Perguruan Tinggi sebagai Pusat Refleksi Masyarakat

Senin, Mei 10, 2010

Oleh: Johanes Supriyono*)

Desember 2008, seorang mahasiswa semester awal di salah satu perguruan tinggi di Papua mengunjungi sekolahnya. Setelah mengobrol sedikit panjang, saya menggarisbawahi kata-kata singkatnya—yang dalam maknanya—bahwa “Kami belum belajar apa-apa. Kuliah belum berjalan.” Ada aroma kekecewaan dalam kata-kata itu yang diperkuat dengan mimik wajahnya. Ia mengharapkan perguruan tinggi itu melakukan sesuatu, bukan membiarkan mahasiswa tidak kuliah. Saya tidak tahu apakah ada mahasiswa lain yang memunyai kisah serupa.

Dihadapkan dengan situasi Papua dengan berbagai masalah yang menggunung, kenyataan itu menimbulkan pertanyaan dalam kegeraman sekaligus mengandung nada protes: Bukankah perguruan tinggi selayaknya bisa menjadi bagian dari proses mencari solusi, bukan malah menambah masalah?

Secara ringkas, panggilan pokok perguruan tinggi adalah menjadi pusat refleksi masyarakat. Sumbangan yang paling bisa diharapkan dari perguruan tinggi adalah pemikiran-pemikirannya.

Apa saja bisa dipikirkan. Semua bisa menjadi objek pemikiran. Lebih-lebih di Papua, terlalu banyak kenyataan sehari-hari yang bisa direfleksikan atau dipertanyakan. Mulai dari penyakit malaria, kematian ibu, kekurangan tenaga pendidik, gelapnya penyelenggaraan Pilkada, sampai angka kelulusan Ujian Nasional yang terlampau tinggi. Perguruan tinggi bisa juga menempatkan dalam pertanyaan perilaku para pejabat yang dinilai korup di satu sisi. Di sisi yang lain, perguruan tinggi juga bisa menggugat perilaku masyarakat yang cenderung permisif terhadap korupsi.
Sebagai pusat refleksi, perguruan tinggi tidak akan kehabisan objek untuk dipikirkan. Termasuk kenyataan sehari-hari yang sudah dianggap ‘memang seharusnya begitu’ dapat dipertanyakan pula.

Lebih lanjut, agar pemikiran bisa diterima oleh masyarakat luas—dan dengan demikian perguruan tinggi mendapatkan tempatnya, dengan lain kata, berkontribusi—haruslah pemikiran itu memenuhi syarat. Salah satunya: pemikiran itu harus masuk akal. Dalam bahasa sehari-hari logis. Ilmu yang mempelajarinya disebut Logika. Artinya, pemikiran tidak boleh melanggar azas-azas berpikir yang lurus.

Syarat yang lain adalah pemikiran itu secara etika bisa dibenarkan. Setiap pemikiran yang melanggar atau mengancam melanggar Hak Azasi Manusia harus ditolak. Dalam arti ini, perguruan tinggi di Papua memiliki peran penting yang tidak bisa ditolak: membela hak azasi manusia, terutama di Papua. Masih ada kaidah-kaidah lain yang memandu perguruan tinggi untuk memberikan sumbangannya. Maka, jika ada perguruan tinggi yang entah secara terbuka atau diam-diam mendukung—sekurang-kurangnya membiarkan terjadinya pelanggaran HAM—masyarakat bisa menilai kiprah perguruan tinggi itu.

Atmosphere yang sangat perlu dibangun dalam setiap perguruan tinggi di Papua adalah iklim berefleksi, berpikir kritis. Model-model kuliah yang memacu kemampuan mahasiswa untuk berpikir, untuk membangun gagasan-gagasan baru yang lebih kontekstual untuk situasi Papua, perlu terus dikembangkan. Proses pendidikan terlalu miskin jika dipahami melulu sebagai proses transfer of knowledge. Pendidikan adalah proses pembentukan kepribadian para peserta didik. Di samping itu, forum-forum yang menghidupkan kegiatan refleksi mahasiswa seperti rangkaian diskusi dan penerbitan-penerbitan terus didukung.

Tersirat dalam gagasan di atas bahwa perguruan tinggi perlu menghindari pendekatan pragmatis. Sebagian orang memahami betul adanya sejumlah perguruan tinggi yang sekadar menjadi tempat membeli ijazah sehingga lulusannya sangat tidak mencerminkan harapan masyarakat terhadap sarjana.

Papua akan menjadi lebih terpuruk lagi, masalah-masalah di sekitarnya tidak akan terurai karena kurangnya kehadiran orang-orang yang bisa memahami, menganalisis, menimbang, dan mencari jalan keluar untuk masalah-masalah di Papua. Sebaliknya, perguruan tinggi, yang melayani sekadar untuk mendapatkan ijazah, malah cenderung membebani Papua dengan masalah yang lebih berat. Mereka yang menggenggam ijazah sarjana tetapi dengan kompetensi yang kurang mencukupi boleh jadi diberi peran-peran strategis di masyarakat. Akibatnya, peran-peran itu tidak bisa dilaksanakan. Lebih jauh lagi, proses bermasyarakat yang demokratis bisa macet.

Dengan lain kata, perguruan-perguruan tinggi di Papua memiliki peran yang tidak bisa ditampik: terlibat dalam proses demokrasi di Papua. Bahkan, bisa dikatakan peran perguruan tinggi untuk pembangunan demokrasi di Papua sangat vital. Agaknya, menyimak praksis-praksis demokrasi di Papua (kecurangan-kecurangan Pemilu, proses pembuatan kebijakan di DPRP, pengawasan penyelenggaran pemerintahan,dll), keterlibatan perguruan tinggi di ladang ini perlu dipertegas menjadi sebuah komitmen.

Peran-peran yang dipaparkan di atas sungguh-sungguh bisa menjadi kontribusi yang sangat signifikan dari perguruan tinggi di Papua untuk masyarakat. Dengan mengemban komitmen ini, perguruan tinggi di Papua dapat mengukuhkan kehadirannya dalam proses pembangunan masyarakat Papua.

Satu sumbangan yang akan sangat berarti adalah membangun perguruan tinggi sebagai pusat refleksi masyarakat.
*) Staf peneliti dan Koordinator Jaringan di Lembaga Pendidikan Papua (LPP)
-------------------------
Sumber: Majalah Selangkah, Edisi Januari-Maret 2010


BACA TRUZZ...- Perguruan Tinggi sebagai Pusat Refleksi Masyarakat

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut