RAKYAT PAPUA WAJIB BEROBAT GRATIS

Selasa, Desember 30, 2008

oleh: "Dkr Papua"

Tak terasa sesaat lagi kita akan mengakhiri tahun 2008. Itu berarti Otonomi Khusus (otsus) bagi Provinsi Papua sudah berjalan kurang lebih 8 Tahun. Salah satu prioritas penting atau agenda mendesak dalam rangka pengimplementasian kebijakan tersebut adalah bidang Kesehatan. Bidang kesehatan menjadi prioritas penting dalam rangka mewujudkan masyarakat Papua yang lebih adil dan bermartabat guna menjadikan rakyat Papua menjadi tuan di negeri sendiri. Itu sebabnya upaya dalam rangka mewujudkan agenda tersebut perlu kita sikapi dengan serius sebelum kita memasuki tahun 2009.

Perlu untuk kita refleksikan bersama, sejauh mana pelayanan kesehatan yang baik itu sudah diterima oleh rakyat Papua di seluruh kota kabupaten di Tanah Papua? Pertanyaan ini tentunya menibulkan kontadiksi/pertentangan bagi kita semua apabila kita melihat kondisi yang terjadi di lapangan berkaitan dengan pelaksanaan pelayanan kesehatan yang sampai sejauh ini dirasakan oleh seluruh rakyat yang ada di Tanah Papua.

Berdasarkan survey tim dari Dewan Kesehatan Rakyat Papua yang turun ke setiap kota kabupaten di Papua, terdapat banyak kejanggalan-kejanggalan yang terjadi berkaitan dengan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pihak-pihak terkait dalam hal ini rumah sakit dan puskesmas-puskesmas di Provinsi Papua sebagai pelaksana teknis dalam upaya mewujudkan masyarakat yang sehat di seluruh Tanah Papua.

Ada indikasi bahwa terjadi bisnis-bisnis terselubung berkaitan dengan obat-obatan yang tidak tersedia di apotik resmi rumah sakit yang ternyata dititipkan di apotik-apotik swasta sehingga para pasien harus membelinya sendiri di apotik-apotik tersebut, padahal biaya pengobatan dan perawatan sudah dibayarkan termasuk biaya obat yang direkomendasikan oleh dokter atau bidan yang menangani pada saat pasien tersebut membayar biaya administrasi dan jasa pelayanan. Demikian juga yang terjadi di Distrik Muara Tami Kota Jayapura dimana dalam pengurusan kartu Jaminan Kesehatan Maysrakat (JAMKESMAS), masyarakat dikenakan biaya Rp. 3000,-.

Hal ini tentunya bertentangan dengan pernyataan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Siti Fadila Supari dalam acara workshop Dewan Kesehatan Rakyat Papua dan Papua Barat di Nabire Papua oktober 2008 lalu, bahwa pemerintah melalui Departemen Kesehatan membebaskan seluruh biaya pelayanan kesehatan bagi orang asli Papua dalam program JAMKESMAS. Ia menyatakan bahwa seluruh rakyat Papua dan Papua Barat tidak perlu mengeluarkan biaya apapun untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari pemeriksaan dokter, berobat, dan perawatan inap dan jalan di kelas 3 pada setiap rumah-rumah sakit dan puskesmas-puskesmas pemerintah yang ada di seluruh Tanah Papua.

Lebih lanjut dikatakan bahwa “sekarang nggak usah pakai kartu JAMKESMAS. Yang masih memungut biaya kesehatan rakyat Papua dan Papua Barat merupakan tindak kejahatan. Para Bupati seharusnya mengawal program ini, tetapi para Bupati pada saat itu tidak ada yang hadir dalam workshop tersebut, jadi biar rakyat langsung lewat Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) mengawal program ini,” tambahnya Menkes juga menegaskan bahwa untuk PNS tidak ada lagi co-sharing yang membebani, sehingga pelayanan kesehatan bagi PNS 100% ditanggung oleh Asuransi Kesehatan (ASKES).

Dengan demikian semua penduduk di Papua sudah ter-cover biaya kesehatannya.(TEMPO Interaktif, Jum’at 17 Oktober 2008 I 20:56 wib). Menyikapi hal ini, Dewan Kesehatan Rakyat Papua yang mendapat mandat langsung dalam mengawal program ini mengimbau kepada seluruh Rakyat di Tanah Papua, bahwa apabila berobat ke setiap rumah-rumah sakit pemerintah yang ada di setiap kota kabupaten agar jangan mau dibebankan untuk membayar biaya pelayanan kesehatan (tidak usah bayar), karena pemerintah melalui program JAMKESMAS sudah membayar lunas biaya pelayanan kesehatan bagi rakyat asli Papua.

Apabila ternyata nanti dikenakan biaya, masyarakat berhak mengadukannya kepada pos-pos pengaduan Dewan Kesehatan Rakyat Papua di seluruh kota kabupaten yang ada, karena merupakan hak masyarakyat asli Papua. Dengan demikian, upaya untuk menjadikan rakyat Papua yang sehat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat yang lebih adil dan bermartabat dapat tercapai. ***(DRH)
------------------------------------------------
Sumber: DEWAN KESEHATAN RAKYAT PAPUA
Sekretariat : Waena Residance No. B-4, Jl. Teruna Bakti Waena-Jayapura
Telp/Hp : 081384422114, 085244570355


BACA TRUZZ...- RAKYAT PAPUA WAJIB BEROBAT GRATIS

Revitalisasi Pendidikan Petani

Oleh : Dr Rochajat Harun Med.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan; perlu dicermati secara seksama. Itu karena undang-undang ini merupakan landasan hukum utama bagi penyelenggaraan penyuluhan secara terpadu yang menyangkut berbagai aspek pendidikan petani beserta ruang lingkup kehidupannya.

Sebetulnya penyiapan undang-undang ini telah lama dipersiapkan para inohong pertanian di Departemen Pertanian sejak lebih 30 tahun yang lalu. Namun karena berbagai permasalahan rancangan Undang-undang tersebut bayak mengalami hambatan. Namun alhamdulillah, kiranya bisa terwujud pada tahun 2006. Hal ini patut disyukuri oleh para petani (termasuk pekebun, peternak, nelayan, dan sebagainya), para penyuluh serta aparat pembina penyuluhan, baik yang berada di pusat maupun daerah.

Dalam pelaksanaan penyuluhan di lapangan tentunya masih memerlukan produk hukum berikutnya antara lain Peraturan Pemerintah (PP), yang merupakan penjabaran pelaksanaan Undang-undang tersebut. Sampai kini, setelah Undang-undang tersebut dikeluarkan, PP tersebut belum ada.

Hal ini menyebabkan belum munculnya peraturan-peratuaran di daerah baik dari Gubernur maupun Bupati. Padahal hal yang terakhir ini justru yang harus jadi pegangan petugas dilapangan baik penyuluh pertanian, maupun petugas lain yang terkait.

Dalam Undang-undang tersebut tersirat pentingnya peran-serta petani dalam berba­gai aspek pembangunan pertanian, baik di bidang pro­duksi, pengolahan, pemasaran, maupun pelestarian sumberdayanya. Gagasan ini sebenarnya bukan hal yang baru. Bahkan seringkali dahulu pernah telah dijadikan slogan dan taktik untuk memperoleh anggaran proyek yang lebih banyak.

Yang seringkali tersisihkan yaitu upaya pendidikan petani. Secara populer Pendidikan Pertanian untuk Petani disebut sebagai Penyuluhan Pertanian. Dalam Undang-undang sekarang ini pengertian tentang Penyuluhan mencakup pengelola komoditas lain diluar tanaman pangan, seperti kehutanan, perikanan, perkebunan, peternakan dan nelayan.

Sejak tiga puluh tahun yang lalu, pada saat kita berge­gas dalam membangun, maka aparat pemerintah cenderung untuk mengatur segalanya, mendorong masyarakat tani untuk ikut serta dalam pembangunan melalui rekayasa sosial. Program pendidikan tani pun berawal dari petun­juk ataupun pesan yang bersifat top-down, yang kadang ­kadang kurang menghargai pengalaman maupun penge­tahuan petani.

Dulu, ada anggapan bahwa kemampuan masyarakat tani diragukan. Tetapi sekarang, ada kesadaran bahwa justru merekalah kekayaan yang paling berharga dalam pembangunan. Pendekatan paternalistik tersebut perlu direvisi, sehingga merupakan landasan baru yang lebih demokratik untuk pembangunan pertanian yang berke­lanjutan dan berwawasan lingkungan, serta sarat dengan pengetahuan dan bercirikan abad ke-21.

Kebijakan swasembada pangan dengan program meningkatkan produksi sekaligus meningkatkan penda­patan petani dalam waktu kurang lebih 25 tahun telah berhasil melipatgandakan produksi padi dan secara lu­mayan telah meningkatkan kesejahteraan petani di pede­saan. Meskipun dengan handicap sikap negatif terhadap petani yang kurang menguntungkan bagi perkembangan kepribadiannya.

Gambaran negatif terhadap petani, bahwa mereka itu bo­doh dan "kuuleun", yang oleh Mc Clelland disebut relaxed and unhurried, telah menimbulkan sikap petani itu sendiri sebagai yang patuh kepada program-program dan pembi­naan-pembinaan dari atas. Yang demikian itu jauh dari yang diinginkan sejak lama. Yaitu petani yang mandiri dan tangguh, petani sebagai subjek, bukan lagi objek.

Pendidikan Petani perlu direvitalisasi, dari sekadar pembawa paket teknologi untuk diterapkan petani, menjadi kelembagaan yang menciptakan suasana, iklim, lingkungan, dan kesempatan yang memungkinkan berkembangnya petani secara mandiri sebagai manajer usahatani atau pemimpin dalam masyarakat agribisnis.

Tepat juga sinyalemen Herman Soewardi (1998) almarhum yang menyatakan bahwa dalam upaya pemberdayaan (empower­ing) petani, kelembagaan yang ada perlu diberdayakan, hingga mampu melecut motivasi petani. Petani perlu disiap­kan menjadi petani komersial. Cara penyuluhan yang berlaku tempo hari hanya sampai pada mengubah "prac­tices" petani, tidak mengubah personality.

Dan kini dengan telah lahirnya Undang-undang Nomor 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, adalah merupakan landasan hukum yang tepat untuk merobah citra negatif terhadap petani menjadi citra yang positip terutama dalam meningkatkan peran mereka dalam pembangunan pertanian secara utuh dan berkesinambungan.

Dalam pelaksanaan Penyuluhan atau dulu pernah populer dengan sebutan Penyuluhan Pertanian, atau Pendidikan Pertanian untuk Petani; ada beberapa prinsip yang seyogianya diperhatikan: Pertama, pertanian harus dipan­dang sebagai suatu sistem kompleks yang hidup.

Ia menjadi tempat manusia berinteraksi dengan tanah, air, tanaman, dan organisme hidup lainnya, dalam mengoptimalkan sumberdaya yang ada. Dari sudut pandang ini, maka petani belajar bekerja sama dengan alam, bukan mencoba menguasainya atau menyalahgunakan lingkungan hidup di sekitamya. Pende­katan ini memampukan petani untuk mengembangkan cara-cara bercocok tanam yang produktif dan berkelan­jutan.

Kedua, Petani ditempatkan pada pusat sistem usahatani, sehingga dia dianggap sebagai subjek bukan sebagai objek pembangunan. Penyuluhan hendaknya membantu petani belajar mengorganisasi diri mereka sendiri dan masyarakat di sekitamya. Mengumpulkan data di lahan mereka sendiri. Menelaah informasi ini dan membuat keputusan yang rasional berdasarkan data yang mereka temukan sendiri.

Ketiga, Penyuluhan atau pendidikan petani adalah sebagai upaya pengembangan sumberdaya Manusia. Bukan pembawa paket teknologi untuk diterapkan secara seragam oleh petani. Penyuluhan, membantu para petani menguasai konsep berpikir yang baru dan menerapkan cara-cara baru untuk memecahkan masalah yang dihadapi.

Proses ini jika diterapkan oleh petani akan memampukan mereka dalam menghadapi masalah-masalah baru dan berani melakukan percobaan untuk mencari jawaban atas per­masalahan agronomik yang ditemui di lapangan/di- lahan­nya. Pendekatan ini tidak hanya membantu mereka menjadi petani yang lebih terampil, tetapi juga memperkokoh hubungan antara peneliti pertanian, penyuluh pertanian, dan kelompok tani.

Prinsip-prinsip pendidikan pertanian tersebut di atas mudah disesuaikan dan dikembangkan untuk kegiatan perencanaan, pengorganisasian dan penerapan kegiatan-­kegiatan baru, yang menempatkan petani sebagai pusat pengembangan pertanian di masa depan. Dengan demikian pendidikan pertanian untuk petani perlu direvitalisasi secara terus-menerus dan secara konsisten, berpijak pada cara penyelenggaraan dan metoda pelaksanaan yang demo­kratik, sebagaimana tersurat dan tersirat didalam Undang-undang Penyuluhan Tahun 2006.

Sikap negatif terhadap petani perlu segera dihapus dari segala lapisan masyarakat, dan diganti dengan sikap yang menghormati dan menghargai kedudukan petani sebagai warga yang sama derajatnya di bumi pertiwi Indonesia. Petani dan keluarganya di pedesaan yang merupakan ma­yoritas penduduk Indonesia, adalah penyandang budaya asli kontemporer maupun penyerap teknologi mutakhir yang potensial.

Yang paling menarik didalam Undang-undang Penyuluhan 2006 adalah ruang lingkupnya yang jadi garapan penyuluhan yaitu: berproduksi yang lebih baik (better farming), berusahatani yang lebih menguntungkan (better business), berkehidupan yang lebih layak (better living), lingkungan hidup yang lebih nyaman (better environment), dan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera (better community).

Ketiga better ini pada tahun 80-an pernah menjadi semboyan yang cukup populer dalam pelaksanaan penyuluhan pertanian. Sekalipun taktik dan strateginya pada waktu itu terkesan lebih memusat (centralized), tapi alhamdulillah Indonesia telah berhasil mencapai swasembada pangan sehingga mendapatkan penghargaan dari kelembagaan dunia FAO pada tahun 1985.

Hal lain yang menarik dari Undang-undang 2006 ini adalah areal garapan dan sasaran penyuluhan tersebut. Kini tidak lagi hanya meliputi daerah persawahan, namun meliputi kawasan hulu yaitu masyarakat kehutanan (pinggiran hutan), terus kehilir masyarakat pertanian, perikanan darat, peternakan, perkebunan, dan berujung di lahan paling hilir yaitu daerah perikanan laut (atau daerah perikanan pantai).

Hal ini akan memberikan implikasi terhadap rancangan PP maupun Peraturan-peraturan Gubernur dan Bupati, agar kebijakan penyuluhan yang akan disusun dan diterapkan memperhatikan pula aspek-aspek ruang lingkup dan sasaran penyuluhan yang lebih komprehensif. (*)
------------------------------
Sumber-->
Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com
Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.com
Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera: http://www.kabarindonesia.com

BACA TRUZZ...- Revitalisasi Pendidikan Petani

MAKNA TAHUN BARU HIJRIYAH: Bergerak, Berjuang dan Melawan

Oleh : Rudy Handoko

Tak terasa saat ini kita sedang memasuki dua tahun baru. Tahun Baru Hijriyah 1430 H dan Tahun Baru Masehi 2009. Selamat Tahun Baru kuucapkan pada seluruh handai taulan. Semoga tahun ini menjadi tahun yang lebih indah, lebih damai, lebih berwarna carah, lebih baik dari tahun kemarin.

Menurut Baginda Rasul, seseorang yang beruntung adalah jika hari ini lebih baik dari hari kemarin, hari esok lebih baik dari hari ini. Sedangkan orang yang ‘celaka’ alias ‘gagal’ adalah jika hari ini lebih buruk dari hari kemarin dan hari esoknya lebih buruk dari hari ini.

Biasanya, setiap kali tahun baru hijriyah tiba, maka akan banyak ceramah-ceramah agama yang mengingatkan akan makna dan hikmah di balik pergantian tahun, termasuk yang menceritakan tentang makna dan hikmah di balik hijrahnya Baginda Rasul yang merupakan titik sejarah perhitungan Tahun Baru Hijriyah berdasarkan peredaran bulan (lunar system).

Maksudnya, dengan memahami makna-hikmah pergantian tahun serta meneladani makna-hikmah perjalanan hijrahnya Baginda Rasul beserta Imam Ali Karamallahu Wajhahu dan sahabat, Abu Bakar RA, maka kita diharapkan mendapat suntikan rohani dan bekal semangat untuk menghadapi tahun depan yang mungkin saja lebih baik, tapi boleh jadi juga lebih menantang dan berat.

Biasanya, isi ceramah-ceramah itu, seperti yang sering ditularkan oleh para ahli dakwah, cuma sekadar menceritakan hikmah tahun baru hijriyah secara tekstual. Yaitu seputar cerita hijrah Baginda Rasul, mulai dari lolosnya Baginda Rasul ketika dikepung kaum dzalim, bersembunyi di Gua Tsur hingga sampai di Madinah Al-Munawwarah. Cerita itu selalu diulang-ulang dari tahun ke tahun.

Terlepas dari kisah tersebut, padahal ada ide-ide segar yang lebih progressif yang dapat diuraikan dari makna-hikmah hijrah itu. Seperti memaknai hikmah hijrah sebagai bentuk upaya membangun gerakan dan perlawanan terhadap kedzaliman dan memaknai upaya revolusioner Baginda Rasul mendobrak tatanan bobrok kaum elit penguasa kapitalis Mekkah.

Hijrah adalah bagian dari strategi untuk mengembangkan perlawanan dengan membangun basis kekuatan, membina kader, merangkul dan membentuk aliansi strategis serta berjuang secara bertahap, konsisten dan komitmen memberangus sistem yang korup, jahil, dan dzalim yang status quo di Mekkah dan Jazirah Arab pada saat itu.

Jika ini diletakkan pada konteks sekarang, maka élan vital perjuangan Muhammad sang Revolusioner akan terus mengharu biru dan mampu memberi semangat bagi umatnya. Terutama pada masa panca roba sosial saat ini, yang mana penjahat menjadi penguasa, penguasa adalah penindas yang sejati, rezim berkembang dan berjaya di atas penderitaan rakyat.

Seandainya semangat hijrah itu dimaknai hikmahnya secara kontekstual, mungkin kita mafhum bahwa hijrah Baginda Rasul bukan sekedar cerita agama atau roman pengantar tidur. Sekarang hijrah bukan sekadar cerita berpindah secara fisik, tapi hijrah adalah memuat semangat perlawanan dan upaya untuk membangun peradaban yang lebih baik. Terlebih kita sedang mengalami peradaban rusak, peradaban yang kapitalistik dan menghisap, peradaban yang dibuat para penindas untuk melanggengkan status quo dan penindasan.

Jika kita sedang berada di negeri yang korup, jahil dan dzalim, maka hijrah adalah bergerak-berjuang-melawan untuk mengubahnya. Ada sebuah plesetan (positif) tentang ayat suci Al-Quran yang kira-kira bunyinya begini; ”Sesungguhnya syirik itu adalah kedzaliman yang nyata,” diplesetkan menjadi “Sesungguhnya kedzaliman itulah kesyirikan yang nyata". Maka kedzaliman harus dilawan!

Selamat Tahun Baru Hijriyah 1430 H
-------------------------------------
Sumber: http://kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&dn=20081228224832

BACA TRUZZ...- MAKNA TAHUN BARU HIJRIYAH: Bergerak, Berjuang dan Melawan

Perdasus Kependudukan, Kebutuhan yang Mendesak

Minggu, Desember 28, 2008

JUBI—Marjinalisasi dan tersisihnya orang asli Papua menyebabkan mereka akan terus tersingkir dari tanah leluhurnya karena ketakberdayaan dan tidak adanya keberpihakan dalam pembangunan. Bahkan jumlah penduduk asli Papua terus semakin berkurang jumlahnya, yang terjadi adalah pertambahan penduduk.

Konferensi Gereja dan Masyarakat (KGM) Papua yang diselenggarakan Sinode Gereja Kristen Injili (GKI) di tanah Papua yang berlangsung di Sentani, ibukota Kabupaten Jayapura, Papua pada 14-17 Oktober menghasilkan rekomendasi kepada pemerintah pusat antara lain perlindungan bagi orang asli Papua.

Hal itu diungkapkan Ketua Sinode GKI di tanah Papua, Pdt Jemima J.Mirino- Krey,S.Th di Jayapura dalam menyampaikan hasil rekomendasi GKM Papua yang dihadiri sedikitnya 190 peserta yang berasal dari pimpinan GKI di tanah Papua, Gereja Katolik, denominasi gereja-gereja Kristen Se-Papua, LSM, tokoh perempuan, pemuda, mahasiswa dan tokoh masyarakat serta pemangku adapt belum lama ini di Sentani Jayapura.


Ket.foto: Ketua Sinode GKI di tanah Papua, Pdt Jemima J.Mirino- Krey,S.Th di Jayapura dalam menyampaikan hasil rekomendasi GKM Papua (Foto : Dominggus Mampioper)

“GKM Papua merekomendasikan kepada Pemerintah Pusat untuk mengambil langkah-langkah hukum dan politis, guna melindungi orang asli Papua yang makin termarjinalisasi dan makin terdiskriminasi dari berbagai sektor kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata Pdt Jemima Krey.

Dalam melindungi keberadaan orang asli Papua, diharapkan pemerintah daerah untuk, menyusun data kependudukan yang akurat khususnya data mengenai orang asli Papua, menjadi acuan pembangunan di tanah Papua. Segera mengeluarkan Perdasus tentang kependudukan. Mematuhi ketentuan-ketentuan yang termuat di dalam UU No:21/2001 tentang Otsus Papua dalam melakukan pemekaran-pemekaran wilayah di tanah Papua. Mengeluarkan Perdasus yang melindungi kepemilikan tanah tanah adat dan sumber daya alam di tanah Papua. Menandatangani Perdasus No.1/2007 tentang penerimaaan dan pengelolaan dana Otsus.

Di bidang pendidikan diharapkan pemerintah daerah mengembangkan sistem pendidikan yang integral, bermutu, dan mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal Papua. Pemerintah daerah mengeluarkan peraturan Gubernur yang menindak lanjuti Perdasi No.5/2006 tentang pembangunan pendidikan. Mengatur dengan baik rekrutmen, mutasi, rotasi guru Kristen sehingga sungguh-sungguh memajukan layanan yayasan-yayasan pendidikan Kristen. Membebaskan biaya pendidikan pada semua jenjang pendidikan.

Sedangkan pernyataan bagi Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) adalah sebagai berikut segera mengeluarkan Perdasus tentang kependudukan. Membentuk tim hukum ad hoc untuk menyusun Perdasi dan Perdasus pada tahun 2009. Menunda pembahasan dan penetapan Raperdasi tentang Pembangunan Kesehatan, pencegahan penanggulangan HIV dan AIDS serta IMS sampai periode legislatif 2009-2014. Mematuhi ketentuan- ketentuan yang termuat dalam UU No:21/2001 tentang Otsus dalam pemekaran pemekaran wilayah di tanah Papua.

Pemerintah daerah, menurut pernyataan hasil KGM Papua, diharapkan membentuk tim yang bertugas membuat konsep sistem pelayanan kesehatan terpadu yang bermutu di Papua yang memenuhi hak atas kesehatan; menguatkan kemampuan penataan manajemen kelembagaan dan pengembangan strategi pengkaderan serta mengambil langkah-langkah yang serius tentang program peningkatan kualitas pelayanan kesehatan yang berpihak pada masyarakat Papua melalui pusat/unit-unit pelayanan kesehatan milik pemerintah dan Gereja.

Data Dinas Kesehatan Provinsi Papua menjelaskan, jumlah pengidap HIV/AIDS per 30 Juni 2008 tercatat 4.114 kasus.
Variabel epidemologi kumulatif adalah laki-laki pengidap HIV sebanyak 1.053 dan AIDS 1.074 dengan jumlah keseluruhan 2.127 kasus. Sedangkan perempuan pengidap HIV tercatat 1.146 dan AIDS 785. Jumlah keseluruhan 1.931 kasus. Tidak diketahui tercatat HIV 48 dan AIDS delapan. Jumlah 56 kasus.

Jumlah keseluruhan HIV sebanyak 2.247 dan AIDS 1.867 kasus. Rincian per wilayah kabupaten/kota antara lain Kabupaten Biak, jumlah penderita HIV/AIDS sebanyak 421 kasus, Jayapura 203, Jayawijaya 118, Keerom terdapat dua kasus, Kota Jayapura 218, Mappi terdapat sembilan kasus, Merauke 987, Mimika 1.681, Nabire 383, Paniai 19 dan Puncak Jaya terdapat tujuh kasus.

Pernyataan lain juga ditujukan kepada Majelis Rakyat Papua (MRP) antara lain meningkatkan tingkat pertemuan dengan lembaga lembaga yang diwakilinya. Meningkatkan kemampuan anggota dalam merepresentasikan eksistensi orang asli Papua.

Bagi pemerintah pusat di Jakarta harus mengambil langkah langkah hukum dan politis guna melindungi orang asli Papua yang makin termajinalisasi dan terdiskriminasi dari berbagai sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, membuka diri bagi suatu dialog antara Pemerintah Indonesia dengan orang asli Papua dalam kerangka evaluasi pelaksanaan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua dan pelurusan sejarah Papua.
“KGM Papua merekomendasikan kepada Pemerintah Pusat untuk melindungi dan menjamin hak hidup dan kesetaraan umat beragama seperti Ahmadiyah dan kelompok minoritas di Indonesia,” katanya.

Mematuhi ketentuan UU Nomor 21 Tahun 2001 perihal penempatan pasukan TNI non regular dan mengatur keberadaan pasukan dan lembaga intelijen tersebut sesuai dengan tata perundangan yang berlaku dan hukum hak asasi manusia universal yang sudah diratifikasi.

Menghentikan pernyataan-pernyataan stigma seperti separatis, Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM), Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), makar dan sejenisnya dari dalam diri orang asli Papua dan memulihkan hak dan martabatnya sebagai manusia ciptaan Tuhan sehingga azas praduga tak bersalah (presemtion of inocence) harus sungguh-sungguh ditegakkan.

Menangani secara serius berkas-berkas kasus pelanggaran HAM dan mereformasi sistem peradilan HAM sehingga sungguh-sungguh menjawab rasa keadilan korban.

Melakukan reformasi institusi-institusi negara yang terbukit melakukan pelanggaran HAM di tanah Papua dan berbagai tempat di Indonesia.

“Mengambil langkah-langkah serius bagi proses rekonsiliasi yang mengungkapkan kebenaran masa lalu dan memulihkan harga diri korban guna membangun suatu tata sosial yang adil dan menghormati hak azasi manusia,” kata Pdt Jemima Krey.

Mendorong Komnas HAM Perwakilan Papua untuk memiliki kewenangan pro justisia dalam melakukan tugas dan fungsinya menegakkan, memajukan dan melindungi HAM di tanah Papua.

Memberikan wewenang politik yang lebih luas kepada pemerintah daerah untuk mengatur dirinya sendiri sesuai dengan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Papua. Mematuhi ketentuan-ketentuan yang termuat dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Papua dalam hal pemekaran-pemekaran wilayah di tanah Papua.

Gereja gereja di tanah Papua juga merasa terpanggil mendidik warganya agar tidak memberlakukan sesama warganya secara diskriminasi dan mewujudkan panggilannya untuk terlibat dalam segala bidang baik sosial, politik , ekonomi dan budaya bagi umatnya.

Namun yang jelas dalam menyikapi inkonsistensi kebijakan pemerintah pusat dalam implementasi UU Otsus Papua tentunya telah membuat konflik dan memperkeruh situasi tentang hak hak dasar bagi orang Papua yang terancam seperti aspek kehidupan sosial, aspek persaingan dalam ekonomi barter versus ekonomi modern, budaya yang semakin hilang (lost cultural), HAM yang selama ini tak tereselesaikan dan cenderung diabaikan. Kondisi yang semakin mengancam ini jelas menuntut pemerintah Indonesia dan orang Papua untuk dudul bersama guna melihat masalah masalah yang dihadapi orang Papua secara jujur dan konsekwen sesuai dengan perspektif Otsus Papua.

Menyikapi persoalan persoalan yang dialami maka pihak pimpinan Gereja di tanah Papua akan membentuk lembaga Kajian Kristen di tanah Papua yang bertanggung jawab kepada Persekutuan Gereja Gereja di Papua (PGGP) paling lambat akhir 2008 atau Desember 2008 sudah terbentuk.

Pihak pimpinan Gereja jugamenyadari bahwa pentingnya melakukan komunikasi yang teratur dengan pemerintah daerah dan pimpinan umat beragama di tanah Papua sekurang kurangnya tiga bulan sekali secara periodik. Selain itu perlunya pihak gereja bersama umatnya melakukan pengawalan terhadap pelaksanaan UU Otsus UU No:21/2001. Berperan aktif dalam pelayanan kesehatan primer yang berkualitas untuk meningkatkan kualitas kehidupan keluarga secara khusus Ibu dan anak di Tanah Papua.

Menyepakati Konfrensi Gereja ke V di Manokwari Provinsi Papua Barat pada 2012

Menyambut pelaksanaan Konfrensi Gereja dan Masyarakat di Manokwari, Asiten II Setda Provinsi Papua Barat Drs Pieter A Ramandey yang mewakili Gubernur Provinsi Papua Barat Abraham O Atururi menegaskan menyambut baik dan akan menyampaikan kepada gubernur perihal rencana KGM ke V di Manokwari. “Saya harapkan dalam KGM ke V di Manokwari sudah sangat maju dan mampu menyelenggarakan acara tersebut,” ujar Ramandey. Ditambahkan pada 2012 nanti di Kota Manokwari sudah tambah maju dan melaksanakannya lebih baik lagi.

Sebelumnya telah dilaksanakan tiga konferensi masing-masing di Biak tahun 1985, di Jayapura tahun 1990 dan 1999, di mana semuanya berorientasi untuk merefleksikan realitas kehidupan masyarakat di berbagai aspek kehidupan. (Dominggus A Mampioper)
---------------------------
Sumber: http://www.tabloidjubi.com/index.php?option=com_content&task=view&id=330&Itemid=9
BACA TRUZZ...- Perdasus Kependudukan, Kebutuhan yang Mendesak

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut