SEGERA TERBIT BUKU “MELANGKAH KE DUNIA LUAS, Impian dan Pergulatan Anak-anak Papua”

Jumat, Oktober 09, 2009

Segera terbit buku berjudul “MELANGKAH KE DUNIA LUAS, Impian dan Pergulatan Anak-anak Papua”. Buku ini ditulis oleh Johannes Supriyono. Dia lahir di Lampung, 25 Desember 1979. Menyelesaikan pendidikan di SMA Xaverius Pringsewu, Lampung (1997) dan di STF Driyarkara, Jakarta (2006), menulis skripsi sekitar pemikiran Roland Barthes tentang semiotika. Sempat belajar menjadi editor di Penerbit Yayasan Cipta Loka Caraka selama satu tahun. Sejak 2007 hingga tahun pertengahan 2009 hidup bersama dengan anak-anak Suku Mee dan Moni di Papua. Buku yang akan diterbitkan segera ini ditulis ketika bersama-sama dengan anak-anak Mee dan Moni di Nabire Papua.

Saat ini, Supriyono mengembangkan Lembaga Pendidikan Papua, Education of Papuans Spirit (LPP, edPapaS). Buku ini terdiri dari 40 kisah yang menggambarkan mimpi dan pergulatan anak-anak Papua. Berikut ini adalah kutipan tiga paragraf pertama dari cerita ke-40 berjudul “A Long, Tiresome Journey”.

Pernah kupikirkan untuk menulis artikel yang lebih serius tentang lahirnya babak intelegensia di Papua. Tidak lama keinginan itu bertahan di benakku. “Kalau kutulis menjadi artikel, sekian banyak nama yang kukenal, anak-anak Papua yang setiap hari kuhadapi, tidak akan muncul, tidak akan disebut. Boleh jadi munculnya nama justeru malah berdaya menggerakkan—bukan hanya nama tapi wajah!”

Melahirkan generasi intelegensia di Papua adalah perjalanan panjang, sangat panjang. Bahkan mungkin akan lebih panjang dari yang selama ini kubayangkan. Mengingat kenyataan betapa kacaunya pendidikan di Papua, bukan tidak mungkin sebagian dari para pemimpi itu akan gugur. Juga karena kondisi kesehatan secara umum belum maju, sebagian lain akan menyerah karena sakit—seperti Robby Tatogo dan Yanto Pigome. Juga karena desakan kemiskinan, akan ada yang terputus di tengah jalan secara menyakitkan seperti Yakobus Wayapa, si penemu setan putih. Mungkin juga akan ada yang tersendat-sendat karena dirintangi oleh malaria seperti Arnoldus Belau, sang penggulat fisika.

Mimpi-mimpi itu bisa pula membusuk dan rontok karena miskinnya teladan dari masyarakat. Banyak yang menempuh jalan pintas untuk mendapat-kan kekuasaan dan uang! Sering sekali mereka kuingatkan, “Jangan jadi koruptor. Sama saja Kau makan orang-orang Papua sendiri!” Entahlah, apakah kata-kata ini akan masih diingat kelak ketika mereka mendapatkan kesempatan dan kekuasaan.

...
Buku ini dapat Anda pesan melalui alamat email:selangkah_kpp@yahoo.com.


BACA TRUZZ...- SEGERA TERBIT BUKU “MELANGKAH KE DUNIA LUAS, Impian dan Pergulatan Anak-anak Papua”

Tingginya Buta Aksara di Papua: Gagalnya Pemetaan dan Pemberdayaan SDM Kampung

Senin, Oktober 05, 2009

Oleh Yermias Degei*)

Tulisan ini adalah tanggapan atas reportase berjudul “Tingginya Buta Aksara di Papua: Hukum Karma Buat Guru“ di tabloid Jubi Online, edisi 1 Agustus 2009. Reportase tersebut ditulis oleh Jerry Omona, wartawan tabloid Jubi berdasarkan hasil wawancara dengan berbagai pihak berkompeten. Mereka yang berkompeten adalah Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Provinsi Papua, James Modouw; mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Pendidikan Nonformal dan Informal Depdiknas, Ace Suryadi; Ketua Lembaga Masyarakat Adat Malind Anim Merauke, Albert Gebze; Kepala Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten Boven Digoel, Martina Wombon; dan Gubernur Provinsi Papua, Barnabas Suebu, SH (sambutan tertulis).

Repotase tersebut menarik karena membicarakan tentang tingginya buta aksara di Papua—terutama di wilayah pegunungan serta daerah Asmat dan sekitarnya—dan faktor-faktor penyebab. Upaya-upaya penanganan yang telah dilakukan dan yang dilakukan ikut dikemukakan. Lead reaportase yang ditulis dengan huruf miring adalah juga bagian lain yang menarik. Lead tersebut adalah “Mau merdeka atau otonomi, persoalan Papua belum lari jauh dari masalah buta aksara Latin. Alih-alih menuntaskan, sejumlah pihak malah saling tuding.”

Saya akan menanggapi pernyataan-pertanyaan pada reportase tersebut dengan lebih dahulu menyepakati lead. Lead yang terdiri dari dua kalimat itu (lihat pada paragraf di atas) membawa saya pada sebuah kesimpulan. Bahwa, masalah buta aksara di Papua adalah masalah kemanusiaan yang harus diselesaikan. Soal buta aksara tidak bisa hanya dilihat dari soal mau merdeka atau otonomi. Setelah Papua merdeka pun soal buta aksara pasti akan ada dan harus diatasi. Selama delapan tahun Otsus berjalan pun soal ini terus diupayakan untuk diatasi.

Lead itu menyiratkan, kita (semua orang) berhenti dengan pertanyaan dan pernyataan tidak realistis. Banyak buta huruf baru Papua mau merdeka kah? Orang Papua sendirilah yang tidak punya kemauan untuk berkembang. Ah, sekarang Papua sudah Otonomi Khusus (banyak uang) tidak perlu dukungan? Masalah buta aksara adalah masalah kemanusiaan. Masalah buta aksara harus berada di luar dari dua soal itu, walaupun dua hal itu dapat menjadi alat untuk mengatasinya.

Jadi, kita harus berhenti dari tuding menuding secara politis dan sosial yang tidak realistis dalam membicarakan soal buta aksara di Papua. Soal buta aksara adalah tanggung jawab moril kemanusiaan. Pembicaraan ini terlepas dari pemahaman kita bersama bahwa merdeka atau otonomi adalah juga soal kemanusiaan.

Hal menarik berikut --yang menjadi inti tanggapan saya-- adalah tentang tingginya buta aksara di Papua dan faktor-faktor penyebab. Soal tingginya buta aksara. Tahun 2005, buta aksara di Papua mencapai 552.000. Pada tahun 2009 angkat tersebut berkurang menjadi 230.000 (baca: paragraf 2 pada tulisan dimaksud). Pada paragraf terakhir mengatakan, penduduk buta aksara di Papua masih tertinggi secara nasional, yaitu 16,50 persen. Belum ada penjelasan 16,50 persen itu dari angka berapa dan tahun berapa secara nasional. Mungkin mengacu pada ‘tekad’ Direktorat Jenderal PLS (Pendidikan Luar Sekolah), Depdiknas untuk mengurangi jumlah penduduk buta aksara hingga tahun 2009 menjadi 5% atau 7,7 juta jiwa secara nasional.

Nah, jika pada tahun ini (2009) buta aksara di Papua 16,50 persen secara nasional, bagaimana dengan kerja keras pemerintah provinsi Papua dan kabupaten yang banyak-banyak itu selama ini. Berdasarkan data di atas, realistiskah jika kepala Dinas Pendidikan Papua mengatakan bahwa tahun 2005 buta aksara di Papua mencapai 552.000 dan pada tahun 2009 angka tersebut berkurang hingga menjadi 230.000.
Banyak orang bertanya-tanya tentang isi informasi ini. Terutama tentang data 16,50 persen (data tahun berapa dan dari jumlah berapa) belum begitu jelas. Data Dirjen PLS, Depdiknas, yakni 5% atau 7,7 juta jiwa secara nasional adalah bukan hasil tetapi ‘tekad’ yang ingin dicapai pada tahun 2009 ini. Dengan demikian, angka-angkat ini menjadi sulit dipahami. Apalagi dalam kondisi PLS kabupaten yang jelas jarang ke lapangan untuk melakukan pendataan (data tidak lengkap).

Soal berikut adalah faktor-faktor penyebab. Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Papua, Jemes Modouw mengatakan, buta aksara untuk pegunungan merupakan terbesar. Menurutnya, hal ini disebabkan sulitnya transportasi ke daerah tersebut serta minimnya SDM untuk dimanfaatkan di sana. Faktor lain menurutnya, dipengaruhi oleh mobilisasi penduduk yang terus meningkat tiap tahunnya. Aktivitas ini menyebabkan pemda setempat sulit untuk memberantas buta aksara.

Persoalan sulitnya transportasi untuk mengatasi berbagai soal yang melilit orang Papua, termasuk buta aksara adalah alasan realistis. Tanah Papua yang tiga kali pulau Jawa dengan medan yang berat --gunung-gunung yang menjulang tinggi, perbukitan dan lembah, serta sungai-sungai yang besar dengan lautan yang luas—adalah alasan nyata. Persoalannya adalah hampir dari semua kegagalan di Papua menjadikan realitas ‘medan yang sulit’ itu sebagai alasan realistis dari sebuah kegagalan--adalah tidak realistis.

Faktor SDM juga tidak berbeda dengan soal medan yang sulit. Artinya, pernyataan “Papua medan sulit” dan “Papua SDM kurang” adalah benar. Tetapi, apakah dua hal itu berubah menjadi semacam sebuah label/stigma yang membuat orang Papua sulit berkembang-berinovasi. Label itu secara tidak langsung mengondisikan orang harus manja dan akhirnya menunggu semuanya seperti Jawa—transportasi dan komunikasi lancar, serta tanah rata. Daya kreasi dan inovasi untuk membangun Papua-- yang sungguh indah ini-- tanpa kita sadari terbunuh dengan stigmatisasi.

Apakah kita harus terus menjadikan alasan klise ‘sepanjang masa’ itu menjadi alasan masuk akal di tanah Papua dari rentetan kegagalan ini. Ataukah dengan sengaja orang Papua harus diikat dengan stigma-stigma yang membuat mereka “ta duduk”. Tentu tidak. Tidak ada orang yang merencanakan kegagalan untuk akhirnya menjadikan alasan itu digunakan biar ‘bapak senang’.

Faktor penghambat lain dalam pemberantasan buta aksara di Papua menurut Pak James adalah mobilisasi penduduk yang tinggi. Mobilisasai penduduk adalah alasan pokok ketiga masih tingginya buta aksara di Papua. Mobilisasi dimaksud dapat dipastikan adalah mobilisasi sosial. Karena, masyarakat yang buta aksara tidak mungkin dijadikan tentara atau naik kedudukannya. Mobilisasi sosial adalah perpindahan (tempat atau kedudukan, tingkah laku) orang-orang di masyarakat dengan pola yang baru. Mobilisasi penduduk untuk mencari makan seperti di kampung-kampung di daerah Asmat adalah benar adanya. Mereka jarang berada di satu kampung dalam waktu yang lama. Berbulan-bulan mereka berada di hutan untuk mencari makan.

Sementara mobilisasi penduduk di wilayah pemekaran. Mereka tidak berpindah. Mereka hanya pergi ke kota atau ke ibu kota distrik dalam waktu yang tidak lama. Sebenarnya, mengatakan pemerintah kabupaten sulit mengatasi karena alasan mobilisasi nampaknya tidak berdasar. Zaman nomaden telah berganti. Alasan mobilisasi sebenarnya adalah kegagalan pendataan. Pemerintah gagal melakukan pemetataan dan penentuan sasaran.

Lalu bagaimana dengan pernyataan hukum karma. Albert Gebze Mouyend, Wakil Ketua Lembaga Masyarakat Adat Malind Anim di Merauke dalam repotase tersebut mengatakan, buta aksara di Papua dipicu karena buruknya guru melaksanakan tugas. Jadi, buta aksara itu sebagai hukum karma.

Saya setuju dengan pernyataan Albert Gebze bahwa buta aksara tinggi karena guru tidak melaksanakan tugasnya dengan baik. Demikianlah realitasnya? Kasus konkret, di sebuah kabupaten di Papua seorang yang sudah lulus CPNS ternyata diketahui tidak bisa menulis dan membaca. Ini mungkin hukum karma itu. Masih banyak lagi. Namun, sebagai seorang pendidik, saya setuju dengan agak tersinggung.

Pertanyaannya adalah mengapa kita sering berhenti hanya pada ‘guru gagal’. Kita jarang memikirkan bagaimana caranya agar guru tidak gagal. Kita lupa bahwa guru-guru di kampung-kampung masih menggunakan paradigma pendidikan lama. Paradigma pendidikan terus berubah sesuai perkembangan zaman. Guru-guru membutuhkan pemberdayaan dan pengetahuan dengan pelatihan yang baik. Mereka butuh sedikit pengetahuan tentang hakikat pendidikan (filsafat pendidikan). Hakikatnya mereka tidak butuh ceramah yang bagi-bagi uang dan laporan ‘asal bapak senang’ yang sering kita buat.

Dari tingginya jumlah buta aksara dan faktor-faktor penyebab yang dikemukakan kembali di atas, pemerintah telah melakukan berbagai upaya. Upaya tersebut antara lain yang sudah dan yang akan dilakukan adalah pemerintah telah berencana tiap tahun menurunkan dana sebesar 6 miliar dari APBD Provinsi Papua. Juga rencana-rencana pembangunan taman bacaan, sosialisasi ke masyarakat serta untuk penyelenggaraan pelatihan pemberantasan buta aksara.

Dari rencana ini, tahun 2014 nanti, Papua akan benar-benar bebas dari buta aksara. Namun, akankah rencana tersebut bisa terwujud? Sebagai seorang yang prihatin dengan soal pembangunan pendidikan di tanah ini, dana besar tidak akan berarti jika strategi tidak benar. Apabila komitmen ini hanya setengah hati dan tidak ada strategi dengan pemetaan yang benar maka target ‘2014 bebas buta aksara’ bisa terkendala soal klasik. Mari kita berjuang sungguh supaya tahun 2015 tidak lagi berbicara soal buta aksara di tanah ini!

Upaya Pemberantasan Buta Aksara
Persoalan buta aksara selalu terkait dengan soal kemiskinan, keterisolasian, keterbelakangan dan ketidakberdayaan. Maka, upaya-upaya yang konkret dan kontekstual untuk pemberantasan buta aksara adalah juga satu upaya untuk mengatasi berbagai soal di atas. Tetapi, pemberantasan buta aksara tidak harus berhenti pada bisa menulis dan kemudian membaca tetapi ransangan harus terus dilakukan pemerintah.

Dengan demikian, berbagai upaya harus terus dicari dilakukan, termasuk bercermin pada strategi suku bangsa lain untuk mengatasi soal ini mungkin juga baik. Tetapi, bukan kopi paste. Berikut ini adalah beberapa hal yang menurut saya penting untuk dilakukan untuk mengatasi buta aksara di Papua.

Hal utama menurut saya adalah soal kajian dan pemetaan. Pemberantasan buta aksara—termasuk juga buta huruf dan lainnya—harus dilakukan dengan mendahulukan pemetaan yang baik. Pemerintah provinsi, khususnya dinas terkait (atau diserahkan ke lembaga tertentu dengan kerja sama BPPNFI Regional XIII) membuat panduan pemetaan yang baik. Atau, wewenang itu langsung diberikan kepada dinas terkait di kabupaten. Pemetaan itu terdiri dari beberapa hal.

Pertama, pemetaan wilayah sasaran. Tim melakukan pemetaan di kantong-kantong buta aksara dengan melihat medan atau geografisnya. Wilayah-wilayah yang sangat terpencil, terpencil, pinggiran kota dan kota. Batasan-batasan harus jelas, sehingga penuntasan buta aksara menjadi lebih jelas dan tidak tumpang tindih.

Pemetaan ini mesti melibatkan guru di kampung-kampung—supaya guru tidak menjadi kambing hitam--, kepala desa, pewara (katakis), termasuk juga kepala distrik—untuk kepentingan tertentu. Pelatihan dapat dilakukan berbeda. Para guru di kampung-kampung pelatihan khusus untuk kepentingan pendidikan formal juga mereka dapat berperan untuk kepentingan pendidikan nonformal. Pemetaan ini termasuk juga pemetaan tenaga-tenaga berpotensi yang nantinya dapat diberdayakan menjadi tenaga buta aksara dan buta huruf.

Jadi, pemetaan ini akan membantu kita dan sekaligus dapat dilakukan untuk beberapa kepentingan. Pemetaan ini jika dilakukan dengan baik maka akan sekaligus membantu mengatasi soal mobilisasi yang menjadi kendala untuk menuntaskan buta aksara selama ini.

Hal kedua yang penting adalah pemberdayaan SDM kampung. Persoalan SDM yang selama ini menjadi soal utama dapat sedikit teratasi dengan model ini. Tenaga guru, kepala desa, pewarta, dan pemuda-pemuda yang telah tamat SMA di kampung dapat menjadi tenaga potensial. Dinas terkait di kabupaten dapat melakukan pemberdayaan kepada mereka sehingga dapat menjadi tenaga siap tidak hanya mengajari tetapi juga dapat menghidupkan kampung dengan berbagai kegiatan. Mereka yang mengenal medan dan mereka pasti akan betah melakukan hal ini. Soal insentif para tenaga yang disiapkan itu benar-benar harus dipikirkan dengan benar. Karena, mereka adalah eksekutor di kampung.

Hal ini dapat disebut pelimpahan wewenang penuntasan buta aksara tepat sasaran. Kita menganggap medan di Papua sulit karena tidak melakukan pelimpahan wewenang dengan benar. Benar artinya kepada orang yang tepat di sasaran buta aksara. Kadang-kadang dinas terkait di kabupaten ingin melakukan sendiri tetapi mereka tidak bisa menjangkau ke daerah terpencil dengan berbagai alasan. Padahal, daerah terpencil sering dilalui oleh masyarakat setempat dengan berjalan kaki atau transportasi ala kadarnya. Bahkan masih ada banyak orang yang punya hati untuk sampai ke sana. Sekali lagi, kita hanya membutuhkan sedikit pemberdayaan untuk mereka dengan insentif yang cukup.

Dalam pelaksanaan penuntasan buta aksara, dinas terkait atau lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah mesti membangun kerja sama dengan BPPNFI Regional VIII Maluku Papua yang berkantor di Buper Jayapura. Hal ini dilakukan supaya peran-peran BPPNFI terlaksana di Papua—supaya BPPNFI tidak terkesan lamban dan miskin data seperti selama ini.

Proses kontrol dan penanganan komprehensif akan menggenapkan upaya penuntasan buta aksara pada tahun 2014. Selama ini, banyak orang menyoroti soal kontrol dinas terkait tentang pelaksanaan di lapangan. Pengontrolan bulanan, triwulan, semesteran dan tahunan perlu dilakukan untuk melihat perkembangan. Proses-proses evaluasi ini akan membantu menyusukseskan pemberantasan soal keaksaraan termasuk soal lain di Papua.

Penanganan dengan model ini tidak terbatas pada tahap bebas buta aksara. Harus ada kegiatan lanjutan dengan ransangan-ransangan yang sengaja dari pemerintah agar keterampilan baru itu tidak berhenti. Bekal-bekal keterampilan berbasis lokal dapat dipikirkan termasuk taman bacaan kampung. Juga, koperasi kampung. Penanganan ini, dinas pendidikan dapat kerja sama dengan dinas lain seperti pertanian, perikanan, pertanian, dan koperasi. Dengan demikian, penuntasan buta aksara itu benar-benar menjadi sebuah pemberdayaan dari tingkat bawah.

Dalam penanganan komprehensif ini perempuan mesti mendapat perhatian lebih. Perempuan muda harus mendapat perhatian lebih karena mereka akan mengasuh dan akhirnya mendidik anak-anak Papua. Pendidikan perempuan akan berefek baik untuk masa depan Papua.

Pemberantasan buta aksara dengan idealisme ini, lagi-lagi butuh komitmen-cinta-kasih. Jika tidak ada komitmen, cinta, dan kasih untuk membuat rakyat Papua lebih baik maka sia-sialah semuanya. Merdeka atau Otonomi masalah buta aksara adalah soal. Soal kita semua, pendidik, aktivis, pemerintah dan lainnya. Ini adalah hal-hal kecil yang sangat berat—butuh dana dan waktu—yang berakibat besar di kelak. Dengan demikian kita pernah membangun manusia Papua yang merupakan bagian dari umat manusia.

*)Sekretaris Lembaga Pendidikan Papua, Education of Papuans Spirit (LPP-edPapas)


BACA TRUZZ...- Tingginya Buta Aksara di Papua: Gagalnya Pemetaan dan Pemberdayaan SDM Kampung

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut