Waghete: Perjalanan Panjang ke Masa Depan (Habis)

Jumat, Juli 30, 2010

 Juli 2009: dari serpihan ingatan akan kampung-kampung di tepian Danau Tigi

Oleh Johanes Supriyono*)

Cerita Waghete bukan hanya milik Josef Mote. Aku ingat pula seorang guru yang diejek-ejek murid-muridnya pada suatu pagi.
Pagi itu, ketika masih sangat dingin, lima anak kecil, berseragam SD dengan telanjang kaki, hanya dua saja bersepatu, berarak ke sekolah. Semuanya keriting tentu saja. Entah apa yang mereka bicarakan di jalan yang berdebu itu.
Di jalan itu, mereka bertemu dengan sang kepala sekolah, Pak Guru Pekei. Ia tidak berbusana layaknya mau ke sekolah. Bercelana pendek dan bertelanjang kaki, kendati waktu untuk masuk sekolah sudah menjelang, ia memikul papan. Tangannya masih serba kotor. Mulutnya mengepulkan asap rokok.
“Pak Guru, ayo ke sekolah sudah waktu ini. Kenapa malah sibuk di sini?” Murid-murid itu setengah mengejek sang guru yang tampak tidak hendak ke sekolah.
“Hei.. kalian ini anak kecil. Sana! Berangkat ke sekolah,” hardik sang guru.
“Iya, kami akan ke sekolah. Kau lihat kan, kami sudah berseragam dan membawa buku. Tapi, kamu akan ke sekolah, tidak?”
“Sudah.. ko anak-anak kecil tahu apa. Saya mau urus rumah dulu. Nanti saya baru ke sekolah.”
“Iyo, kami tunggu di sekolah ya. Kau ini guru bagaimana? Masak tidak ke sekolah.”
“Ah, sudah diam. Kau berangkat cepat. Jangan terlambat lagi.”
Anak-anak itu sambil berlalu, “kami tidak pernah terlambat.”
Anak-anak belia itu tidak tampak sungkan menegur pak guru yang sengaja melalaikan tanggung jawabnya.
Percakapan remaja belia dengan sang kepala sekolah jauh dari cuaca ‘mengadili’. Anak-anak itu telah cukup tahu berkat kebiasaan bahwa sejumlah guru tidak sepenuhnya menjiwai keguruan mereka. Ejekan gaya anak-anak itu mengandung juga pengampunan atau permakluman terhadap sang guru.
Begitu juga yang terjadi di sekolah dekat gereja Waghete pagi itu. Tidak ada guru di tiga kelas.
Seorang anak mencacat pelajaran di papan tulis. Agaknya ia yang paling maju di kelasnya. Tulisannya cukup rapi. Teman-temannya, sebentar-sebentar mendongak ke papan, menyalin yang tertulis di papan itu. Pelajaran bahasa Indonesia. Entahlah apakah dengan cara mencatat seperti itu mereka bisa mengerti dan menerapkan.
Ketika kami datang, semuanya terdiam dan menyembunyikan kaki telanjang mereka di bawah kursi. Tidak ada senyum tapi wajah tegang dengan tatapan mata tunduk. Mungkin mereka sejatinya memendam rasa dalam ketertundukan itu: mengapa pak guru tidak ada?
Seakan-akan mereka hendak mengatakan, lewat tatapan mata yang bergerak ke papan dan ke buku tulis, agar ‘orang asing’ ini selekasnya pergi, agar tidak perlu lebih lama lagi menyembunyikan diri dalam diam yang kaku... “Biarlah tidak ada guru asal kami tidak ditikami oleh kehadiran orang asing yang menatap kami dengan penuh pengadilan.” L’enfer, c’est les autres kata Jean Paul Sartre. Orang lain adalah neraka!
Anak-anak di kelas berdinding papan, di sekolah dengan halaman yang sangat berdebu, dengan atap seng yang telah parah berkarat, rumput-tumput nan rimbun di sekelilingnya, memamerkan wajah-wajah dingin tapi tanpa kebencian...  
Waghete. Jalan panjang yang berlumpur di musim hujan dan berdebu di musim kering. Jalan panjang untuk menjadi manusia.

*) Staf Peneliti pada Lembaga Pendidikan Papua
BACA TRUZZ...- Waghete: Perjalanan Panjang ke Masa Depan (Habis)

Waghete: Perjalanan Panjang ke Masa Depan (Bagian 3)

 Juli 2009: dari serpihan ingatan akan kampung-kampung di tepian Danau Tigi

 Oleh Johanes Supriyono*) 
Kembali kukisahkan ingatan kolektif—dan nanti kuceritakan pula konsep diri kolektif masyarkat Mee. Tanah satu marga dengan klan-klannya, dengan batas-batas tanda alam seperti bukit, pohon, sungai, atau batu besar, bisa diingat dengan baik, tanpa sertifikat atau surat tanah semacam girik. Cukuplah generasi yang lebih tua meneruskan ingatan itu pada generasi yang lebih muda. Entah bagaimana cara-caranya aku belum sepenuhnya mengerti. Tetapi salah satu yang penting, yang terjadi dalam ritus setiap orang suku Mee, adalah proses inisiasi ke kebun semenjak kecil. Inilah proses sosialisasi yang paling dini ke dalam hakikat tanah.
Proses inisiasi ini terjadi sangat alamiah. Anak kecil dalam keluarga akan diasuh dengan dibawa serta ke kebun tempat orang tuanya bekerja. Anak kecil itu digendong dalam noken atau ditaruh di bahu. Pada usia sangat dini, ketika mereka masih belum sepenuhnya sadar barangkali, anak-anak kecil sudah berkenalan dengan tanah. Perlahan-lahan, sesuai usianya, anak-anak itu akan terlibat dalam pekerjaan kebun orang tuanya.
Selanjutnya, anak laki-laki yang telah lumayan dewasa, bisa berjalan lebih jauh lagi, akan dilatih juga untuk turut berburu. Selama berburu, yang bisa makan waktu berhari-hari atau malah berminggu-minggu ini, mereka semakin mengenal tanah yang menghidupi mereka. Relasi dengan tanah menjadi lebih mendalam lagi lewat proses ini.
Masyarakat Mee hanya berburu di tanah mereka sendiri. Tidak akan mereka mencari binatang buruan di tanah orang lain.
Selama berburu anak-anak suku Mee tidak hanya semakin mengenal tanah mereka. Mereka juga semakin mengenal keluarga besar, termasuk para leluhur. Di samping itu, selama perjalanan berminggu-minggu di hutan itu, mereka pun belajar banyak pengetahuan tradisional tentang norma-norma berburu, tentang ilmu kehutanan, tentang tanda-tanda alam, tentang relasi laki-laki dan perempuan, tentang banyak hal.
Dalam percakapan tentang hutan dengan penduduk Distrik Unito, Sukikai selatan, aku mengerti menurut norma adat, tidak semua burung tahun-tahun boleh dipanah untuk dimakan. Misalnya, burung betina tidak boleh dipanah. Jika mendapati anak burung tahun-tahun di sarang, tidak boleh semuanya diambil. Norma yang lain, kita tidak boleh berkebun terus menerus di lahan yang sama. Secara akal, orang akan dengan cepat menangkap alasannya: kesuburan berkurang. Tapi, secara tradisional, masyarakat Mee meyakini, cara itu adalah untuk menghormati tanah.
Selain itu pun, menurutku, ajaran itu melarang masyarakat Mee untuk menjadi rakus, serakah. Tanah dikelola untuk menghasilkan secukupnya untuk makan sehari-hari. Jauh dari motivasi untuk menimbun makanan atau untuk memasarkan hasil pertanian demi keuntungan finansial sebesar-besarnya. Tiba-tiba aku sedikit melankolis membayangkan nilai tanah yang begitu luhur dan jiwa terdalam manusia Mee yang begitu mulia: tidak boleh rakus. Sebaliknya, bersyukur dan berterima kasih pada ibu tanah. Menurutku, nilai luhur tentang hidup yang tidak boleh kelaparan dan tidak boleh berlebihan ini mesti bisa dipelihara.
Cara hidup meramu dengan kuat masih digenggam. Tidak ada keluarga yang menanam ubi rambat (nota) di lahan yang luas. Tidak ada juga yang berkebun dengan orientasi bisnis. Kalaupun mereka ‘terpaksa’ menjual di pasar, jumlahnya sangat terbatas. Kukatakan ‘terpaksa’ karena mereka menjual untuk mendapatkan uang demi mencukupi kebutuhan yang tidak bisa diperoleh dari kebun, utamanya barang-barang fabrikan. Betul, globalisasi yang mengalir deras sampai ke Waghete, telah mendesak masyarakat Waghete untuk mendiversifikasi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Aku yakin kebutuhan makanan mereka kini tidak cukup sekadar nota. Penduduk Waghete sebagian mulai mengenal beras dan nasi. Kalau tidak pedagang-pedagang dari Sulawesi itu tidak perlu membawa berkarung-karung beras ke Waghete. Mestinya, perkakas rumah tangga seperti panci dan wajan itu tidak laku di Waghete. Nota cukup dibakar.
Memang, tidak ada yang tidak berubah di dunia ini. Semuanya berubah. Panta rei! Kalau si Parmenides mengatakan tidak ada yang berubah, si Anaximandros mengatakan semuanya berubah. Waghete berubah, meski pelan sekali!
Entah mulai kapan, penduduk Waghete merasakan kebutuhan akan jalan yang bagus, yang menghubungkan Waghete dengan kota di dekatnya: Enarotali, Moanemani, dan Nabire. Ketika jalan hancur, sehingga perjalanan dari Waghete ke Nabire memakan waktu yang panjang, mereka mengeluh. Tampaknya sejak mereka mengerti bahwa kebutuhan yang tidak lagi dicukupi hutan atau tidak dihasilkan oleh hutan bergantung pada suplai di kota lain. Hutan tidak menghasilkan cocacola kaleng; tidak menghasilkan beras; tidak menghasilkan pulsa; tidak menghasilkan radio, dan lain-lain.
Secara pasti Waghete mulai menyandarkan sebagian ‘kehidupan’ masyarakatnya pada kehidupan di tempat lain. Tidak lagi bisa disangkal. Anak-anak Waghete mulai menggemari minuman kaleng sejenis cocacola dan menantikannya ketika natal menjelang. Mereka juga berangkat ke sekolah berseragam kendati beberapa masih belum lengkap. Padahal Waghete tidak menghasilkan tekstil. Bahan-bahan makanan banyak didatangkan dari luar Waghete. Padahal, untuk mendatangkan semua itu perlu alat tukar yang dianggap setara: uang!
Pernah aku bertanya-tanya: dari mana orang Waghete menghasilkan uang? Sama sekali tidak ada maksud merendahkan. Boleh dikatakan aktivitas ekonomi masyarakat masih sangat minimal. Ekonomi produksi belum tampak. Komoditas masyarakat asli pun tidak begitu banyak.
Aku tidak suka sebenarnya untuk membahas uang. Tapi, kenyataannya, kehidupan masyarakat Papua dewasa ini mulai disetir oleh uang. Alat tukar mereka sendiri, kulit bia, pelan-pelan tidak berlaku. Atau itu hanya berlaku untuk komunitas masyarakat tradisional mereka. Padahal, ruang kehidupan dan ragam interaksi penduduk kian luas. Sebagian kebutuhan mereka disediakan oleh kios pastoran yang tidak mau dibayar dengan kulit bia tentu saja. Juga pedagang-pedagang dari Sulawesi itu tidak mengenal kulit bia. Generasi Mee yang lebih muda pun terkesan lebih nyaman dengan uang modern karena ketika membeli motor dealer tidak mau dibayar dengan kulit bia.
Aku mengerti kini kulit bia mulai digantikan fungsinya oleh alat tukar modern: uang. Agaknya, uang adalah benda sakti yang membuka akses Waghete pada dunia yang lebih global. Aku ingat lagi pada pipa-pipa air yang dipasang oleh NGO Prancis itu. Uang ada di sana.
Juga aku ingat akan keluh kesah beberapa keluarga yang menyesal tidak bisa mengirim anak mereka sekolah di kota. Sekolah itu dikenal mahal. Uang bulanan sampai Rp200.000,00. Jumlah yang sulit didapat oleh orang-orang Waghete kecuali mereka yang berstatus PNS. Sekali lagi, aktivitas ekonomi produktif belum massal. Kemampuan masyarakat menghasilkan uang masih sangat rendah. Anak-anak itu tidak bisa menikmati pendidikan di kota yang mereka idamkan karena orang tua mereka tidak beruang. Impian yang mahal harus kandas oleh uang. Tragis!
Masuknya alat tukar global ini turut mengubah kebudayaan masyarakat. Sebenarnya, itu bukan satu-satunya. Masih ada yang lain. Pergerakan zaman ternyata membebani penduduk Waghete dengan aneka kebutuhan yang sebelumnya tidak mereka rasakan. Muncullah kelaziman baru untuk mendapatkan uang: membikin proposal.
Bahkan, jika ada yang datang dari luar Waghete, sering ditafsirkan sebagai pembawa uang bantuan. Belakangan muncul pula, kecenderungan untuk menguangkan aneka hal. Sekali lagi, aku tidak menghakimi penduduk Waghete dengan menyebut mata duitan. Aku memahami gelagat ini karena mereka memerlukan itu untuk memenuhi kebutuhan hidup yang sebelumnya tidak mereka rasakan. Atau sekurang-kurangnya dulu masih dicukupi oleh para misionaris.
Masih dengan sangat jelas aku ingat wajah Josef Mote yang pagi-pagi datang dari Yaba ke Pastoran Katolik Waghete tempat kami menginap. Ia mencari seorang pria asing berkulit putih, berjambang, yang hari sebelumnya menjumpainya di Kampung Yaba. Josef ingat pria putih itu—sebenarnya ia seorang pater dari Filipina—telah mengabadikan dirinya di depan patung bapanya, Weyakebo Mote yang sedang menerima Injil dari Monsigneur Tillemans. Tujuan Josef datang adalah meminta sejumlah uang dari pater itu terkait dengan foto-foto yang telah ia ambil. Ia berterus terang bahwa ia memerlukan uang dan ia merasa sudah banyak membantu dengan menyediakan dirinya di foto.
Karena hambatan komunikasi, pater itu tidak menemuinya sendiri. Dengan bantuan Pastor Paroki, Josef mengerti bahwa pater itu tidak membawa bantuan dan memang maksudnya tidak untuk memberikan bantuan. Sebaliknya, pater itu sedang meneliti hutan Papua terkait dengan perubahan iklim. Meski dengan wajah sedikit mengiba, Josef meninggalkan halaman sekolah dan tampaknya kembali ke Yaba.
Aku sangat mengerti: Josef tua itu kecewa. Mungkin juga ia merasa tertipu. Ia telah memberikan sesuatu tapi ia tidak mendapatkan balasannya. Ia melangkah di belantara pagi Waghete yang dingin, tanpa uang yang sempat diimpikan, dengan perasaan kecewa yang pahit...
Kepadanya, pagi itu kukatakan bahwa aku akan mencetak foto-foto itu dan mengirimkan untuknya. Sebuah janji yang berhasil kutepati. Kuharap fotonya di depan patung Weyakebo Mote yang sedang menerima Injil dari Mgr. Tillemans sedikit mengurai kepahitan hatinya.
Temanku dari Filipina, Rowena Soriaga, mengungkapkan rasa penasaran kepadaku.
“Kamu, tahu darimana mereka memperoleh semen dan keramik untuk membuat patung yang sangat besar itu?”
“Aku tidak tahu. Tapi, jangan khawatir, aku akan bertanya.”
Patung itu memang sangat megah jika dikontraskan dengan rumah-rumah di sekitarnya. Bahkan jika dibandingkan dengan gereja Yaba sekalipun. Tidak rumah di kampung Yaba yang dibangun dengan semen. Apalagi berkeramik. Kusampaikan pertanyaan itu pada Josef Mote, lelaki tua yang tidak bisa kutebak umurnya, tetapi rambut dan jenggotnya yang sangat tebal telah disusupi uban.
“Proposal,” begitu jawaban singkat Josef yang segera melanjutkan, “saya kirim proposal ke pemerintah. Saya beli semen. Saya beli itu semua.”
Bangga sekali Josef memamerkan patung ayahnya. Akh, sebenarnya ia bangga pada ayahnya sebagai orang yang menerima pertama kali Injil dari Mgr. Tillemans. Tentu saja, ayahnya adalah orang yang paling terpandang di kampung itu. Sangat mungkin Weyakebo Mote adalah tonowi marga Mote dan klan-klan di sekitarnya.
“Ini, sa punya bapa,” kata Josef, “ini Monsinyur Tillemans. Sedang kasih Injil sa pu bapa.”
Ketika sesi pengambilan foto dimulai, pada ketika matahari hampir ditelan malam, Josef meminta berfoto bersama Pedro, kemudian bersamaku, dan setelah itu ia mendorongku menjauh. Ia ingin diabadikan sendiri di kaki patung ayahnya. Setelah itu, seluruh penduduk yang sejak kami datang berkerumun mengambil pose masing-masing.
Proposal adalah alat untuk mendatangkan uang. Aneka hal diproposalkan. Kepada siapa proposal itu diajukan? Kebanyakan kepada orang-orang yang berjabatan agak tinggi di kalangan pemerintah daerah. Kadang-kadang agak lucu. Anak mau sekolah, orang tua menulis proposal. Keluarga ada yang sakit, anggota keluarga menulis proposal. Ketika mau membuat rumah, seorang ayah menulis proposal. Bahkan, seorang mahasiswa ketika kembali ke kampung untuk berlibur masih menyempatkan diri untuk menulis proposal agar mendapatkan uang saku dari pemerintah daerah.
Suatu siang, kamarku tiba-tiba diketuk. Di luar telah berdiri seorang lelaki berbadan kecil dan pendek. Wajahnya familiar: orang tua dari salah satu muridku.
“Bapa, selamat sian (bunyi diftong memang tidak ada). Saya ada perlu sedikit dengan Bapa,” kata sang tamu.
“Perlu apa ka? Bapa bisa bicara langsung saya sedang ada sibuk juga jadi,” kataku.
“Begini Bapa. Sa pu anak sa dengar mau maju olimpiade ka apa ka itu namanya..”
“Johny ka Bapa. Benar Bapa. Dia minggu depan maju olimpiade. Baru ada apa Bapa?”
“Saya mau minta surat keterangan bisa ka Bapa?”
“Untuk apa?”
“Begini. Saya kan tidak mampu, tidak ada biaya. Jadi saya mau minta sama dia pu bapa tua biaya. Begitu Bapa,” lelaki itu memandangku. Mungkin ia menanti reaksiku.
“Siapa dia pu bapa tua ka?”
“Sekda Kayame. Itu dia pu bapa tua.”
“Bapa, mau olimpiade itu tidak perlu biaya. Semua sudah diurus sekolah. Jadi tidak ada surat keterangan lagi. Begitu Bapa.”
“Ahhh.. tapi dia pu bapa tua harus tahu. Dia pu anak maju olimpiade.”
“Ooo iyo sudah bapa kasih tahu saja to dia pu bapa tua.”
Aku tahu Bapa Johny pasti kecewa. Harapannya untuk mendapatkan surat keterangan yang dilampirkan pada proposalnya tidak terwujud.
Menulis proposal untuk mendapatkan dana adalah paradigma setelah uang melimpah di Papua tetapi akses secara ekonomi sangat sempit. Mereka belum berdaya untuk mendapatkan uang dengan ‘brainware of economy” karena memang kecakapan untuk bertindak sebagai homo economicus belum terbangun. Entahlah bagaimana awal mula lahirnya tradisi menulis proposal... yang pasti sekarang ini begitulah salah satu cara untuk mendapat cipratan uang Otsus yang melimpah ruah.

*) Staf Peneliti pada Lembaga Pendidikan Papua 

 Bersambung...
BACA TRUZZ...- Waghete: Perjalanan Panjang ke Masa Depan (Bagian 3)

Waghete: Perjalanan Panjang ke Masa Depan (Bagian 2)

Juli 2009: dari serpihan ingatan akan kampung-kampung di tepian Danau Tigi

Oleh Johanes Supriyono*) 


Lelaki itu mengangguk. Mungkin maksud kata-kataku kurang jelas ia pahami. Maklum saja, hubungan masyarakat Mee dengan hutan sudah terjadi alami dan menjadi cara hidup dari generasi ke generasi. Maka aneh bahwa ada orang asing bertanya tentang hal itu. Bagi orang Mee, hubungan itu sudah sangat jelas, sangat sehari-hari, sampai tidak ada lagi orang yang mempertanyakan. Adakah gunanya bertanya: apakah seorang Paus, uskup Roma, seorang Katolik?
Mungkin sebenarnya lelaki tadi heran: untuk apa bertanya tentang perkara yang sudah sangat jelas? Mengapa Pater ini tidak bertanya tentang dampak positif UU no 21 tahun 2001 bagi masyarakat Waghete? Apakah angka kematian ibu dan bayi menurun? Apakah jumlah anak-anak yang ke sekolah lebih banyak? Apakah di kampung sekarang ada pusat kegiatan belajar masyarakat? Apakah jumlah guru bertambah?
Mengapa Pater berjambang putih lebat itu bertanya tentang hal yang kalah menarik dibandingkan dengan kucuran dana otonomi atau dengan korupsi di Papua? Rupanya lelaki muda yang pernah bersekolah di Semarang itu merasa pertanyaan si pater tidak menarik. Ia tidak menyinggung sedikitpun soal itu. Ia malah keasyikan menceritakan sekolahnya dan mengenang teman-temannya dari pegunungan yang menempuh pendidikan di Jawa.
Pater itu asyik bertanya kepada seorang ibu yang susah berbahasa Indonesia. Si perempuan Filipina itu terus-terusan mengambil gambar dengan kamera digitalnya. Latar belakangnya adalah gundukan-gundukan kebun nota (ubi rambat) yang hijau segar dan anak-anak kecil yang sedang “menyaksikan makhluk asing”. Jauh di belakang adalah Danau Tigi yang airnya berkilau-kilau dengan rumah-rumah sederhana di tepiannya. Dan pepohonan indah yang melambai-lambai.
Namun, tampaknya lelaki itu tidak akan heran pada Pater karena tidak bertanya tentang Inpres no. 5 tahun 2007 tentang percepatan pembangunan daerah tertinggal dari Susilo Bambang Yudoyono. Alasannya sederhana saja: informasi tentang instruksi yang sangat penting itu tidak sampai ke kampung mereka.
Waghete belum dialiri listrik kendati sedang disiapkan menjadi kabupaten sendiri. Dengan sendirinya, media elektronik belum merambah wilayah ini secara masif. Mungkin ada beberapa keluarga yang mampu mengupayakan solar sel swadaya dan membeli perangkat televisi dari kota. Mungkin juga ada radio. Semua serba menerka karena di kampung Yaba atau Damabagata maupun Enagotadi tidak tampak antena parabola menjulang di atas atap rumah-rumah mereka yang renta.
Mungkin satu-satunya sudut Waghete yang sudah pernah mengenyam nikmatnya menerima sajian informasi dan mengirimkan secara cepat lewat internet hanya Pastoran St. Yohanes Pemandi Waghete. Sayang, karena perangkatnya rusak dan biayanya mahal sekali, kini fasilitas itu tidak lagi dapat dinikmati.
Informasi mengalir bersama dengan listrik. Tanpa listrik, informasi bergerak menjangkau seperti siput. Sangat pelan. Media yang mengantar informasi menjadi sangat terbatas, untuk tidak mengatakan tidak ada samasekali.
Media cetak tidak beredar di Waghete, kecuali yang sudah basi untuk Pastoran Waghete. Koran-koran diambil di Nabire setelah beberapa bulan disimpan di gudang. Entahlah, apakah informasi yang disajikan masih relevan pada hari mereka membacanya. Ketika membaca koran-koran itu, mereka merasa seakan-akan sedang mendapatkan kabar dari negeri yang jauh, negeri antah-berantah. Ada perasaan teralienasi dari jagat dunia ini. Ketika orang bisa bertemu secara maya, tanpa kehadiran wajah, bisa bekerja sama tanpa harus saling menyentuh, di Waghete dunia terasa sangat sepi dan kecil. Di belahan lain, dunia terasa sesak dan cepat sekali bergerak, hari berlalu sangat kilat, berpindah dari satu topik ke topik baru, di Waghete musim berlaku sepanjang tahun, dan waktu seakan tidak beranjak.
Sama sekali aku tidak sedang mengisahkan bahwa Waghete tidak bergerak.
Sentuhan kampung Waghete dengan dunia luar sangat minimal, sangat lambat, sangat tidak interaktif. Perlu waktu yang panjang untuk merasakan aksi dari luar, dan perlu waktu yang lebih lama lagi untuk membangkitkan reaksi. Jalan trans-Papua yang masih berupa tanah berlumpur pada musim hujan itu sudah sangat berjasa meski perjalanan dari pusat kota di Pesisir Utara bisa memakan waktu yang panjang.
Ketika wabah kolera merenggut puluhan nyawa di sekitar Moanemani tidak lekas sampai ke belahan dunia lain—anehnya, menurut rumor yang beredar, wartawan Australia malah mengetahui lebih dulu dibanding wartawan Indonesia di luar Papua—tidak terlalu mengherankan. Mungkin kalau pun informasi itu sudah sampai di Jakarta, ia tidak bisa lekas menjangkau ibu menteri atau bapak presiden. Arus informasi sangatlah sendat. Apalagi arus obat dan tenaga medis untuk menyelamatkan yang masih bertahan.
Sendatnya arus informasi, sendatnya arus ilmu pengetahuan, berarti sendatnya arus peradaban. Tidak lagi disangkal, peradaban kontemporer sangat bertalian dengan informasi dan perkembangan pengetahuan. Lihatlah berapa banyak kosakata baru yang berkembang bersamaan dengan temuan-temuan teknologi mutakhir! Maklum saja, Waghete terperangkap dalam skema pembangunan yang tidak partisipatoris, tidak menggerakkan penduduknya terlibat dalam dunia yang luas.
Hari itu, si pemuda yang asyik memerhatikan pater bule itu tidak akan pernah bertanya tentang inpres no.5 tahun 2007 dari sang presiden. Untuk mereka, inpres itu tidak pernah ada. Jangan-jangan eksistensi presiden pun sekadar nama dengan impak historis dan eksistensial yang mendekati nol. Secara sinis, orang boleh saja berpendapat ada atau tidak ada presiden Waghete adalah Waghete dengan danau Tigi yang cantik dan berkilau-kilau.
Rumah-rumah sederhana para penduduk sangat menarik untuk diperhatikan. Rumah-rumah mereka jarang yang berdekatan. Tidak satu rumah pun yang berbagi dinding dengan rumah yang lain. Tidak juga ada rumah yang berbagi atap dengan rumah sebelahnya. Hampir tiap-tiap rumah dikelilingi pagar dari kayu hutan yang dipancang membujur dan sangat rapat. Kayu-kayu itu dijalin dengan ikatan rotan yang sangat kuat. Babi yang besar sekalipun tidak akan menembus pagar itu.
Ternyata bukan hanya rumah, kebun merekapun sebagian berpagar. Tanaman-tanaman di selingkungan pagar itu terlindung dari jamahan mahkluk luar, selain yang empunya. Bahan dan model pagarnya sama dengan pagar yang melindungi rumah.
Kebun-kebun mereka pun sangat mencolok, bukan pertama-tama karena tanaman. Yang menandai adalah pagar kayu utuh disusun tegak dan sangat rapat. Batang-batang kayu sebagian telah menghitam karena usia, dan ujung-ujungnya yang menjolok langit biru telah ditumbuhi rerumputan. Tapi batang-batang yang semakin umur, tampaknya malah semakin kokoh.
Menurutku, kehadiran pagar dan rumah-rumah yang berdiri sendiri-sendiri itu mempertegas konsep kepemilikan dan konsep diri masyarakat Waghete. Batas tanah tidak pernah samar. Malah sangat jelas. Batas privasi atau wilayah privat masyarakat Mee di Waghete sangat terlihat berkat kehadiran pagar-pagar yang kokoh.
Pagar kayu itu masih diperkokoh dengan praktik sehari-hari yang hingga kini masih berlaku. Atau, mungkin saya keliru mengatakannya, praktik sehari-hari membutuhkan infrastruktur perlindungan hak milik, yaitu pagar. Dalam kehidupan bersama, masyarakat saling menenggang. Mereka tidak akan masuk ke wilayah orang lain tanpa izin. Tidak akan mereka melanggar sekadar melompati pagar tetangganya. Lebih-lebih, tidak akan mereka mengambil harta kebun orang lain. Bahkan, aku ingat sekali bagaimana—bersama pater bule dan warga setempat—ditegur serius, bahkan dengan anak panah siap terluncur, gara-gara kami mendekati kebun nota.
Agaknya, itulah sebabnya tanah-tanah klan atau marga besar benar-benar masuk ke dalam ingatan kolektif. Salah satu alasannya adalah konsep kepemilikan yang sangat kuat bertalian dengan diri. Barangkali kalimat tadi tidak cukup jelas. Maksudku, masyarakat suku Mee mendekatkan ‘milik’ dengan ‘diri’. Kalau dalam bahasa Inggris ada “I have” dan “I am” atau “to have” dan “to be”, masyakarat Mee tidak mau kehilangan miliknya karena itu berarti kehilangan dirinya. Secara lugas ingin kutafsirkan—semoga tafsir ini benar—merebut milik berarti merebut diri atau menginjak milik (misalnya tanah) berarti menginjak diri. Nanti, ketika berbicara tentang tanah dan konflik, tafsir ini bisa lebih jelas.

*) Staf Peneliti pada Lembaga Pendidikan Papua 

Bersambung .... 
BACA TRUZZ...- Waghete: Perjalanan Panjang ke Masa Depan (Bagian 2)

Waghete: Perjalanan Panjang ke Masa Depan (Bagian 1)

Senin, Juli 26, 2010

Juli 2009: dari serpihan ingatan akan kampung-kampung di tepian Danau Tigi

Oleh: Johanes Supriyono*)
Waghete, calon ibukota Kabupaten Deiyai, terletak di tepi Danau Tigi, satu dari antara tiga danau besar di Pegunungan Tengah di Provinsi Papua. Meski calon ibu kota kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Paniai, Waghete belum menampakkan kemiripan dengan kota pada umumnya. Fasilitas-fasilitas publik seperti listrik dan telepon belum ada. Jalan utama pun belum beraspal. Manakala hujan turun, jalan menjadi berlumpur dan susah ditempuh.
Atas inisiatif sendiri, beberapa penduduk memasang panel surya untuk suplai listrik rumah tangga mereka.  Jaringan pipa air bersih telah berhasil dipasang oleh sebuah LSM asing dan mampu melayani penduduk  yang menghuni kawasan sepanjang jalan utama. Sementara untuk bisa berkomunikasi dengan kota lain via telepon selular, mereka mesti ke Enarotali. Untuk itu, mereka membayar ongkos taksi Rp50.000,00 sekali jalan. Bisa jadi, biaya transportasi lebih mahal daripada biaya menelepon. 
Jalan yang belum diaspal, pada saat kemarau dengan angin pegunungan yang kencang menebar debu. Penduduk mengalami infeksi saluran pernafasan bagian atas (ISPA). Beberapa sakit mata.
Pelayanan medis belum maksimal diberikan di Waghete. Meski telah ada dokter (satu orang saja!), kerap pasien dilarikan ke Enarotali—dengan melewati jalan yang tidak mulus. Jika keluarga cukup beruntung mereka dapat menerbangkan pasien langsung ke Nabire dari Enarotali. Biaya terbang dari Enarotali ke Nabire sekitar Rp500.000,00. Jika pasien tidak bisa ditangani di Enarotali, biasanya dirujuk ke Nabire. Meski demikian, ini tidak berarti pelayanan kesehatan di Nabire sudah sangat baik.
Di Waghete saya bertemu dengan Pak Sam Posumah, guru SD yang telah menetap lebih dari 20 tahun.  Pak Sam sudah fasih berbahasa Mee. Hari itu, ia datang ke Stasi Kigou membawa obat cacing dan salep kulit untuk anak-anak. Menurut Pak Sam, banyak anak usia sekolah menderita cacingan. Kulit mereka pun bersisik. Ada juga yang korengan. Orang-orang tua pun ada yang meminta salep kulit.
Pak Sam bukanlah dokter atau tenaga medis yang bertugas di Waghete. Ia adalah guru SD dan pewarta di Gereja Santo Yohanes Pemandi Waghete. Sebagai pemuka jemaat, ia menerima tugas tambahan dari Pastor Paroki untuk menyalurkan bantuan-bantuan kesehatan. Secara rutin ia berkeliling dengan motor Honda Win merahnya.
Tentu saja, penyakit kulit dan cacingan tidak tuntas teratasi. Hanya saja, sekurangnya anak-anak di Kigou dan Yaba—yang hari itu kami kunjungi—mendapatkan obat untuk kulit dan perut. Seperti setetes air ketika kehausan mendera. Anak-anak itu begitu bersukacita. Wajah mereka berbinar-binar. Lantas, mereka berlarian dengan sorak gembira dan mengundang sahabat-sahabat yang lain untuk mengambil obat pada Pak Sam.
Tidak lama kemudian, perempuan-perempuan pun meninggalkan kebun ubi mereka di sekitar Danau Tigi. Mereka berlari menuju sumber suara. Yang belum mendapat obat langsung meminta pada Pak Sam Posumah.
“Kamu sudah saya beri kan?” Tanya Pak Sam dalam bahasa Mee.
“Belum. Mereka yang lain sudah tapi saya belum. Jadi saya minta,” jawab perempuan itu. Ia pun lalu bergabung dengan banyak orang yang lain sambil mengamat-amati dua orang ‘asing’ berkulit putih.
Entah sejak kapan, orang kulit putih mereka pandang sebagai pembawa bantuan. Di belakang Pak Sam mendengar mereka berbisik-bisik ingin tahu bantuan apa yang dibawa oleh Pedro dan Rowena. Segera Pak Sam menukas, “Mama, Bapa, anak-anak. Kami hanya bawa obat cacing dan salep kulit yang sudah saya bagi. Masih ada dua kotak lagi tapi akan saya bagikan ke kampung yang lain. Yaba dan besok Damabagata. Kami tidak membawa uang. Jadi mama-mama tidak perlu ribut bicara soal bantuan. Tidak ada. Mereka ini pater. Bukan LSM.”
Penduduk pun mengerti tapi sekaligus tidak lagi antusias dengan kunjungan orang ‘asing’ ini. Lalu Pak Agus Pekei mencoba member penjelasan lebih lengkap, “Pater ini sedang mengamati keadaan lingkungan kita. Apakah sudah terlalu rusak. Ya, pater ingin mengetahui bagaimana cara kita merusak lingkungan dan apa yang bakal terjadi pada tahun-tahun mendatang. Mungkin cara kita membuat kebun atau cara kita mendapatkan kayu. Jadi bantuan pater berwujud lain. Bukan uang. Saya harapa bapa dan mama mengerti.”
Wajah penduduk kurang gembira. Berbeda dengan anak-anak, mereka sangat gembira. Hati mereka dipenuhi oleh pengalaman yang baru: berjumpa dengan orang asing dan disapa oleh mereka. Anak-anak belia itu menyertai kemanapun Pedro dan Rowena pergi sambil memamerkan salep kulit dan obat cacing kepada teman-temannya yang tidak mendapat.
Kemudian, Pak Agus mencarikan seorang yang mau menjadi narasumber tentang teknik pertanian penduduk. Seorang perempuan yang menanam ubi rambat di pinggiran Danau Tigi yang subur, mengajak kami ke kebunnya.
ia menyilakan kami untuk melihat petak tanaman yang tidak luas. Ia sendirian bekerja, mulai dari menyiapkan lahan dan menanaminya. Biasanya, setelah menanam, mereka tidak lagi merawat tanaman sampai nanti panen. Perempuan itu juga menanam di tempat lain dengan tanaman yang sama.
Sayang, perempuan itu tidak mau mengatakan kepada ‘orang asing’ siapa namanya. Kata Pak Agus, ia takut terjadi apa-apa dengan dirinya atau keluarganya kalau sampai mengatakan siapa namanya. Pedro merasa tidak mendapat cukup informasi karena perempuan ini bukan orang yang tepat untuk dijadikan narasumber. Setelah berbasa-basi dengan mengucapkan terima kasih, kami berlalu dengan harapan dapat menemukan narasumber yang tepat.
Kami berpindah ke petak yang lain. Mata kami tertatap pada lahan nota di bidang yang miring, punggung bukit. Spontan kami putuskan untuk menuju tempat itu. Begitu mendekat ke bedeng nota itu, si pemilik kebun marah. Entah apa arti teriakan mereka itu karena semua dalam bahasa Mee. Wajah mereka tegang. Malah, ada juga yang meregangkan tali panah. Apa yang menyebabkan mereka marah, kami hanya tahu sedikit saja.
Mereka mengusir kami. Selekas mungkin kami tinggalkan tempat itu. Kemarahan itu merambat ke penduduk yang lain setelah mendengar kata-kata dari si pemilik kebun. Untunglah ada Pak Agus Pekei dan pak tonowi setempat yang masih bisa diajak bicara oleh Pak Agus. Kami pergi menjauh sambil di belakang kami ada orang-orang yang meregangkan busur. Bukan hanya laki-laki, perempuan-perempuan pun melengkingkan suaranya untuk menghalau orang-orang asing ini.
Setelah agak jauh, saya meminta penjelasan dari Pak Agus. Kurang lebih penjelasan Pak Agus seperti ini. Si pemilik kebun tidak suka ada orang asing—apalagi dari Eropa—menginjak tanahnya. Semua orang asing perlu dicurigai. Intruder tidak pernah diharapkan oleh orang Waghete. Lebih lagi, penduduk takut kalau orang asing punya maksud tersembunyi. Orang asing bisa-bisa mengundang malapetaka.
Barulah, setelah Pak Agus menjelaskan bahwa yang datang adalah seorang Pater, mereka agak reda. Seorang laki-laki, berperawakan kecil dan agak kurus, mendekati kami dan, dari wajah ramahnya, kami mengerti bahwa ia menerima kami. Ia bertanya dari mana pater datang dan apa maksud ia datang ke Waghete. Dengan senang hati ia berkisah, ia sedang belajar di Jawa.
Dari nada suaranya, aku menangkap ada rasa bangga di balik kata ‘Jawa’. Ia merasa sedikit berbeda dari ‘orang kebanyakan’. Entahlah bagaimana Jawa seakan-akan dibayangkan sebagai titik peradaban yang penting, yang lebih berbobot dikonstruksi. Banyak orang tua menginginkan suatu hari untuk bisa mengirim anak-anaknya belajar di Jawa.
“Pater ini datang dari Filipina dengan temannya, perempuan ini,” kataku sambil menunjuk pada Rowena, “Pater ini sedang ingin melihat-lihat keadaan hutan di Papua, terutama ia ingin mengerti bagaimana hubungan masyarakat dengan hutan.”

*) Staf Peneliti pada Lembaga Pendidikan Papua (LPP) 
Bersambung... Waghete: Perjalanan Panjang ke Masa Depan (Bagian 2)
BACA TRUZZ...- Waghete: Perjalanan Panjang ke Masa Depan (Bagian 1)

FKMKP Gelar RUA: Ada Lima Gol untuk Mencapai Tujuan

Bersama Forum Komunikasi Mahasiswa Katolik Papua (FKMKP), kita membangun pemuda katolik Papua yang cerdas, kritis dan humanis berdasarkan iman katolik, demikian tema yang terpampang dalam Rapat Umum Anggota yang dilaksanakan di Wisma Imanuel Jalan Gejayan Yogyakarta.

Dalam RUA yang melibatkan pelajar dan mahasiswa katolik dari lima keuskupan se-tanah Papua di Yogyakarta berlangsung dengan dari pukul 8.00-20.16, Sabtu (24/07). Lima keuskupan se-Tanah Papua melingkupi; Keuskupan Agung Merauke, keuskupan Agats, keuskupan Timika, keuskupan Jayapura serta keuskupan Sorong-Manokwari.

Beberapa agenda yang dilaksanakan dalam RUA ini, di antaranya: penyusunan/pengeditan AD/ART, pemilihan Badan Pengurus Harian [BPH] serta pengukuhan BPH terpilih. Obeth Youw dan Timotius Turot sebagai pemimpin sidang I dan II, Agustinus Dogomo sebagai Notulen, Andreas Pati sebagai Moderator serta Gerald Bidana dan Damianus Tae sebagai Pengarah. Sekilas gambaran bahwa dalam agendanya, pukul 08.00-13.03 penyusunan/pengeditan Anggaran Dasar, 13.03-13.35 makan siang, 13.35-14.31 penyusunan/pengeditan Anggaran Rumah Tangga, dilanjutkan penyusunan kriteria bakal calon ketua, peluncuran logo, Garis-Garis Besar Haluan Kerja [GBHK], pemaparan visi-misi bakal calon serta pemilihan ketua, pengukuhan, hingga meninggalkan ruangan rapat pada pukul 20.16.

Dalam pemilihan ketua yang berlangsung, tiga anggota yang diusulkan dari tiga keuskupan, masing-masing Tomotius Turot dari keuskupan Sorong-Manokwari, Milda Kossay dari keuskupan Jayapura serta Agustinus Dogomo dari keuskupan Timika. Tata cara pemilihan yang dilakukan secara voting ini, Agustinus Dogomo berhasil memperoleh suara terbanyak dari kedua bakal calon lainnya dan menjadi ketua pada periode 2010/2011, diikuti Milda Kossay menjadi wakil serta Timotius Turot menjabat sebagai sekretaris. 


Belum pernah saya bayangkan, saya akan terpilih menjadi ketua, namun kita akan melakukan hal-hal yang kecil dan di tempat inilah kita akan memulainya, demikian ungkap Agus kepada media ini, usai RUA ditutup. Saya tidak mampu mengangkat batu besar untuk memindahkannya sendiri, namun saya butuh bantuan orang lain untuk memindahkan batu besar itu, lanjut mahasiswa semerter III di STPMD/APMD Yogyakarta ini, mengulangi kata-kata yang juga sempat di ucapkannya saat pemaparan visi-misi. Sedangkan Milda Kossay dan Timotius Turot terlihat menerima dengan kenyataan yang terjadi, hal ini sangat terlihat dari senyuman polos dari wajah meraka seusai perhitungan suara dilaksanakan, senyum tersebut menandakan siap melaksanakan tanggung jawab yang diberikan sekaligus mendukung segala rencana kerja yang akan dilakukan ketua terpilih dalam satu kesatuan FKMKP.

Pada penghujung acara, dalam agenda pengukuhan sekaligus renungan singkat yang dibawakan oleh Pater Yanuarius Youw, Pr. Disaat homili mengatakan dalam mencapai tujuan yang diinginkan ada lima gol yang harus dilakukan yaitu antara lain: gol dalam iman, gol dalam membangun komitmen dengan orang tua yang menjadi sponsor utama dalam studi kita, solider atau ikut prihatin terhadap situasi orang lain, kerja sama salam satu kekeluargaan serta membangun persatuan dengan organisasi keagamaan lain yang ada. Jangan pernah bertanya apa yang akan orang lain lakukan kepada saya, tapi bertanya bahwa apa yang akan saya lakukan untuk orang lain, lanjut Pastor yang baru saja menyelesaikan ujian skripsinya pada Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini.

RUA yang menguras tenaga, pikiran serta waktu tersebut berjalan secara harmonis dalam rasa kekelurgaan yang sangat erat. Rasa kekeluargaan yang tercipta saat RUA ini dilangsungkan menjadi modal awal dalam mendukung segala program yang akan dilaksanakan FKMKP ke depan. Sesuai pantauan media ini, tim kerj/badan formatur, mengatakan Empat tahun kerja komunitas menjadi vakum, sehingga diharapkan ke depan persatuan dan kerja sama yang tercipta saat ini dijaga dan saling mendukung antara satu dengan lain karena segalanya kita mulai dari awal. Semangat membangun bersama, spirit itulah akan menciptakan sesuatu yang besar kata Obeth You dan Andreas Pati.

Gerald Bidana seorang senior yang juga bertindak sebagai pengarah saat RUA berlangsung mengatakan jangan pernah takut melakukan kesalahan dalam melaksanakan sesuatu, karena dari kesalahan itulah kita akan mendapatkan pengalaman yang berharga yang sulit didapatkan oleh semua orang. Proviciat buat kawan-kawan yang terpilih dan siap memikul tanggung jawab yang diberikan, lanjutnya memberikan motivasi. [Egeidaby]
BACA TRUZZ...- FKMKP Gelar RUA: Ada Lima Gol untuk Mencapai Tujuan

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut