Menggali Budaya Papua Lewat Musik, Perlukah? (Kasus Suku Mee)

Rabu, September 19, 2007

Oleh Dominikus Douw *)

“Koteka moge Paniai makii,
kou aniiya kagaabanoo,
anii didi kogaa dani totaa kagaabano,"


Lirik lagu berbahasa daerah Mee (Papua) di atas ini selalu dinyanyikan oleh grup band Koteka di Semarang. Koteka adalah pakaian adat untuk laki-laki dan moge adalah pakaian adat bagi perempuan di pegunungan tengah Papua. “Paniai makii” tanah air Paniai. “Kou aniya kagaaba” pakaian adat saya. “Anii didi kogaa dani” Saya sungguh bangga dan mencintai pakaian adatku. Dapat juga berarti daerah koteka tumpah darahku.”Totaa kagaaba” pakaian hasil cipta manusia yang sudah ada sejak dahulu kala dan terlestarikan hingga kini. Kira-kira demikian pengertian leksikalnya. Namun kata-kata bahasa Mee yang menjadi sebuah lirik lagu ini, tidak cukup dijelaskan hanya secara harafiah.

Secara semantik, lirik lagu di atas mengatakan, koteka dan moge adalah lahir dari angka kepandaian orang pegunungan tengah Papua di masa lalu (dalam konteks ini Paniai). Ini adalah ciri khas saya. Saya adalah manusia berperadaban dan bersejarah. Koteka dan moge harus saya lestarikan karena saya sungguh bangga. Saya sungguh mencintai tanah air orang berkoteka moge. Aku selalu akan mengingat kau penuh seluruh karena aku tidak mau kehilangan identitasku. Kaulah (koteka-moge) yang dapat berbicara kapada dunia akan peradabanku. Aku ingin mengenangmu selalu, walau aku di ratau.

Berbicara mengenai koteka dan moge di zaman jins, jas dan dasi, mungkin agak lucu. Bahkan jijik bagi kebanyakan orang, sekalipun orang pegunungan tengah. Orang akan bertanya mengapa koteka moge harus terus dilestarikan pada zaman digital ini. Anehkan. Tetapi ketika Anda merasa aneh, sadarkah kau dengan peradabanmu. Entahlah! Dibenak penulis muncul pertanyaan. Sejak dahulu kala siapa yang bisa membuat pakaian seperti yang kita pakai sekarang ini?

Sebelum revolusi Prancis pecah, manusia kembali kepada adat dan budaya masing–masing. Ketika itu tetek nenek moyang tidak tahu membuat pakaian. Mereka hanya memakai koteka dan moge yang merupakan hasil dari kepandaian moyang. Angka kepandaian itulah yang perlu diapresiasi lewat musik untuk melestarikannya. Memang di sisi lain pemerintah berupaya agar koteka harus lepas karena peradaban sudah berganti. Namun penulis optimis, koteka di zaman ini bukan simbol ketertinggalan. Melainkan sebuah identitas dari sebuah bangsa. Identitas inilah kiranya perlu terus diwariskan.

***
Koteka dibuat dari tumbuhan yang buahnya agak mirip dengan tumbuhan mentimun atau ketimun. Namun buah koteka agak panjang. Kalau sudah tua buah koteka agak keras. Orang Mee menyebutnya bobbe. Bobe biasanya di tanam di kebun atau di halaman rumah. Proses pembuatannya, bobbe dipetik (biasanya yang sudah tua) kemudian dimasukkan kedalam pasir halus. Di atas pasir halus tersebut dibuat api yang besar. Setelah panas kulit bobbe akan lembek dan isinya akan mencair, lalu biji-biji beserta cairan akan keluar dari dalam ruas bobbe. Setelah itu, bobbe digantung (dikeringkan) di perapian hingga kering. Setelah kering dilengkapi dengan anyaman khusus dan siap pakai sebagai koteka.

Moge (cawat) dibuat dari kulit kayu. Namun bukan sembarang pohon. Proses pembuatannya, pohon itu ditebang ambil dulu kulitnya, setelah mengambil kulitnya akan direndam dalam pecek atau akan disiram dengan air agar tetap awet. Kulit kayu itu dikeringkan di terik matahari. Kemudian kulit kayu itu akan terlihat coklat. Lalu kemudian dianyam dan dipakai sebagai moge.

Lagu koteka moge di tetapkan oleh Koteka Group Band sebagai lagu mars. Lagu ini harus selalu dinyanyikan ketika pentas sebagai lagu pertama. Lagu koteka moge ini kalau didengar oleh pendengar hanya sederhana saja dan jauh dari harapkan pendengar baik itu dari sisi musiknya, suaranya dan kekompakannya dalam menyanyi. Namun di situlah letak seni dan kekhasan lagu ini. Karena group band Koteka ini dibentuk bukan sekedar untuk menyanyi dengan suara dan musik yang baik seperti grup musik biasanya. Akan tetapi mencoba berpikir bagaimana mengangkat seni dan budaya suku Mee melalui lagu-lagu. Selain itu melalui lagu-lagu, mencoba mengangkat nilai-nilai moral yang terkandung dalam budaya. Misalnya, melalui lagu berjudul ’’Woiyo Paniai Makiyo woiyo’. Lagu ini mengandung arti mari membangun Paniai dan Nabire dengan tinggalkan kebiasaan–kebiasaan buruk dan mengangkat nilai–nilai budaya suku Mee Papua yang sudah ada dari dulu yang hingga hingga kini mulai terkikis.

Bob Marley, Lucky Dube, UB 40 dan lainnya yang begitu terkenal adalah bukan lagu-lagu pilhan Koteka Band. Komitmen Koteka Band adalah terus menciptakan lagu-lagu yang berkaitan dengan nilai– nilai budaya. Komitmen itu, sudah mulai terwujud dengan rekaman live namun karena keterbatasan dana, maka rekaman tracknya masih belum. Yang penting sekarang adalah, bagaimana memetik pengalaman ini untuk mencoba mengembangkan kebudayaan melalui lagu-lagu dalam rangka mengangkat nilai-nilai budaya.

Personil Black Brothers, Pace Sembor, ketika di Jakarta bulan Mei 2005, saat beliau mengantarkan mayat rekannya David Rumaropen mengatakan ’’Kalau kalian mau berfokus ke dunia musik janganlah sekali–kali mau cinta sekolah.’’ Ini artinya bakat yang sudah ada itu harus terus kita kembangkan. Menurut penulis bakat itu sudah ada pada orang (mahasiswa) Papua, misalnya pada saat kita bermain musik, lalu satu orang angkat lagu dan suaranya pas dengan bunyi gitarnya, dan lagu tersebut dilantunkan oleh orang–orang yang ada di sampingnya tanpa mempelajari not dan sebagainya. Namun seperti pengalaman Koteka Band, kendala kita adalah tidak ada dukungan. Setelah bakat itu terlihat, siapa yang akan memfasilitasi? Ya kita tanya saja kepada para pejabat daerah. Semua kepala daerah tingkat I maupun para tingkat II Papua. Apakah ada bagian kesenian daerah yang benar-benar memperhatikan dan mengangkat budaya daerah? Ataukah kita harus ikut budaya dari luar saja?, seperti lagunya Bob marley dan kolega–koleganya?

Contoh lain potensi yang tak pernah terperhatikan adalah tahun 2002 di Yogya ada group band bernama Paradise Band atau Black Wissel. Pada saat itu teman–teman Black Wissel pernah mencoba membuat rekaman livenya sebagai bukti dan syarat untuk melengkapi permohonan kepada Pemda Nabire dan Pemda Paniai, untuk merekam tracknya. Namun tidak mendapatkan bantuan dari Pemda Nabire dan Pemda Paniai. Itu ketidakpekaan pemerintah daerah untuk mengembangkan seni dan budaya.

Dengan melihat realita ini muncul pertanyaan, kapan orang Papua (suku Mee) akan berkembang dan mengangkat nilai–nilai budaya lewat musik? Namun kini kembali kepada kita semua baik pejabat, mahasiswa, dan seluruh lapisan masyarakat suku Mee, yang ada di Papua maupun yang ada di luar Papua. Apakah kita mau kembangkan group Band KAIDO dari bandung, BLACK WISSEL dari Yogja dan KOTEKA Group Band dari Semarang. Ketika grup band ini dengan susah payah telah meraih dan membangun budaya lewat musik, namun tidak terperhatikan. Penulis berharap kepada teman-teman dari suku Mee yang pernah membentuk group band, apabila kalian didukung oleh dana dan fasilitas, maka cobalah kembangkan kitong pu budaya kah, seperti gowai, ugaa, tupe, wanii dan lain- lain.

Penulis juga pesan kepada teman–teman yang baru dan telah membentuk group band perlu pahami bahwa BOB MARLEY itu dari Jamaica dan LUCKY DUBE dari Afrika Selatan. Mereka berdua tidak sama dalam melantunkan lagunya, musiknya, dan suaranya jelas beda. Ketika JIMMY CLIFF pentas di Jamaica ia mengatakan “Saya bukan BOB MARLEY, saya adalah JIMMY CLLIF,, maka ia menyanyikan lagu–lagu ciptaan sendiri. Penulis berharap kalau bisa, perlunya mengangkat nilai–nilai budaya suku Mee yang telah ada seperti ugaa, Gowai, tupe, wani dan lainnya, karena pada prinsipnya bahwa, ,,Kita bukan mereka dan mereka bukan kita.”

Seni dan budaya kita Papua (suku Mee) semakin terkikis habis oleh alkulturasi budaya. Kini kita lebih suka dengan lagu-lagu dari luar, kita mulai meninggalkan budaya kita yang khas. Kita semakin menjadi manusia tidak beridentitas. Untuk itu, mari kita menerapkan falsafah orang Mee, yakni dou, gai, ekowai dalam menyikapi hal ini.
Pesan khusus kepada pejabat–pejabat orang Mee, lebih khusus lagi Bupati Nabire dan Bupati Paniai sebagai orang yang mengambil kebijakan di daerah, cobalah perhatikan generasi esok suku Mee Papua, agar nilai–nilai seni dan budaya tetap terlestari untuk selamanya. Karena memang kita harus lihat dulu ke dalam suku Mee, kemudian Papua seluruhnya dan secara nasional dan mendunia (internasinal). Kita berjalan itu, sambil melihat ke arah jalan (kebawah) bukan sambil melihat ke atas langit. Semoga saja! Amin!

*) Alumni Fakultas Hukum UNTAG 1945 Semarang
--------------------------------------
Sumber: Majalah SELANGKAH

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut