Otsus Hanya Bermanfaat Bagi Koruptor Lokal

Sabtu, November 15, 2008

Pemerintah Indonesia mesti mengevaluasi total penerapan Otonomi Khusus (Otsus) Papua karena terkesan tidak bermanfaat apapun, kecuali munculnya kawanan koruptor lokal dan konflik horisontal. Ketua Umum Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak-hak Azasi Indonesia (PBHI), Syamsuddin Radjab mengatakan, yang merupakan salah satu kesimpulan sebuah diskusi publik tentang masa depan Papua pasca 'International Parliamentarians for West Papua (IPWP), Selasa (11/11) lalu.

"Kesimpulan lainnya dari diskusi publik itu, ialah, IPWP hendaknya direspons secara positif sebagai bagian dari ketidakadilan Pemerintah Indonesia terhadap komunitas Papua yang selama ini hanya sebagai korban dan tempat eksploitasi dari pelaku pelanggar HAM serta sumberdaya alam (SDA)," tegasnya Kamis (13/11) kemarin.

Diskusi Publik tentang Masa Depan Papua Pasca 'International Parliamentarians for West Papua (IPWP) itu, menurutnya, menampilkan sejumlah pembicara seperti Dr J Kristiadi (CSIS), Andreas Harsono (wartawan), Dr Muridan (LIPI), Ida (DPR RI), Doli Kurnia (DPP KNPI) dan Ketua PBHI sendiri.

"Poin ketiga yang disorot dan jadi kesimpulan umum diskusi publik itu, menyangkut penyelesaian total dan adil atas pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, demi kebenaran dan keadilan bagi korban HAM," katanya.

Kembali ke soal penerapan otonomi khusus (Otsus), ia mengungkapkan, setelah berlangsung selang delapan tahun dengan menghabiskan anggaran sekitar Rp26 Triliun, sepertinya tak banyak manfaat secara signifikan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.

"Yang terjadi malahan munculnya kawanan koruptor lokal itu tadi, dan terus memicu konflik horisontal," ungkap Syamsuddin Radjab yang menambahkan, sangat mendesak penerapan Otsus Papua itu dievaluasi total.(ant)
--------------------------------------
Sumber: http://papuapos.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2579&Itemid=1
BACA TRUZZ...- Otsus Hanya Bermanfaat Bagi Koruptor Lokal

Zacharias Petege, 38 Tahun Berjuang Membangun Manusia di Pedalaman Nabire

Jumat, November 14, 2008

Oleh: Yermias Degei*)

RAMBUT HITAM telah hilang dimakan usia. Sedikit rambut putih yang tersisa di kepalanya menandakan lelaki ini telah tua. Senyum tulusnya menggambarkan cinta dan kecintaannya pada manusia dan kemanusiaan (pendidikan). Langkah kakinya berayun begitu cepat. Dia berjalan sendirian. Tidak ada seorangpun bersamanya. Dia pergi ke sebelah gunung. Bapak Kandep Petegeibo! Begitulah masyarakat pedalaman kabupaten Nabire dan Paniai mengenalnya. Ialah Bapak Zacharias Petege (70 tahun).

”Saya bekerja dengan berjalan kaki. Bermalam 3 sampai 4 hari di perjalanan, itu sudah biasa. Hanya itulah yang bisa saya lakukan untuk membangun manusia dan kemanusiaan di pedalaman Papua selama 38 tahun,” kata Petegeibo kepada Selangkah. Bukan tantangan yang mudah bila Petegeibo mengabdikan dirinya di pedalaman Nabire provinsi Papua dalam berbagai jabatan (Guru SD, Kepala Sekolah, Pengawas TK/SD, Kepala Kantor Dinas Kecamatan dan Penilik PLS) selama 38 tahun di dunia pendidikan (pendidikan formal dan Pendidikan Luar Sekolah).

Bapak dari sembilan anak---dua telah meninggal dan tujuh orang masih hidup)---ini hingga kini masih bersemangat untuk membangun dan mendidik anak-anak dan para orang tua di 38 kampung di pedalaman kabupaten Nabire. Memang bukan tanpa alasan, bila Kandep Petegeibo dijuluki sebagai tokoh dan praktisi pendidikan formal dan nonformal di 38 kampung (desa) di pedalaman Nabire selama puluhan tahun.

Suami dari Rosina Tebay ini, telah meniti perjalanan karir selama lebih dari 38 tahun. Ia telah menjalani profesinya di dunia pendidikan formal dan nonformal (PLS). Kini, ia tinggal di distrik Mapia (sebuah distrik yang jauh dari kota Nabire). Kabupaten Nabire terletak pada bagian pantai utara tanah Papua di kawasan Teluk Cenderawasih. Kabupaten Nabire memunyai 12 distrik/kecamatan, yaitu Yaur, Uwapa, Mapia, Sukikai, Nabire, Wanggar, Napan, Kamu, Ikrar dan Siriwo, Makimi dan Teluk Umar, serta 156 kampung (kelurahan/desa)---pemerintah daerah kabupaten Nabire melakukan beberapa pemekaran distrik dan kampung sehingga jumlah distrik dan kampung kemungkinan bertambah lagi. Sebagian distrik berada jauh dari ibu kota kabupaten Nabire. Beberapa distrik (ibu kota distrik) dapat dijangkau dengan jalan darat sejauh 160-an KM, namun kampung-kampung terpencil hanya dapat dijangkau dengan pesawat terbang.

Kabupaten Nabire hanyalah satu dari 29 kabupaten dan kota (belum termasuk 5 kabupaten baru yang disahkan DPR RI pada 6 Desember 2007) yang ada di tanah Papua. Luas wilayah kabupaten Nabire mencapai 29.678 km2 dan berdasarkan data tahun 2005, tercatat jumlah penduduk di Kabupaten Nabire sebanyak 160. 882 jiwa. Penduduknya, banyak yang bertani kopi arabika, beternak babi, ayam, dan lainnya. Dari kedekatannya dengan masyarakat Kabupaten Nabire, Petegeibo melihat semburat tekad dan semangat belajar yang cukup kuat. Inilah yang juga mendorong Petegeibo berjibaku dalam pengabdiannya sebagai penilik di pedalaman Nabire. Wilayah pedalaman (daerah ia lahir dan menjadi besar) ini juga yang membentuk Zacharias menjadi pengabdi di jalur pendidikan nonformal (PLS).

”Saya Mau ke Sekolah Guru”

Bapak Zacharias Petege dilahirkan di kampung halamannya, Timepa distrik Mapia kabupaten Nabire pada tahun 1938. ”Saya tidak tahu tanggal dan tahun kelahiran yang pasti, karena orang tua saya tidak mengenal tanggalan. Saya masuk sekolah dasar (SD) kira-kira umur 6-7 tahun. Tanggal lahir di ijazah, dimasukan kira-kira saja. Jadi pada tahun 2008 ini saya sudah berumur 70 tahun,” kata Zacharias kepada Selangkah di sela-sela pelatihan keaksaraan fungsional dan PAUD untuk 80-an tutor gabungan (tutor pemberantasan buta huruf dan PAUD) di 6 distrik di daerah pedalaman kabupaten Nabire pada 18 Desember 2007 di Bomomani, Mapia.

Dia masuk SD (waktu itu SD hanya kelas II) di Mapia pada tahun 1956. ”Pada tahun 1956, Pater Smith, OFM membawa kami 16 orang ke Kokenau. Kami diantar oleh orang tua kami bersama pater Smith. Kami berjalan kaki selama 10 hari menuju ke Kokenau (pantai selatan Papua). Pada awalnya, kami ada 18 orang, tetapi dua orang telah melewati umur sekolah sehingga mereka tinggal di kampung,” kata Petegeibo berkisah.

Katanya, proses seleksi pada saat itu adalah dirinya bersama teman-temannya disuruh berdiri dan yang tinggi tidak lulus. ”Pada waktu itu, saya juga termasuk salah satunya yang tinggi. Namun, ketika pater mengukur badan saya, tiba-tiba badan saya manjadi pendek akhirnya saya boleh berangkat bersama teman-teman lain. Memang aneh tetapi itulah yang terjadi pada saat itu.”

Pada tahun 1957, dirinya dan teman-temannya (16 orang) masuk di asrama dan masuk kelas satu (bagi yang tahu membaca dan menulis) di SD Yayasan Pendidikan Persekolahan Katolik (YPP) Kokenau. ”Ketika kami sampai di Kokenau kami seperti orang mono (tidak bisa bahasa Belanda dan tidak bidak bisa bahasa Kokenau). Kami baru bisa berbahasa Balanda (bahasa pengantar waktu itu) secara aktif ketika kelas IV SD,” katanya.

Mengenai kebutuhan hidup, dia bersama teman-teman tidak diberikan uang saku, tetapi pakaian dan alat tulis disediakan. ”Celana pendek, baju, dan celana tali masing-masing dua pasang dan tiap tiga hari ganti. Sebagai alat tulis, mereka disediakan batu tulis oleh para pastor dari asrama termasuk makanan dan minuman.

Bapak Zacharias menyelesaikan pendidikan SD pada tahun 1962. Setelah menyelesaikan pendidikan di SD YPPK Kokenau, Pater Smith, OFM menawarkan untuk pendidikan di negeri Belanda, namun dia menolak. Selanjutnya, pater menawarkan dirinya untuk belajar ke Australia di bidang Meteorologi dan Geofisika namun tawaran itupun ia tolak. Kemudian, pater menawarkan dirinya untuk belajar di Oksiba Jayapura (sekolah pemerintahan), namun tawaran ketiga pun ia tolak. ”Setelah saya menolak ketiga tawaran itu, pater bertanya, kau mau apa? Lalu saya menjawab, ’saya mau ke sekolah guru’. Saya menolak tiga tawaran itu karena keinginan saya sejak kecil adalah menjadi guru,” katanya.

Sesuai dengan keinginannya, pada tahun 1963 dirinya diberangkatkan ke Nabire untuk masuk di Sekolah Guru Bawahan (SGB) Nabire. Dia bersama 30 temannya tinggal di asrama. Pada saat itu, Zacharias ditunjuk sebagai ketua asrama. Pada tahun 1965 dia diberangkatkan ke Biak untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Guru Atas (SGA) di sana. ”Di sana kami tinggal di asrama dan saya ditunjuk lagi menjadi ketua asrama. Waktu itu saya memimpin 216 orang gabungan dari SGB dan SGA,” katanya.

Pada suatu hari di tahun 1965 Zacharias dan teman-temannya, dikagetkan dengan peristiwa penyerangan antara tentara Indonesia dan tentara OPM di Biak. ”Waktu itu kami pergi belajar ke hutan. Ketika kami berada di hutan, tiba-tiba ada bunyi tembakan dan kami lari menyembuyikan diri. Namun, ketahuan oleh tentara Indonesia dan kami dianggap tentara OPM dan mau dibunuh tetapi untung karena kebetulan saya kenal tentara Indonesia itu dan tidak sempat membunuh kami. Dia hanya pukul kami dan menasihati kami untuk pulang ke asrama,” tukas Zacharias membuka lembaran pengalamannya di Biak.

Pada tahun 1968, dia menyelesaikan pendidikannya di SGA Biak. Setelah selesai pendidikan dia ditugaskan di pedalaman, tepatnya di SD YPPK Diyoudimi. Di sana dia dipercayakan untuk memimpin sekolah tersebut (kepala sekolah). Belum sampai satu tahun mengabdi di sekolah itu, terjadi peristiwa Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA). Pada saat itu, semua sekolah di pedalaman diliburkan karena semua orang takut dengan TNI. “Waktu itu semua sekolah diliburkan tetapi sekolah saya tidak. Sekolah saya tetap buka dan banyak orang tua wali murid yang mengancam saya untuk sekolah diliburkan. Namun, saya bilang, apabila TNI datang membunuh, maka saya akan mati bersama anak-anak di sekolah. Saya bilang sama orang tua murid bahwa, kalau TNI datang saya lebih duluan akan menyerahkan diri untuk dibunuh,” paparnya menukik pengalaman menakutkan di masa lalu.

Tidak sia-sia memang, keberaniaannya untuk tetap menjalankan pendidikan dalam masa-masa tegang diapresiasi oleh keuskupan Jayapura dengan memberikan penghargaan. Sebagai salah satu bentuk penghargaan, keuskupan Jayapura menawarkan dirinya untuk melanjutkan pendidikan di Universitas Cenderawasih Jayapura pada jurusan pendidikan (ilmu pendidikan dan keguruan), namun Zacharias yang sering di sapa Kandep Petegeibo itu menolak tawaran tersebut. “Pendidikan saya sudah cukup. Saya mau mendidik. Nanti anak-anak saya yang akan kuliah di sana. Mereka kuliah di sana akan kembali menjadi guru di pedalaman menggantikan saya.

Pada tahun 1972, ketika ada kunjungan dari pengurus sekolah dasar (PSD) Timepa, dia memberikan laporan perkembangan sekolah. Ketika laporan yang dibuat Zacharias itu baik, maka pada tahun itu juga beliau dipindahkan ke SD YPPK Timepa. Ketika dia dipindahkan ke Timepa, Petegeibo menjabat beberapa jabatan sekaligus di sana, yaitu menjadi dewan paroki, kepala sekolah, guru kelas VI, pewarta (memimpin ibadah di gereja pengganti pastor), dan dia juga memberikan obat kepada masyarakat yang sakit (pengganti tenaga medis).

Bapak yang menikah pada tahun 1970 di Diyoudimi itu, terus bertahan di Timepa. Pada tahun 1979, ketika ada kunjungan dari Kakandebdikbud wilayah pedalaman, dia menyerahan laporan perkembangan pendidikan di sekolahnya secara khusus dan wilayahnya secara umum. Laporan tersebut menggugah hati Kakandebdikbud dan pada tahun 1985 dia diangkat menjadi penilik TK dan SD di kecamatan Mapia. Mapia (Bomomani) adalah salah satu kecamatan dari kabupaten Nabire yang terletak di pedalaman. Kampung atau desa-desa dari kecamatan itu terlatak jauh dari ibu kota distrik. Ada kampung yang harus menempuh perjalanan 2 atau tiga hari. Ada kampung yang hanya sehari saja dengan medan yang sungguh berat (mulai dari lumpur, naik turun gunung, batu kerikil dan lainnya).

Setelah dia diangkat menjadi penilik TK dan SD, dia pindah ke ibu kota kecamatan Mapia. Dia meninggalkan anak dan istri di Timepa (tempat tugas sebelumnya). Selama dia menjabat sebagai penilik TK dan SD (1985-1987) dia melakukan kunjungan kerja di seluruh SD yang berada di kecamatan Nabire. Dia berjalan kaki menempuh perjalanan kaki 2 sampai tiga hari dengan medan yang berat. Sebagai penilik, ia ingin melihat langsung perkembangan sekolah-sekolah yang berada di daerah terpencil sekaligus melakukan pertemuan dengan para guru di setiap sekolah yang ia kunjungi. Dia membicarakan banyak dengan para guru, mulai dari hakikat pendidikan, didaktik metodik, sampai pada hal-hal teknis pembuatan laporan, dan hal-hal lain yang menunjang pengembangan pendidikan di pedalaman dalam rangka pembangunan manusia pedalaman Papua.

Pada tahun 1987 dia diangkat menjadi Kakandebdikbud Agadide (Paniai bagian Timur). Setelah dia diangkat menjadi Kakandebdikbud, ia harus pergi ke tempat yang lebih jauh melewati beberapa distrik/kecataman dengan menempuh perjalanan kaki 3-4 hari. Dia menetap di Agadide tanpa anak istri (anak istri masih di kampung halamannnya, Timepa Mapia). Selanjutnya, setelah bertugas beberapa tahun di Agadide, dia dipindahkan ke distrik Kamuu (Moanemani) dengan jabatan yang sama untuk melayani dua distrik Kamuu dan Mapia.

Pada akhir 1999 dia diangkat menjadi penilik PLS (Penmas) untuk wilayah yang sama (Kamuu dan Mapia). Pada tahun 2003 beliau pensiun dari Penmas. Selanjutnya, pada tahun 2005 dia diangkat lagi menjadi pengawas TK/SD di wilayah Kamuu dan Mapia. Akhirnya, pada tahun 2007 bapak Zacharias pensiun dari jabatan pengawas TK/SD karena sudah mencapai batas usia pensiun.

Dari Kampung ke Kampung
Zacharias menceritakan, ketika ia bertugas di daerah Agadide dan menangani PLS, masyarakat memandang dirinya di atas segalanya. ”Ketika saya bertugas di Agadide, saya membentuk kelompok usaha usaha ternak, warung (kios). Kondisi ekonomi masyarakat lemah, maka saya bagikan uang masing-masing kelompok ada yang Rp2.00.000,00 dan ada juga yang Rp500.000,00. Usaha ini cukup berkembang cepat. Sebelum sampai 1 tahun ada yang sudah berkembang sampai Rp2.000.000,00. Berkembang sangat cepat dan pada saat itu masyarakat memandang saya lebih dari segalanya,” katanya membuka kembali kisah kesuksesannya.

”Pada waktu itu, di mata-mata jalan masyarakat menjaga jangan sampai saya pindah. Kalau saya pindah, mereka mau ikat saya. Mereka bilang, Bapak harus mati bersama kami dini, karena Bapak telah membangun kami di sini,” katanya menjelaskan reaksi masyarakat ketika ia bertugas di sana.

Wajar memang masyarakat menganggap dirinya, orang yang mampu membawa perubahan dan tidak rela pindah ke tempat lain. Selain kerena pembangunan PLS juga karena pembelaannya terhadap masyarakat atas tindakan kebrutalan TNI di daerah itu.

”Pada saat itu, daerah Agadide, Komopa dianggap sebagai daerah gawat OPM. Jadi, semua tanaman dan ternak dihabisi oleh TNI. Masyarakatnya dipukuli sampai babak belur. Suatu ketika saya pergi kepada Danramil dan saya marah-marah di sana. ’Kenapa Bapak punya anggota memukul masyarakat? Kenapa Bapak punya anggota menyita barang-barang milik rakyat? Padahal saya dan bapak ditugaskan di sini karena ada masyarakat’. Saya juga pernah menegur Kapolsek, karena dia diam saja atas tindakan militer itu,” ungkitnya.

Pembangunan PLS di daerah itu sungguh berhasil. Setelah kelompok-kelompok usaha itu berhasil, Zacharias membangun pasar rakyat. Masyarakat memasarkan ternak, sayuran, dan lainnya yang mereka kelola dalam kelompok yang telah dibentuknya. Pembangunan pasar itu seakan memutuskan mata rantai ketertinggalan ekonomi, sehingga dari hasil itu mereka dapat menyekolahkan anak-anak mereka ke luar daerah (ke Jayapura, Nabire, bahkan di Jawa). Akhirnya sebagai penghargaan kepada Zacharias Petege yang menjabat sebagai Kandep, pasar itu diberi nama ”Pasar Kandep”. Hingga saat ini, di daerah itu ada tujuh buah koperasi unit desa (KUD) besar.

Kembali ke distrik Mapia. Ketika kembali dan menjadi penilik PLS di kecamatan/distrik Mapia, Zacharias harus berkunjung ke lebih dari 20 tempat setiap bulannya. Di antaranya, 15 tempat penyelenggaraan Pendidikan Keaksaraan Fungsional (KF), 6 tempat Pendidikan Kesetaraan Paket A, B, dan C, 4 Taman Bacaan Masyarakat, dan 4 tempat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di distrik Mapia. Ia harus menempuh medan yang lumayan berat. Jarak antar kampung tak tangung-tanggung. Tak jarang Zacharias harus berjalan kaki selama 3 sampai 4 hari. Ia pun terpaksa menginap di rumah-rumah penduduk yang jalurnya ia lewati. Jika senja mulai turun, udara di sana menjadi lebih dingin. Suasana menjadi sangat gelap, karena kebanyakan penduduk di distrik Mapia, masih menggunakan lilin sebagai alat penerangannya. Jaringan listrik dan telepon memang belum menjangkau daerahnya. Sebuah kondisi yang luar biasa berat ini, dijalani dengan penuh semangat.

Motivasi yang ia tebarkan ke beberapa tempat kegiatan pendidikan nonformal di wilayahnya, telah membuahkan hasil. Sebanyak 1.581 orang lulusan dari pendidikan nonformal di pendidikan KF, paket A, B, dan C, juga kursus ketrampilan wanita telah mendapatkan ijazahnya. Terakhir, di distrik Mapia juga telah didirikan sebuah Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Kobouge pada tahun 2003 lalu.

Pendidikan Non Formal yang dikembangkannya adalah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Paket A (Setara SD), Paket B (Setara SMP), Paket C (Setara SMA), Buta Huruf dan Ketrampilan Wanita. Untuk tahun 2007, dari 190 peserta ujian setara SMP lulus 149 orang sedangkan dari 90 peserta ujian setara SMA lulus 72 orang.

Hingga kini, siswa didik buta huruf sebanyak 757 orang, setara SD 1286 orang, masih ditambah siswa didik untuk ketrampilan wanita yang meliputi ketrampilan jahit-menjahit, memasak, gizi, mengasuh anak. Agar proses belajar dapat berlangsung dengan baik, para siswa didik diasuh oleh 26 orang tutor untuk pendidikan kesetaraan dan 32 orang tutor untuk pendidikan buta huruf, sedangkan untuk Ketrampilan Wanita dipimpin oleh ibu Margareth Degei. Kesemua tutor diambil dari guru SD, SMP, dan SMA yang pada pagi hari mengajar di sekolah formal sementara sore hari mengajar di PKBM.

Selama 6 tahun menjadi tenaga penilik pendidikan masyarakat, hanya 3 tahun belakangan ia memperoleh honor. Honornya yang sejumlah Rp1juta, diperolehnya per 6 bulan. Walau sejak tahun 1993 ia tak mendapatkan kenaikan pangkat dan golongan, ia juga tetap banyak bersabar. Pria berpangkat IIIc ini tetap menjalani tugasnya dengan hatinya yang ikhlas. “Mungkin karena saya cuma tamatan SPG, yang setara SMA, maka kenaikan pangkat saya juga tak banyak dipedulikan,” ujarnya prihatin.

Bertemu Dirjen PMPTK
Pada akhir jabatannya sebagai pengawas, Petegeibo mengikuti pelatihan pengawas di Salatiga pada tahun 2007. Pada saat itu, dia menyempatkan diri menemui Bapak Dirjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, Fasli Jalal di ruang kerjanya Depertemen Pendidikan Nasional Jakarta. Pertemuannya dengan Fasli Jalal untuk menyampaikan segala program dan kegiatan yang telah dilakukkannya di kampung serta memperluas wawasan mengenai perkembangan dunia pendidikan saat ini. “Waktu itu, saya seperti akan bertemu dengan Tuhan” kata Petegibo kepada Selangkah berkisah. ”Saya katakan langsung kepada Bapak Dirjen, saya seperti akan bertemu dengan Tuhan.

Petegibo mulai membuka bundalan-bundalan catatan lusuh yang menyimpan segala data dan informasi atas hasil kerjanya di hadapan Bapak Dirjen PMPTK, Fasli Jalal. Bapak Fasli Jalal, Dirjen PMPTK mengatakan bahwa begitu hebatnya Bapak Zakharias hingga mampu mengelola sekolah dan PKBM di 38 kampung selama lebih dari 20 tahun. Seharusnya pemerintah mampu menemukan dan memberikan penghargaan pada orang-orang yang memiliki pengabdian dan pengorbanan seperti Bapak Zacharias sehingga dapat menjadi contoh bagi rekan tenaga kependidikan yang lainnya di pedalaman Papua.

Saya Kecewa...
Petegeibo mengatakan, dirinya kecewa dengan oknum guru dari pedalaman yang tidak mengerti tugasnya dan sering tinggalkan tugas. ”Saya kecewa dengan oknum guru dari pedalaman yang sering tidak memahami tugasnya sebagai guru yang harus mendampingi anak-anak pedalaman. Kadang-kadang mereka tinggalkan tugas (anak-anak) dan berbulan-bulan di kota. Mereka naik ke pedalaman ketika ujian atau ulangan. Mereka itu akan merugikan anak dan masa depan orang Papua. Jadi, itukan kita membunuh masa depan,” katanya kecewa.

Dia juga menyoroti bahwa kerap kali para guru membantu siswa pada ulangan atau justru ujian. Padahal, katanya, siswa harus dibantu dalam proses belajar. Siswa belajar itu bukan untuk nilai. ”Kalau kita tidak mendampingi anak-anak dalam proses belajar dan hanya membantu mereka pada ujian atau ulangan itu sama saja kita membunuh. Kalau kita tidak mengajar dengan baik, mereka pasti tidak pandai dan pada ujian mereka tidak lulus. Kalau tidak lulus ya biarkan mereka mengulang. Mereka tambah pengetahuan. Bukan harus diluluskan tanpa melihat kemampuan dia,” kata Petegeibo.

Dia juga menyoroti pembukaan sekolah-sekolah baru di pedalaman. “Membuka sekolah baru, baik SMA, SMP, dan SD itu baik. Sebab, sekolah itu tempat mendidik anak supaya menjadi manusia. Tetapi, kalau tidak diimbangi dengan tenaga guru, maka sekolah itu hanya gedung. Tidak ada orang yang mendampingi anak-anak kita. Lagi pula, guru-guru yang ada pun sering ke kota sampai berbulan-bulan tanpa urusan yang jelas. Kalau keadaannya begitu untuk apa kita membuka sekolah.

Dia mengatakan, membangun sumber daya manusia itu bukan sekedar membangun gedung sekolah. Katanya, gedung itu hanya sarana untuk membangun manusia. Kita dapat memanusiakan manusia melalui proses pendidikan dan pendanpingan yang benar, baik di keluarga maupun di sekolah. Guru pertama adalah orang tua. Orang tua juga harus ikut bertanggung jawab terhadap anak mereka di rumah. Guru juga harus memahami dengan benar hakikat pendidikan dan tugasnya.

Saya Merasa Bahagia
Bapak Petegeibo mengatakan, dirinya merasa bahagia dan senang karena dengan setia mengabdi dan membangun pendidikan formal dan nonformal di pedalaman Nabire Papua. ”Saya bangga dan senang. Saya telah berbakti untuk manusia karena itulah pilihan saya dan memang karena Tuhan mengutus saya menjadi pendidik. ”Saya telah berbakti selama 16 tahun menjadi kepala SD, 2 tahun penilik TK/AD, 12 tahun Kakancam/Kakandep, 6 tahun penilik PLS, dan 2 tahun pengawas TK/SD,” katanya.

Petegeibo juga mengatakan, kesetiannya di bidang pendidikan dapat membuahkan hasil pada anak-anaknya. ”Saya setia pada pembangunan manusia (pendidikan), maka anak-anak saya dapat sekolah dengan baik. Dua orang telah menjadi master, empat orang telah menjadi sarjana dan satu orang baru mahasiswa di Jawa. Saya puas melihat anak-anak saya. Itu terjadi karena saya benar-benar-benar mencintai pendidikan. Tuhan tahu, kalau kita setia, maka itu doa saya,” kata Petegeibo.

Petegeibo telah membaktikan hidupnya pada manusia dan kemanusiaan di pedalaman Nabire Papua selama 38 tahun. Kini ia telah menggunakan alat bantu dengar. Juga dia telah pensiun, namun hingga sekarang masih gesit menjalani tugasnya di Distrik Mapia, Nabire. Pedalaman Papua, tempat yang membutuhkan banyak orang setegar dan seteguh Zacharias Petege.

*) Sekretaris Komunitas Pendidikan Papua



BACA TRUZZ...- Zacharias Petege, 38 Tahun Berjuang Membangun Manusia di Pedalaman Nabire

Suatu Hari di Yogya

Oleh: Yermias Degei

Sejuta juang telah kita lawati
Jejak kita masih tersisa di nusa
Perlahan namun pasti
kita mencoba melangkah

Melangkah berjuang
Di sini di pengasingan
Menggali hak, ‘tuk menuai keadilan

Ternyata
kita harus berjuang
Berjuang melawan keadilan

atas nama keadilan
semua luka telah terukir

Tuhan … beri kami perahu
Mengkayuh ke dunia keadilanmu

Kamasan I, 1 Desember 2005


BACA TRUZZ...- Suatu Hari di Yogya

Dana BOS Naik 50 Persen

SD-SMP Negeri Harus Gratis

Departemen Pendidikan Nasional menaikkan anggaran bantuan operasional sekolah atau BOS untuk jenjang SD dan SMP pada 2009 sekitar 50 persen dari tahun lalu. Dengan naiknya BOS, pemerintah meminta tidak boleh ada lagi pungutan kepada siswa, terutama di sekolah negeri.

”Dana BOS dan gaji guru sudah dinaikkan pemerintah pusat. Maka, wajib belajar di SD dan SMP negeri gratis. Tidak boleh ada pungutan paksa kepada siswa,” kata Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo dalam rapat teknis bidang pendidikan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) yang dihadiri para bupati dan kepala dinas pendidikan se-Indonesia di Jakarta, Rabu (5/11).

Dana BOS untuk setiap siswa pada 2009 nanti disatukan dengan BOS Buku dan besarnya berbeda antara di kota dan kabupaten. BOS untuk siswa SD per tahun di kabupaten besarnya Rp 397.000, sedangkan di kota Rp 400.000. Besarnya alokasi BOS sebelumnya Rp 254.000 dan BOS Buku Rp 22.000.

Adapun siswa SMP di kota mendapat dana BOS sebesar Rp 575.000 per siswa per tahun, sedangkan di kabupaten Rp 570.000 per tahun. Dana BOS di SMP sebelumnya Rp 354.000.

Dana daerah
Pemerintah provinsi dan kota/kabupaten, kata Bambang, wajib menyediakan dana untuk memenuhi kekurangan BOS. Masyarakat tetap diperbolehkan memberikan sumbangan ke sekolah untuk mendukung peningkatan kualitas pendidikan, tetapi tidak boleh dipaksa.
Menurut Bambang, bupati dan wali kota bertanggung jawab untuk menggunakan kenaikan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN yang dialokasikan ke daerah untuk membiayai pendidikan dasar serta kesejahteraan guru. ”Nanti ada risiko politik, bisa saja ada impeachment dari lawan politik jika dana pendidikan tidak sesuai aturan,” ujar Bambang.

Adapun untuk program bantuan operasional manajemen mutu (BOMM) tingkat SMA yang dulu dihitung per sekolah, sekarang dihitung per siswa seperti BOS. Untuk SMA besarnya Rp 90.000 per siswa tiap tahun. Siswa SMK mendapat Rp 120.000.

MP Tumanggor, Ketua Umum Apkasi, mengatakan, komitmen pemerintah kabupaten untuk mengalokasikan dana pendidikan 20 persen dari APBD terkendala terbatasnya anggaran. Jika komponen gaji guru dimasukkan dalam anggaran pendidikan, pada 2009 semakin banyak kabupaten yang mampu memenuhi amanat konstitusi untuk mengalokasikan 20 persen anggaran pendidikan dari APBD. (ELN)
--------------------------------------------------
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/06/0037359/dana.bos.naik.50.persen


BACA TRUZZ...- Dana BOS Naik 50 Persen

Pertanyaan-pertanyaan untuk Otonomi Khusus

Oleh: Johannes Supriyono*)

Tidak perlu disangkal bahwa otonomi khusus Papua membawa berkat bagi sebagian orang. Di lain pihak, otonomi tidak membawa perubahan apa pun bagi yang lain. Boleh jadi Otsus belum menciptakan perubahan sebagaimana diidealkan oleh rakyat Papua. Patutlah dicurigai bahwa selama enam tahun Otsus masih belum memberikan perubahan yang signifikan untuk masyarakat Papua. Wajarlah kalau orang kemudian bertanya-tanya tentang Otsus ini.

Sejumlah pertanyaan untuk menimbang-nimbang Otsus pun dapat dimunculkan. Kalau pun pertanyaan-pertanyaan itu ditafsirkan sebagai upaya mempertanyakan otsus, saya sama sekali tidak keberatan. Kalau memang kemudian Otsus dipertanyakan, dikritik, ditafsirkan, serta dinilai tercapailah maksud saya itu. Alasan pokok saya mengajukan pertanyaan ini adalah agar Otsus benar-benar tepat sasaran. Artinya, Otsus sungguh-sungguh dimanfaatkan untuk memajukan kehidupan rakyat Papua.

Otsus mendorong terwujudnya keadilan sosial?
Keadilan sosial adalah sasaran pembangunan (Magnis-Suseno 2000:47). Maka proses pembangunan idealnya bergerak menuju pemenuhan keadilan sosial yang lebih baik. Apakah yang dimaksud dengan keadilan sosial itu? Keadilan sosial, berbeda dari keadilan individual, lebih menekankan pada terciptanya struktur-struktur politik, sosial, dan ekonomi sedemikian rupa yang memungkinkan semua anggota masyarakat memperoleh hak-haknya serta mendapat bagian yang wajar dari harta benda masyarakat sebagai keseluruhan (ibid: 48). Tidak bisa tidak untuk menciptakan keadilan sosial kita harus mengubah tatanan sosial kita.

Keadilan sosial menuntut perhatian pada yang paling miskin dan paling lemah. Mengapa? Merekalah yang paling kurang mendapatkan hak-haknya. Maka prasarana-prasarana mestinya dibangun terutama bagi ini sehingga mereka mendapatkan haknya sebagai orang Papua. Yang paling lemah adalah yang paling terancam dalam arus globalisasi. Maka mereka adalah yang paling membutuhkan perlindungan dan dukungan.

Jika sekarang ini struktur politik, ekonomi, dan sosial kita tidak menunjang tercapainya keadilan sosial, kita perlu menghapus struktur yang menyebabkan ketidakadilan. Kenyataannya, tidak sedikit masyarakat kita yang menjadi korban struktur yang timpang. Artinya, keadilan sosial belum terwujud di Papua karena struktur politik, ekonomi, dan sosial belum memungkinkan orang Papua untuk mendapatkan hak-hak dasar mereka.

Tidak bisa kita menutup mata. Di sekitar kita ada begitu banyak orang yang menjadi korban ketidakadilan struktural. Anak-anak di pedalaman tidak bisa sekolah, tidak bisa membaca buku, dan tidak dididik oleh guru yang malah bersenang-senang di kota sambil menanti gaji. Ibu-ibu tidak mendapatkan layanan kesehatan yang memadai sehingga mempertaruhkan nyawa saat melahirkan. Penduduk di pedalaman terlampau jauh dari sumber-sumber ekonomi sehingga tidak mampu meningkatkan taraf hidup mereka. Warga Lembah Kamuu kurang mendapatkan pertolongan untuk mengatasi wabah kolera sehingga banyak yang meninggal. Orang-orang muda tidak bisa menjadi PNS karena tidak mampu menyuap pejabat yang berwenang. Struktur sosial membiarkan mereka tidak mendapatkan hak-haknya.

Menurut saya, penelitian empiris yang serius untuk menilai pelaksanaan Otsus diperlukan. Apakah Otsus semakin mewujudkan keadilan sosial atau malah melestarikan struktur politik, ekonomi, dan sosial yang membuahkan ketidakadilan sosial? Pertanyaan ini masih menanti untuk dijawab.

Hak Asasi Manusia Semakin Dihargai?
Sejarah Papua diwarnai oleh pelanggaran HAM yang cukup panjang. Apakah setelah Otsus pelanggaran HAM menjadi sepi? Kalau Otsus berhasil mengurangi atau bahkan menghentikan pelanggaran HAM, berarti Otsus membawa perbaikan hidup bagi orang Papua; atau Otsus menciptakan iklim kondusif untuk penghargaan terhadap HAM.

Kita memahami bahwa berhadapan dengan kekuasaan negara, warga negara perlu dilindungi. Ada hak-hak yang tidak bisa dilanggar karena kita adalah manusia. Hak itu bukan dari negara atau dari masyarakat; hak itu melekat pada manusia karena martabatnya sebagai manusia dan tidak pernah boleh dilanggar.

Sekarang, hak-hak itu bertatapan dengan kekuatan politik dan ekonomi modern yang mengglobal dan mengancam keutuhan hidup manusia dan masyarakat Papua. “Hak-hak asasi merupakan sarana perlindungan manusia terhadap kekuatan politik, sosial, ekonomis, kultural, dan ideologis yang akan melindasnya kalau tidak dibendung. Maka hormat terhadap hak asasi manusia merupakan prasyarat agar pembangunan tetap berperikemanusiaan dan beradab.” (ibid: 46)

Pelaksanaan Otsus dapat diwacanakan dalam kerangka mengevaluasi pokok ini. Apakah Otsus telah berperan menjadi bendungan yang melindungi orang Papua dari serbuan kekuatan politik, sosial, dan ekonomi? Apakah Otsus malah, sebaliknya, mengorbankan orang Papua? Idealnya Otsus memang menciptakan iklim penghargaan yang tinggi bagi HAM.

Implikasi ideal dari penerapan Otsus adalah penghargaan yang lebih tinggi terhadap HAM. Sejauh ini masyarakat Papua masih sangat rentan terhadap kekuasaan negara. Secara konkret kita melihat orang-orang Papua yang tersingkir oleh kekuatan ekonomi dan politik yang dibangun di Papua ini. Mereka masih terbelakang dan di masa depan, di dunia yang perkembangannya tidak lagi berjalan melainkan berlari, mereka akan semakin tertinggal. Artinya, Otsus harus diterjemahkan secara strategis untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat Papua. Jika Otsus tidak berhasil diterjemahkan seperti itu, masyarakat Papua akan merasa semakin terancam secara eksistensial.

Jika dianggap ada yang salah dalam pelaksanaan Otsus selama ini, entah berupa pengabaian dimensi HAM atau terlalu bungkam terhadap pelanggaran HAM di masa lalu, kita perlu segera mendefinisikan kesalahan itu. Selanjutnya, kita perlu mencari cara mengatasinya dan merumuskan dalam kebijakan.

Otsus Membuat Masyarakat Demokratis?
Manusia Papua adalah tujuan dari Otsus. Maka masyarakat Papua harus dilibatkan dalam mengimplementasikan Otsus. Secara aktif orang Papua harus berpartisipasi. Sekurang-kurangnya, kalau sekarang ini orang Papua belum mampu secara maksimal berpartisipasi dalam menentukan kehidupan bersama, Otsus mesti memberdayakan orang Papua agar di masa depan tingkat partisipasi mereka lebih tinggi.

Otsus terkait dengan pembangunan Papua dan menyangkut kepentingan orang-orang Papua. Orang-orang Papua tidak terbatas pada yang memegang tampuk pemerintahan tetapi mencakup kaum sederhana yang mungkin masih buta huruf. Kepentingan terhadap Papua tidak terbatas pada kepentingan segelintir elite.

Apakah Otsus mendorong masyarakat Papua semakin mampu berpartisipasi dalam menentukan ‘nasib bersama’? Kiranya masih banyak orang Papua yang bahkan tidak tahu hak-hak mereka. Masih banyak orang Papua yang belum mampu terlibat dalam deliberasi yang demokratis.

Idealnya, Otsus memungkinkan semakin banyak orang Papua terlibat dalam menentukan arah dan tujuan pembangunan di Papua ini. Artinya, pembangunan tidak lagi dimonopoli oleh segelintir pejabat saja. Apa yang baik bagi masyarakat ditentukan oleh masyarakat itu.

Selama Otsus masih menjadi bisnis kalangan atas saja cita-cita membangun masyarakat yang demokratis, Otsus tidak akan berarti banyak bagi orang Papua. Lalu, orang kebanyakan—yang dianggap tidak tahu mengucapkan kepentingannya—menjadi korban karena diabaikan.

Otsus seharusnya mendorong tercipta tatanan politik yang memungkinkan masyarakat Papua menyatakan kepentingannya, bukan sekadar diperlakukan sebagai alat untuk legitimasi kekuasaan.

Penutup
Otsus samasekali bukan barang keramat yang alergi untuk dipertanyakan. Sikap kritis—terbuka dan jujur untuk mempertanyakan—malah akan membuat Otsus sungguh-sungguh memberdayakan masyarakat Papua. Sebaliknya, kekurangkritisan malah akan menyesatkan Otsus. Artinya, tidak akan banyak faedah dirasakan oleh masyarakat Papua tidak peduli berapa pun triliun dana dikucurkan.

Sikap kritis juga menjauhkan kita dari proses untuk menjadi tawanan dana Otsus. Siapa tidak tergiur dengan janji Presiden Susilo Bambang Yudoyono dalam pidato bulan Agustus lalu bahwa dana Otsus tahun 2009 sebesar 8 triliun. Tanpa kekritisan yang perlu, akal budi kita dibutakan dan dilemahkan oleh jumlah dana Otsus yang melimpah. Akan tetapi, pada akhirnya Otsus tidak akan menciptakan masyarakat Papua baru, yang menjamin terwujudnya keadilan sosial, penghargaan terhadap HAM, dan masyarakat Papua yang demokratis. Singkatnya, masyarakat kita akan tetap menderita oleh tatanan yang kurang memungkinkan untuk hidup secara manusiawi. Seandainya benar begitu, sia-sialah Otsus!

*) Peminat masalah sosial, tinggal di Papua.


BACA TRUZZ...- Pertanyaan-pertanyaan untuk Otonomi Khusus

Reporter Bawah Tanah

Judul Asli : The Underground Report
Penulis : Kathy Kacer
Penerbit : Kanisius
Tebal : 216 Halaman
Tahun : 2007
------------------------------
Oleh: Longginus Pekey*)

Kisah mengenai perang selalu menunjuk pada heroisme kejayaan dan kepahlawanan. Tokoh seperti Alexander Agung, Julius Caesar, dan bahkan Hitler akan dikenang dalam sejarah umat manusia karena kisah itu. Akan tetapi, di balik heroisme kejayaan, “perang” menjadi kata yang tidak sedap didengar. Lantas, di balik kata “perang” hanya ada kisah penaklukan, penindasan, pembantaian, pembunuhan, tangisan, kematian, kehilangan segalanya. Situasinya pasti sangat kacau.

Buku setebal 216 halaman berjudul asli The Underground Report yang diterjemahkan oleh Purnawijayanti menambahkan dua kata pada bagian judul, yaitu “kisah nyata”. Artinya ceritanya itu diangkat dari kisah nyata. Ditulis berdasarkan wawancara dengan orang-orang yang mengalami peristiwa tersebut. Selain itu sumber ceritanya diangkat dari majalah Klepy. Kathy Kacer menceritakan masa-masa terpuruk orang Yahudi pada masa Perang Dunia II yang terjadi sekitar tahun 1940-an. Ia, melalui karyanya ini membuka pikiran kita untuk menengok derita tetang pembantaian yang dialami bangsa Yahudi.

Bagian pertama buku ini, memuat enam kisah yang memperkenalkan Jhon, France dari keluarga Neubauer yang menjadi saksi hidup atas peristiwa kelabu itu. Periode 1937-September 1939 tentang kemasyuran kota Budejovice dan kebanggaan sebelum kedatangan Nationalsozialismus (Nazi), awal kedatangan Nazi, dan aturan-aturan Nazi, hingga terjadinya Perang Dunia II. Bagian kedua terdapat tujuh belas kisah periode tahun 1940–1942. Pada bagian ketiga, terdiri dari delapan kisah dalam periode 1942 -1945.

Masa Sulit
Penulis buku ini menguraikan bahwa kedatangan Hitler di kota Budejovice, 150 Km sebelah Praha, ibu kota negara Cekoslovakia (sekarang Cheska), ibarat mimpi buruk bagi keturunan Yahudi. Kira-kira seribu orang Yahudi yang menjalani berbagai aktifitas profesinya seperti pedagang, dokter, guru, seniman dan sebagainya sangat terancam. Karena Hitler dan pasukan Nazinya sangat membenci bangsa Yahudi. Ketika Jerman kalah pada perang Dunia I, Jerman mengalami kesulitan ekonomi. Banyak orang Jerman dipecat dari pekerjaannya dan harus bekerja keras untuk mencari nafkah. Hitler menuding bangsa Yahudi sebagai penyebab seluruh kesulitan yang dialami bangsa Jerman (halaman 41).

Selain Musolini di Italia, Hitler pemimpin berideologi fasisme Jerman yang bercita-cita menyatukan daratan Eropa di bawah kekuasaan Nazi. Ia pernah mengancam akan mengobarkan perang di Eropa kalau Sudetenland sebuah wilayah perbatasan Cekoslovakia tidak diserahkan padanya. Karena tidak menginginkan perang tanggal 29 September 1938 tercipta maka terjadilah perjanjian Munich, (Konferensi Munich) antara Inggris, Perancis di satu pihak dan Jerman di pihak lain. Akan tetapi Jerman melanggar perjanjian itu dan meneruskan daerah penjajahannya dan kekuasaannya hingga menguasai seluruh daerah Cekoslovakia, karena tidak bisa dibendung oleh kekuatan militer Cekoslovakia yang jauh lebih lemah di banding Jerman (Nazi). Pada bulan Oktober 1938, Presiden Bener menyerah dan pergi ke pengasingan di Inggris (halaman 47).

Lalu Nazi terus melanjutkan serangannya ke Denmark, Norwegia, Belanda, Belgia, Luksemburg, dan Perancis. Mendengar Hitler yang terus memperluas daerah jajahannya, orang-orang Yahudi di Budejovice semakin cemas. Beberapa hari setelah kedatangan Hitler, di radio mulai terdengar aturan dan larangan, yang membuat anak-anak dan pemuda maupun orang tua di kota itu harus kehilangan kebebasannya, karena gerakan anti Yahudi terus berkembang di seluruh negeri Cekoslovakia.

Peraturan Nazi semakin hari semakin mencekik. Swastika, lambang Nazi terpamgang di setiap gedung sebagai penolakan terhadap Yahudi, bersamaan itu di toko-toko dan kantor-kantor terpampang tulisan bahasa Jerman Juden Eintrit Verboten! (orang Yahudi dilarang masuk). Semua orang Yahudi wajib mengenakan lambang bintang Daud berwarna kuning yang bertuliskan “Yahudi” agar tidak melarikan diri. Semua Paspor orang Yahudi diberi huruf “J” (halaman 59). Kekayaan, seperti rumah, gereja termasuk alat musik di serahkan kepada Nazi. Anak-anak Yahudi dilarang masuk sekolah dan tidak mendapat tempat untuk bermain di tempat-tempat tertentu.

Uraian yang menjadi bagian pertama di atas tidak bisa lepas dari bagian berikutnya, karena kisah nyata ini di ceritakan menurut kajian Historis dengan memperhatikan urutan waktu dan tempat kejadiannya.

Mendapat Kolam Renang
Bagian ini merupakan kisah kedua, anak-anak Yahudi tidak punya tempat untuk bermain lagi, tetapi mereka bersyukur bisa mendapatkan sebuah kolam renang yang dikhususkan Nazi. Kolam renang tersebut disediakan agar anak-anak Yahudi tidak keliaran dan tidak berbahaya bagi Nazi. Di kolam renang dekat sungai Vltava yang dalamnya mencapai lima meter di tepinya ada gubuk tua. Di gubuk tua tepi kolam itulah Jhon, France, Ruda, Irena dan teman-teman sebayanya menghabiskan hari-harinya. Semakin hari semakin ramai, tidak hanya berenang di lokasi kolam renang itu, mereka bisa bermain sepak bola dan voli yang menjadi kesukaan Johan. Ada juga lapangan tenis meja. ”Tempat ini sungguh menjadi tempat milik kami,” pikir Jhon. Tidak lagi ada tanda yang memperingatkan orang Yahudi untuk menjauhi. Di kolam renang itulah, pada musim semi 1940 anak-anak Yahudi Budejovice berkumpul untuk pertama kalinya (halaman 68). Di situlah tempat untuk sejenak anak-anak Yahudi melupakan kejadian buruk yang sedang menimpah mereka (keluarga).

Reporter Bawah Tanah
Saatnya rememaja Yahudi untuk melawan dalam ketidakberdayaannya. Mereka menciptakan media bernama Klepy, dalam bahasa Cheka adalah gosip. Media inilah satu-satunya media perlawanan yang mereka ciptakan. Majalah itu masih tersimpan di salah satu museum Yahudi di Jepang. Dalam majalah itu anak-anak Yahudi bercerita tentang banyak hal, ada cerita lelucon yang membuat pembaca tertawa, untuk menghilangkan ketakutan yang mereka hadapi saat itu.

Dalam situasi yang tidak memihak itu mereka menyadari “Tidak seorang pun yang dapat membantu kita, kita harus bertanggung jawab atas diri kita sendiri. Aku Yakin kita bisa melawan Nazi dengan artikel tentang kekuatan dan kesatuan sebagai orang Yahudi, Kata Ruda, editor majalah itu, sambil menunjuk sebuah puisi sebagai contoh perlawanan.

Setelah Badai Salju di Bulan Januari.
Hari ini Yahudi harus pergi bekerja.
Dengan wajah yang tegang mereka membersikan salju…
Beberapa terlihat malu dan tak ingin dikenal.
Jangan takut, kerjakanlah pekerjaanm.
Dan tunjukan kepada mereka kekuatan kita! (halaman 124-126)



Dengan sangat berhati-hati para reporter Klepy mencari berita tentang penangkapan ataupun pembunuhan terhadap orang Yahudi di Budejovice, di seluruh kota Cekoslovakia maupun di seluruh Eropa. Isinya kadang di seleksi dan dibuat dalam bahasa yang tidak menyinggung dan terlihat tidak mengritik Nazi. Majalah Klepy satu-satunya bacaan bernuansa Yahudi yang digemari dan memiliki makna perlawanan. Itulah sebabnya patut mendapat sebutan reporter (wartawan) bawah tanah (The Underground Reporters).

Ajal pun tiba, Klepy tidak dapat dilanjutkan lagi setelah terbit 21 edisi. November 1941 Hitler menerapkan rencana pembunuhan terhadap orang Yahudi di seluruh Eropa yang dikenal dengan “solusi akhir”. Ketika awal Februari 1942 seluruh keluarga Yahudi di Budejavice menerima berita yang mereka takuti, bahwa di Jerman dan Polandia didirikan kamp konsentrasi, di antaranya adalah Auschwitz, Majdanek Belzak, Sobibortreblinka dan Chelmno.

Saatnya kelompok reporter Klepy berpisah. Ruda menyerahkan seluruh masa lalunya Klepy kepada Thereza, seorang Jerman yang pernah bekerja di rumah Ruda, walaupun resikonya berat bila ditemukan Nazi. Tanpa mengetahui harapan akan hidup, keluarga Ruda, keluarga Jhon dan seluruh keluarga Yahudi lainnya berangkat ke Theresiensthadt pada 14 April 1942. Di tempat itulah mereka harus mengalami masa pembantaian dan banyak orang Yahudi menemui ajalnya secara paksa.

Buku ini tercipta karena ada kesaksian oleh Jhon, Zdenek Svec, Irena Standler dan Frances Neubuer. Mereka adalah orang-orang yang langsung mengalami peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh Hilter terhadap orang Yahudi di Cekoslovakia. Juga dalam penulisannya di lengkapi oleh buletin Keply yang saat ini terdapat di salah satu museum di Jepang.

Kathy Kacer adalah penulis buku The Secret of Gabi’s Dresser, Klara, War dan The Night Spies. Dalam buku ini dengan kalimat yang mudah dipahami ia memaparkan kembali mengenai situasi orang Yahudi di Eropa pada saat Perang Dunia II berkecamuk. Terutama mengulas kisah remaja Yahudi yang melakukan perlawanan terhadap Hilter melalui Klepy. Bagi pengemar sejarah, buku ini sangat penting untuk dibaca, karena memaparkan peristiwa penting mengenai situasi Perang Dunia II. Juga anak-anak dapat memetik banyak nilai-nilai hidup dari buku ini. Selamat membaca!

*) Ketua Komunitas Pendidikan Papua


BACA TRUZZ...- Reporter Bawah Tanah

Secercah Asa di Ujung Papua

Kamis, November 13, 2008

Oleh: Kiki Dian Sunarwati*)
“Sudah sadar Nona”, samar-samar kudengar telingaku menangkap suara yang asing bagiku. Dan perlahan kubuka mataku. Rasa terkejut membuatku berpikir keras di manakah aku sekarang berada. Dan tampaknya suara tadi berkata lagi lebih keras padaku.

“Nona, istirahat dulu saja, anda sekarang di rumah sakit di Papua. Pesawat terbang yang anda naiki kemarin kecelakaan. Para penumpang yang selamat hanya nona dan 2 orang pramugari”

Bagai guntur di siang bolong perkataan seseorang tadi yang ternyata adalah seorang suster. Aku tersenyum getir memandang suster itu pergi meninggalkan aku seorang diri.
Kecelakaan pesawat terbang. Keras kuputar otakku mengingat semua hal yang sudah kualami.

Aku ingat. Aku memang akan pergi kemari, karena itupun mendapat tugas dari pimpinan redaksiku, untuk mencari berita tentang perkembangan pendidikan dan kesehatan di Papua. Aku ingat ketika itu cuaca mendadak mendung, dan seorang pramugari mengingatkan para penumpang untuk segera memakai sabuk pengaman dan pelambung. Dan entah ketika sedang asyiknya aku menikmati kopi di atas pesawat mendadak terdengar benturan pesawat sangat keras. Dan yang aku masih ingat adalah doaku kepada Tuhan bila aku selamat aku rela tidak pulang ke daerahku, dan akan mengabdikan diri dan nyawaku di tempat ini. Yah. sampai akhirnya aku tak ingat apa-apa lagi apalagi berbagai jeritan dan tangisan yang menyayat di telinga. Dan tahu-tahu aku sudah di rumah sakit ini seorang diri.

Sore perlahan datang dan rasa sakit yang mendera kakiku sedikit berkurang. Seorang suster yang ramah dan aku yakin dari fisik dan penampilannya adalah orang Papua, atau mungkin juga orang Papua pribumi, entah suku apa datang mendekatiku. “Nona, sudah mulai baik kakinya, nyaman” kata suster yang kubaca nama di dadanya adalah Elisabeth.
Aku mengangguk.

“Suster, apa nama rumah sakit ini.” ”Rumah sakit Citra Papua” suster berkata kemudian menolongku untuk duduk di kursi roda, karena ternyata kakiku belum cukup kuat untuk bertumpu.
“Suster tau di mana kecelakaan pesawat terbang yang menimpaku kemarin?” aku bertanya menatapnya.

“Ya, di Desa Tuguwara kecamatan Kaimana”. “Jauh dari sini suster?”.
“Kira-kira 10 kilometer dari sini, itupun nanti mesti menggunakan longboat karena nona harus melewati rawa dan sungai” Suster Elisabeth menjawab sambil mendorong kereta roda dan membawaku berkeliling rumah sakit.
Aku terdiam menikmati pelayanan dan kebaikan Suster itu. Ada seribu satu pertanyaan yan sesungguhnya ingin kutanyakan, tapi entah mengapa akhirnya tak keluar satupun dari mulutku.

“Suster, asli Papua ya?” aku bertanya penuh hati-hati.
“Ya, saya suku Moor dan tinggal di kecamatan Sawa Erma.
“Mana itu Suster?”.

“Moor itu sebuah pulau di Kabupaten Nabire. Dari sini jauh.”
“Non, sebaiknya saya bawa anda ke kamar lagi saja ya, sudah mulai malam, saya tidak ingin anda sakit lagi!” suster Elisabeth menawarkan dan kemudian membalikkan arah kursi roda yang sedang aku duduki.

Aku pun hanya menuruti tanpa bisa menolak lagi.
Hampir satu minggu lamanya sudah aku menginap di Rumah sakit Citra Papua, tanpa seorangpun yang kukenal atau bahkan dari pimpinan surat kabar tempat aku bekerja. Namun itu tak menjadi soal buatku, karena dari suster Elisabeth ternyata aku banyak belajar segala hal tentang Papua dan keindahannya. Dan rasanya aku menjadi jatuh cinta dengan pulau ini.

“Brukkk…”
Hampir saja aku menabrak seorang anak kecil yang sedang berjalan di depanku dengan tumpukkan buku yang lumayan banyaknya.
“Maaf Dek”

“Tak apa-apa,” kata anak itu sambil memunguti buku-bukunya yang tadi jatuh.
Aku berusaha menolongnya, tapi tongkat kayu penyangga tubuh ini malah menghambatku. Ya sudah 3 hari ini aku mempergunakannya, karena rasa sakitnya sudah tak begitu parah, juga untuk melatih otot-otot kakiku yang kaku.
“Biar saya ambil sendiri,” katanya.

Aku memperhatikannya. Seorang anak perempuan berkulit sama seperti suster Elisabeth dengan rambut yang keriting kecil-kecil namun bola matanya sangat cerah dan bulat.
“Nah selesai semua,” katanya tiba-tiba dan tertegun begitu melihatku. Mungkin dia terkejut denganku. Orang asing dan berbeda dengan sesamanya di daerah ini.
“Kenapa Dek?”

“Tidak apa-apa, hanya saya belum pernah lihat ,“ katanya terbata-bata.
“Kiara, panggil saya Kia atau Ara”. Aku menyodorkan tanganku.
Dan dia pun dengan cepatnya menyambut tanganku.

“Neibo,” katanya sambil tersenyum. Yach senyum yang indah karena berbeda dari anak-anak kecil di kota besar tempat aku tinggal sebelum kecelakaan ini terjadi. Ya senyum yang penuh kehangatan dan kepolosan tanpa beban.
“Kia di sini karena kecelakaan pesawat terbang,” kataku menjelaskan padanya.
Namun tampaknya dia tak mengerti.

“Pesawat terbang.” Dia menggeleng.
Segera ku ambil sehelai kertas notesku yang selalu menemaniku ke mana-mana dalam mencari berita. Lantas dengan segera aku menggambar pesawat terbang, dan memberinya nama PESAWAT TERBANG. Kulihat anak kecil itu tersenyum dan bola matanya berpendar semakin besar, ada sebuah kecerdasan dan rasa ingin tahu yang lebih darinya.
“Neibo bisa membaca?”

Dia menggeleng.
“Menulis?” tanya ku sambil mempraktekkan menulis.
Dia menggeleng lagi.

“Mau belajar membaca dan menulis?” tanyaku sambil memberikan kertas dan pensil untukknya.

Dia menggangguk.
“Sungguh?”
“Ya, saya mau,” katanya penuh suka cita dan kemudian menggeretku ke taman rumah sakit.

“Besok saya ke sini ya!” tiba-tiba dia berkata.
“ya, boleh”.

”Ajari membaca dan menulis ya, biar pintar,” katanya tersenyum penuh harapan.
Aku menggangguk, dan Tuhan rasanya aku pun turut bahagia bersamanya.
Suster Elisabeth datang ke kamarku sambil membawa sebotol obat kecil untukku minum.
”Nona, beberapa hari lagi boleh pulang kok,” katanya sambil menyodorkan obat dan kemudian ku minum.

Aku tersenyum. Rasanya lama juga ya aku berada di rumah sakit ini, tanpa ku tau juga bagaimana kabar 2 pramugari yang selamat bersamaku, hanya aku sempat mendengar bahwa mereka sudah kembali ke Pulau Jawa. Yah tak taulah.

“Kia, ayo belajar membaca,” tiba-tiba Neibo datang ke kamarku dan hampir membuat kaget Suster Elisabeth.

“Neibo, kenapa datang kemari?” ternyata Suster Elisabeth sudah mengenal Neibo.
“Suster, Neibo mau belajar ama Kia,” katanya sambil mendekatiku dan mencoba bermanja denganku.

“Nona, Neibo ini sebenarnya anak yang pintar, tapi orangtuanya melarang dia untuk sekolah. Sebenarnya dia tiap hari mencari ikan dari pagi sampai sore, dan setelah itu dia harus pulang ke rumahnya. Namun kadang-kadang dia suka bermain ke sini, ya becanda dengan para dokter dan suster di sini, bahkan sering dia melihat-lihat dokter ketika sedang memeriksa pasien, apalagi kalau melihat buku, wah rasa ingin taunya sangat besar, sehingga kadang oleh rumah sakit dia di pinjamin buku untuk belajar, sayangnya dia ternyata tak bisa membaca,” Suster mejelaskan panjang lebar.
“Pantas, dia senang ketika tau saya akan mengajarinya,” aku tersenyum ke arahnya yang sedang asyik mencorat-coret kertas.

“Berarti sekarang Nona mau mengajarinya?”
Aku menggangguk.

“Baiklah, kalau begitu saya pergi dulu, takut mengganggu,” kata Suster Elisabeth beranjak pergi.

‘”Nah Neibo, sekarang kita belajar pelan”
“Kita belajar menghafal kan huruf dulu yach.”
Neibo menggangguk penuh semangat.

“Kalau huruf seperti ini A, ini B, ini C, ini D, dstnya,” kataku mencoba menerangkannya, dan dia pun mengikutiku mengucapkannya dengan sangat mudah.
“Sekarang bisa menulis namamu sendiri Neibo,” aku mencoba mengetesnya.
“Ya habis N, apa?”

“Terus?”
“Terus, dan akhirnya selesai juga dia menuliskan namanya sendiri Neibo dengan benar.
“Pintar sekali kamu Neibo!”

“Sekarang tulis nama ayah kamu dan ibu kamu.”
Dengan cekatan dia menulis, hingga terbacalah 2 buah nama “ Ebana dan Indey”.
“Bagus, ini nama ayah dan ibu kamu?”
Dia mengangguk.

“Kia, sudah mulai malam nih, Neibo pulang dulu ya, besok kesini lagi belajar yah?” katanya mendadak ketika memandang ke luar dan memang langit mulai gelap. Aku pun hanya bisa menggangguk dan memandangnya hilang ditelan malam.

Dan malam ini aku banyak mendapat cerita dari pasien sebelahku yan baru saja datang karena melahirkan. Perempuan yang sedang menyusui bayi merah yang berumur beberapa jam itu tampak bahagia sekali.

“Nona, kemarin yang mengalami kecelakaan pesawat ya?” ibu muda itu bertanya padaku.
Aku hanya memandanginya penuh kebahagiaan yach seorang ibu dan anak.

“Non, bersyukur ya, karena yang selamat hanya non dan 2 orang pramugari”.
Aku hanya bisa menggangguk. Ya, membenarkan ucapannya, namun aku lebih tertarik menikmati pemandangan bayi kecil dan masih merah itu menyusu ibu muda yang ada di hadapanku ini. Ya bayi itu mungil, kulitnya tak begitu gelap, panjang dan sangat gendut rambutnya keriting kecil dan alisnya sangat lebat.
“Ibu tau dari siapa?” ganti aku bertanya.

“Dengar radio, maklum di sini televisi masih langka, jarang yang punya. Dan setahu saya yang menolong Nona adalah penduduk Amugme, yang sedang mengadakan upacara adat dalam rangka menyambut tamu dari Jayapura.

Aku hanya mengangguk, dan terus terang baru tau saat itu.
“Bu, memang ibu dari mana asalnya?”

“Saya dari kecamatan Kurima di daerah pegunungan sana, ini tadi saja suami saya masih bekerja menanam sayuran kol, dan wortel sehingga belum sempat menjenguk saya di sini,” kata ibu muda itu menjelaskan dan kemudian ku tau namanya adalah Magda Lantipo dari papan nama di bawah tempat tidurnya.

Hari kedua, ketiga Neibo belajar denganku sangat ulet. Hingga tak terasa luka di kaki ku pun semakin sembuh. Namun entah mengapa luka batin ini tak bisa sembuh, ya tak ada seorang pun di Jakarta tempat aku bekerja yang mengingatku atau datang kemari, atau bahkan mungkin mereka berpikiran aku sudah mati. Ikut kecelakaan atau dimakan buaya di sungai-sungai ganas di sini. Biarlah aku tak akan menyesal karena di sini ternyata aku lebih mengenal semua kebesaranNya. Tapi mengapa beberapa hari ini Neibo tidak datang ke rumah sakit untuk belajar ?.

“Suster Elisabeth, tau Neibo tidak?”
“Tidak Kia,” katanya sambil membuka perban di kakiku.
“Tau rumahnya, suster?”

“Tau, kebetulan nanti sore saya mau ke daerah sana mengambil obat, sekalian saja berangkatnya, mau?”
Aku mengangguk.

Sore perlahan ketika akhirnya aku keluar dari rumah sakit dan akhirnya aku diajak suster Elisabeth ke rumah Neibo. Limabelas langkah aku berdiri masih jauh dari rumahnya ketika tak kusadari bahwa di pemukiman itu para penduduknya yang masih rata-rata berkoteka itu memandangiku dengan curiga dan seakan hendak mengusirku.
“Elis, mengapa kau bawa orang asing itu kemari?” tiba-tiba berdiri di hadapanku dan suster Elisabeth seorang laki-laki setengah tua dan hanya mengenakan koteka dengan hiasan gading di hidungya.

“Maaf, Ebana, saya hanya mengantar guru Neibo kemari, dia hanya ingin tau mengapa Neibo tidak belajar lagi dengannya?” suster Elisabeth menjawab.
“Sengaja Neibo saya larang belajar, toh buat apa. Memangnya dengan belajar bisa menjadi kaya, pintar dan bisa mengubah keadaan di sini?” pelan Ebana yang akhirnya kutau ayah Neibo itu berkata.

“Tentu saja Ebana, dengan belajar kita bisa jadi pintar, seperti sekarang ini, saya bisa menjadi perawat. Apa Ebana tidak mau melihat Neibo dan anak-anak di sini seperti saya?”

“Sekali tidak, tidak. Aku tak ingin Papua dijadikan budak oleh mereka dengan alasan pendidikan dan belajar,” Ebana masih mengotot.
“Ebana, maaf, saya hanyalah ingin mengajari Neibo membaca dan menulis supaya bisa belajar tentang dunia ini dan dunia luar yang luas sana,” pelan aku mencoba berkata penuh hati-hati.

“Diam, peduli apa kau dengan penduduk di sini, dan negri ini. Negeri ini sudah damai dan makmur tanpa campur tangan orang-orang seperti kalian, juga dari pemerintah luar sana yang ternyata omong kosong,” Ebana mendadak mulai emosi membuatku menciut.

Untunglah suster Elisabet mengerti keadaan yang pasti akan berlarut penuh kekerasan, dia pun mengajakku pergi dari tempat itu.

“Kia, kita pulang saja, untuk sementara waktu kamu tinggal di rumah saya saja ya.”
Aku hanya diam. Di satu sisi terharu sekaligus merasa tak dihargai dan disia-siakan.
“Suster mungkin besok saya mau ke kota saja, mencari bantuan ke kantor Pemerintahan, siapa tau saya bisa dibantu dalam proses kembali ke Jakarta,” tiba-tiba aku berkata membuat Suster Elisabet terkejut.

“Maafkan saya Tuhan, karena ternyata saya tidak bisa memenuhi jajiku padaMu, mereka tak menginginkan aku di sini, dan aku tak berharga di mata mereka,” batinku mendadak pilu.

“Kia, mau pulang ke Jakarta, tidak jadi mengajari anak-anak kecil di sini yang tidak pernah sekolah ataupun belajar, termasuk juga Neibo?”
Deg, aku teringkat bocah perempuan kecil yang cantik dan ulet itu, namun apa mau dikata…

“Ya, saya sudah mantap mau pulang saja, di sini rasanya saya tak akan berguna.”
“Jangan begitu Kia, aku akan membantumu meluluhkan kekerasan hati Ebana dan yang lainnya di sini, memang sih mereka tak begitu menghargai pendapatku, karena ketika orang tuaku yang menyekolahkanku mengambil keputusan berbeda dengan mereka, dianggap mereka membawa sebuah kesialan bagi kami semua, tapi orangtuaku tak peduli, ya hasilnya sekarang ini”.

Walau dulu dimusuhi penduduk sini, tapi toh sekarang mereka bisa tau bahwa aku bisa belajar banyak dan bahwa sekolah atau belajar itu penting, ya akhirnya aku bisa menjadi perawat. Namun sayang orangtuaku sudah meninggal sehingga tak dapat melihatku dan bangga kepadaku,” suster Elisabeth bekata dengan suara hampir serak karena air matanya pelan menetes.

“Sudahlah Suster,” aku menghapus air matanya. Air mata seorang sahabat yang baru saja kudapatkan namun harus kutinggalkan.

Aku hendak mengepak tasku yang tersisa mendadak ketika pintu rumah digedor belasan orang atau mungkin puluhan orang kedengarannya.
“Elis, bukakan pintu”. Mendadak aku merasa tak enak hati.

Elis beranjak menuju pintu. Dilihatnya di balik pintu rumahnya telah berkumpul puluhan penduduk yang beraneka ragam. Laki-laki dan perempuan serta anak-anak kecil. Bertelanjang dan ada pula yang sudah memakai pakaian lengkap. Di ujung pintu aku melihat Neibo. Ingin aku memeluknya tapi..

“Elis, siapa nama temanmu ini” tiba-tiba Ebana berkata dan yang lainnya hening.
“Kia, Ebana,” aku lantas memperkenalkan diri sendiri.

“Kia, maafkan saya kemarin juga para penduduk di sini, sebenarnya saya ingin Neibo dan anak-anak yang lainnya belajar ataupun bersekolah namun kami takut hanya dimanfaatkan oleh orang-orang lain dari luar .“
Aku terdiam.

“Tapi ketika semalam Neibo bercerita banyak, hati saya mendadak yakin kalau kamu adalah orang baik, jadi sekarang saya mewakili penduduk sini memohon agar Kia mengajari Neibo dan anak-anak kami yang lainnya.”

“Mau kan Kia?” Ebana berkata penuh harap. Aku hanya memandang ke arah Suster Elisabeth. Dan dia pun hanya menggangguk

“Ya, saya mau,” belum selesai perkataanku ketika tiba-tiba Ebana memelukku dan kemudian para penduduk yang lainnya termasuk Neibo.

Tuhan rasanya aku akan mengabdikan diri dan nyawaku di tempat ini sepenuh hatiku. Bimbing dan Lindungi aku Tuhan.

Senja perlahan turun dan ku tau bahwa secercah asa di ujung Papua itu masih ada dan akan tetap ada untuk sesuatu yang lebih indah ke depan.

*)Wartawati, tinggal di Yogyakarta

BACA TRUZZ...- Secercah Asa di Ujung Papua

Yulianus Kuayo: ”200 Juta Harus Menjawab Kebutuhan Kampung”

Jakarta (Selangkah)--Program Gubernur Provinsi Papua, Barnabas Suebu,SH ”Pembangunan Mulai dari Kampung” pada tahun 2007 telah dikucurkan dana Otonomi Khusus (Otsus) per kampung sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Namun, program mulia ini akan sia-sia jika dinas teknis tidak menindaklanjuti dengan program-program jitu yang dapat menggerakkan rakyat dalam meningkatkan kualitas hidup mereka seperti layanan pendidikan, layanan kesehatan, pemberdayaan ekonomi keyakyatan dan kebutuhan hidup lainnya.

Demikian kata Yulianus Kuayo, SH staf Direktorat Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, Departemen Pendidikan Nasional beberapa waktu lalu kepada media ini. Katanya, walaupun ada panduan bidang pembiyaan dengan dana tersebut tetapi di berbagai tempat masih dijumpai kebingungan aparat perangkat kampung untuk menggunakannya.

Menurut Yulianus, kebingungan itu terjadi bukan cara menggunakan uang dalam arti menghabiskan uang itu, tetapi lebih kepada penggunaan tepat guna dengan suatu proses musyawarah kampung dengan mempertimbangkan realitas kampung dan masa depan mereka. Walaupun ada musyawarah tetapi hasilnya adalah mengarah kepada bagaimana menghabiskan uang itu. ”Rakyat itu kadang berpikir bersama bagaimana menggunakan uang itu untuk meningkatkan taraf hidup mereka untuk jangka panjang,” katanya.

Lebih lanjut dia mengatakan, tidak semudah satu kampung dengan mengadakan musyawarah mufakat untuk menyusun program pembangunan kampung yang relevan sesuai kebutuhan prioritas dari anggaran yang dikucurkan. Seperti halnya di beberapa kampung dijumpai dana kampung itu dibagi oleh oknum aparat kampung kepada mahasiswa untuk meringankan beban biaya kuliah, dan apa itu relevan, lalu bagaimana dengan hak anak-anak 2-5 tahun (usia PAUD) 5-7 tahun (usia TK) dan 7-12 tahun (usia SD) yang ada di kampung , belum termasuk sektor lain,” katanya mengoreksi.

Yulianus yang juga dewan redaksi majalah ini mengatakan, secara nyata masyarakat akan menyatakan ketika uang otsus itu ada di tangan mereka ”wah inikah Otsus! Uang bertebaran sampai di kampung tidak seperti biasanya? Masyarakat akan senang, karena mereka merasakan langsung uang Otsus. Mungkin ini nilai positif masyarakat bagi pemerintah. Tetapi, katanya, perlu diperhatikan juga ketika uang itu hilang karena dengan cara ”manja”, tidak mengajar bagaimana masyarakat berkreatif untuk mempertahankan hidup dan meningkatkan usahanya.

”Entah lima atau belasan tahun ke depan masyarakat akan ke mana carinya. Masyarakat tidak bisa dapat uang tanpa ada kerigat apapun. Kita musti juga berpikir bagaimana mendidik rakyat Papua dengan uang itu,” katanya.

Dia berharap, dinas teknis harus berpikir keras bagaimana cara yang baik agar dana yang dikucurkan itu benar-benar mendarat di tengah masyarakat dan digunakan secara baik sehingga ada wajah pembangunan berkesinambungan di kampung.

”Pemberian bantuan itu sudah cukup bagus. Hanya saja, dinas teknis di tiap kabupaten atau tiap distrik perlu memikirkan bagaimana pemanfaatan dana itu. Makasudnya, pendampingan penggunaan sesuai kebutuhan lapangan dan lebih penting adalah merencanakan perubahan ke depan dengan dana itu. Masalahnya adalah soal ekonomi rakyat, permasalahan pendidikan, peningkatan gizi dan kesehatan hingga saat masih mejadi masalah utama di tanah Papua. [yer/Selangkah].

BACA TRUZZ...- Yulianus Kuayo: ”200 Juta Harus Menjawab Kebutuhan Kampung”

Pendidikan untuk Pemberdayaan

Oleh: Johannes Supriyono*)

Kata Francis Bacon, “Knowledge is power”. Pengetahuan adalah kekuasaan. Artinya, pengetahuan mendorong orang untuk bisa berkuasa sehingga mampu menentukan dirinya. Atau, sekurang-kurangnya ia tidak sepenuhnya di bawah dominasi orang lain. Bisa juga berarti, orang yang berpengetahuan berkesempatan menguasai orang lain. Mereka yang memiliki pengetahuan dapat menaklukan orang lain, bahkan menentukan hidup matinya orang-orang tersebut. Bisa juga dibaca secara negatif bahwa orang yang tidak berpengetahuan cenderung tidak berkuasa sehingga mudah dikendalikan oleh orang lain.

Untuk konteks Papua, ungkapan sederhana dari Francis Bacon menyiratkan imperatif yang tegas. Bunyinya demikian, “Berilah orang-orang Papua pengetahuan, agar mereka memiliki kekuasaan!”

Imperatif ini secara praktis berangkat dari keprihatinan yang sangat mendasar pula. Pendidikan di Papua belum sepenuhnya memberdayakan anak-anak. Malah, sangat mungkin mereka diperdaya atau ditipu oleh sistem pendidikan. Di masa depan, mereka mendapatkan tanda-tanda formal sebagai orang yang pernah masuk sekolah tetapi secara kualitas mereka tetap tergolong tak terdidik (uneducated).

Perlu kita pikirkan sungguh-sungguh pendidikan untuk pemberdayaan masyarakat Papua.

Masyarakat Kurang Pengetahuan
Secara konkret kualitas pendidikan di Papua harus diakui sangat lemah. Ditilik dari ketersediaan tenaga pendidik, fasilitas sekolah, dan budaya pendidikan, kita masih tertinggal jauh. Sekolah-sekolah di pedalaman amat memprihatinkan. Satu sekolah ada yang dikelola oleh satu orang saja. Ia adalah guru untuk kelas I sampai VI dan merangkap jadi kepala sekolah. Bagaimana ia bisa mengajar baik?

Yerino mengisahkan bahwa di SMP-nya terdapat delapan guru. Namun, ada guru-guru yang satu atau dua hari masuk sekolah dua minggu, bahkan sampai satu bulan, mangkir. Guru-guru itu meninggalkan tanggung jawabnya untuk santai-santai di kota. Guru yang mencoba setia dalam keterbatasan hidup di pedalaman juga belum tentu memiliki kualitas yang baik. “Aduh, guru bahasa Inggris saya tidak tahu bikin kalimat,” ungkapnya.

Ratapan serupa muncul dalam karya tulis seorang siswa. Yosepina berkisah bagaimana di pedalaman tidak ada perpustakaan yang merangsang minat anak-anak untuk mengetahui dunia luar. Guru-guru sering meninggalkan tanggung jawab dan baru muncul beberapa hari menjelang ujian. Proses belajar mengajar tidak berjalan dengan baik. Anak-anak lebih banyak berkeliaran di jalan-jalan.

Apakah akibatnya? Masyarakat miskin pengetahuan. Konsekuensi dari kemiskinan ini amat mengerikan.

Pertama, ketika akal budi tidak diberi banyak ruang untuk berkembang, rasionalitas dikebawahkan. Orang lebih banyak dikendalikan oleh dorongan insting dari pada pertimbangan akal budi. Luapan-luapan insting itu muncul dalam bentuk-bentuk kekerasan dan ketidakteraturan sosial yang lain. Pengendalian sosial menjadi proses yang represif, lebih banyak berupa tekanan daripada persuasif atau ajakan.

Perilaku sosial yang didominasi oleh insting adalah kemalasan berpikir. Gejala-gejala masyarakat yang malas berpikir antara lain kekurangsadaran akan masalah-masalah sosial yang membelit. Selain itu, masyarakat cenderung mencari jalan pintas dalam menyelesaikan masalah dan cenderung tidak mampu menunda pelampiasan marah, kecewa, dan depresi. Kondisi ini kondusif untuk menimbulkan konflik fisik. Maka, jangan biarkan insting ini mengambil alih rasionalitas!

Kedua, dalam satu kerangka dengan yang pertama, nilai-nilai sosial tidak tertanam dengan baik. Pendidikan adalah salah satu lembaga sosialisasi yang cukup penting. Di sekolah, jika diselenggarakan secara benar dengan cita-cita yang baik, individu-individu diperkenalkan pada nilai-nilai dan dilatih menerapkannya secara praktis. Lewat pendidikan anak-anak dibekali dengan cakrawala nilai yang luas.

Kemiskinan pengetahuan, di dalamnya termasuk pengetahuan akan nilai-nilai, mendorong masyarakat untuk mengikuti nilai mereka masing-masing. Pengendalian sosial menjadi sangat sulit dilakukan karena masyarakat cenderung menjadi kawanan binatang liar. Cara-cara yang represif menjadi cara yang paling efektif akibatnya. Kebutuhan kita akan polisi bisa-bisa meningkat berlipat ganda. Selain itu, tampaknya akan semakin banyak penjara kita bangun di masa depan seandainya kebobrokan pendidikan kita tidak diakhiri.

Ketiga, yang akan terjadi adalah knowledge gap atau kesenjangan pengetahuan antara lapisan atas, yakni pemilik pengetahuan, dengan lapisan bawah. Knowledge gap ini membuat kekuasaan politis tersentralisasi pada sekelompok elit saja. Diskursus masyarakat hanya terjadi di sekitar pemilik pengetahuan. Dengan lain kata, partisipasi publik yang lebih luas dalam proses pengambilan keputusan menjadi impian belaka. Kalau pun publik ingin mencoba terlibat, cara-cara mereka menjadi di luar jalur hukum dan mudah ditaklukkan. Ingat, polisi atau militer akan makin banyak dibutuhkan.

Publik akan menjadi gerombolan massa tanpa identitas atau kerumunan. Siapa yang bisa membajak sentimen-sentimen mereka dapat menggunakan mereka sebagai kendaraan untuk meraih pucuk kekuasaan atau untuk membinasakan gerombolan yang lain. Mereka bisa saja sekadar dipakai untuk melegitimasi kekuasaan!

Keempat, civil society tidak akan terbentuk. Masyarakat demokratis yang diidam-idamkan belum akan menjadi kenyataan. Demokrasi bukan hanya masalah prosedur tetapi secara substansial mensyaratkan rasionalitas masyarakat. Rasionalitas terbangun oleh budaya pendidikan yang kuat. Tanpa rasionalitas, demokrasi akan menjadi proses meraih kekuasaan dengan cara-cara yang menjijikan dan tidak manusiawi. Masyarakat yang rasional ditandai dengan kemampuan berefleksi; menyadari keadaannya dan mengambil keputusan-keputusan secara bijaksana.

Kelima, masyarakat yang miskin pengetahuan, dengan demikian, tidak memiliki kedaulatan bahkan atas diri mereka sendiri. Nasib mereka ditentukan oleh orang lain yang memiliki pengetahuan. Kurang pengetahuan berarti kurang berdaya.

Menuju Masyarakat Berpengetahuan
Kenyataan bahwa masyarakat kita bisa bergerak ke pendulum masyarakat tak berpengetahuan mestinya mendorong kita berjuang ke arah sebaliknya. Pendidikan mesti kita dorong pada pemberdayaan putra-putra Papua untuk menumbuhkembangkan kemampuan mereka berefleksi. Artinya, mereka dilatih untuk menyadari keadaan masyarakatnya, mempertimbangkan secara masuk akal, dan mengambil keputusan-keputusan untuk masa depan.

Tanpa pembekalan pengetahuan yang cukup, masyarakat tidak akan mampu berpartisipasi secara politis untuk menentukan masa depan mereka. Sejauh ini masyarakat menjadi kambing congek yang dipakai untuk kepentingan segelintir orang. Lihat saja, apakah masyarakat mampu mengontrol jalannya pemerintahan demi menciptakan good governance? Lihat saja, apakah masyarakat berdaya untuk memperjuangkan hak-hak mereka sebagai warga negara?

Langkah yang sangat praktis bisa kita ambil. Perbaiki pendidikan kita dari tingkat dasar. Sekolah-sekolah dasar yang ada perlu diberi perhatian lebih baik. Skandal Dana Alokasi Khusus (DAK) cukup terjadi di Nabire saja. Dan cukup satu kali itu saja. Siapkan tenaga-tenaga pendidik yang berkualitas.

Kiranya, kalau tidak serius memerhatikan pendidikan kita di sini, masyarakat di masa depan akan sungguh-sungguh menjadi kawanan binatang yang bisa sangat brutal. Maka, berilah anak-anak kita pendidikan yang memberdayakan agar kelak mereka dapat menyelenggarakan kehidupan yang dilandasi oleh nilai-nilai humanisme.

Knowledge is power!

*) Peminat masalah sosial, tinggal di Papua.


BACA TRUZZ...- Pendidikan untuk Pemberdayaan

Otonomi Khusus dan Rendahnya Tingkat Kepuasan Sosial

Oleh:Johannes Supriyono *)

TELAH enam tahun Otonomi Khusus dijalankan di Papua. Namun, perubahan sosial yang cukup signifikan belum tampak. Bahkan, pendapat-pendapat yang kritis terhadap otsus bermunculan. Ada yang mengatakan otonomi khusus hanya menyuburkan mental korup dan budaya instan (“pemalas”), tidak menumbuhkan semangat kerja keras. Yang lain berpendapat bahwa otsus adalah rezeki bagi kalangan atas, yaitu para pejabat pemerintahan. Pendapat lain terasa lebih pedas. Otsus tidak lain adalah cara agar orang Papua dapat terus dikendalikan dan pelan-pelan mati dengan senyum.

Ada benarnya pendapat-pendapat itu jika dihadapkan pada kenyataan di lapangan. Masyarakat di pedalaman Papua terus menantikan pembagian uang otsus. Tidak ada alasan untuk bekerja karena uang datang sendiri. Kebun-kebun terbengkalai tak terurus. Uang otsus juga menggoda sebagian pejabat untuk menyalahgunakan wewenang mereka. Apalagi, kontrol masyarakat terhadap pejabat mereka di Papua ini tidak begitu ketat.

Selanjutnya, uang sangat berkuasa untuk mengendalikan perilaku masyarakat Papua. Perang suku di pedalaman Papua dapat berlangsung lebih dari satu tahun karena ada oknum yang ‘membiayai’ perang tersebut. Perang menjadi matapencaharian utama sepanjang tahun itu. Daya tahan dilemahkan dengan limpahan triliunan dana otsus. Orang dikondisikan menjadi rakus dan konsumtif tetapi sekaligus menjadi tidak berdaya menghadapi lingkungannya. Otsus menyebabkan orang Papua dengan gampang dikendalikan oleh lingkungan. Mereka menjadi subyek yang terkalahkan. Inilah mati dengan cara tersenyum.

Fakta lain yang dapat disajikan di sini adalah sejumlah lembaga sosial, yang mestinya berperan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, tidak berjalan sebagaimana mestinya. Tidak banyak bedanya pendidikan di Papua ini antara enam tahun lalu dengan sekarang ini. Sekolah-sekolah di pedalaman tidak dilengkapi dengan fasilitas belajar yang baik. Tenaga guru tidak tersedia dengan cukup. Infrastruktur yang memfasilitasi mobilitas sosial tidak juga membaik. Pelayanan kesehatan sama buruknya. Kenyataan ini masih bisa disambung dengan rangkaian yang lebih panjang. Keadaan seperti ini menimbulkan ketidakpuasan sosial yang mengancam kehidupan bersama.

Maka, tidaklah terlalu keliru untuk sementara berpendapat bahwa otonomi khusus belum meningkatkan kepuasan sosial masyarakat Papua. Ketidakpuasan sosial bisa menjadi energi negatif yang meledakkan masyarakat dalam bentuk yang paling brutal. Kemarahan massa bisa menelan korban.

<><><>

Apakah orang Papua cukup puas dengan keadaan sosialnya? Jawabanya tidak. Misalnya, dalam sebuah jajak pendapat di sebuah SMA di Nabire, Papua, sebagian besar mengatakan tidak puas sama sekali. Dengan kata lain, anak-anak itu menilai keadaan sosial sekitarnya sangat buruk. Tingkat kepuasan sosial penduduk Papua pada dasarnya rendah.

Sejumlah lembaga sosial yang diukur adalah pendidikan, kesehatan, hukum, politik, dan estetika. Dalam skala 1-5 dua puluh tujuh siswa memberikan nilai. Rata-rata dari penilaian mereka tidak ada yang mencapai angka 2. Bahkan, lembaga hukum dinilai amat rendah, hanya 0,2. Yang paling rendah adalah lembaga estetika yang berperan memenuhi kebutuhan hiburan dan rekreasi masyarakat, yakni 0,15. Memang, di kota ini tidak terdapat tempat-tempat rekreasi yang dikelola secara baik sehingga mencukupi kebutuhan masyarakatnya. Sarana hiburan yang paling dominan adalah televisi.

Bagaimana dengan pendidikan? Nasibnya hampir sama dengan lembaga sosial lain. Lembaga pendidikan dinilai belum mencukupi kebutuhan masyarakat. Para siswa itu mengeluhkan mutu pendidikan yang buruk dan fasilitas yang kurang memadai. Tenaga pendidik dipandang kurang, baik dari sisi jumlah maupun mutu. Akibatnya, proses pendidikan disamakan dengan proses menanti pembagian ijazah di akhir masa sekolah. Bukan proses pengembangan diri dengan menimba pengetahuan. Maka, angka 1,8 dinilai pantas.

Penilaian ini dikonfirmasi dengan tingginya angka migrasi anak sekolah. Sama sekali tidak aneh bagi masyarakat kota ini menyaksikan anak-anak selepas SMA meninggalkan kotanya. Mereka berduyun-duyun ke Jawa atau ke Sulawesi untuk meneruskan pendidikan mereka. Mengapa? Kebutuhan mereka untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi belum berhasil difasilitasi oleh pemerintah. Perguruan tinggi yang ada dipandang belum cukup bermutu, masih terpaut jauh dari perguruan tinggi-perguruan tinggi yang lain di luar Papua. Di samping itu, daya tampung perguruan tinggi masih sangat terbatas.

Sementara, mereka yang tidak mampu membiayai migrasi ini cukup berpuas dengan mutu pendidikan yang ada atau tidak melanjutkan sekolah. Konsekuensinya adalah mereka akan tetap tertinggal. Dan, kualitas sumber daya mereka tetap rendah. Akibatnya, mereka akan kalah bersaing dengan sejawatnya yang mendapat pendidikan lebih baik di luar Papua. Itu pun kalau mereka kembali ke Papua.

Ketidakpuasan terhadap lembaga pendidikan ini dilatarbelakangi pula oleh gejala meningkatnya anak-anak usia sekolah yang tidak bisa sekolah. Anak-anak ini malah sibuk mencari kaleng bekas untuk dijual kepada pengepul. Penduduk sering menyebut mereka anak ‘carka’—kependekan dari cari kaleng. Jumlah mereka terus meningkat. Mereka tidak sekolah karena alasan biaya. Nah, apakah pemerintah, yang bertanggung jawab atas lembaga pendidikan, tidak mampu menyelamatkan mereka?

Para siswa itu juga menyatakan tidak puas terhadap lembaga kesehatan. Di kabupaten ini hanya ada satu rumah sakit pemerintah dengan tenaga dokter dan peralatan yang terbatas. Pelayanan rumah sakit itu pun sangat buruk. Hanya ada satu dokter spesialis anak. Tidak ada spesialis yang lain. Ruang-ruang perawatan sering tampak kumuh.

Bahkan, di pedalaman banyak kecamatan tidak memiliki tenaga medis. Ketika terjadi wabah—misalnya, wabah di area beberapa bulan lalu—masyarakat tidak lekas mendapatkan pertolongan. Sekian nyawa melayang percuma.

Para responden menyatakan antipati terhadap lembaga politik di sini. “Mereka lebih sibuk dengan urusan mereka sendiri. Padahal mereka kan wakil rakyat.” Begitulah salah satu ungkapan anak yang melukiskan ketidakpuasannya. Politik seakan tidak pernah bersangkut-paut dengan kehidupan sehari-hari. Baru menjadi heboh ketika Pilkada akan berlangsung. Partai-partai mengerahkan segenap upaya untuk menarik simpati massa. Dan, setelahnya rakyat merana karena ditinggalkan para wakilnya.

“Dorang tidak pernah perjuangkan kepentingan rakyat!” Maka, dapatlah diterima akal jika demonstrasi di kota ini hampir selalu berlangsung rusuh karena melibatkan kekerasan. Rakyat merasa tidak memiliki orang-orang yang sah untuk berjuang bagi mereka. Jalur politik yang resmi tertutup. Kekerasan, misalnya pelemparan batu ke kantor bupati yang sedang dikonstruksi tidak perlu terjadi kalau DPRD dapat memihak pada mahasiswa dan memperjuangkan kepentingan mereka.

Alasan lain ketidakpuasan para siswa itu adalah lemahnya mekanisme kontrol terhadap kekuasaan pemerintah daerah. Ketidakberesan dalam dunia pendidikan dan kesehatan yang mencolok mata terkesan dibiarkan. Buruknya infrastruktur tidak dihiraukan. Di mata para siswa lembaga politik tidak berfungsi. Mereka memberi nilai 1,2 saja.

Lembaga hukum dipandang mandul. “Saya paling jijik dengan hukum di sini. Tidak pernah ada penyelidikan terhadap orang-orang yang korupsi.” Begitulah seorang siswa mengungkapkan penilaiannya atas lembaga hukum. Angka 0,2 mencerminkan betapa rendahnya apresiasi siswa terhadap kinerja lembaga penjaga keadilan ini.

Penilaian yang sangat rendah itu didasarkan pada kenyataan tiadanya gebrakan-gebrakan yang dilakukan lembaga hukum. Hampir tidak terdengar di media massa adanya penyelidikan-penyelidikan tindak pidana korupsi. Kasus-kasus yang semestinya diendus ketidakberesannya dibiarkan saja. Penyelewengan-penyelewengan dipandang normal. Ketidaknormalan di masyarakat ini adalah yang normal.

<><><>

Paparan rendahnya tingkat kepuasan di atas hanyalah cermin dari sebagian masyarakat Papua. Sama sekali tidak dimaksudkan untuk mewakili seluruh Papua. Meski begitu, kenyataan itu sudah membangkitkan pertanyaan: mengapa tingkat kepuasan sosial amat rendah? Apakah semua itu mengindikasikan bahwa otsus hampir tidak memiliki kaitan langsung dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan masyarakat?

Rendahnya tingkat kepuasan sosial mengindikasikan bahwa otsus belum menyentuh sendi-sendi kehidupan masyarakat secara optimal. Penyelenggaran kehidupan masyarakat belum terdayai oleh otonomi khusus, yang bukan hanya soal uang melainkan juga kebijakan. Maka, wajarlah jika masyarakat merasa otsus itu tidak penting.

Jika otsus terus berjalan sementara ketidakpuasan pun terus berlangsung, kita perlu bertanya secara lebih mendasar: otsus itu untuk apa? Kalau tidak ada gunanya bagi masyarakat Papua secara keseluruhan, tetapi menjadi lahan korupsi bagi segelintir orang, untuk apa diteruskan! Bisa-bisa otsus malah menjadi bencana yang memusnahkan orang Papua.

*) Pendidik dan peminat ilmu sosial, tinggal di Papua
-------------------------------------
Sumber:http://suaraperempuanpapua.wordpress.com/2008/09/27/otonomi-khusus-dan-rendahnya-tingkat-kepuasan-sosial/#more-54
BACA TRUZZ...- Otonomi Khusus dan Rendahnya Tingkat Kepuasan Sosial

10 Penemuan Teknologi yang Akan Mengubah Hidup Kita

Prediksi itu beresiko, apalagi bila berhubungan dengan masa depan. Prediksi dimaksud adalah adanya penemuan teknologi yang sedang dikerjakan secara coba-coba saat ini, namun akan bisa mengubah bentuk kehidupan kita di masa depan – apalagi jika teknologi itu dikerjakan dengan keseriusan penuh. (Lamont Wood)

10. Perpustakaan digital
Terkoneksi secara total bisa menjadi tidak berarti jika semua yang didapatkan oleh Wikimuers di internet adalah foto-foto panas artis Ayu Azhari, misalnya – he he he. Tetapi digitalisasi semua pekerjaan manusia yang terakumulasi sudah diproses dengan cepat sekarang ini. Semua jalur MIT sekarang sudah online dan jika anda belum pernah melakukannya, lakukan cek di Google Book Search. Akan tiba suatu masa bagi kita ketika setiap pertanyaan yang faktual akan dapat langsung dijawab dengan segera, secara online. Tetapi sayangnya, pertanyaan-pertanyaan anda di internet biasanya selalu yang gampang-gampang saja, jadi tidak sebanding dengan kecanggihannya.

9. Terapi gen atau sel utama
Beberapa penyakit pada kenyataannya diwariskan secara turun temurun – penyakit-penyakit tersebut berada di dalam gen-gen. Tetapi para ilmuwan bekerja untuk mengubah gen-gen itu dan menyiasati sel yang cacat agar mengalami pertumbuhan yang benar. Barangkali, suatu masa, kelahiran yang cacat akan bisa dianggap sebagai penyakit radang paru paru biasa, bukan suatu hal yang berat.

8.Pengembangan secara luas internet nirkabel
WiMAX (Worldwide Interoperability for Microwave Access=Jaringan mendunia dengan kemampuan bertukar informasi secara cepat dan baik dengan akses gelombang mikro ), 3G (3 rd Generation), 4G (4 th Generation) dll., adalah teknologi yang mengacu pada suatu sistem internet nirkabel yang menyebar, semua menjadi terhubung secara online ke mana-mana, sepanjang waktu, dan berkesinambungan. Hal tersebut menyiratkan kemungkinan adanya hubungan atau koneksi secara penuh antara dua alat secara acak. Anda ingin memeriksa atau mematikan alarm di pintu rumah dari telepon genggam? Itu akan menjadi gampang. Lebih mudah dari pada melepaskan colokannya secara konvesional.

7. Robot yang bisa berjalan
Tantangan DARPA terbaru berupa mobil-mobil robot yang memenuhi jalan-jalan di pinggiran kota, tanda-tandanya sudah akan muncul. Mengapa harus mengendarai mobil yang anda jual untuk memenuhi pesanan pelanggan kalau Anda bisa mengirimkan mobil tersebut ? Kita mungkin akan melihat iring-iringan truk-truk ROBOT (Residents Official Board of Technology = pekerja rumah tangga hasil teknologi / bukan manusia) di jalan raya. Bisa jadi truk-truk robot tersebut akan lebih diterima digudang-gudang untuk menangani pekerjaan antar-jemput setiap harinya.

6. Sel Surya yang lebih baik dan murah
Ongkos sebuah kumpulan sel fotovolta yang mengubah energi cahaya matahari menjadi energi listrik sedang mengalami masa keruntuhan. Dalam masa kurang dari sepuluh tahun, ongkos energi matahari bisa menjadi sebesar ongkos listrikdi dalam jaringan listrik, dan sel surya akan menjadi salah satu fitur standar di dalam konstruksi sebuah rumah baru. Rumah Anda akan bisa memberi tenaga untuk dirinya sendiri sekitar sepertiga waktu – dimana pada umumnya ilmu pengetahuan tidak bisa berbuat banyak pada malam hari dan di saat cuaca buruk.


5. Komputerisasi berdasarkan pada lokasi-lokasi di bumi

Daripada mengelik satu ikon di layar browser, lebih baik Anda berjalan ke luar rumah, mengarahkan ponsel Anda ke salah satu bentuk tiga dimensi (misalnya sebuah gedung pusat bisnis), klik ponsel, dan dengan seketika Anda mendapat informasi perihal apa saja mengenai tempat yang dituju oleh ponsel Anda tersebut dengan melakukan lompatan melalui beberapa situs web. Seperti juga server-server dengan alamat Internet (IP = Internet Protocol Address), maka akan ada juga server-server dengan koordinat-koordinat permukaan bumi sebagai pengganti IP Address.

4. Alat cetak desktop 3 dimensi
Daripada Anda harus ke toko untuk membeli perkakas yang dibutuhkan, lebih baik Anda men-download sebuah rancangan perkakas pilihan kita lalu mewujudkannya di dalam sebuah alat cetak desktop 3 dimensi. Langkah selanjutnya adalah anda mendisain sendiri perkakas-perkakas, memposting desain-desain tersebut, menjualnya dan seterusnya. Usaha rumah tangga dalam bidang pembuatan mainan anak-anak, peralatan dapur, dan barang kerajinan penghias rumah, yang sering dianggap remeh, sekarang akan menjadi raja!

3. Penegakkan hukum Moore
Hukum Moore, yang dinyatakan oleh salah satu pendiri Intel, Gordon Moore pada tahun 1965, menyiratkan bahwa kompleksitas sebuah mikroprosesor – peningkatan jumlah penggunaan transistor pada keping IC (Integrated Circuit) – akan meningkat dua kali
lipat tiap 18 bulan sekali.

Namun sedikitnya dua puluh tahun terakhir para pakar sudah menyingkirkan rintangan hukumtersebut, dan industri chip sedang menghancurkan penghalang-penghalang itu. Perkembangan teknologi dewasa ini menjadikan Hukum Moore semakin tidak relevan. Hal ini semakin nyata setelah Intel secara resmi memulai arsitektur prosesornya dengan code Nehalem. Prosesor ini akan mulai menerapkan teknik teknologi nano dalam pembuatan prosesor, sehingga tidak membutuhkan waktu selama 18 bulan untuk melihat peningkatan kompleksitas tapi akan lebih singkat.

Saat ini para pakar tersebut tidak setuju jika Hukum Moore membuat puluhan tahun terlewati begitu saja. Namun apabila dihubungkan dengan tingkat kehandalan teknologi komputerisasi saat ini, maka tampak jelas kalau kita sudah melihat banyak hal.


2. Terapi kesehatan dengan kloning

Lupakan cerita-cerita tentang produksi kopi/salinan dari domba-domba atau manusia. Secara keseluruhan gagasan dibalik pengklonan adalah pertumbuhan organ/bagian tubuh pengganti atau jaringan di mana tubuh akan melihat tidak ada alasan untuk menolak organ / jaringan baru tersebut. Organ tubuh yang mengalami kerusakan atau diserang kanker bisa digantikan dengan organ yang baru, sehingga bagian yang baru tersebut sudah terbebas dari penyakit yang diderita sel induknya.

1. Ekonomi Hidrogen
Daripada minum dengan rakus minyak yang harus diimpor sehingga kita dikuasai oleh para penyuplai minyak, kenapa kita tidak membalikkan kembali air ke dalam hidrogen dan membakarnya (atau menggunakan pengisi sel bahan bakar). Sementara itu, satu-satunya hasil dari pembakaran hidrogen adalah ...lebih banyak lagi air! Suatu sirkulasi yang menguntungkan. Namun bagaimanapun, penyimpanan hidrogen menjadi suatu isu yang tajam, karena kepadatannya yang rendah, dan hidrogen bisa jadi akan menggantikan ekonomi minyak yang sudah ada.
--------------------------------------------------
Sumber: http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=11631&post=1

BACA TRUZZ...- 10 Penemuan Teknologi yang Akan Mengubah Hidup Kita

Migrasi Kaum Muda Papua dan Brain Drain

Bukanlah gejala yang baru satu kali terjadi bahwa selepas SLTA, anak-anak muda dari Papua meninggalkan tanahnya. Mereka menuju pulau-pulau yang lain untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Perilaku berbondong-bondong menyerbu Jawa telah berlangsung dari tahun ke tahun. Pameo yang terus beredar adalah bahwa untuk mendapatkan pendidikan yang maju orang harus pergi ke Jawa.

Mungkin benar. Tetapi mengapa perilaku tahunan—kemudian menjadi cara penduduk Papua untuk memenuhi kebutuhannya akan pendidikan—ini tidak dikaji secara kritis? Perilaku ini perlu diselidiki karena bukan tidak mungkin di masa depan Papua akan menderita brain drain, yaitu kehabisan sumber daya manusia yang unggul untuk mengelola daerahnya sendiri. Mereka yang telah mendapatkan pendidikan cukup enggan untuk kembali ke Papua.

Perilaku Tahunan

Berapa banyak orang Papua muda yang meninggalkan daerahnya ke pulau-pulau lain, utamanya Jawa? Tidak ada data yang pasti. Maklum, perilaku ini belum menjadi perhatian khusus. Akan tetapi, dapat dipastikan jumlah mereka cukup signifikan jika dibandingkan dengan jumlah orang muda Papua.

Alasan utama orang muda meninggalkan Papua adalah untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Anggapan yang hidup di kalangan masyarakat adalah lulusan dari Jawa lebih bergengsi daripada lulusan Papua. Mereka yang mendapat ilmu di Jawa dipandang lebih daripada sejawatnya di Papua. Anggapan bahwa Jawa lebih bergengsi adalah salah satu faktor yang mendorong orang muda meninggalkan Papua.


Kerap terdengar juga bahwa perguruan tinggi yang ada di Papua belum sederajat dengan perguruan tinggi di luar Papua. Bagi orang-orang yang menginginkan yang lebih baik, perguruan di luar Papua adalah pilihan yang paling mungkin. Lalu siapa yang mendatangi kampus-kampus di Papua? Mungkin anak-anak muda yang sebenarnya berminat meninggalkan Papua tetapi tidak berdaya.

Faktor lain yang mendorong gerak perpindahan kaum muda adalah kolega mereka yang telah berada di Jawa. Yang telah lebih dulu menempuh pendidikan di Jawa mengedarkan cerita-cerita pembangkit minat. Cerita-cerita ini berperan menyambung gelombang datang anak muda Papua sehingga dari tahun ke tahun tidak pernah putus.

Di kalangan orang tua berkembang kekurangpercayaan mereka pada perguruan tinggi-perguruan tinggi di Papua. Mereka lebih bisa memercayakan anak-anak mereka pada perguruan tinggi di Jawa yang sudah lebih dulu punya nama. Keraguan seperti ini menyebabkan orang tua berdaya-upaya mengirim anak mereka ke luar Papua.

Gagasan orang tua ini mungkin saja dipengaruhi oleh pencitraan pendidikan di luar Papua yang digambarkan selalu lebih bagus daripada pendidikan di Papua. Belum lagi, sebagian orang tua masih percaya bahwa mereka yang mendapatkan ijazah dari Jawa lebih cepat mendapatkan kerja. Setidak-tidaknya mereka dapat bekerja di luar Papua karena di luar Papua terdapat lebih banyak pilihan lapangan kerja.

Seleksi Sosial

Perilaku sekolah ke luar Papua ini tidak lain adalah sistem seleksi sosial yang terlestarikan. Ada pembagian tanpa sengaja antara anak yang bisa sekolah ke Jawa dengan mereka yang tinggal di Papua. Mereka yang berani ke Jawa kurang lebih memiliki kemampuan ekonomi dan intelektual lebih baik. Sementara yang bertahan di Papua kurang.

Apakah akibat seleksi sosial ini? Anak-anak yang lolos seleksi memiliki kemungkinan besar, meski lahir dan besar, di Papua menghabiskan usia produktif mereka di luar Papua. Tenaga mereka diabdikan untuk masyarakat lain. Apalagi, kalau memang keahlian mereka ternyata dibutuhkan oleh masyarakat di luar Papua sehingga mendapatkan gaji yang lebih baik. Bukan mustahil bahwa di antara mereka adalah anak-anak terbaik yang dimiliki oleh tanah Papua.

Papua mendapatkan anak-anak yang tetap bertahan di sini dan mungkin sedikit dari mereka yang di luar Papua tetapi gugur dalam seleksi dan kemudian kembali ke Papua. Papua diurus oleh orang-orang yang dibekali oleh pendidikan a la Papua.

Gejala seperti ini telah lama berlangsung di sejumlah negara miskin di Afrika. Ahli-ahli dari negara-negara miskin banyak yang bekerja di Eropa. Bahkan mungkin lebih banyak yang di luar daripada di dalam negeri. Akibatnya, negara yang miskin itu diurus oleh orang-orang yang kecakapannya sangat terbatas. Inilah yang sebut fenomena brain drain.

Fenomena brain drain berarti suatu daerah kehabisan tenaga ahli untuk mengurus daerahnya sendiri karena orang-orang yang mampu memilih meninggalkan daerahnya sendiri. Yang tinggal di dalam adalah orang-orang yang gagal dalam seleksi.

Apakah ini mungkin terjadi di Papua? Jika gejala migrasi kaum muda ini tidak dicermati secara serius dan kemudian disikapi dengan baik bisa saja terjadi. Akibat dari brain drain dapat kita perkirakan dari sekarang.

Menyiapkan langkah

Untuk mengantisipasi bencana brain drain sejumlah langkah dapat disiapkan. Langkah pertama yang mutlak adalah memperbaiki kualitas pendidikan di Papua sehingga pembandingan dengan perguruan tinggi di luar Papua tidak lagi relevan. Perbaikan kualitas harus dimulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi.

Kedua, pemerintah perlu dari awal merekrut putra-putra terbaik Papua dan menyiapkan mereka menjadi tenaga ahli bagi masyarakatnya sendiri. Bahkan, jika dipandang perlu, pemerintah patut mengikuti langkah sejumlah perusahaan yang menyekolah orang sampai jenjang doktor untuk nantinya bekerja di perusahan itu.

Ketiga, pemerintah mempercepat pembangunan sehingga Papua bergerak menjadi masyarakat modern yang membutuhkan banyak tenaga ahli. Ketersediaan lapangan kerja yang cukup luas dapat membatasi gerak ke luar Papua.

Fenomena meninggalkan tanah Papua bukanlah hal yang biasa dan tidak mengancam kehidupan masyarakat Papua. Janganlah kita baru sadar ketika bencana brain drain telah hadir di depan mata dan tak terhindar lagi.

--------------------------------------
Sumber: http://sketsasketsapapua.wordpress.com/



BACA TRUZZ...- Migrasi Kaum Muda Papua dan Brain Drain

Atasi Segera Diare-Kolera di Papua

Anggota Komisi Kesehatan DPR RI FPKS Zuber Safawi mendesak Pemerintah terutama jajaran Departemen Kesehatan (Depkes) untuk segera mengatasi bencana penyakit diare-kolera yang telah menewaskan 105 penduduk di Kabupaten Nabire dan Paniai, Papua. Bahkan hingga pekan pertama Agustus 2008, tercatat masih ada 718 orang penduduk yang terserang penyakit menular tersebut. “Kejadian luar biasa diare kolera ini sungguh sangat memprihatinkan kita semua. Di saat bangsa Indonesia bersiap-siap menyambut HUT RI ke-63, justru masyarakat di Nabire-Paniai menderita akibat keganasan penyakit ini”, ujar Zuber dalam siaran persnya di Jakarta.

Menurut Zuber, kejadian KLB diare-kolera ini jelas sangat memilukan hati dan membuktikan sistem penanganan penyakit menular yang selama ini dilakukan Depkes kurang berhasil secara optimal. “ Jumlah kematian yang mencapai 105 orang dalam rentang empat bulan membuktikan lemahnya koordinasi, penyuluhan dan antisipasi Dppkes terhadap penyakit tersebut di Nabire dan Paniai. Harusnya Depkes dan kepala dinas kesehatan di Papua bertanggung jawab untuk mengatasi KLB ini secara terpadu sehingga mampu meredam jumlah korban yang meninggal”, tandasnya.

Lemahnya penanganan kasus KLB diare-kolera ini menurut Zuber, akan berakibat semakin banyaknya korban yang jatuh. Oleh karena itu tindakan pencegahan dan pengobatan harusnya lebih cepat dan terpadu sehingga warga yang terinfeksi bakteri diare-kolera dapat segera diobati. “Depkes harus segera menerjunkan tim kesehatan dalam jumlah optimal karena fasilitas dan tenaga kesehatan di sana masih sangat minim. Sehingga korban diare-kolera dapat dengan mudah memperoleh pengobatan kesehatan. Ini juga harus dikoordinasikan dengan dinas kesehatan dan pemda setempat”, pinta Zuber, yang juga anggota komisi IX DPR.

Zuber juga mendesak Pusat Penanggulangan Krisis (PPK) Depkes untuk menyelidiki dan meneliti kejadian KLB di Nabire dan Paniai ini. Penyelidikan dan penelitian ini dianggap penting untuk mengetahui faktor-faktor penyebab timbulnya KLB dan langkah antisipasinya jika KLB terjadi kembali. “Kita patut mempertanyakan kinerja Depkes karena penyakit diare-kolera itu sebenarnya relatif mudah diobati dan dihindarkan. Jika Pemerintah serius dan cepat mengatasi, KLB diare-kolera di Papua ini mestinya tidak terjadi”, ungkapnya.

Keterlambatan dalam penanganan kasus penyakit menular di Papua dan kasus kesehatan lainnya dalam pandangan Zuber juga akan meruntuhkan citra keseriusan pemerintah dalam memberikan jaminan kesehatan di mata masyarakat. “KLB diare-kolera di Papua ini adalah persoalan serius dan pemerintah wajib menuntaskan. DPR pasti akan mengkritisi dan menanyakan langkah-langkah Depkes penanganan kasus KLB ini”, janji Zuber.
___________________________
Sumber : Kompas.com
Edisi : 15 Agustus 2008


BACA TRUZZ...- Atasi Segera Diare-Kolera di Papua

Gaji Guru di Daerah Terpencil Naik

Jakarta – Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo menyatakan gaji guru pada 2009 akan naik, termasuk yang di daerah terpencil. "Gaji minimal Rp 2 juta. Itu untuk guru pegawai negeri sipil golongan II/B tanpa sertifikat profesi dengan masa mengajar 0 tahun,” kata Bambang dalam rapat kerja dengan Komisi Pendidikan Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta kemarin.

Untuk guru pegawai negeri sipil golongan IV/E besertifikat profesi, gajinya akan mencapai Rp 6,9 juta rupiah. Gaji tersebut belum termasuk tunjangan fungsional dan tunjangan profesi untuk guru dengan sertifikat. Pemerintah, kata Bambang, juga akan memberikan tunjangan fungsional untuk guru tetap non-pegawai negeri sipil yang belum sarjana sebesar Rp 250 ribu per bulan dan yang minimal sarjana sebesar Rp 300 ribu per bulan.

Bambang juga mengatakan pendapatan 30 ribu guru daerah terpencil juga akan naik. Sementara sebelumnya guru daerah terpencil yang besertifikat digaji sebesar Rp 2,29 juta pada 2008, gajinya akan naik menjadi Rp 5,1 juta pada 2009. Guru daerah terpencil yang belum besertifikat, yang sebelumnya mendapat Rp 2,29 juta, akan mendapat Rp 3,6 juta tahun depan.

Tidak hanya gaji guru, gaji dosen juga meningkat seiring dengan naiknya anggaran pendidikan. Sementara sebelumnya dosen pegawai negeri sipil golongan III/B tanpa sertifikat profesi dengan masa mengajar 0 tahun mendapat Rp 1,8 juta, tahun depan gajinya bertambah menjadi Rp 2,26 juta. Untuk guru besar yang berstatus pegawai negeri sipil golongan IV/E besertifikat, gajinya naik tajam dari Rp 5,1 juta menjadi Rp 13,5 juta.

Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Baedhowi juga menyampaikan soal keterlambatan pembayaran tunjangan profesi guru yang terkendala kelengkapan dokumen. “Masih ada 52 ribu guru yang belum melengkapi dokumen,” kata dia saat ditemui seusai rapat kerja dengan Komisi Pendidikan DPR. Selama 2005-2006, dia menjelaskan, ada 180 ribu guru yang lulus sertifikasi, dan 128 ribu di antaranya telah mendapat tunjangan. Reh Atemalem Susanti/Egeidaby/selangkah


sumber: Koran tempo, Kamis 11 September 2008


BACA TRUZZ...- Gaji Guru di Daerah Terpencil Naik

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut