Minuman Keras, Keras Kepala di Tanah Papua

Selasa, Desember 04, 2007

Minuman keras (Miras), keras kepala di tanah Papua. Ya begitulah adanya. Tidak tahu yang menjadi kepala batu. Tetapi yang jelas Miras menjadi salah satu masalah di atara banyak masalah di tanah Papua. Miras telah menjadi kepala batu dan membunuh orang Papua seperti masalah lainnya yang juga membunuh. Angka kematian orang Papua saat ini semakin tinggi. Sementara itu, angka kelahiran sungguh sedikit. Hampir setiap saat orang Papua banyak yang mati, ada yang karena alkohol, ada yang mati misterius, ada yang mati keracunan makanan, ada yang mati karena penyakit HIV dan AIDS, ada yang kerana yang lainnya. Pokoknya, mati banyak! Lantas, ada banyak masalah yang keras kepala.

Orang Papua yang mati itu, lebih banyak adalah anak muda usia produktif. Realitasnya alkohol memang membunuh. Tetapi, pemerintah bilang Miras itu untuk Pendapatan Asli Daerah. Sementara itu, ada juga istilah Miras Legal dan Miras Ilegal padahal kedua-duanya membunuh. Minuman terus didatangkan di Papua dengan perlindungan hukum dari pemerintah daerah dan dalam kendali keamanan. Pelarangan Miras hanya terkesan retorika belaka. Peraturan daerah Miras masih bermasalah. Sungguh ironis, hingga saat ini di tanah Papua belum ada satu pun peraturan daerah yang jelas tentang Miras, kecuali Manokwari. Apakah Miras, memang keras kepala?

Miras Candu?
Bisakah kita menerima ketika mengatakan bahwa alkohol itu candu masyarakat? Entalah. Tetapi, yang jelas di dunia ini, apa lagi yang bukan candu? Semuanya cantu? Tidak tahu! Tapi katanya begitu. Sebenarnya pengertian tentang candu tidak begitu dijelaskan secara detail. Makna candu kadang sama dengan ketagihan, sesuatu yang sangat disukai atau sesuatu yang menjadi kegemaran. Tetapi candu sebenarnya adalah nama getah dari buah Papaver somnifera, yang berfungsi untuk mengurangi rasa nyeri merangsang rasa kantuk serta menimbulkan rasa ketagihan bagi yang sering menggunakannya (Baca: Hasan Halwis, 2001).
Kecanduan itu datang dari suatu proses yang perlahan menggerakkan kita untuk terlibat di dalammya. Setelah kita terbiasa dengan kegiatan tersebut dan menjadi kegemaran kita baru disebut sebagai kecanduan. Hanya saja candu kadang bermakna negatif, dibandingkan kata kegemaran atau hobi, atau kebiasaan.

Minuman keras adalah candu. Pemahaman ini bertitik tolak dari realita dan tidak bisa dipungkiri. Ada beberapa teman dalam pembicaraan mengatakan hidup tanpa minum alkohol rasanya kurang. Ucapan itu sepertinya sudah membenarkan alkohol (Miras) sebagai candu.
Beberapa teman mengakui bahwa, dengan minum alkohol (mabuk) membuat mereka percaya diri, berani tampil di depan umum untuk mengekspresikan diri tentang bakatnya yang terpendam. Ataupun berani untuk membuat kegaduhan, bahkan ada yang menjadi berani untuk melakukan ataupun terlibat dalam kasus pemerkosaan, perkelahian dan pembuhuhan. Ini membenarkan pengakuan Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Papua Komisaris Besar Drs. Daud Sihombing SH, “Dari catatan polisi pada setiap laporan akhir tahun, semua kejadian kriminal seperti pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan, pencurian, penipuan, pemerasan, teror dan seterusnya berawal dari miras. Miras ini membuat orang menjadi pemalas, bermental santai tetapi ingin mendapat untung besar, dan semangat belajar para siswa sekolah pun menurun (baca: Kompas, 17 November 2003). Hal itu terjadi karena seorang alkoholik nalar sudah tidak akan berfungsi sebagai manusia normal barangkali seperti orang kelainan jiwa alias gila.

Tradisi Miras
Kalau sedikit kita buka lembaran sejarah Papua, kebiasaan minum alkohol muncul di kalangan orang Papua melalui kontak orang-orang kulit putih dari Eropa, Melayu dan orang Timor dari Tidore Ternate. Masalah alkoholisme juga ditemukan di antara masyarakat luar Papua. Bedanya masalah alkoholisme di kalangan orang bukan asli Papua tidak begitu terlihat. Kalangan orang pegunuangan Papua mereka tidak sama sekali mengenal minuman beralkohol. Tidak ada tradisi pesta minuman keras, karena tidak ada baku untuk produksi alkohol.

Daerah pesisir pantai Papua lebih dahulu sudah melakukan kontak dengan orang luar Papua dan telah mengenal minuman beralkhohol dari pohon kelapa ataupun aren yang disebut sagero (saguer/bobo). Namun, minuman keras tradisional itu tidak membunuh Seorang aktivis Aborigin, Charles Perkin menuliskan, bahwa orang Aborigin sering minum dalam pertemuan-pertemuan tradisional, tidak sebagai minuman-minuman yang sengaja melanggar tata cara minum sebagimana mestinya. Mereka justru memenuhi sindrom “kasihanilah saya” kalau mereka di perbolehkan memperlihatkan tata cara minum yang tidak dapat diterima umum (Baca: Rutih Hardjono, 1992). Hal yang sama juga terjadi di kalangan para pecandu alkohol di Papua. Kadang minum hanya untuk mecari perhatian, ataupun untuk melampiaskan emosi. Dengan demikian mereka terlihat sebagai manusia yang tidak dewasa menyelesaikan masalah.

Konspirasi Bisnis Miras
Ada pihak-pihak tertentu yang berusaha mecari keuntungan dari minuman keras produk impor. Orang gila harta! Mereka inilah penyebab sulitnya Miras dihentikan atau diberantas dari agen-agen pemasara dan peredaran atau jalur urat pasar Miras. Kalau urat ini putus mungkin akan mengurangi orang menjadi pecandu Miras.

Di tanah Papua Miras diperdagangkan tanpa upaya membumi hanguskan. Ini terjadi karena ada konspirasi (persekongkolan) antara pihak keamanan, pemerintah dan pengusaha Miras. Mereka bersekongkol, bekerja sama (secara diam-diam) mencari keuntungan. Pengusaha bar, diskotik membutuhkan minuman keras. Ada pejabat yang juga punya diskotik atau bar, dan ada pejabat atau DPR kita sebagai penikmat bar, bir, bor (3b). Bagi pemerintah daerah, Miras dilihat sebagai komoditas penghasil uang. Pendapatan daerah lebih besar didapat dari Miras. Sedangkan pihak keamanan mendapat uang pelicin dari masuknya Miras ke Papua. Jadinya, kita hanya baku tipu soal operasi Miras.

Walaupun Kepala Kepolisian Resort Kota Jayapura (Kapolresta) Djonsoe pernah mengatakan bahwa “Dengan adanya ketertiban seperti itu agar daerah ini menjadi aman dan kondusif bebas dari Miras. Sudah cukup orang mati gara-gara Miras, ketegasan ini harus kita terapkan kembali” (baca: Harian Bisnis Papua, Edisi Jumat, 6 Juli 2007 Hal. 2). Ungakapan itu diragukan, karena seolah-olah hanya Miras Ilegal yang merusak orang Papua. Padahal, Miras Legal dan Ilegal sama-sama membunuh dan merusak orang dan bangsa Papua.

Memang polisi selalu melakukan sweeping di pelabuhan-pelabuhan, misalnya seperti di Jayapura setiap penumpang yang tiba dengan Kapal Putih. Namun ini rupanya upaya untuk mengamankan bisnis Miras Legal, agar Pajak yang dibayarkan kepada Penguasa tetap lancar, aman, tepat waktu dan tidak berkurang. Aparat polisi juga kadang mengharapkan sedikit ongkos rokok dari jual-beli Miras di tengah-tengah masyarakat Papua. Selain itu, operasi Miras dilakukan untuk menyembunyikan fakta adanya persekongkolan. Barangkali agar tidak dicurigai masyarakat sebagai lahan bisnis. Aparat mendapat uang saku dari pekerjaan itu. Oleh karenanya, setiap upaya pejabat untuk membatasi peredaran Miras Ilegal nampaknya sebagai upaya mencari makan dan operasi perlindungan terhadap peredaran Miras Legal (www.Papuapost.com, 17 Juli 2007).

Secara terselubung, polisi juga bertujuan untuk memupuk tindak kriminal di tengah-tengah masyarakat Papua agar tercipta citra buruk bahwa bangsa Papua adalah bangsa biadab yang perlu dididik oleh bangsa lain yang beradab. Larangan peredaran Miras Ilegal tidak akan memperbaiki kondisi buruk Bangsa Papua. Karena itu tugas Bangsa Papua saat ini adalah bagaimana melepas ketergantungan terhadap Miras.

Politik Miras membuat pejabat untung sendiri dan meminabobokan mereka di atas uang. Membuat mereka tidak kritis, bahkan semakin kerdil dalam berpikir soal penyakit sosial yaitu kemiskinan dan kasus Miras yang mengancam nyawa dan mental rakyatnya. Seharusnya ada proteksi, mengeluarkan peraturan daerah, baik mengenai minuman keras maupun terhadap arus budaya luar yang mengacam masa depan identitas etnik kultural, ekonomi, sosial, hukum dan politik Papua.

Walaupun ada peraturan tentang penjualan Miras, namun nampaknya proteksi terhadap Miras tidak berjalan baik, bahkan tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh. Alasanya barangkali karena Miras memiliki pasokan devisa cukup besar. Mereka seolah-olah mebalik fakta bahwa alam Papua adalah kaya-raya. Bisa datangkan uang kalau dikelola dengan baik. Tidak mengeksploitasi alam untuk diri senediri. Sebagaimana yang selama ini dilakukan oleh militer, elit Papua dan pengusaha dalam mengeploitasi alam Papua untuk kebutuhan mereka sendiri. Pemerintah daerah kita memilih melakukan spekulatif dalam membangun Papua tanpa memikirkan proteksi terhadap hal-hal kecil, mendasar yang merusak, misalnya Miras, lunturnya adat dan budaya serta yang lainnya. Pemerintah melegalkan Miras, memperbolehkan perdaganan Miras.

Di Jayapura, semakin banyak pasokan Miras, semakin banyak orang alkholik. pendapatan daerah besar (Suara Perempuan Papua, No. 32 Tahun II, 20-26 Maret 2006). Pasokan retribusi dari Miras setiap tahun untuk Jayapura terus meningkat. Pada tahun 2002 -2003 pasokan retribusi pemerintah daerahnya sebesar Rp 1. 400.000.000 (Satu Miliar Empat Ratus Juta Rupiah), tahun anggaran 2006 mengalami peningkatan menjadi Rp 3.000.000.000 (Suara Perempuan Papua, No. 32 Tahun II, 20-26 Maret 2006). Itu baru Jaya Pura, bagaiman dengan kota lainnya di tanah Papua?

Pemberantasan Hanya Wacana
Itulah sebabnya, pemberantasan Miras hanya menjadi wacama. Dengan menghilangkan angapan kolot, bahwa Alkohol hanyalah suatu masalah di kota-kota besar dan tidak di kota-kota kecil ataupun di perkampungan yang terpencil. Justru di tempat-tempat terpencil saat ini masalah alkohol sangat kritis. Tingkat penganguran sangat tinggi, di antara generasi mudahnya terjadi kebosanana yang amat sangat, dan sekolah-sekolah setempat tidak dapat menampung minat kaum muda. Mengonsumsi tanpa mengetahui efek samping dan dampak sebagai pembunuh jiwa manusia sehat.

Mengapa demikian? Orang yang alkoholik tetap terlihat seperti kelainan jiwa, sakit jiwa, sebagai akibat melemah atau matikanya syaraf ingatan. Di sanalah kaum perubah dan sasaran diskusi menjadi tempat pilihan. Tidak hanya diskusi tetapi, kemudian menjadi wujutnyata, karya bagi pembebasan manusia dari keterbelengguhan jiwa.
Pecandu alkohol di Papua terus bertambah. Sudah sangat menjarah di kalangna muda dan tua. Miras menyebakan meningkatnya tingkat kriminalitas di kota maupun di perkampuangan. Dan saat ini pembunuhan bermotif alkohol semakin gencar untuk melakukan tindakan genosida di Papua. Ada beberapa kasus, misalkan pada tahun 1999, seorang intelek Papua, Obet Badii, Dosen Filsafat Fajar Timur yang dibunuh oknum tertentu. Untuk menghilangkan jejak, pembunuh lalu menumpahi minuman beralkohol di bagian mulutnya. Padahal yang sebenarnya ia tidak biasa mengonsumsi minuman beralkohol. Kita juga masih ingat untuk kepentingan membeli alkohol Arnol Ap seorang tokoh intelek mudah dijual oleh temannya yang sudah Mabuk karena Miras.

Alkohol Membunuh
Alkohol (Minuman Keras) memang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Tetapi, alkohol juga membawa dampak buruk. Salah satu masalah utama yang saat ini sedang dihadapi orang Papua adalah alkoholisme atau sering disebut kecanduan alkohol (alkoholik). Ini tidak berarti semua anggota masyarakat Papua alkoholik, tetapi alkohol sudah meradang bagaikan penyakit kanker yang lama kelamanan membunuh.

Banyak orang Papua mati karena mengonsumsi minuman keras. Minuman keras telah membunuhan baik membunuh secara fisik maupun karakter sebagai orang Papua. Membunuh secara fisik karena (1) minuman keras bisa menyebabkan berbagai penyakit, seperti penyakit jantung, lifer dan lainnya; (2) oknum tertentu bisa mebunuh kita setelah dia minum sampai mabuk; (3) setelah mabuk kita bisa saling membunuh karena mudah terprovokasi; (4) hanya untuk mendapatkan uang untuk membeli minuman keras kita bisa menjual atau menyerahkan teman kita untuk dibunuh oknum tertentu.

Secara fisik misalnya, alkohol itu membunuh karena banyak yang mati. “Dalam beberapa bulan ini saja, sudah sebanyak 365 orang dari suku Mee meninggal dunia di Nabire. Ini bukan mengada-ada, tapi data yang kami temukan di lapangan,” kata Tokoh Masyarakat Nabire Ruben Edoway alam sebuah diskusi di Nabire seperti yang dikutip PapuaPos, 20 Mei 2007.
Data di atas ini hanya di Kabupaten Nabire dan itupun hanya suku Mee saja. Lalu bagaimana dengan suku lainnya di Nabire? Kemudian bagaimana dengan Jayapura, Timika, Sorong, Merauke, Biak, Serui, Fak-fak, Wamena, Pegunungan Bintang, Enarotali, Puncak Jaya dan lainnya?

Sementara itu, secara psikis alkohol akan mmembunuh pola pikir kita. Kita tidak akan pandai untuk berpikiran kritis, kita tidak akan mengerti mengapa tidak ada hukum yang ketat tetang minuman keras di Papua? Padahal minuman keras itu membuat kita tetap pada peradaban yang rendah, tidak membuat kita maju, ujung-ujungnya kita tetap ingin dibuatnya bodok. Dalam sejarah suku Aborigin di Australia misalnya, suku itu menjadi minoritas dari segi kualitas maupun kuantitas karena diminabobokan dengan alkohol.

Miras dan Penyakit Menular
Di Papua, sekalipun di kampung, saat ini alkohol menjadi masalah sangat kritis. Padahal dulu orang kampung tidak tahu Miras. Adanya jalur transportasi mendorong orang datang ke kampung berdagang Miras. Walaupun harganya mahal, mencapai ratusan ribu/botol. Namun, laku keras, mereka ingin merasakan pengaruh yang datang dari kota besar, seperti Miras.

Mereka, terutama kelompok muda meninggalkan kebun, ternak dan kebiasaan hidup tentram di kampung. Mereka mengimpikan kota. Ingin sama seperti orang kota. Mereka berbondong datang ke kota tanpa tujuan apapun, sekedar jalan-jalan datang hidup berfoya-foya di kota yang baru berkembang. Kehadiran mereka memadati ruang-ruang aktifitas sosial masyarakat kota yang baru berkembang, seperti di pasar, terminal, pelabuhan. Sementara mereka tidak punya pengetahuan tetang keadaan dan kondisi kehidupan di kota. Mereka juga belum memiliki skill untuk kerja di kota.

Dampaknya, di kota banyak pengganguran dan kriminalitas meningkat. Karena mereka yang datang dari kampung memperbanyak jumah penganguran, menjadi sangat tinggi. Di antara generasi mudahnya terjadi kebosanana yang amat sangat. Sementara sekolah-sekolah dan wadah kepemudahan setempat tidak dapat menampung minat kaum mudah. Karena mengalami sok berat alkohol menjadi fokus utama dalam kehidupan penduduk asli. Mereka mengkonsumsinya tanpa mengetahui efek samping dan dampaknya sebagai pembunuhan terhadap jiwa dan fisiknya yang sehat.

Hingga kini Miras sudah meradang bagaikan penyakit kanker yang lama kelamanan secara perlahan mematikan masyarakat. Dampak dari alkohol, dinegara-negara koloni atau negara-negra yang dijajah dapat ditemukan, bahwa alkohol itu salah satu alat untuk mebunuh orang yang dijajah. Para penjajah (kolonialisme) mematikan fisik dan fisikis orang yang dijajah. Tentu dilakukan demi kepentingan politik (menguasai) dan ekonomi (barang). Hal seperti ini perisi terjadi di Australia Pemerintah Ingris terhadap penduduk asli (Aborigin) juga di koloni Ingris lainnya di Amerika terhadap suku Asli Indian. Indian dan Aborigin keduanya menjadi suku menoritas di tanyanya sendiri dinegeri mereka.

Menyadari akan bahayanya Miras masa depan anak cucu, ratusan perempuan Mimika yang tergabung dalam Jaringan Perempuan Mimika (JPM) menggelar demo menolak peredaran minuman keras (Miras) di Mimika, Papua. Ratusan perempuan itu membawa puluhan poster dan spanduk, antara lain bertuliskan "Miras Jahat", "Jangan Bunuh Anak Cucu Kami dengan Miras", dan "Miras Bukan Adat Orang Papua". "Banyak kekerasan terjadi karena Miras (TEMPO Interaktif,Jum'at, 02 Maret 2007).
Dalam konteks Papua Secara fisik telah banyak orang yang mati, karena mengonsumsi minuman keras. Mereka terserang berbagai penyakit, ada yang mati karena dibunuh sewaktu mabuk. Adalagi yang hanya karena ingin mabuk mebunuh sesamanya. Orang mabuk, terlihat kasar, lepas kendali dari kontrol diri sebagai manusia normal. Mereka seolah-olah terlihat berani melakukan apa saja. Kegaduan dan perkelahian pun bisa terjadi, bahkan sampai kehilangan atau menghilangkan nyawa manusia. Sekali pun dia rekan seperjuanganya atau bahkan seetnis-kultural atau bahkan keluarganya sendiri, dijual atau dibunuhnya. Sehingga konflik terjadi karena ada propokasi oleh pihak-pihak tertentu. Kematian satu orang, rohnya seperti meminta koraban dan memakan korban jiwa lebih dari satu. sebelum berdamai dengan dikeluarkan uang bermiliaran rupiah.

Melalui motif alkohol terjadi tindakan genosida di Papua. Menurut Martin Sardi, dalam sebuah rengan memperintati hari HAM dikatakan genosida karena terjadi pembunuhan terhadap intelektual dan pemimpin, sehingga membuat rakyat mereka tidak teratur. Kacau balau, karena tidak ada pemimpin.

Ada bebrapa kasus, misalkan pada tahun 1999, seorang tokoh terpelajar Papua Obet Badii, Dosen Filsafat Fajar Timur yang di bunuh oknum tertentu. Untuk menghilangkan jejek, pembunuh lalu menumpahi minuman beralkohol dibagian mulutnya. Padahal yang sebenarnya ia tidak mengonsumsi minuman beralkohol. Arnol Ap seorang tokoh intelek mudah dijual oleh temannya seharga 4000 ribu untuk beli minuman keras.

Penjabat Gubernur Papua, Dr. Sodjuangon Situmorang, M.Si berkomitmen, bahwa dirinya tidak akan menerbitkan perijinan masuknya minuman keras (Miras) ke Papua, dalam upaya pencegahan tingginya kasus tindak kriminal. Di Papua, namun karena tingginya angka kasus HIV/AIDS dan peredaran gelap Narkoba di Papua, yang berawal dari pengkonsumsian Miras. Karena Miras dalah pemacu tindakan kriminal, yang juga sebagai pemacu peredaran gelap Narkoba yang berujung pada kasus HIV/AIDS. Akibat pengkonsumsian Miras dalam jumlah yang banyak, dapat berdampak buruk pada tingkat kesadaran seorang manusia. Sehingga demikian, apabila seseorang telah dalam keadaan diluar kendali atau mabuk, maka dapat menimbulkan keresahan masyarakat.

Sedangkan kaitannya dengan HIV/AIDS, seseorang dalam kondisi yang mabuk, sebagian besar melakukan hubungan seks yang tidak aman atau tidak memakai pelidung (kondom). Hal demikian, tentunya menjadi pemicu penyebaran HIV/AIDS di Papua, yang setiap tahunya meningkat secara terus menerus.

Menurut penelitian yang dilakukan, sebagian besar pengkonsumsi Narkoba, sebelumnya mengkonsumsi Miras. Dengan demikian, maka Miras adalah pemicu berbagai tindak kejahatan yang seharunya diberantas. "Saya tidak berniat untuk mengeluarkan ijin-ijin Miras, karena itu juga merupakan salah satu upaya kita untuk menekan angka-angka tingkat kejahatan, peredaran Miras, Narkoba, dan kasus HIV/AIDS di Papua," ("http://www.papua.go.id/berita.php/id" 12 May 2006).

Penderita HIV/AIDS sudah semakin tinggi di Papua. Ada indikasi terjadi karena pengaru minum alkohol yang mendorong keinginan sex semakin besar dan melampiskan nafsu birahinya dengan meniduri sembarangan wanita. Melakukan ganti-ganti pasangan. Sulit di ketahui sekalipun gadis yang ditidurunya adalah penderita HIV/AIDS (ODHA) yang barangkali memperdagangkan tubuhnya.

Di Papua dagangan sepeti itu, bukan hanya di tempat-tempat penampuangan PSK yang dapat terkontrol bila keketahui ODHA. Malahan orang dengan ODHA mendagangkan tubunya di rumah makan (tersedia kondom), dan bahkan ditempat-tempat umum, pusat keramaian (terminal, stasiun, pasar dsb). Dan ini menjadi sasaran pria hidung belang, terutama mereka yang mabuk pata, tidak tahu diri. Ini sangat berbahaya. Apalagi sekarang jumblah ODHA yang sudah terdata mencapai kurang lebih 3.377 jiwa. Kebanyakan dari mereka adalah, anak mudah, masih usia produktif. Namun usia mereka sudah terbatas, kasarnya tinggal tunggu waktu. Keadaan itu membuat setiap individu harus hati-hati dan lebih waspada. Sebab kalau itdak berapa tahun kedepan barang kali etnis dan kultural orang Papua bisa punah. Bisa tinggal sejarahnya, mengenai kepunaannya. ( Pace mace kalu cinta Papua, stop mabuk sudah!).
Dengan begitu sangat besar ancaman terhadap kepunaan bagi ras Papua yang semakin menjadi minoritas di atas tanah airnya (Papua tercinta). Minoritas disini karena keterbelangana, minuman keras merusak karakter, pola pikira dan jiwa orang Papua. Juga menjadi minoritas dalam kuantitas, jumbalah penduduk tidak berkembang maju, saat ini kuran lebih 1,3 juta jiwa berbading lurus dengan penduduk bukan asli Papua. Jumblah itu termasuk ODHA.

Secara fisikis, terkait dengan mental dan cara berpikir orang Papua. Orang Papua saat ini sulit bersanging dengan masyarakat lain dari luar Papua yang seolah-olah nampak lebih maju dalam berpikir. Saat ini di Papua secara sosial ekonomi mereka mejadi tetap miskin dan minoritas di negerinya sendiri.

Bisa jadi karena karakter Papua yang sebenarnya adalah pekerja keras. Hidup melawan lebatnya hutan, derasnya sungai dsb, kini menjadi malas. Adanya kontak dan masuknya budaya negarif, seperti Miras dan lainnya merubah kebiasaan hidup orang Papua. Sekarang ada kelompok anak muda lebih doyan kumpul-kumpul sambil minum-minum minuman keras. Atau menjadi pengikut anak orang kaya yang dengan banyak uang mentraktir Miras sebagai rasa keakuan (egonya) biar dihormati. Sebagaiman terjadi di kota tempat saya menulis tulisan ini. Ada anak pejabat yang sukanya mentraktir minuman keras berkarton-karton biar dia mendapat pengakuan dari temam-teman bahkan kakak yang bisa saja di permainkan dengan Miras. Anekan!

Kebiasaan mabuk pata membuat kemungkinan besar pikiran dan nalar tidak akan bekerja baik, karena alkohol yang berlebihan dan terus menerus mereka konsumsi akan melemahkan syaraf-syara otak manusia. Manamungkin akan konsetrasi dalam belajar. Mengapa demikian? Orang yang alkoholik terlihat seperti orang kelainan jiwa, sakit jiwa sebagai akibat melemahnya saraf. Dengan begitu kebiasaan mabuk bagi orang Papua baik dikalangan muda Papua maupun pejabat akan berbahaya bagi masa depan Papua. Menghambat kemajuan di Papua kalau tidak ada keinginan atau kerinduan untuk meninggalkan kelakuan buruknya, seperti, mabuk-mabuk, free sex dan sebagainya. Perbuatan itu tidak terpuji oleh agama dan bukan merupakan budaya Papua.

Dalam kasus keterbelanganan yang dialami orang Aborigin, Justice Muirhead, mantan pemimpin dari Penilitian pada kematian Aborogin di dalam tahanan, mengatakan bahwa kaum Aborigin tidak akan keluar dari lingkaran kemiskinan dan Alkholisme terkecuali ada usaha dari mereka sendiri. (Rutih Hardjono, 1992). Di belahan dunia masyarakat asli, seperti Indian di Amerika, Aborigin di austrlia, termasuk juga Papua menjadi puna. Salah satunya karena minuman keras yang mengakibtkan kematian fisik dan bahkan fisikis menjadi orang terlelakang di negerinya sendiri.

Dalam hal minuman keras ini, kita (orang Papua) harus menyadari sendiri terutama dimulai dari individu, keluarga dan kemudian kolektifitas kita dalam melakukan aksi menentang Miras terhadap diri kita dan terhadap generasi Papua. Ataupun membentuk tim pemberantas Miras, seperti misalnya di Asutralia, kenyatakan bahayanya minuman keras mendorong Muirhead untuk menekankan, bahwa Australia harus membentuk suatu tim khusus untuk menangani masalah alkholisme di sana. Lebih lanjut tuturnya, Alkoholisme merupakan salah satu tragedy yang terbesar di negeri ini (Australia). ( The Raal Black Economy, Rutih Hardjono, 1992).
Begitu juga dengan di Papua, alkohol sangat berbahaya, membunuh tradisi masyarakat asli Papua yang unik dan kaya. Seperti dikemukakan, Wakil Gubernur Papua, Alex Hesegem, bahwa kebudayaan Papua saat ini memiliki masalah pewarisan. Sebab, potensi budaya hanya tersimpan pada orang tertentu, terutama orang tua. "Orang muda cenderung meninggalkan akar budaya dan mengikuti tren global,"(Tempo).

Dimana saat ini orang Papua sedang mengalami transisi budaya, degradasi kepemimpinan dan moral. Kalau terus terjadi dalam beberap tahun ini kita tidak akan mempunyai pemimpin yang berpegang pada budaya dan adat mengenai upacara-upacara, seni tari, musik, dan sastra tradisional suku-suku di Papua. makanan tradisional, benda budaya, dan obat tradisional, yang harus dijaga, dirawat dan dikembangkan.

Generasi Papua Harus Sadar
Generasi muda Papua harus menyadari sendri akan bahaya alkohol. Untuk itu harus dimulai dari dan kolektifitas kita. Seperti pernah dikatakan juga oleh Justice Muirhead, bahwa kaum Aborigin tidak akan keluar dari lingkaran kemiskinan dan alkoholisme, terkecuali ada usaha dari mereka sendiri. Kenyataan itu mendorong Muirhead untuk menekankan, bahwa Australia harus membentuk suatu tim khusus untuk menangani masalah alkholisme. Lebih lanjut tuturnya, Alkoholisme merupakan salah satu tragedi yang terbesar di Australi ( baca: , Rutih Hardjono, 1992.

Alkohol sangat membunuh tradisi dan nyawa masyarakat asli seperti yang terjadi di Papua, Aborigin dan suku-suku asli lain di dunia. Dalam situasi seperti itu, saat ini orang Papua harus sadar bahwa kita sedang mengalami transisi budaya, degradasi kepemimpinan dan moral. Dalam beberapa tahun ke belakang ini, bisa jadi kita tidak akan mempunyai tetua adat lagi dengan warisan kebudayaan, ilmu pengetahuan mengenai upacara-upacara dan otoritas suku di belakang mereka. Lagi pula saat ini, tentu ada yang sudah dimakan usia bahkan ada yang telah meninggal.

Sedangkan banyak dari kita jarang atau bahkan tidak pernah belajar dari mereka. Kita lebih cenderung membuka mata terhadap budaya dan tradisi luar, namun tidak dewasa untuk menyikapinya. Dengan mentah-mentah menelan kebudayaan luar tanpa menyaringnya. Kadang kita terima tanpa bisa membedakan mana yang baik dan mana yang dapat merusak. Ada contoh, banyak di antara kita menjadi alkoholik karena tidak mengetahui manfaat dan dampak dari alkohol.

Jadi, kini anak muda Papua harus sadar dengan bahaya ini. Minuman keras itu membunuh fisik (tubuh) kita dan mental (cara berpikir) kita. Alkohol itu menbunuh dan mari kita lawan bersama. Cara kita melawa adalah tidak mengonsumsi. Kalau Anda tidak beli dan tidak minum maka Anda sedang melawan minuman keras dan menyelamatkan dirimu dan bangsamu Papua.

Langkah Harus Konkret
Pro kontra mengenai mengenai ijin penjualan Miras di tanah Papua masih terus terjadi. Ada pihak yang mengatakan walaupun aturan diperketat namun Miras sekarang sudah bisa diracik sendiri oleh masyarakat Papua. Sehingga aturan yang ketat sekalipun bukan menjadi solusi. Solusinya, kita harus sadar kalau Miras berbaya dan kita harus berhenti mengkonsumsinya.
Pemerintah sendiri keliharanya tidak serius menagnai kasus Miras. Buiktinya Miras masih dibiarkan beredar di Papua. Ada kelas Miras yang legal dan ilegal. Inilah bukti ketidak seriusan itu. Seangdainya pemerintah punya peduli terhadap masa depan orang Papua seharusnya melarang segalah jenis Miras masuk di Papua. Sedangkan bagi pihak yang memperdagangkan, mengkonsumsi dikenahi hukuman.

Pemerintah daerah di Papua harusny menyatakan pereang terhadap minuman keras. Seperti yang dilakukan di Oksibil, Ibukota Kabupaten Pegunungan Bintang Papua, Jumat (17/8), ditandai dengan pemusnahan minuman keras yang dilakukan Bupati setempat Wellington Wenda bersama tokoh masyarakat dan tokoh agama. Bupati dalam sambutannya mengatakan, pihaknya bersama DPR saat ini sedang merancang peraturan daerah tentang larangan memasukkan Miras ke daerah tersebut. "Kami perang dengan Miras, karena itu, akan merusak generasi muda di daerah ini," tegas Bupati sesaat setelah detik-detik proklamsi yang digelar di lapangan Oksibil, Jumat. (Oksibil, CyberNews. Jumat, 17 Agustus 2007 ). Bukan karena hari besar, 17 Agustus atau Natal dsb, tetapi secara konsisten akan memerangi Miras dengan mengilegalkannya.

Inipekerjaan rumah itu sangat sulit dan bahkan termasuk pekerjaan berat. tidak mungkin mampu diselesaikan oleh pihak tertentu saja. Apalagi sampai tuntas, itu tidak mungkin. Lihat saja sampai saat ini masala itu masih terjadi. Untuk mendapatkan perubahan ke arah yang lebih baik, tidak mungkin terjadi tanpa tidak ada keterlibatan semua pihak; pemerintah; aparat keamana; lembaga sosial/swadaya; agama dan masyarakat adat. Itulah sebanya, seharunya semua pihak di atas, bukan menjadikan Miras sebagai komuditas uang (many policy).

Untuk itu kabupaten lain kiranya bisa mengikuti jejak Kabupaten Manokwari yang telah mengeluarkan Perda yang melarang peredaran Miras. Perda yang kontroversi di daerah tersebut ternyata luar biasa. Nyaris tidak ada lagi pemabuk yang tertidur di pinggir jalan dan aksi pemalakan yang dilakukan pengonsumsi Miras. Kabarnya, ibu-ibu rumah tangga pun mulai dienakkan dengan Perda tersebut, kekerasan dalam rumah tangga menurun drastis dan uang belanja yang diterima dari suami mereka pun bertambah. (Pikiran Rakyat Rabu, 22 Agustus 2007).

Selain itu Papua membutuhkan orang yang memiliki hati dan otak melahirkan ide pencerahan dan pemimpin teladan dalam perubahan melalui melaukan proteksi dari bergagai penyaikit sosial dan budaya dari luar, terutama soal Miras yang masuk ke Papua dan mengancam etnis dan kultural untuk sebuah perubahan bagi Papua yang lebih baik tanpa ketertindasan dan kebelengguan dari berbagai penyakit sosial.

Serta Papua menantikan orang yang punya hati dan otak untuk melakukan pembinahan yang bersifat perkembangan otak (intelektual), karakter dan pembinahan hati menyangkut pembentukan diri pribadi. Basis utama pembinaan ini dimulai dari keluarga, kemudian disekolah dan gereja dengan begitu ada harapan bagi kemerdekaan setiap individu (orang Papua) dari berbagai persoalan hidup terutama minuman keras yang membelenggu, menjadikan orang Papua seperti seolah-olah tidak berbudaya. Dengan begitu kita telah melakukan pekerjaan besar untuk menentukan masa depan orang Papua yang lebih baik. Apakah Miras telah mebuat kita (masyarakat, pemerintah, pegusaha, pihak keamanan) kepala keras atau keras kepala sehingga terus mebunuh? [TIM Sorut/Selangkah]
----------------------------------------
Sumber: Majalah Selangkah
BACA TRUZZ...- Minuman Keras, Keras Kepala di Tanah Papua

Beasiswa Guru dari APBN Langsung ke Rekening Guru

Oleh : Chairoel Anwar

Tahun 2007 ini, sebanyak 361 orang guru di Kepri mendapat beasiswa peningkatan kualifikasi pendidikan dari APBN. Besarnya ‘sedikit’ lebih kecil dari APBD Kepri, yakni hanya Rp 2 juta per tahun. “Ini memang berbeda dengan yang dibantu dari APBD provinsi. Dari Pusat, anggaran untuk guru memang segitu,” ucap Mardiana, Kasi Pengembangan Profesi Guru, Dinas Pendidikan Kepri.

Penerima bantuan beasiswa ini pun bukan guru yang telah menerima bantuan beasiswa dari Pemprov Kepri. Berbeda dengan teknis penyaluran pada tahun sebelumnya, sebagian besar bantuan dari APBN ini langsung disalurkan ke rekening guru di Bank Syariah Mandiri (BSM). Kecuali untuk 31 orang guru (semuanya dari Kota Tanjungpinang) yang dibayarkan langsung ke perguruan tinggi tempat guru itu menempuh pendidikannya (Universitas Terbuka—Red).

Batam dan Natuna Ogah Menerima Dari data Dinas Pendidikan Kepri, ternyata hanya empat daerah yang mendapatkan jatah beasiswa ini, yakni Kota Tanjungpinang, Kabupaten Lingga, Kabupaten Bintan, dan Kabupaten Karimun. Mardiana menjelaskan alasan Kota Batam dan Kabupaten Natuna tidak dimasukkan dalam daftar penerima.

“Mereka (Dinas Pendidikan) menolak menerima karena sudah dianggarkan dalam APBD mereka,” jelas Mardiana. Dia tidak bisa memastikan alasan lain penolakan tersebut. Padahal, bantuan dari APBN bisa mengurangi pembebanan dalam APBD masing-masing. "Mungkin agar tidak terjadi tumpang tindih pembiayaan atau tidak ingin direpotkan dengan SPJ (laporan pertanggungjawaban realisasi--Red)," kata Mardiana.
-------------------------------------------
BACA TRUZZ...- Beasiswa Guru dari APBN Langsung ke Rekening Guru

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut