nilai benda budaya yang dikeramatkan atau diagungkan oleh pemilik budaya tersebut? Ini kembali kepada manipulator, pengusaha dan masyarakat pendukung budaya, tapi yang jelas masyarakat selalu menjadi ajang atau objek dari semuanya.

Kini saatnya segala pemikiran dan kebijaksanaan terhadap kebudayaan tradisional terutama pengembangan wisata budaya sudah saatnya ditinjau kembali. Misalnya haruskah pengembangan kebudayaan nasional atau jargon pembentukan identitas nasional harus diartikan sebagai pelestarian cara-cara hidup tradisional masyarakat, seperti tari perang suku pada masyarakat Dani di Jayawijaya. Apakah ini dapat diartikan sebagai pelestarian nilai-nilai luhur kebudayaan, jika yang terjadi justru pelestarian keterbelakangan?

Sementara orang Dani sedang dan telah berada dalam perubahan sosial budaya. Juga perlu dipertanyakan secara lebih tajam untuk kepentingan siapakah sebenarnya segala upaya pelestarian tradisional itu? Mungkin sudah saatnya untuk kita tinjau kembali pelestarian kebudayaan tradisional yang lebih ADIL dan pengembangan wisata budaya yang menguntungkan bagi semua pihak, tidak saja secara material tetapi juga secara moral dan cultural.

Ada suatu problema fundamental yang harus selalu diingat dalam kaitan dengan tulisan ini adalah segala upaya pengembangan atau pembangunan kebudayaan haruslah senantiasa diorientasikan untuk lebih memanusiakan manusia bukan sebaliknya . Semoga!

*)Wartawan Tabloid Suara Perempuan Papua Daerah Nabire
Sumber: Majalah SELANGKAH
BACA TRUZZ...- Pariwisata Budaya: Pelestarian atau Komersial

Quo Vadis Rumpun Bahasa Melanesia?

Oleh Rogerio Ma’averro Savio Lorrato*)

Bahasa adalah yang paling baik dalam menunjukkan identitas kultural suatu bangsa. Dengan kata lain bahasa menunjukkan bangsa. Itu sebabnya penting bagi bangsa Melanesia melestarikan sekitar 250 bahasa etnisnya dari arus besar dominasi ‘bahasa Indonesia’. Sejauh mana dominasi itu? Apa dampaknya? Bagaimana proses historisnya? Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, penting sebagai upaya melestarikan identitas bangsa Melanesia, yang selama ini ‘lebur’ dalam “NKRI” dan dalam banyak hal justru mengalami Jawanisasi. Ini kontradiktif dengan gagasan Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.

Dewasa ini, bangsa Melanesia menggunakan bahasa Indonesia, sebagaimana bahasa ini adalah “bahasa pemersatu”, yang mendapat tempat utama dalam media komunikasi formal, baik sebagai bahasa teks maupun lisan, di sekolah, perkantoran dan tentu saja pada media cetak dan elektronik.

Memang ada sisi baiknya, bahwa ‘bahasa Indonesia’ memainkan peran penting sebagai “jembatan” komunikasi menerobos diversitas linguistik yang berbeda satu sama lain (termasuk di Papua), dan memungkinkan para penuturnya menjangkau dunia pendidikan modern. Namun mesti disadari pula akan sisi buruknya, terutama bahwa ‘bahasa Indonesia’ menjadi dominan sehingga bahasa-bahasa lain keumgkinan akan tersisihkan. Entah bahasa Batak, Jawa, Bali dan termasuk 250 bahasa etnis Melanesia di tanah Papua.

Padahal Bahasa Indonesia baru digunakan secara serius sejak 1950 di Papua oleh para pendakwah dan pejabat kolonial dalam rangka ‘menyatukan’ wilayah Papua dengan wilayah Hindia Belanda lainnya. Hal ini seiring dengan kebijakan diskriminasi kolonial Belanda yang hanya memperbolehkan bahasa Belanda diajarkan pada garis keturunan tertentu saja.

Apabila menenggok lebih jauh ke masa sebelumnya, maka bangsa Melanesia sebenarnya belum cukup dikenal para nasionalis Indonesia, selain sebagai koloni Belanda yang dalam banyak hal tidak terlibat langsung dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Di luar itu, wilayah ini cukup terisolir dari koloni Belanda di sebelah barat, kecuali wilayah pesisir utara yang menjalin hubungan dagang tradisional dengan Maluku. Selebihnya hanya bayang-bayang penjara besar - Boven Digul, di tengah sebagian besar masyarakat yang masih hidup di zaman batu (Benedict Andersson: 2002)

Ini berarti bangsa Melanesia, tidak terlibat dalam beberapa proses sejarah penting, terkait dengan penggunaan bahasa Indonesia. Pertama, saat bahasa Indonesia dipermaklumkan sebagai bahasa persatuan pada Sumpah Pemuda 1928, tidak ada yang mewakili bangsa Papua dalam peristiwa tersebut, kedua, saat bahasa Indonesia dianjurkan semasa pendudukan Jepang untuk menggusur bahasa Belanda, hal itu tidak terjadi di Papua, apalagi karena pertimbangan militer dan kondisi sosial politik waktu itu, Jepang membagi Hindia Belanda menjadi tiga wilayah koloni terpisah, dan Papua berada dibawah Angkatan Laut yang berpusat di Makasar, ketiga, saat bahasa Indonesia dipergunakan sebagai wahana perlawanan menyerang kolonialisme yang dipuncaki proklamasi kemerdekaan RI 1945, justru bangsa Papua belum ‘mengenal’ NKRI. Dari tiga fakta ini, bisa dibilang bahasa Indonesia adalah produk historis yang dalam prosesnya tidak sepenuhnya melibatkan bangsa Melanesia. Barulah pada tahun 1963 ketika Orde Lama mencanangkan operasi Trikora, dan disusul pelaksanaan Pepera semasa Orde Baru tahun 1969 bahasa Indonesia mulai dijadikan ‘bahasa resmi’ di Papua.

Apabila menelusuri asal muasal bahasa Indonesia, bahasa ini berasal dari Riau (Sumatera) dan disebut bahasa Melayu yang sejak berabad-abad menjadi lingua franca dari kawasan yang sejak 1940-an mulai dinamai Asia Tenggara. Pada akhirnya bahasa Melayu diadopsi menjadi bahasa Indonesia, adalah untuk tujuan politis mempersatukan Hindia Belanda. Namun sebenarnya, ‘Indonesia’ pada awalnya adalah peristilahan antropologis, bersama Melanesia, Polinesia dan Mikronesia. Dalam hal ini, Indonesia dipakai untuk menunjukkan budaya berciri melayu.

Namun saat ini, di Papua bahasa Indonesia telah menjadi lingua franca, dimana orang-orang lebih banyak banyak bertutur dalam bahasa ini. Bukan mustahil, pada suatu ketika ia menyebabkan kepunahan bahasa-bahasa asli. Seperti terjadi pada bahasa-bahasa Indian di Amerika Serikat karena dominasi bahasa Inggris, atau seperti Aborigin di Australia, yang sejak bangsa Inggris masuk tahun 1788 mempunyai 250 bahasa namun saat ini tinggal 100 bahasa. Itu pun tinggal menunggu waktu untuk punah (Geoffrey Hull: 2001)

Dari pengalaman Indian dan Aborigin, bangsa Melanesia harus lebih serius dalam melestarikan dan melindungi bahasa-bahasa asli mereka. Salah satunya dengan mendorong lembaga pendidikan agar melestarikan bahasa asli, terutama dengan mengajarkannya pada pendidikan dasar sesuai dengan Resolusi Unesco 1953. Terlebih lagi penemuan-penemuan penelitian pendidikan memperlihatkan bahwa siswa akan lebih siap belajar bahasa-bahasa lain, apabila mereka pertama-tama belajar membaca dan menulis dalam bahasa ibu mereka (Helen Mary Hill: 2000).

Pada prinsipnya, bahasa manapun layak dikaji dan dihormati, namun si “empunya bahasa” alias orang yang menuturkan, harus pertama melestarikan bahasanya. Bila tidak, kebanggaan berbahasa asli akan hilang. Bahasa asli pun dipandang tak lebih dari relikui masa lalu yang tak berguna dan mewakili simbol keterbelakangan. Bangsa yang demikian akan dihinggapi krisis identitas yang sukar disembuhkan.

*) Mahasiswa Ilmu Sejarah, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
BACA TRUZZ...- Quo Vadis Rumpun Bahasa Melanesia?

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut