Mau Apa jika Anggaran Pendidikan 20 Persen?

Kamis, November 15, 2007

Oleh Muhibuddin

KEGERAHAN pendidikan nasional sedikit mendapat angin segar. Ini menyusul keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) atas gugatan Persatuan Guru Republik Indonesia dan Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia tentang anggaran pendidikan dalam APBN 2006. Dalam putusannya, MK menyatakan UU Nomer 13 Tahun 2005 tentang APBN 2006 sepanjang menyangkut anggaran pendidikan nasional sebesar 9,1 persen dinilai bertentangan UUD 1945 yang dalam pasal 31 ayat (4) UUD 1945 dinyatakan negara wajib memenuhi anggaran pendidikan sekurang-kurangnya sebesar 20 persen dari APBN / APBD.

Konsekuensi dari putusan MK itu, pemerintah yang dipimpin duet SBY-Kalla terus berupaya memenuhi pemenuhan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN / APBD itu. Sayangnya, meski putusan MK itu sudah berjalan beberapa tahun, hingga kini, pemenuhan anggaran pendidikan minimal 20 persen itu masih saja ditunda-tunda. Apapun dalihnya, yang pasti, tinggal menghitung tahun, sektor pendidikan bakal ketiban anggaran melimpah. Setidaknya, ini jika dibandingkan dengan pemenuhan anggaran pendidikan nasional yang bertahun-tahun jumlah nominalnya relatif minim. Kalau sekarang jumlah anggaran pendidikan masih berada di bawah usulan anggaran Pemilu 2009 yang diajukan Komisi Pemilihan Umum (KPU), barangkali, itu hanyalah terkait dengan soal waktu pemenuhannya saja yang masih harus sabar ditunggu.

Pertanyaannya, mau apa Depdiknas jika nantinya alokasi anggaran pendidikan nasional benar-benar terpenuhi sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN / APBD? Dengan dijaminnya anggaran minimal pendidikan dalam konstitusi negara, apa yang yang bakal diperbuat Depdiknas untuk mendongkrak keterpurukan pendidikan?

Pertanyaan ini wajar dilontarkan, karena ketika muncul sorotan seputar jebloknya mutu pendidikan, kritikan itu seringkali ditangkis secara klasik dengan mengkambinghitamkan minimnya anggaran pendidikan sebagai biang keladinya. Dengan kata lain, pendidikan nasional menjadi terpuruk dan tak beranjak dari titik nadir, karena anggaran pendidikan yang dialokasikan sangat minim.Dibayangi KekhawatiranSejauh ini, minimnya anggaran pendidikan memang sering dituding sebagai penghambat utama bagi kemajuan sektor pendidikan nasional.
Potret buram pendidikan nasional yang ditandai dengan rusaknya gedung-gedung sekolah di seantero negeri, minimnya sarana dan prasarana belajar, tingginya persentase angka ketidaklulusan, langkanya murid-murid berprestasi, mahalnya biaya pendidikan hingga rendahnya gaji guru, semua itu diakui berlarut-larut terus sebagai akibat dari minimnya dana penopang sektor pendidikan yang dianggarkan lewat APBN.Maka, ketika kini sudah ada kemauan politis dengan mengharuskan negara mengalokasikan dana untuk pendidikan nasional sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN / ABPD, itu bisa dianggap sebagai jawaban riil atas kegelisahan yang terasa di sektor pendidikan.

Cuma persoalannya, apakah ada jaminan wajah pendidikan nasional yang diwarnai sejumlah potret buram itu nantinya dengan serta merta bisa segera ‘face off' hanya dengan diberikannya treatment politis pencantuman anggaran minimal pendidikan dalam konstitusi negara?Memang, dengan anggaran pendidikan yang besar, gedung-gedung sekolah rusak bisa segera direhab hingga tak lagi menyerupai kandang ayam. Minimnya sarana dan prasarana pendidikan, bisa segera disulap dengan fasilitas OSOL (One School One Laboratorium).

Gaji guru yang rendah, dengan cepat pula bisa dinaikkan. Pengadaan buku teks juga bisa dipenuhi tanpa harus membebani orang tua murid. Demikian pula mahalnya biaya pendidikan, bisa segera ditekan seminim mungkin atau malahan menjadi gratis.Namun, sesederhana itukah persoalan dalam upaya mendongkrak kemajuan pendidikan nasional? Proyek Penilaian Nasional Pendidikan (PPNP) pernah mencatat, dalam usaha memperbaiki bidang pendidikan, Bangsa Indonesia masih menghadapi dua hambatan utama. Yaitu, kekurangan biaya dan perlengkapan yang bisa dibeli dengan uang dan hambatan-hambatan bukan material dimana penambahan uang tidak akan segera memperlihatkan efeknya (C.E. Beeby, 1982 : 4).

Catatan PPNP itu menyiratkan makna, bahwa pemenuhan anggaran pendidikan nasional minimal 20 persen dari APBN jelas bukan merupakan satu-satunya solusi yang dengan cepat bisa menyulap ketertinggalan pendidikan nasional menjadi lebih cemerlang. Di luar itu, masih dibutuhkan ‘suplemen' lain untuk menjamin agar kucuran dana pendidikan bisa bermakna secara riil dan segera memperlihatkan efeknya. Yang ini agaknya sangat terkait dengan kesanggupan administratif dan kemampuan manajerial pengelolaan pendidikan nasional.Kalau memang demikian permasalahannya --diluar kekhawatiran terjadinya kebocoran maupun mark up anggaran-- implementasi praktis dari pemenuhan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN / APBD itu, secara teknis administratif jelas masih mengundang munculnya sejumlah kekhawatiran.

Pertama, kekhawatiran terkait dengan kemampuan institusi pendidikan yang ada di garda depan. Yang dikhawatirkan, mampukah sekolah-sekolah memunculkan terobosan-terobosan program pendidikan inovatif dan realistis ketika kondisi pembiayaan pendidikan tak lagi menjepit?Sebetulnya kekhawatiran semacam ini tak perlu terlalu dirisaukan, karena sekolah-sekolah kini tengah menerapkan school based management (managemen berbasis sekolah).
Tapi, realitas yang terlihat di lapangan kenyataannya tak demikian. Sekedar gambaran, ketika awal-awal dana BOS (Biaya Operasional Sekolah) digulirkan, sekolah penerima cukup dibuat tergopoh-gopoh menyusun RAPBS (Rancangan Anggaran Pendidikan dan Belanja Sekolah) sebagai persyaratan pencairan dana kompensasi BBM itu. Konsekuensianya, Depdiknas juga menghadapi persoalan yang tak kalah rumit. Yakni, mengajari semua sekolah agar bisa mengelola dana dan membuat pertanggungjawaban penggunaan dana kepada negara (Kompas, 20/7/2005).

Kedua, jika lembaga-lembaga pendidikan di garda depan kurang memiliki kemampuan menyodorkan program pendidikan secara bottom up untuk menggaet dana pendidikan, dikhawatirkan bisa memicu came back-nya sentralisasi pendidikan. Akibatnya, tak tertutup kemungkinan, pemerintah pusat-dalam hal ini Depdiknas- kembali tergoda menggulirkan program-program top down berdana besar yang terkadang sering tidak relevan dengan kebutuhan riil sekolah-sekolah.Kengototan pemerintah pusat dalam menggelar UN (Ujian Nasional) dengan dalih untuk pemetaan mutu pendidikan, barangkali bisa dijadikan salah satu contoh konkrit masih dipertahankannya desentralisasi pendidikan. Padahal, jika konsekuen, dengan diberlakukannya otonomi pendidikan, ujian untuk menentukan kelulusan peserta didik itu mestinya cukup dipercayakan secara penuh kepada institusi pendidikan di masing-masing tingkat dan jenjang pendidikan.Ketiga, terpenuhinya anggaran pendidikan sebagaimana yang diamanatkan konstitusi negara tak menutup peluang bagi Depdiknas maupun sekolah-sekolah berkompetisi merancang program-program pendidikan yang prestisius.

Jika ini yang terjadi, tentu, itu merupakan fenomena positip. Tapi yang dikhawatirkan, jangan-jangan program-program prestisius itu sesungguhnya hanyalah proyek besar yang sifatnya trial and error semata.Masih ingat ketika Depdiknas memberlakukan kurikulum 1984 dengan pendekatan ketrampilan proses yang dulu begitu didewa-dewakan sebagai kurikulum paling ideal? Juga, belum lupa dalam ingatan, bagaimana prestisiusnya program Depdiknas memasyarakatkan kurikulum bernuansa link and match untuk menjawab kesenjangan lulusan pendidikan dengan tuntutan dunia kerja? Proyek prestisius berdana besar yang demikian itu, pada akhirnya hanya tenggelam bagai ditelan bumi yang kelanjutannya juga tak pernah ada kejelasan.

Timbul kesan, megaproyek pendidikan itu tak lebih dari sekedar langkah trial and error. Nyatanya, hasil pembaharuan kurikulum itu, sejauh ini nyaris tak memberikan nilai lebih bagi peningkatan kualitas output pendidikan. Jangan-jangan, KBK (Kurikulum Berbasis Kompensi) yang diagungkan dan kini diterapkan di berbagai jenis dan jenjang pendidikan itu, nantinya juga bernasib sama dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Bertaruh Program PendidikanDepdiknas dan institusi-institusi dibawahnya yang menjadi ujung tombak pembangunan pendidikan, kini harus mulai berani bertaruh program setelah perjuangan pemenuhan anggaran pendidikan minimal 20 persen mendapatkan payung hukum. Cuma, dari demensi pendidikan yang mana Depdiknas harus menggulirkan program yang bakal dipertaruhkan itu.

Inilah yang agaknya cukup menjadi problem. Sebab, hampir semua demensi pendidikan di negeri ini menampakkan wajah yang carut marut.Untunglah, sebagian carut marut wajah pendidikan itu, kini sudah ada tanda-tanda pembenahan. Misalnya, untuk mengeliminasi mahalnya biaya pendidikan, pemerintah mengucurkan dana BOS maupun BKM (Bantuan Kesejahteraan Murid).

Untuk merehab gedung sekolah rusak yang secara nasional jumlahnya lebih dari 45 persen, Depdiknas juga sudah mengucurkan dana yang jumlahnya tak sedikit. Mengatasi anak usia sekolah yang tak bisa mengenyam pendidikan, hingga kini juga terus digalakkan program wajib belajar sembilan tahun.Kalau potret buram pendidikan yang sifatnya kuantitatif seperti itu sudah mulai disentuh, kini Depdiknas dan institusi pendidikan yang jadi ujung tombaknya, tak punya pilihan lain kecuali bertaruh menggulirkan program-program riil ke arah perbaikan pendidikan yang bernuansa kualitatif. Bahkan, bila perlu, dengan terpenuhinya anggaran pendidikan minimal 20 persen, Depdiknas tak diharamkan melakukan perombakan mendasar yang inovatif demi menciptakan output dan outcome pendidikan yang qualified.

Kaitannya dengan ranah pendidikan berdemensi kualitatif, setidaknya ada dua hal yang menggoda untuk disikapi. Pertama, masih rendahnya kemampuan akademik siswa. Indikator ini tercermin dari masih tingginya angka ketidaklulusan siswa dalam mengikuti UN, terutama untuk siswa SMP/MTs dan SMA/MA. Di sisi lain, kemampuan akademik anak didik kita juga semakin kentara keterpurukannya manakala dibandingkan dengan kemampuan akademik siswa negara-nagara lain berdasarkan hasil-hasil pengukuran lembaga-lembaga internasional.Kedua, bermunculannya siswa-siswa genius dari berbagai pelosok tanah air yang kenyataannya mampu menyabet penghargaan setelah bersaing dalam olimpiade di bidang ilmu pengetahuan bertaraf internasional.

Di lain pihak, kini juga bermunculan siswa-siswa yang memiliki kemampuan membanggakan dalam event-event lomba penelitian ilmiah remaja.Dua fakta kualitatif yang bertolak belakang itu, nampaknya harus disikapi secara bijak. Pelaku-pelaku pendidikan ditantang merancang pengembangan program yang memungkinkan anak didik terdongkrak kemampuan akademiknya. Dengan demikian, angka ketidaklulusan bisa ditekan seminim mungkin meski passing grade nilai kelulusan dari tahun ke tahun dinaikkan.

Di balik itu, pelaku pendidikan juga ditantang bertaruh program yang bisa mengakomodir anak-anak genius dalam berbagai mata pelajaran. Jumlah mereka mungkin cukup banyak, tapi hanya karena pendekatan pengajaran di sekolah yang masih konvensional, potensi mereka belum tergali.Jika nantinya anggaran pendidikan nasional minimal 20 persen dari APBN/APBD sudah terpenuhi, fenomena-fenomena pendidikan yang demikian agaknya lebih menarik untuk dipertaruhkan menjadi program pendidikan yang realistis. Tinggal persoalannya, kapan pemerintah merealisir amanat konstitusi yang bisa membuat sektor pendidikan sedikit booming anggaran?
-----------------------------------------------
Sumber: http://kabarindonesia.com/berita.php?pil=13&dn=20071107215048
BACA TRUZZ...- Mau Apa jika Anggaran Pendidikan 20 Persen?

Dari Gelaran Budaya Nusantara USD, “Tradisi Lemah Mudah Dijajah”

Rabu, November 14, 2007

Yogyakarta (KPP)--Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta mengadakan pekan Budaya bertema “Tradisi Lemah Mudah Dijajah—Menjadi Manusia sadar Budaya” pada 14-15 September 2007 di gedung Wanita Tama Jalan Adisucipto Yogyakarta.
Dalam pekan budaya ini Papua (Nabire) turut diundang melalui Ikatan Pelajar Mahasiswa Nabire (IPMANAB) Yogyakarta.
“Kami merasa senang karena IPMANAB diundang dalam pekan budaya ini untuk mempertunjukkan budaya kami. Keikutsertaan IPMANAB yang mewakili Papua ini akan memperkuat semangat kaum muda Papua untuk terus melestarikan budaya Papua. Karena bagaimanapun juga semua budaya itu sama. Tidak ada budaya yang lebih hebat. Juga tidak boleh ada budaya lain yang harus mendominasi dalam kehidupan bangsa”, demikin kata Joni Kristian Iyai Ketua IPMANAB Yogyakarta di sela-sela pekan budaya.
Senada juga sempat dikatakan Maria Iyai, Trikurniawan, dan Mateus Auwe yang ikut menjaga stand Papua (Nabire). “Kami merasa bangga dan senang menunjukkan budaya kami kepada orang lain. Ketika kami bisa menjelaskan kepada pengunjung dan orang lain melihat, kami merasa menjadi orang yang beridentitas. Kami merasa orang-orang yang memiliki harga diri,” kata mereka serentak.
Memprihatinkan dan Topeng
“Tradisi Lemah Mudah Dijajah”. Menurut Ketua Komunitas Pendidikan Papua Yogyakarta, Longginus Pekey, tema pekan budaya ““Tradisi Lemah Mudah Dijajah” itu memprihatinkan dan sekaligus topeng. Mengapa memprihatinkan? Karena tema itu menjadi topeng atas realitas.

“Yang menjadi pertanyaan adalah budaya yang mana. Karena selama ini, Indonesia yang memiliki keragaman budaya itu tidak mendapatkan tempat yang tepat. Yang ada selama ini adalah dominasi oleh bangsa dan budaya tertentu yang merasa budayanya lebih baik. Atau bangsa tertentu yang merasa mereka lebih beradab. Realitas ini sejak lama telah menjadi ancaman bangsa-bangsa seperti Papua, Kalimantan, Flores dan lain-lain,” kata Pekey.
Menurut dia, budaya yang dimaksud budaya sekedar hasil karya cipta manusia yang terlihat dan dapat ditunjukkan itu tetapi lebih kepada cara berpikir. Kenapa? Katanya, dominasi oleh cara berpikir ini terlihat melalui sistem pendidikan khususnya melalui buku teks yang seolah-olah budaya tertentu yang lebih maju.

“Dominasi budaya ini biasanya terlihat dalam pandangan kolonialis sentris yang berusaha menghegemoni untuk menjajah budaya-budaya pribumi. Hal ini pernah terjadi pada kasus Aborigin dan Indian oleh pemerintah Inggris. Dalam sistem kolonialis itu, yang akan dilakukan adalah unifikasi dan asimilasi. Inilah yang persis terjadi di Indonesia yang menganut berbeda-beda tetapi tetap satu yang ujung-ujungnya adalah mengindonesikan dan menjawakan daerah lain,” papar Pekey mahasiswa Pendidikan Sejarah USD itu.

Menurut Pekey, yang harus dilakukan saat ini adalah suku-suku pribumi harus membangun konsolidasi untuk menentukan kebebasan ekspresi budaya. Karena, sekalipun ini sudah era otonomi tetapi hal ini belum terjadi hampir di seluruh daerah.

Dia mencontoh kasus Papua. Ketika simbol budaya orang Papua “Bintang Kejora” dipajang dalam bentuk tas handphone di stand Papua (Nabire) pada pekan budaya ini Polisi memaksa untuk menurunkan. Kasus lain adalah tari Sampari saat Konfresnsi Adat Papua di Jayapura beberapa waktu lalu.

“Menyadari budaya adalah identitas maka budaya harus ditempatkan pada posisinya dan harus mendapatkan posisi setinggi-tingginya. Budaya Papua adalah sebuah pembebasan untuk mencapai kemerdekaan sejati. Kemerdekaan dalam berpikir dan berpendapat yang harus dihargai oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Oleh karena it, seharusnya tidak ada seorangpun yang menempatkan budaya Papua sebagai budaya yang terbelakang. Juga tidak ada seorangpun yang dapat menilai budaya lain karena budaya itu tak ternilai,” paparnya.
Dia menyarankan, orang Papua mulai saat ini harus menghargai dan mengembangkan budaya masing-masing sukunya. Orang Papua harus membangun penyatuan budaya suku-suku itu. Pluralisme budaya Papua harus kita (orang Papua) hargai dan ditempatkan setinggi-tingginya agar tidak terjadi seperti yang terjadi saat ini di Indonesia.
“Soalnya adalah saat ini terjadi dominasi budaya tertentu dalam pendidikan, ekonomi, dan bahkan sistem politik,” tukas Pekey. [yer]
BACA TRUZZ...- Dari Gelaran Budaya Nusantara USD, “Tradisi Lemah Mudah Dijajah”

Kontribusi Media Massa Menumbuhkan Minat Baca

Selasa, November 13, 2007

Oleh Johnherf

Pada kenyataannya, minat baca masyarakat masih rendah. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa budaya baca belum tumbuh pada masyarakat kita. Padahal, dalam era global membaca merupakan kunci dalam menjalani kehidupan. Akankah kita tetap menerima kenyataan kalau budaya baca belum tumbuh pada masyarakat kita? Doktor Endry Boeriswati, M.Pd. mengungkap kontribusi media massa menumbuhkan minat baca masyarakat seperti berikut ini.
Apabila minat baca masyarakat tumbuh maka masyarakat akan gandrung membaca berbagai sumber bacaan, masyarakat akan haus informasi. Kehidupan masyarakat tidak terlepas dari suatu budaya yang secara tidak langsung menjadi panutannya. Budaya dibentuk melalui aktivitas kebiasaan di lingkungan individu tersebut berada. Oleh karena itu, apabila kita akan menilai kebiasaan suatu masyarakat tidak bisa lepas dari budayanya.

Membaca dapat dikatakan sudah merupakan suatu aktivitas kebiasaan dalam suatu masyarakat. Hal ini terjadi apabila membaca dipandang sebagai alat untuk memperoleh informasi, sedangkan informasi merupakan kebutuhan mutlak dalam kehidupan, bahkan merupakan kebutuhan pokok seperti halnya sembako. Namun, pada kenyataannya informasi dapat diperoleh tidak hanya melalui membaca, melainkan ada sarana lain yang dapat digunakan untuk mendapatkan informasi.

Dosen mata kuliah membaca pada jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia fakultas Bahasa dan Seni di Universitas Negeri Jakarta itu menyampaikan urun rembug berjuluk “Menumbuhkan Minat Baca Masyarakat” yang diadakan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional bekerja sama dengan Lembaga Kantor Berita Nasional Antara, Kamis 23/8.

Membaca membutuhkan kemampuan awal yang sangat mendasar, yaitu melek aksara. Orang dapat membaca apabila orang tersebut mengenali huruf-huruf. Ini baru sampai pada jenjang membaca tingkat pemula yang sering disebut dengan membaca simbol (word recognition).
Mari kita melihat apakah masyarakat kita sudah merdeka dari “buta huruf”? Ya masih ada sebagain kecil masyarakat kita yang masih belum merdeka dari “buta huruf”. Berarti belum bisa membaca huruf. Kebiasaan membaca pada kalangan akademis pun masih rendah. Membaca adalah proses untuk memperoleh pengertian dari kombinasi beberapa huruf dan kata. Membaca adalah proses untuk mengenal kata dan memadukan arti kata dalam kalimat dan struktur bacaan. Hasil akhir dari proses membaca adalah seseorang mampu membuat intisari dari bacaan.

Kemampuan membaca yang kita harapkan adalah bukan sekedar kemampuan membaca simbol-simbol saja, tetapi membaca yang mampu memberikan suatu pemahaman baik yang tersurat maupun yang tersirat. Tentu memerlukan suatu kemampuan yang lebih tinggi dari hanya mengenali huruf. Keberhasilan dari membaca adalah pembaca mampu memproses informasi yang diterima dari simbol-simbol yang dibaca yang kemudian dihubungkan dengan apa yang sudah diketahui menjadi informasi yang bermakna. Tentu dalam hal ini diperlukan kognitif yang baik. Dengan kata lain, diperlukan suatu kemampuan penalaran yang baik yang tampak melalui kemampuan berpikir.

Bisa saja kita katakan membaca menuntut kemampuan berpikir. Lalu bagaimana dengan masyarakat kita? Ada indikator yang mengarah pada kemampuan berpikir hanya saja tidak kuat untuk disimpulkan, yaitu budaya instan. Haruskan budaya baca ditumbuhkan? Jawabannya 100% harus. Budaya baca harus ditumbuhkan sepanjang hayat beriringan dengan pendidikan. Membaca sebagai sarana mencerdaskan bangsa. Oleh karena itu, bangsa yang unggul adalah bangsa yang warganya mampu membaca. Kemampuan membaca dilatih melalui sekolah sejak SD sampai perguruan tinggi.

Berdasarkan pengalaman, pelajaran membaca di sekolah masih pada taraf membaca teknis, padahal dari sekolah dituntut melahirkan orang yang mampu membaca interpretasi. Guru masih banyak belum menuntut siswa untuk menjadi pembaca mandiri, artinya membaca menjadi suatu kebutuhan mencari informasi sebagai bahan pemecahan masalah. Karena siswa disodori oleh informasi siap pakai sehingga tanpa melalui membaca siswa sudah mendapat informasi. Inilah sisi lain yang belum mendorongnya budaya baca.

Tiap bulan September diperingati sebagai Bulan Gemar Membaca dan Hari Kunjung Perpustakaan. Ini merupaya upaya pemerintah untuk menumbuhkan minat membaca dan menandakan bahwa membaca merupakan persoalan bangsa yang bersifat nasional sehingga pemerintah turun tangan. Persoalan membaca ternayata menjadi persoalan bersama dan sangat urgen.

Persoalan membaca juga persoalan pendidikan, apabila siswa yang memiliki minat membaca tinggi akan berprestasi tinggi di sekolah, sebaliknya siswa yang memiliki minat membaca rendah, akan rendah pula prestasi belajarnya. Dampak dari kenyataan ini adalah lahirlah generasi yang memiliki prestasi rendah, tentu ini mengkhawatirkan pemerintah. Secara umum minat dapat diartikan sebagai suatu kecenderungan yang menyebabkan seseorang berusaha untuk mencari atau mencoba aktivitas-aktivitas dalam bidang tertentu. Minat juga diartikan sebagai sikap positif seseorang terhadap aspek-aspek lingkungan.

Ada juga yang mengartikan minat sebagai kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan menikmati suatu aktivitas disertai dengan rasa senang. Minat juga merupakan perhatian yangkuat, intensif dan menguasai individu secara mendalam untuk tekun melakukan suatu aktivitas.

Aspek minat terdiri dari aspek kognitif dan aspek afektif. Aspek kognitif berupa konsep positif terhadap suatu obyek dan berpusat pada manfaat dari obyek tersebut. Aspek afektif tampak dalam rasa suka atau tidak senang dan kepuasan pribadi terhadap obyek tersebut. Minat membaca meliputi kesenangan membaca, kesadaran akan manfaat membaca, frekuensi membaca dan jumlah buku bacaan yang pernah dibaca oleh anak. Dengan demikian, minat membaca adalah sikap positif dan adanya rasa keterikatan dalam diri anak terhadap aktivitas membaca dan tertarik terhadap buku bacaan.

Aspek minat membaca meliputi kesenangan membaca, frekuensi membaca dan kesadaran akan manfaat membaca. Hasil penelitian minat baca masyarakat di Tangerang mengungkapkan bahwa salah satu indikator bahwa masyarakat berminat terhadap membaca adalah masyarakat mengetahui dan paham bahwa membaca mempunyai makna yang sangat besar dalam kehidupannya. Namun, pendapat tersebut tidak berkorelasi dengan frekuensi membaca.
Frekuensi membaca masyarakat sangat rendah. Dari penelitian ini juga menungkap bahwa kendala yang dihadapi untuk membaca adalah kurangnya sarana, yaitu bahan yang dibaca, seperti koran, majalah, dan buku. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa masyarakat memiliki minat membaca sangat tinggi, tetapi konasi dari minat tersebut belum dapat diimplementasikan yang terhalang oleh kekurangmanpuan untuk mengakses sumber bacaan, sehingga yang tampak masyarakat dinilai kurang berminat membaca atau minat membaca masyarakat rendah.

Rendahnya minat membaca masyarakat akar permasalahannya bukan pada minat atau kemauannya ternyata adalah sarananya yang kurang mendukung untuk action membaca yang rendah. Masyarakat belum secara merata menikmati kemudahan untuk mengakses bahan bacaan sehingga membaca belum menjadi suatu kebutuhan seperti sembako. Padahal, manfaat membaca sama seperti manfaat sembako pada kehidupan masyarakat.
Kemudahan mengakses bahan bacaan dapat diperoleh melalui toko buku bagi masyarakat yang mampu membeli bahan bacaan atau melalui perpustakaan bagi yang tidak mampu untuk memiliki buku. Kedua pilihan tersebut sangat berat. Bagi masyarakat yang kurang mampu bisa memanfaatkan perpustakaan. Tetapi seperti kita ketahui berapa banyak jumlah perpustakaan yang ada di sekitar masyarakat? Jika pun ada, masyarakat harus mencari waktu khusus untuk mengunjungi perpustakaan dengan jam kunjungan terbatas. Jadi, kendalanya adalah rendahnya daya beli bahan bacaan (koran, majalah dan buku).

Atas dasar itu, kontribusi media massa dalam menumbuhkan minat baca berkorelasi dengan bahan bacaan tidak terbatas. Korelasinya antara lain melalui buku atau majalah, dan koran yang juga dapat dikatakan sebagai bahan bacaan. Selanjutnya penyebutan media massa dibatasi hanya pada media cetak dan lebih khusus lagi koran.

Sebenarnya, koran telah tercatat dalam sejarah berperan menumbuhkan minat baca masyarakat. Dahulu, kala saya anak-anak sering lewat kantor kelurahan, sering melihat pemandangan sekerumunan orang dewasa. Namun, di dalam kerumunan itu ternyata “hanya” membaca koran yang ditempel di papan kelurahan. Sayang, pemandangan ini sulit ditemukan kembali. Mengapa koran tidak mengisi ruang kosong ini?

Dari keuntungan produksi dapat disisihkan untuk memberikan subsidi koran bagi masyarakat dengan memberikan secara gratis entah untuk setiap RT yang harus ditempel di papan pengumuman. Mungkin dapat juga dilakukan dengan bekerja sama dengan Pemda menerbitkan koran gratis tidak setebal koran nasional. Seperti kita ketahui bahwa yang mendorong masyarakat berminat membaca apabila membaca tersebut memberikan manfaat baginya.
Dengan demikian yang diperlukan adalah relevansi isi bahan bacaan dengan kehidupan pembacanya. Saat ini koran telah terbit dengan spesifikasinya; ada yang mengkhususkan berdasarkan isi ada mengkhususkan berdasarkan tingkat pembacanya yang semuanya berorientasi profit. Dalam hal ini koran dapat digunakan sebagai sarana untuk menumbuhkan minat baca masyarakat Bagaimana strateginya? Pertama, kita tentukan siapa yang akan ditumbuhkan minat bacanya? Masyarakat umum? Mungkin terlalu sulit karena variabel pengiringnya sangat kompleks.
Di samping itu, aktivitas membentuk suatu minat pada kelompok informal sangat sulit mengontrolnya, sehingga yang dapat dilakukan adalah imbauan atau penyadaran bukan tindakan menumbuhkan minat. Dengan demikian, penumbuhan minat yang dapat terkontrol dan dapat secara nyata terlihat adalah penumbuhan minat pada kelompok formal melalui edukasi.

Media massa dapat membentuk klub-klub baca pada setiap jenjang baik jenjang birokrasi di masyarakat atau berdasarkan keminatan objek bacaan. Dalam klub tersebut, anggota dapat menjadi motor yang dapat mempengaruhi orang lain berminat. Untuk menarik minat orang lain untuk maka perlu adanya rangsangan yang menarik, seperti kemudahan, pengistimewaan, dan hadiah.
Dengan adanya rangsangan ini orang akan merespon berdasarkan persepsinya apa yang dilakukan dengan membaca. Kegiatan yang membaca koran yang tanpa harus hadir di arena lomba, tetapi dapat dilakukan di mana saja. Bentuk lomba membaca bukan sekedar membaca teknis, tetapi membaca dengan memberikan tanggapan apa yang dibacanya yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Keuntungan kegiatan ini bukan hanya menumbuhkan minat baca masyarakat tetapi juga membelajarkan masyarakat untuk bernalar.
Kegiatan ini merupakan kegiatan dengan tujuan jangka pendek yang dapat dilakukan oleh pelaku media massa. Untuk menumbuhkan minat membaca secara permanen dapat dilakukan di proses pembelajaran.

Guru dapat mengoptimalkan tugas membaca bukan untuk menghafal isi bacaan atau untuk mencari informasi saja, tetapi membaca digunakan untuk mengkonstruksikan informasi yang diperoleh melalui membaca membentuk pengetahuan baru. Hal ini diperlukan latihan secara struktural dengan bahan bacaan yang bermakna. Ruang ini dapat diambil oleh pelaku media massa khususnya media cetak, yaitu dapat dilakukan dengan adanya koran edukasi.
Koran edukasi adalah koran yang secara khusus ditujukan untuk pembelajaran yang lebih mengutamakan pada how to learn. Seperti halnya TV edukasi yang ditangani oleh Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Depdiknas. Lalu siapa yang berminat untuk menangani koran edukasi untuk jutaan masyarakat sekolah ini? Inilah suatu tawaran yang dapat ditangkap oleh penerbit koran untuk memberikan kepedulian sosial bagi generasi mendatang.***
-----------------------------------------------------
Sumber:http://johnherf.wordpress.com/2007/10/08/kontribusi-media-massa-menumbuhkan-minat-baca/
BACA TRUZZ...- Kontribusi Media Massa Menumbuhkan Minat Baca

Banyak Cerita Rakyat Belum Digali

Provinsi Papua yang kaya akan budaya dan berbagai keunikan cerita rakyatnya, ternyata semua itu belum sepenuhnya tersentuh dan digali secara maksimal, dimana dari sekian banyak suku yang terdapat di Papua baru sekitar enam cerita rakyat yang dibuat buku.

Hal ini diakui Kasubdin Bina Bahasa Sastra dan Sejarah Dinas Kebudayaan Provinsi Papua, Drs. Masmur Asso, MA yang mengatakan bahwa sejak mulai tahun 2003 hingga 2007 ini, terdapat enam buku yang memuat cerita rakyat dari sejumlah daerah di Papua.
“Memang untuk pembuatan dan penyusunan cerita rakyat di berbagai daerah yang terdapat di Papua ini belum sepenuhnya digali, dan hingga kini baru terdapat enam cerita rakyat yang telah berbentuk buku,” ujarnya pada Papua Pos ketika ditemui diruang kerjanya, Senin (29/10) kemarin.

Dikatakan, dari keenam buku yang berisikan cerita rakyat di berbagai daerah meliputi, cerita rakyat ungkapan pribahasa daerah orang Beliem dan cerita rakyat dan ungkapan pribahasa orang Depapre yang dibuat pada tahun 2003, sedangkan pada 2004 dibuat cerita rakyat orang Nabire dan Enorotali.Pada tahun 2005 dilakukan penelitian terhadap pembuatan cerita rakyat orang Biak, dan pada tahun 2006 dicetak sebuah buku cerita rakyat orang Biak, juga pada tahun yang sama terdapat pembuatan buku cerita bagi masyarakat Kamoro dan Amungme.

Sedangkan untuk tahun ini, direncanakan cerita rakyat orang Serui sedang berjalan dengan tahapan pembuatan dan mencetak buku tersebut.Dijelaskan pula, hambatan yang dialami Dinas Kebudayaan dalam penggalian cerita rakyat yang dimiliki setiap daerah ialah, selain masalah dana ada sebuah ikatan dari suatu daerah terhadap cerita yang diinginkan, semacam ada kesakralan atau yang menyangkut dengan religius suatu daerah tertentu, dimana jika sejarah dari cerita yang diinginkan diberitahu maka yang menceritakan konon akan meninggal dunia.
“Jadi selain masalah keterbatasan dana, ada pula hambatannya mengenai pendataan atau penelitian terhadap cerita rakyat tidak dapat sepenuhnya dilakukan, masih ada yang bersifat sakral dan relegi terhadap menginformasikan sejarah di setiap daerah dengan konsekuensi yang tidak sembarangan,” pungkasnya.Meskipun begitu, pemerintah melalui Dinas Kebudayaan akan terus berupaya untuk terus menggali berbagai sejarah dan cerita rakyat lainnya disetiap daerah di Papua, sehingga kebudayaan di Papua semakin kental.**
--------------------------------------------
Sumber: http://www.papuapos.com/new/index.php?main=fullberita&id=4739
BACA TRUZZ...- Banyak Cerita Rakyat Belum Digali

PAK GURU CORNELIS MANANGSANG

“Saya Mau Hidup dan Mati Dengan Masyarakat Koteka”
Oleh Emanuel Goubo Goo*)

“Masa lampau, saya telusuri rawa-rawa, lembah yang penuh payau, gunung-gunung yang menjulang tinggi, tapi dijalani dengan tawa sebagai seni dengan harapan hasil perjuanganku suatu saat akan muncul generasi muda berkualiatas yang dapat merubah kehidupan masyarakat yang hidup dalam berbagai kerterbelengguan.
Dari sinilah saya menjalani hidup ini dengan tenang dan mau menyaksikan perubahan dan pembangunan yang dilakukan oleh anak-anak asuhan saya. Saya juga masih ingat kata-kata injil bahwa Betlehem yang daerah tandus saja lahir Sang Juru Selamat, begitupun di sini. Lika-liku hidup masyarakat begitu polos, lugu, bersahaja, monoton, tapi saya mau hidup dan mati dengan masyarakat koteka”.
”—Cornelis Manangsang.

“Orang lain tidak perlu tahu perjalanan hidup saya. Yang tahu hanya saya dengan Tuhan,“ kata Pak Guru Manangsang ketika ditemui kontributor Majalah “Selangkah” untuk menulis profil tentang dirinya. Penolakan untuk diwawancarai ini tentu bukan tanpa refleksi yang mendalam atas hidup dan pengabdian yang sungguh luar biasanya di daerah pedalaman. Pekerjaannya adalah ‘tentang pembangunan manusia, agar manusia menjadi manusia’. Karena membangun manusia maka, hubungannya adalah dengan PENCIPTA MANUSIA yang menginginkan keselamatan manusia dari segala keterbelakangan. Kira-kira begitulah refleksi pribadi Pak Guru Manangsang. Kontributor “Selangkah” mendatangi yang kedua kalinya, jawabannya masih sama (tidak mau diwawancarai). Setelah meyakinkan pentingnya pengalaman hidup Pak Guru Manangsang bagi generasi muda ke depan, akhirnya demi generasi muda, dia bersedia membuka kran perjalanan hidupnya.

“Pak Guru Manangsang”. Begitulah masyarakat pedalaman Nabire, tepatnya Desa Mauwa Distrik Kamuu, Kabupaten Nabire menyebut Bapak guru Cornelis Manansang (72). Kini genap sudah Cornelis Manansang berkarya 46 tahun di daerah Pedalaman Papua. Berkarya mulai dari Jayapura, Fak-fak, Kokonao, hingga menjelajahi daerah Pedalaman Paniai-Nabire. Tak heran bila masyarakat pedalaman mengenal dan menyebut pria asal Sanger ini dengan sebutan khas “Pak Guru Manansang”. “Tahun 2004 lalu saya pensiun tetapi saya tidak akan pulang kampong. Saya malah sudah beli tanah di Kampung Mauwa Distrik Kamuu, Kabupaten Nabire. Saya beli tanah untuk tempat peristirahatan terakhir sebelum saya dipanggil Tuhan,” kata Pak Guru tua ini 19 Oktober 2006 di rumahnya desa Mauwa.

Pria tua asal Sanger Sulawesi Utara (Cornelis Manansang) ini dilahirkan Tanggal 30 Oktober 1944 di Kampung Besum-Genyem Holandia waktu itu (Sekarang Jayapura-Red) dari pasangan Ferdinand Manangsang dan Hendrina Samuel. Pak Guru manangsang menuturkan, ayahnya (Ferdinand Manangsang) tiba di Papua tahun 1938 sebagai guru. Ayahnya masuk ke Papua sebagai guru lewat Wasior-Ransiki-Arfak - dan dipindahkan ke Genyem. Tahun 1940 Ferdinand Manangsang pulang ke kampung halamannya Sanger dan menikah dengan dengan Hendrina Samuel. Menurut Pak Guru Manangsang, ayahnya adalah tokoh GKI, namun terjadi kesalahpahaman dengan gereja dan pindah ke Katolik. Cornelis Manangsang sendiri dilahirkan Besum Genyem 30 Oktober 1944 dan dipermandikan di Fak-fak. Pak Guru Manangsang masuk sekolah VVS (vervolog School) di Fak-fak tahun 1950-an dan melanjutkan ke ODO (Ofdelling Dorops Onderwes) di Fak-fak tahun 1956-1959.

Sekolah menyelesaikan sekolah di ODO (sambil menunggu SK tugas) dia sempat mengajar di Kokonau selama tiga tahun. Kemudian dia (Pak Guru Manangsang) ditugaskan di Enarotali (kini ibukota Kabupaten Paniai). Setahun kemudian dipindahkan ke Obano, Paniai. Tahun 1960 pindah lagi Kuguwapa Bibida Paniai hingga 1968. Ketika baru memasuki daerah orang Moni di Bibida masyarakat mengganggap “setan” karena kulit maupun rambut beda dengan mereka. Demikian pengakuan pria yang tulang pipinya masih menggambarkan perjuangan pembangunan manusia ini.

Kata dia, tahun 1969 haru mengungsi ke Jayapura karena waktu itu terjadidi perang di Paniai. Walupun dalam keadaan perang, karena kecintaan dan harapannya yang besar untuk perubahan rakyat, ia kembali bertugas lagi di daerah Pedalaman Paniai, tepatnya di Timida. Tidak lama kemudian, lagi-lagi dia dipindahkan ke Badauwo, tepatnya tahun 1973. Pria Sanger yang menikah dengan Yonece Yufuwai anak perempuan Ondofolo dari Depapre, Jayapura ini melanjutkan studi KPG (Kolose Pendidikan Guru) 1975 di Nabire. Usai meneyelesaikan studi dipindahkan lagi ke SD YPPK Egebutu Distrik Kamuu tahun 1978. Tahun 1981 dia Kembali ditugakan lagi SD YPPK Moanaemani, kecamatan Kamuu. Selanjutnya, Pak Guru Manangsang dipindahkan ke SD YPPK Mauwa di kecamatan yang sama tahun 1985 hingga saat saat ini.
Menurut pengakuannya, Pah Guru Manangsang tak tega meninggalkan kampung ini (Mauwa).
“Saya sudah pensiun 2004 lalu, tapi tak henkang dari tempat tugas ini sebab saya datang daerah ini masih gelap. Sekarang saya mau melihat hasil gemblengan selama bertugas maka saya beli tanah, tempat di mana tulang belulang saya disemayamkan ketika saya dipanggil Tuhan“ ujar pria 6 anak ini.

Gubernur Bernabas Suebu pun sempat menyuruh pindah dari pedalaman ke Jayapura, namun dirinya tak tega meninggalkan daerah pedalaman. “Dari sinilah saya menjalani hidup ini dengan tenang dan mau menyaksikan perubahan dan pembangunan yang dilakukan oleh anak-anak asuhan saya. Saya juga masih inggat kata-kata injil bahwa Betlehem yang daerah tandus saja lahir sang jurus selamat, begitupun di sini. Lika-liku hidup masyarakat begitu polos, lugu, bersahaja, monoton, tapi saya mau hidup dan mati dengan masyarakat koteka. Saya tidak tega tinggalkan sebab ingin melihat anak-anak yang sudah sukses dari hasil keringat sejak saya masuk hingga kini. Akan muncul rasa bangga dan terharu ketika melihat anak-anak didikan saya berhasil dan suskses dalam berbagai aspek pembangunan”.

Kendatipun demikian, kata Pak Guru Manangsang tidak semua anak didik berhasil dalam belajarnya. Ada sebagian besar yang putus sekolah terutama anak-anak perempuan. “Dulu ketika mengajar di Enarotali, arangtua datang ke sekolah paksa anak gadisnya untuk dikawinkan, namun saya bersikeras mempertahankan siswi saya. Karena demikian orangtuanya takut pada saya dan tidak berani paksa anaknya nikah.Terkecuali anak perempuan sendiri ingin menikah barulah orang tua mengambil maskawin,” jelas Pak Guru Manangsang.

Pak Guru Manangsang bersaksi, ketika dirinya memasuki daerah pedalaman, masyarakat masih pakai cawat dan buyut (koteka & Moge), didukung dengan rata-rata tidak tau bahasa Indonesia. Maka, kantanya sebelum pergi bertugas dibekali dengan bahasa daerah di Enarotali selama 3 minggu. Kendati diibekali dengan kursus bahasa daerah, masih terbentur dengan masyarakat lokal di mana rata-rata belum memahami kehadirannya sebagai guru. Bagi dia, tantangan seperti itu justru semakin memperkuat tali persaudaraan dengan rakyat sederhana itu. Malahan tantangan dilihat sebagai suatu seni hidup. “Tantangann harus dianggap seni hidup yang patut dijalani (bukan dianggap suatu momok yang mematahkan semanggat) sehingga dari seni hidup dapat mengorbitkan generasi penerus bangsa Papua yang berkualitas. Saya masuk di Enarotali ketika berusia 14 tahun dengan gaji pertama 116 golden. Ketika itu, masyarakat belum mengenal uang, pegawai negeri tidak ada, yang ada hanyalah honei-honei dan polisi . Guru pun tidak ada”.

“Pada saat itu, gaji saja bisa diambil bila hendak ke Jayapura, tidak ada kios atau toko, yang ada hanya gudang misi. Karena daerah yang baru dibuka berbagai tantangan sempat bersanding namun dihadapi dengan tenang sebagai bumbu-bumbu kehidupan. Ketika memasuki tempat tugas baru di Enarotali masyarakat senang kehadiran guru waktu itu. Alat bantu mengajar menggunakan arang kayu, sebab kapur tulis pun tidak ada, kalau pesawat Biver tidak masuk maka terpaksa harus pakai arang kayu di atas kalam putih. Waktu itu masyarakat tidak mengenal mata uang, polisipun buta aksara, mereka naik pangkat bila menemukan suku dan daerah baru maka dinaikan pangkat. Waktu itu sekolah hanya tiga kelas, lantas mereka ikut ujian di Epouto untuk masuk kelas IV. Setelah itu, untuk melanjutkan kelas V dan VI mereka berjalan kaki tembus ke Kaimana menuju ke Fak-fak,” demikian kata Pak Guru yang mengaku gaji pertama 16 golden waktu Belanda dan gaji pokok 12.000 (dua belas ribu rupiah) ketika Indonesia masuk (pasca PEPERA-red).

Selain kecintaannya terhadap terhadap masyarakat koteka, dia tidak ingin pulang ke kampung halamannya karena ingin menyelamatkan anak-anak kandungnya yang merupakan dititipkan TUHAN. “Saya malu bila anak kandung tidak berhasil, sementara anak didik saya berhasil. Makanya tak perlu mengira saya buka kios untuk mencari harta kekayaan melainkan mencari uang untuk biaya anak saya yang masih kuliah. Guru-guru pendatang yang lain memiliki tanah, rumah mewah di Nabire tetapi saya hanya beli tanah di sini sekedar menjalani sisi hidup isteri dan anak-anaknya”.

Selain dua alasan di atas, Pak Guru Manangsang tidak ingin meninggalkan pedalaman (desa Mauwa) karena tenaganya masih dibuhkan di sekolah. Misalnya, cat sekolah, tulis papan nama, pendataan guru, lambang dan lainnya. Sementara itu, masyarakat setempat tidak ingin Pak Guru Manangsang pergi dari kampung mereka (Mauwa). Lantas, ketika masyarakat Mauwa menghadapi masalah maskawin, sumbangan gereja, atau persoalan lain dia selalu turun tangan untuk menyelesaikannya.

“Di mana berkarya disitulah tempat tulang belulang isteri dan saya disemayamkan. Di daerah ini saya masuk ketika dunia Paniai masih hidup dalam kegelapan, keterisolasian, keterbelakangan hingga kini sudah banyak perubahan dalam segala dimensi, ” tandas mantan Kepala Sekolah SD YPPK Mauwa ini. Lebih berbahagia dan menikmati ketenangan karena menyatu dengan masyarakat maka tak bisa diganggu oleh siapapun. “Anak-anak saya misalnya walaupun rambut, kulit berbeda dengan masyarakat asli tetapi bahasa daerah (bahasa Mee) merekalah yang lebih fasih. Maka, jangan heran kalau saya turun ke kota hanya beberapa hari lalu pulang ke kampung halaman alias Mauwa secepatnya. Kota adalah daerah kumuh yang penuh dengan kebisingan.”

“Saya ingin sama seperti ayah saya, dia mati di daerah tempat tugasnya, maka saya pun ingin mati di sini, maka saya sudah beli tanah untuk dikebumikan bila saya dipanggil Tuhan. Tanah saya dan anak-anak saya bukan di Sanger, tetapi saya lahir di sini, anak-anak saya lahir di sini dan di sinilah kami mengabdi hingga ajal tiba” kata Pak Guru Manangsang mantan kepala sekolah SD YPPK Mauwa ini.

Sekarang, Guru-guru Cenderaung Turun ke Kota
“SEKARANG ini banyak guru baru ditugaskan di sini tapi lebih condong turun ke kota dengan berbagai alasan. Guru sekarang mereka berpendidikan tinggi, namun kedisiplinan sanagat kurang. Mereka tidak bersemangat, disiplin, dan tidak mencintai profesi. Dulu, sangat disiplin. Ketika cuti misalnya diberi waktu hanya dua minggu, maka dua hari sebelum habis masa cuti harus ada di tempat tugas,” kata Pak Guru Manangsang kesal.

Kata dia, dulu guru punya moralitas tetapi sekarang tidak ada moralitas dan rasa tanggung jawab terhadap masa depan anak-anak dan bangsa Papua. “Kalau terlambat masuk, bagaimana dengan murid saya. Guru-guru sekarang malahan ada yang beralih profesi (politik). Bila turun ke kota buat liburan tiga sampai liam bulan baru pulang. Sekarang anak (siswa) mengganggap orang sampah dan tidak dihargai. Sehinnga jangan heran tamatan sekarang sangat kurang jumlah siswanya dan kualitanya juga merosot. Semasa saya datang tidaka ada PNS dan daerah ini masih gelap dengan dunia luar. Selama mendidik sangat jarang keluar dari tempat tugas, sekalipun itu liburan panjang. Saya tidak mau mengorbankan anak-anak didik hanya karena berfoya-foya di kota”.

Hingga saat ini masih terngiang dalam benak Pak Guru Manangsang kapan akan melihat dan menikmati kebehasilan anak–anak didiknya yang mengajar dengan tekun dan penuh tanggung jawab.

Tidak Ada Penghargaan
Menjadi seorang pengajar sekaligus pendidik siswa di sekolah dan masyarakat sekitarnya selama 70-an tahun adalah bukan perjuangan main-main. Perjuangan pembebasan manusia dari kungkungan berbagai keterbelakangan yang dilakukan Pak Guru Manangsang adalah istimewa. Berbicara keselamatan maka kita juga berbicara masalah pembebasan, maka otomatis harus bicara bagaimana pendidikan kita membangun manusia untuk menjadikan dirinya dan lingkungannya bebas. Pembebasan manusia melalui pendidikan maka kita harus bicara siapa yang akan membebaskan. Tujuh puluh tahun mengabdi dan berkarya di pedalaman adalah perjuangan pembebasan manusia seperti yang dinginkan Allah pencipta Manusia. “Manusia harus dibebaskan dari keterbelangan, keter-keter yang lain sampai pada akhirnya pembebasan dari ketertindasan teritorial.

Pak Guru Manangsang, mangabdi kepada masyarakat di bawah payung Yayasan Katolik hingga puluhan Tahun tetapi tidak pernah mendapat penghargaan apapun. Sementara itu, penghargaan dari pemerintah masih belum apa. Kalau berbicara soal penghargaan, kata Pak Guru Manangsang belum ada sampai saat baik berupa piagam maupun berupa uang. Namun bagi dirinya, yang penting dia telah mengabdi dengan sunguh-sungguh dan dia puas dengan pengabdian itu. Sehingga, dia lebih melihat penghargaan bukan dengan manusia tetapi hal itu urusan dengan Tuhan pencipta manusia yang ia didik.

“Apa yang saya buat dalam karya dan pengabdian di dunia pendidikan hanya Tuhanlah yang tahu dan akan memetik buah-buah balasan ketika menghadap di hadirat sebab mendidik anak-anak disini bukan balik memperbodoh orantua melainkan lebih menyiapkan dan mencetak manusia yang dapat membangun, merubah masyarakat dan dunia. Zaman saya telah berlalu dan telah diberikan kepada anak-anak didik untuk membangun dan merubah dunia serta manusia menuju, meraih kesejahteraan hakiki. Selagi masih diberi napas kehidupan, saya akan menyaksikan buah –buah hasiil karya dan didikan. Dulu manusia dan alamnya hidup dalam keterbelakangan, keterisolasian, namun kini telah dirubah oleh anak-anak didik, maka hal itu menjadi kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri bagi saya,” harap Pak Guru Manangsang.

Sistem Pendidikan Jawa Tidak Cocok untuk Papua
Ketika meminta sedikit komentar tentang sistem pendidikan terbaru, alias KBK, kata Pak Guru Mamangsang, sistem pendidikan dewasa ini tidak pas diterapakan di Papua sebab dirancang menurut rancangan orang Jawa. “Kurikulum dirancang menurut pola pikir orang Jawa padahal sistem pendidikan harus disesuaikan dengan kondisi suatu daerah. Dalam buku diambil contoh mobil, kereta, dan lainnya. Seolah-olah keadaan daerah sama dengan daerah Papua. Orang Papua yang ada di daerah pedalaman tidak mengenal itu. Maka sekarang harus disesuaikan ala budaya setempat,” demikian ungkapan kekecewaan sistem pendidikan yang mengharuskan segala sesuatu yang hakikatnya beda harus sama.

Pak Guru Manangsang dari pedalaman Papua berpesan, kiranya para pakar pendidikan yang susun bahan ajar, disusun menurut kemauan kondisi dan kemauan mereka. Jangan campur adukan dengan kepentingan-kepentingan tertentu yang akhirnya akan mengakibatkan hal yang fatal bagi orang lain. Kembali kepada hakikat pendidikan yang sesuangguhnya, yaitu membebaskan manusia. “Kalau dulu ketika zaman Belanda kami mengajar mereka buat buku ajar sesuai budaya di sini. I.S Kijne menyusun buku-buku ala Papua lalu kita terapkan dan banyak siswa yang berhasil. Bahan ajar yang kini dikirim dari Jawa ketinggalan jauh. Walaupun demikian saya bangga dengan anak-anak dari sini yang ke Jawa. Mereka mampu bersaing dengan orang –orang Jawa bahkan ada yang berani menerbitkan buku-buku”, katanya mengkritik.

“Kejujuran dan Cinta Kasih”
Ketika ditanya apa landasan hidupnya, Pak Guru Manangsang sedang tenang mengatakan “KEJUJURAN DAN CINTA KASIH adalah yang utama dalam hidup saya. Hal ini tertanam dalam hati dan menjadi semangat dan sprit dalam berkarya. Kunci utama dalam menjalanai tugas apapun kejujuran dan cinta Kasih menjadi tumpuan hidup melangkah dalam membangun dunia. Dari situlah akan datang kebahagian, ketenangan, lahir bathin dalam diri pribadi”.

Menurut Pak Guru Manangsang hidup itu bagaikan cermin. “Ibarat dalam cermin ketika kita lihat dengan senyum, dia juga akan lihat dengan senyum dan sebaliknya. Maka kita melaksanakan segala sesuatu dengan hati dan penuh senyum maka hati kita akan terasa damai dan semuanya akan berjalan dengan baik. Tergantung kita, kalau kita baik kehidupan itupun akan baik”.

Kata dia, mendidik dan membina orang bagian dari pekerjaan cinta kasih kepada Tuhan dan sesama. Cinta akan tugas dan profesi akan mewarnai dan merangkai kehidupan yang bernuansa seni. Kalau ada cinta kasih dalam hati tantangan apapun akan menjadi dorongan dan seni hidup menuju ke jalan ILAHI. Cinta kasih akan menembusi perbedaan, agama, ras, suku dan adat istiadat”.

*) Kontributor SELANGKAH di NABIRE-PANIAI
------------------------------------------------------
Sumber: Majalah SELANGHKAH
BACA TRUZZ...- PAK GURU CORNELIS MANANGSANG

Membaca dan Menulis Basis Pembelajaran

Mungkinkah Diupayakan?

Membaca karya-karya Mary bagaikan membaca sebuah kisah tentang cinta. Tidak mudah, memang, mendefinisikan apa itu cinta. Namun, begitu kita bersentuhan dengan ekspresi-tertulis Mary dalam menjelaskan atau menunjukkan sesuatu, getaran cinta itu seolah-olah mengalir bagaikan air bah lewat teks-teks yang diuntainya.

Mary yang saya maksud di sini adalah Mary Leonhardt. Dia seorang guru sekaligus seorang ibu yang berparas menyejukkan. Hingga kini, ada lima buku-karyanya yang telah terbit. Kaifa telah menerjemahkan dan menerbitkan tiga karyanya. Menurut data yang ada, dua karyanya---99 Cara Menjadikan Anak Anda "Keranjingan" Membaca dan 99 Cara Menjadikan Anak Anda Bergairah Menulis---diminati pembeli alias laris-manis di pasaran.

Karya ketiga Mary, yang baru saja terbit pada Maret 2002 lalu, berjudul 99 Cara agar Anak Anda Asyik Mengerjakan PR. Buku ini dengan sangat kuat membuktikan kepada para pembaca karyanya bahwa rasa cinta yang dimilikinya---untuk membuat murid-muridnya bergembira dan asyik saat belajar---masih terasa mengalir sangat deras. "Jangan menjatuhkan hukuman karena PR tidak selesai," teriaknya kepada para orangtua. Dan, "Pastikanlah rumah Anda bersuasana santai, penuh cinta, dan menjadi tempat yang mengutamakan kepentingan anak-anak," ujarnya pada kesempatan lain.

Sebanyak 99 kiat yang disebar Mary di sepanjang bukunya rata-rata bersuasanakan pembebasan. Dan yang menarik---dalam karya terbarunya itu---Mary tetap ngotot agar aktivitas membaca dan menulis benar-benar dijadikan "PR yang sesungguhnya" saat anak-anak itu berada di rumah. Dalam Kiat Kedua, yang bertajuk "Pastikan anak-anak Anda menguasai kemampuan dasar agar berhasil dalam PR mereka", Mary menulis:

"Yang paling penting dalam hal ini adalah memastikan bahwa anak-anak Anda dapat membaca dan menulis dengan baik. Keduanya merupakan kunci menuju dikuasainya kemampuan akademik yang dibutuhkan bagi keberhasilan dalam setiap pelajaran … Jika Anda berhasil menumbuhkan kecintaan dan kebiasaan membaca serta menulis dalam diri anak-anak Anda, kemampuan membaca dan menulis dengan baik, otomatis akan menyusul."

Di tempat lain, di Kiat ke-29, Mary berpesan kepada orangtua yang memiliki anak-anak yang masih berada di sekolah dasar: "Sekolah dasar merupakan waktu yang menentukan bagi anak-anak untuk mengembangkan suatu kecintaan dan kebiasaan membaca. Jangan biarkan apa pun mencemari hal itu. Tidak ada PR yang dapat bersaing dengan buku yang memesona kalau kita bicara soal mengembangkan kemampuan membaca yang baik."

Dan kepada orangtua yang memiliki putra-putri yang masih duduk di SMP dan SMU, atau yang masih berusia remaja, Mary berpesan: "Keahlian membaca dan menulis yang baik, serta minat akademik yang tinggi, akan membawa mereka pada pencapaian yang jauh lebih tinggi ketimbang sekadar nilai-nilai yang tinggi di sekolah."

Saya akan berhenti di sini dalam mengutip pandangan-pandangan Ibu Guru Mary yang saya kagumi. Saya akan mengajak Anda untuk merenungkan sejenak pandangan-pandangan tersebut. Saya tiba-tiba dirasuki sedikit kecemasan begitu mencoba mengaitkan pandangan-pandangan tersebut dengan keadaan di sekolah tempat anak-anak saya belajar.

Saat ini, saya memiliki empat anak yang masih bersekolah di SD, SMP, dan SMU. Pesan-pesan Mary terasa mudah saya cerna, namun sungguh terasa sulit untuk saya transfer kepada anak-anak saya. Bagaimana menumbuhkan minat membaca dan menulis anak-anak saya apabila tak saya jumpai satu PR pun yang mereka kerjakan yang berhubungan dengan dua aktivitas penting itu? Bagaimana saya memekarkan cinta membaca dan menulis kepada anak-anak saya itu apabila di sekolah, benih-benih cinta itu, rasa-rasanya, tak disebar oleh para bapak dan ibu guru?

Saya merasakan sekali betapa, di sekolah, aktivitas membaca dan menulis itu sudah dianggap salah satu aktivitas yang membebani dan memberatkan--- tak hanya para siswa, namun juga---para guru. Kayaknya, di lingkungan-mulia yang bernama sekolah, hampir sudah tidak dapat ditemukan lagi segepok keasyikan di dalam dua aktivitas membaca dan menulis---meskipun saya sangat tahu bahwa buku bacaan, buku tulis, dan juga pena atau pensil senantiasa berada di tas para siswa dan para guru.
Seakan-akan, dalam pandangan dangkal saya, aktivitas membaca dan menulis di sekolah telah berubah dan perlu perumusan baru. Apakah benar demikian, wahai Bapak dan Ibu Guru yang mulia?
----------------------------------------------------
Sumber: Majalah SELANGKAH Via Mizan.com
BACA TRUZZ...- Membaca dan Menulis Basis Pembelajaran

JIKA MENGIDAP BUDAYA BISU, Berbicaralah Dengan Menulis

Oleh Odiyai Pai*)

Sebuah realitas cultural-historis Papua, berbicara adalah sebuah “alat” pokok dalam kehidupan sehari-hari dalam sejarah, sehingga terbentuk budaya berbicara. Hal itu dapat dibuktikan dengan tingkalaku dan tutur kata orang Papua yang cepat menanggapi sesuatu melalui berbicara, entah marah, sungut-sungut, sayang dan cinta, mengemukakan gagasan, menolak gagasan, dan lainnya. Karena itu seringkali orang Papua terlihat “cerewet” entah di kampung, kampus, bus kota, saat makan, rapat, dan di mana saja tanpa perduli dengan keadaan sekitarnya.

Sebagai contoh, jika seorang mahasiswa Papua berpapasan dengan teman lamanya di dalam bus kota, karena saking rindunya, maka bukan tidak mungkin mereka saling berteriak: aduh... sayang, ko dari mana saja angjing neh, dan ungkapan perasaan dan kata sejenis lainnya. Begitu pula jika seseorang marah atas sebuah perkataan atau tindakan seseorang, dengan nada keras sudah pasti akan dicaci-makinya. Contoh, jika seorang mahasiswa Papua sudah memberi tahu kondektur dalam bus kota untuk turun, tetapi jika sopir masih belum bisa memberhentikan bus kota, maka bukan tidak mungkin lagi kalau sopir diteriaki begini: wei… sopir ko dengar tidak, bah… ini terlalu jauh neh taruh telinga di mana, dan ungkapan perasaan dan kata sejenis lainnya.

Walaupun terlihat cerewet dengan budaya berbicaranya, bukan hal yang tidak mungkin jika terjadi pergeseran budaya berbicara tersebut. Bisa saja sebuah faktor, katakanlah faktor “X” merubah budaya berbicara tersebut menjadi budaya diam atau bisu. Dalam konteks realita historis, budaya berbicara (spontan) telah berubah menjadi budaya bisik-bisik atau bisu sama sekali. Salah satu faktor penyebabnya, atau sebagai faktor ”X” adalah ”Memmoria Passionis” (sejarah atau ingatan penderitaan). Jika benar kata orang bahwa sejarah harus diukir, maka sejarah Papua telah diukir dengan sepatu lars, pisau sangkur, dentuman bedil, teror, intimidasi, pemenjarahan, cap separatis dan pemberontak, bodoh, ketinggalam zaman, tidak tahu mandi, dan lainnya. Hal-hal ini telah dengan ”rajin dan rapi” mengukir sejarah, sehingga tergambar sebuah masyarakat Papua yang indah namun harus disayangkan itu namanya budaya bisik-bisik atau budaya bisu.

Budaya bisu telah mengidap hampir semua kalangan orang Papua. Kebisuaan tersebut mendorong seseorang untuk tidak bisa mangakutualisasikan sebuah realita sosial yang dihadapinya. Misalnya, jika seseorang dibunuh dengan tuduhan separatis oleh militer Indonesia, maka tidak ada saksi mata yang akan berteriak atau mempersolkan – tentunya dengan berbicara – tentang pembunuhan tersebut. Hal ini didorong oleh sebuah rasa takut, karena saksi mata tersebut sudah tentu berada dalam ancaman jika berani ”berbicara” membongkar kedok kejahatan tersebut. Kasus-kasus semacam ini tersusun sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit, yaitu ”takut berbicara” untuk semua orang Papua. Ini sebuah realita sekarang di Papua dan hampir semua orang Papua di mana saja, sehingga barangkali harus ada ”undo” (istilah yang sering digunakan dalam komputer, arti kasarnya ”kembali ke belakang”) atau back to basic (kembali ke dasar atau pokok).

Undo atau back to basic, yaitu budaya berbicara, terutama keberanian untuk menyuarakan sebuah realita sosial, termasuk Memmoria Pasionis bagi orang Papua adalah sebuah kebutuhan yang diharuskan untuk dilakukan. Mengapa? Tentunya karena kita hidup dalam sebuah bayang-bayang kehidupan yang seolah-olah sudah ”mapan, tepat, dan seharusnya”, padahal kita sedang terbelenggu dalam kebisuan sebagai sebuah bangsa, sehingga menjadi bangsa yang sunyi dalam mengungkapkan realita, tetapi ramai dalam segala kepalsuan dan kebohongan. Inikah arti sebuah bangsa? Entahlah!

Salah satu alat untuk berbicara dalam kebisuan bangsa adalah ”menulis”. Menyadari pentingnya menulis, budayawan Melanesia, Dr. Benny Giyai pernah kerkata “Jadi dengan menulis ini membuka kebisaaan kita untuk menghilangkan kebisaaan budaya bisu dan kebisaaan kita diam.” Rupanya Benny Giyai benar-benar sadar kalau budaya berbicara telah pudar akibat Memmoria Pasionis yang telah diciptakan oleh berbagai kebijakan menjajah yang dipraktekkan oleh Indonesia di Papua selama lebih dari empat dasawarsa.

Pentingnya berbicara dengan menulis ini untuk mencapai beberapa tujuan. Pertama, belajar bangkit untuk berbicara lagi. Menulis mendorong orang untuk bisa menggungkapkan sebuah realita secara sistematis dan realistis. Dalam kontesk Papua, dengan menulis, orang Papua diharapkan supaya bisa belajar dan berpikir secara sistematis. Selajutnya tulisan yang sistematis diharapkan untuk dibicarakan – dengan data-data dan ungkapan-ungkapan – secara spontan seperti sedia kala. Dalam hal ini untuk menciptakan orang Papua yang bisa bersaksi tentang pembunuhan, pemerkosaan, pemenjarahan, teror, intimidasi dan kejahatan lainnya secara sistematis berdasarkan data dan kesaksian yang benar.

Kedua, menyeimbangi ”serangan media” yang selalu subyektif (bagi Indonesia) dan berbagai manipulasinya atas kepentingan atas wilayah Papua. Media massa di Papua tidak menjalankan fungsi kontrol sosial, tetapi menjalankan fungsi ”rekayasa sosial”. Rangkaian kata-kata di media massa yang membentuk sebuah berita sangat jarang mengungkpan sebuah realita, tetapi terlihat rekayasa yang dipenuhi dengan kepalsuan dan kebohongan. Hal ini membentuk opini publik yang palsu dan bohong. Karena itu orang Papua harus berani untuk menulis. Harus ada tulisan-tulisan penyeimbang (perlawanan) atas manipulasi media massa tersebut. Hal ini bertujuan menghindari kepalsuan dan kebohongan pembentukan opini bagi masyarakat atas semua realita yang terjadi di Papua.

Ketiga, warisan untuk gererasi masa depan Papua. Tidak cukup bagi orang Papua meninggalkan ucapan-ucapan spontan untuk generasi masa depan Papua. Memmoria Pasionis, nasehat dan wejangan, realita sekarang, dan berbagai hal harus ditinggalkan untuk anak cucu kita di masa depan. Warisan yang paling efektif adalah dengan cara menulis. Contoh, kata-kata Tuhan Yesus yang dikemas dalam tulisan di Injil bisa dibaca hingga sekarang, walaupun kata-kata itu diungkapkan dua ribu tahun silam. Memmoria Pasionis, nasehat dan wejangan, realita sekarang, dan lainnya yang ada hubungan dengan Papua harus menjadi cermin masa lalu bagi anak cucu kita di massa mendatang. Karena itu sekarang harus dituliskan.

Keempat, sumbangan ilmu pengetahuan bagi dunia. Menulis semua Memmoria Pasionis, nasehat dan wejangan, realita sekarang, dan lainnya yang terjadi di Papua harus menjadi sumbangan ilmu pengetahuan untuk dunia. Menyadari itulah, maka website www.westpapua.net mempunyai motto ”kami mendidik dunia”. Dengan mengungkapkan semua realita, termasuk realita tuntutan kemerdekaan Papua Barat sekalipun, harus menjadi sumbangan bagi dunia sebagai bagian dari manusia semesta. Sumbangan itu diharapkan menjadi ”pegangan” bagi perdamaian dunia atas nilai-nilai kebenaran, kedilan dan kejujuran, sambil menghindari segala manipulasi dan diskriminasi di seluruh belahan dunia.

Keempat – barangkali masih ada tujuan lain – tujuan yang dikemukakan di atas ini harus menjadi motivasi bagi orang Papua untuk bisa menulis. Jika tidak bisa berbicara, menulis pun jadi. Jika tidak ada rotan, akar pun jadi. Hal itu tidak serta-merta berangkat dari teridapnya bisik-bisik atau budaya bisu, tetapi juga karena tuntutan dunia sekarang. Mark Drake, seorang wartawan dari Inggris, seusai mewawancarai saya di Jakarta tahun 2005 pernah berkata begini: ”Jika Anda ingin menguasai dunia maka kuasailah media massa, dan jika Anda mau bebas dari belenggu penjajahan maka banyaklah menulis”.

Saya sependapat dengan Mark Drake dalam hal ini. Contoh, siapapun orang Papua yang pernah sekolah pasti ingat tulisan dalam buku pelajaran Sekolah Dasar yang bertuliskan ”Budi makan nasi, ini ayah Wati, dan Dewi membeli rujak”. Di tingkat yang lebih tinggi ada rekayasa sejarah Papua, pendidikan berbasis budaya Jawa, dan lainnya lewat tulisan dalam bentuk ”buku paket” di sekolah dan kampus. Sementara di tempat lain ada makalah di tempat seminar, teks pidato pejabat negara di Upacar Kenegaraan, dan lainnya yang menina-bobokan orang Papua. Dengan tulisan semacam ini orang Indonesia menguasai orang Papua. Sementara itu orang Papua tidak bisa bereskpresi atas kemampuan dirinya dan realita sosialnya. Lebih parah lagi Memmoria Pasionis diciptakan lewat sepatu lars, pisau sangkur, dentuman bedil, teror, intimidasi, pemenjarahan, cap separatis dan pemberontak, bodoh, ketinggalam zaman, tidak tahu mandi, dan lainnya.

Pertanyaan pokoknya adalah apakah orang Papua harus terpuruk dalam budaya bisik-bisik dan kebisuan ini? Jawaban kuncinya adalah ”Jika lidah tidak mampu untuk berkata dan tangan tidak berdaya untuk melawan, maka biarkanlah pena mengukir kata-kata tentang arti sebuah kehidupan.” Atas dasar inilah kita bisa bangkit, agar kita tidak bisa ”baku tipu” lagi, tetapi .... Begitu saja dulu! ***

*) Seorang mahasiswa Papua yang sedang bergelut dengan dunia tulis menulis.
-----------------------------------------------
Sumber; Majalah SELANGKAH
BACA TRUZZ...- JIKA MENGIDAP BUDAYA BISU, Berbicaralah Dengan Menulis

Hubungan antara Membaca dan Menulis

Lebih dari dua kali saya membaca buku Hedges bertajuk Read and Grow Rich. Saya merasa bosan. Barang kali itu karena saya menikmati karya penulis andal yang diterbitkan intipiblishing itu. Sebelumnya, Hedges menulis buku yang dari sisi judul sangat marketable berjudul Who Stole the American Dream? judul yang sangat berhasil. Selain provokatif, juga menggugah rasa ingin tahu (dari sini seorang penulis sudah dapat memetik manfaat dari membaca, bagaimana membuat sebuah judul buku yang berhasil).

Dibeberkan dalam Read and Grow Reach bagaiman peran buku di dalam mempengaruhi hidup seseorang. Dengan membaca, seseorang terbuka wawasannya. Dari membaca ia mendapat ide yang baru yang dilaksanakan, akan mendatangkan keuntungan. Melalui membaca dan mata pikiran terbuka lebar. Itulah sebabnya, sering kita mendengar ungkapan “buku adalah jendela dunia”. Mengapa? Dengan dan melalui membaca, kita melihat ke luar. Di luar sana, ternyata dunia ini sangat luas. Dengan membaca, kita meninggalkan dunia diri sendiri yang sempit (mikrokosmos). Dengan membaca, kita menggugurkan daun kelor dunia kita yang sempit itu. Kemudian masuk dan berintegrasi dengan dunia yang luas.

Sejauh mana buku mempengaruhi kehidupan, tentu setiap orang punya pengalaman sendiri-sendiri. Ada orang yang sekali baca, langsung buku mempengaruhinya. (saya jadi ingat seorang teman, hobiis adenium. Suatu saat saya pinjam buku how to membudidayakan adeniu, sampai bagaimana memasarkannya. Buku itu mempengaruhi hidupnya. Kini, berpapasan di mana pun dengannya, selalu pokok pembicaraannya tantang adenium!). Namun, adapula telah melahap sekali banyak buku, perilakunya tetap sama dengan kemarin.

Apakah setiap penulis adalah pembaca. Secara acak, sebutlah siapa penulis yang anda kenal. Apakah dia seorang pembaca ulung? Pasti. Paling tidak, membaca topik yang berkaitan dengan minat dan dunianya. Jika misalnya dia novelis, yang berkaitan pasti sedang membaca karya riwayat para novelis dunia (dan juga Indonesia).

Membaca-Menulis
Tali temali antara membaca dan menulis sangat erat. Sebagimana kata-kata bijak di atas, tidak seorang pun dapat memberikan sesuatu yang tidak ia miliki. Penulis pun demikian. Seorang penulis tidak dapat memberikan sesuatu kepada pembaca kalau dia sendiri hampa.

Dengan membaca, seorang penulis mengisi dirinya. Ia tidak hanya memetik manfat yang ada dalam apa yang dibacanya. Melalui dan dengan membaca, seorang penulis menemukan ide baru. Tidak menjadi masalah, apakah ide itu mendukung atau bertentangan dengan apa yang dibacanya. Yang penting,dari membaca, seorang mendapatkan ilham.

Masih banyak manfaat dari membaca. Lewat membaca, seorang penulis mempelajari trik-trik menulis dari penulis lain. Bagaimana misalnya, Putu Wijaya untuk membuat judul untuk cerpennya (judul cerpen-cerpen Putu Wijaya biasanya Cuma satu kata). Bagaiman cara Ayu Utami mendeskripsikan (Ayu Utami dikenal paling kuat dalam mendiskripsikan). Atau seperti apa proses kreatif Dyotami Febriani membuat komik (Dyotami dikenal sangat kreatif, ia menentang arus berani melawan dominasi komik Indonesia yang dibanjiri komikus Jepang).

Manusia makluk yang berkembang karena meniru. Seorang bocah bisa mengucapkan kata “mama” dan “papa” dari meniru bunyi yang ia dengar. Karena itu, pelajaran pertama bagaimana menulis dan mengarang ialah meniru. Bukanlah ada pepatah, “tidak ada sesuatu yang baru di muka bumi ini”? Maka, meniru apa yang pernah ada sebelumnya adalah langkah yang paling mudah dalam menulis.

Perlu dicamkan, bukan berarti meniru begitu saja. Tanpa diolah kembali. Menjiplak adalah perbuatan tercela. Tak hanya itu, buntutnya bisa panjang, bisa-bisa penjiplak dituntut pidana atau pun perdata kerena menjiplak karya orang lain. Karena itu, meskipun ide awal dari pembaca, seorang penulis perlu tahu tata krama dunia penulisan. Jika tidak mengutip karya orang lain ada mekanismenya. Ada aturannya jangan sampai kutipan melebihi sekian persen dari gagasan orisinal.

Jadi, kaitan membaca dan menulis sangat erat. Kepala seorang penulis ibarat yang memiliki dua saluran yang satu berfungsi untuk mengisi air, sedangkan yang yang lain untuk menyalurkannya ke luar. Keduanya harus selalu keluar-masuk dan seimbang. Sebab jika banyak yang keluar (menulis), tanpa ada yang masuk (membaca), kendi (ember) itu menjadi kering. Kalau sudah kering apa lagi yang bisa disalurkan ke luar?

Kaitan membaca dan menulis paling kongkret ialah Dari Buku ke Buku karya P. Swantoro (KPG, 2002). Dalam buku setebal 435 halaman itu, penulis mengisahkan kembali isi buku-buku kuno yang pernah dibacanya. Saya sendiri sangat menikmati buku ini, kerena mendapatkan sesuatu yang yang berharga. Apalagi, Swantoro yang mahir bahasa Belanda dan berlatar sejarah, dengan amat cerdik mengisahkan kembali buku-buku tua, sumber primer, yang pernah dibacanya. (Saya sering merasa “cemburu” dengan orang yang dapat menguasai bahasa Belanda. Mereka dapat membaca sumber primer tentang sejarah dan peradaban Nusantara, sedangkan saya merupakan sumber dari bahasa Inggris).

Dari apa yang dibacanya, Swantoro menghadirkan angle, sesuatu yang terasa baru untuk kemudian. Betapa kita merasa tertarik melihat lambang-lambang kotapraja Hindia Belanda tahun 1939-an, semacam lambang kabupaten sekarang. Betapa kita juga tertarik mengetahui apa judul buku yang mengupas tuntas PKI.

Contoh lain, Indra Gunawan, yang berlatar pendidikan wartawan, menulis buku Menelusuri Buku Kehidupan. Gamblang dikatakan, buku ini lahir dari membaca. Topik yang diangkat biasa-biasa saja. Namun, disajikan secara menarik. Penulis yang juga melebarkan minat dari manajemen sampai penyebaran ini tahu betul, betapa antara bungkusan dan isi buku saling terkait. Bahwa orang akan bosan membaca harga yang berguna kalau tidak disajikan dengan menarik. Bahwa juga orang akan meninggalkan bacaan yang hanya menghibur saja kalau ia tidak memperoleh manfaat apapun dari bacaan itu.

Swantoro dan Indra Gunawan sekadar contoh penulis yang langsung memetik dari manfaat dari membaca. Dengan membaca, seorang penulis mengisi diri. Ibarat baterai atau aki, dengan membaca, otak seorang penulis dicas. Setelah penuh, baterai siap digunakan.

Nasihat supaya bertekun ihwal apa pun, jika tidak ditekuni, tidak akan membuahkan hasil. Demikian pula menulis. Tidak ada orang yang sekali terjun, langsung menjadi penulis andal. Didalam proses menjadi, seorang penulis jatuh bangun. Ada yang kuat dalam ujian, tetapi tidak sedikit yang gagal.

Pada awal, banyak penulis patah arang. Tulisannya ditolak di mana-mana. Sudah susah-susah, akhirnya kerjaan sia-sia. Banyak pikiran dan waktu terkuras, tapi tak menghasilkan apa-apa. Bagaimana menghadapi kenyataan seperti itu?

Nasihat empu para penulis, Mark Twain barang kali membesarkan hati. Katanya, “Write without pay until somebody offers pay!” Karena itu, menulis. Menulis, sekali lagi, menulis. Menulislah terus, tanpa bayaran, hingga suatu saat menawarkan bayaran bagi Anda karena menulis.

Kata-kata Mark Twain sungguh meneguhkan. Menulis pertama-tama adalah ekspresi dan hobi. Baru kemudian, hobi yang ditekuni mendatangkan hasil (imbalan) baik berupa gaji atau honor. Jika tidak disederhanakan kalimat di atas menjadi: latih dan pertajam terus keterampilan menulis, hingga suatu saat upaya anda mendatangkan hasil.

Banyak penulis patah arang karena tidak tekun dan malas berlatih. Padahal, ada pepatah yang mengatakan “alah bisa karena biasa” (sesuatu yang pada awalnya dirasakan sulit bila sudah biasa dikerjakan akan menjadi mudah). “tajam pisau karena diasah” (orang bodoh yang menjadi pintar bila belajar keras dan tekun).

Pepatah yang sungguh dalam maknanya, mengingatkan kepada kita bahwa apapun dapat dikerjakan dan pasti membuahkan hasil, asalkan ditekuni dengan sungguh-sungguh. Demikian pula halnya dengan menulis. Menulis pertama-tama bukanlah talenta, tetapi suatu keterampilan yang harus digali dan ditingkatkan.

Seorang penulis dalam proses “menjadi”, tentu mengalami banyak hambatan. Mula-mula ia merasa kosong, tidak ada bahan yang dapat dijadikan bahan tulisan. Jika hambatan pertama ini berhasil diatasi datang halangan lain:bagaimana menuangkan bahan itu ke dalam suatu tulisan? Jika ia sudah menuangkan gagasan ke dalam tulisan, sering tulisan itu ditolak karena berbagai alasan.

Jangan mengalami hambatan kedua atau ketiga, ada orang yang baru sampai pada halangan pertama saja, sudah menyerah. Ia lalu sampai pada kesimpulan, tidak mempunyai bakat menulis jika begini, orang tersebut—dalam istilah Stoltz—termasuk quitter atau orang yang mudah menyerah, tidak memiliki cukup AQ di dalam mengatasi hambatan. Padahal, semua penulis dan pengarang hebat mengalami jatuh bangun. Mereka menjadi seperti itu karena ketekunan, didasari semangat tidak mudah menyerah.

Mendapatkan Ilham
Ilham dan ide. Sering dua istilah itu digunakan secara bergantian. Sama dan sebangunkah kedua istilah itu? Mari kita lihat makna leksikalnya.

Ide ialah rancangan yang tersusun di dalam pikiran, gagasan, cita-cita. Sementara ilham adalah pikiran yang timbul dari hati, atau sesuatu yang menggerakkan hati untuk mencipta misalnya mengarang syair , prosa lagu, dan lain-lain.

Karya dengan ilham menjadi sia-sia kalau tidak berhasil diungkapkan dalam bentuk lisan dan tulisan. Ide saja tanpa adanya wujud, ibarat jiwa tanpa raga. Di sini ajaran filsafat Aristoteles mengenai materia dan forma, menjadi relevan untuk dibicarakan. Mengapa? Aristoteles mengajarkan bahwa segala sesuatu terdiri atas materia dan forma. Teori ini tetap gamblang menjelaskan kaitan antara ilham dan tulisan. Ide akan menemukan wujudnya dalam tulisan. Jika keduanya menyatu—setelah melalui proses tentunya—jadilah karya sastra, karya tulis.

Lain orang lain pula cara datangnya ilham. Ada orang tertentu yang merasa “kumat” atau mood pada waktu-waktu tertentu.

Ilham atau ide, untuk menulis suatu topik, berbeda satu sama lain. Berikut ini beberapa contoh bagaimana penulis mendapatkan ilham. Linus Suryadi misalnya, “kumbuh kumat”-nya pada bulan-bulan yang berunjung dengan “r”. Di saat-saat itu, ia dengan mudah menuangkan ide kedalam tulisan. Linus sendiri merasakan perlu adanya keseimbangan badan dan jiwa untuk menghasilkan sebuah tulisan yang baik. Kebetulan bulan yang berujung “r” adalah saat mood yang baik karena musim hujan dan musim kembang yang secara alamiah mempengaruhi proses kreatifnya. Lagi pula, akhir tahun bagi Linus merupakan siklus kegiatan hidup dalam arti keseluruhan sampai pada titip pengendapan.

Agatha Christie, penulis cerita kriminal yang andal itu, suka berendam di bak mandi ketika mencari ide. Berjam-jam lamanya, sambil makan apel. A.A. Navis, pengarang Robohnya Surau Kami, bahkan mengurung diri di kakus kalau sedang mencari ide. Sutardji Calzoum Bachri, “presiden penyair” itu, minum bir dulu sebelum bersyair. Djoko Pinurbo, penulis Celana, tak pernah berhenti mengepulkan asap rokok ketika menulis puisi. Dwianto Setyawan, pengarang cerita anak-anak terkemuka, menemukan ilham ketika sedang bengong waktu mengantar anaknya ke sekolah. Ia melihat seekor kuda tua, bertatih-tatih menarik sebuah kereta yang sarat dengan beban. Karena jalan menanjak, sang kuda tentu menghela napas berkali-kali. Ketika itu pantatnya dipacu, sang kuda meneruskan langkah. Dwianto merasa iba menyaksikannya. Meski tenaganya diperas, kuda tua itu sekaligus disayang oleh kusirnya karena mendatangkan rezeki. Penglihatan itu mendatangkan Ide. Ilham itu kemudian mendapatkan bungkusnnya menjadi Si Rejeki.

Y.B. Mangunwijaya, tentang ilham dan proses kreatif bahkan lebih lugas lagi mengingatkan bahwa menulis bisa dilakukan siapa saja, asalkan dialakukan dengan sungguh-sungguh. “…si penulis harus berniat sungguh untuk menulis sesuatu yang penuh kedalaman. Jangan jemu mengisi diri sendiri dengan mata dan telinga terbuka agar menangkap peristiwa serta hikmah dari siapa pun: tukang becak atau pengemis sekalipun. Karangan yang baik hanya dapat datang selaku luapan jiwa yang sudah penuh sebelumnya.”

Pengalaman para penulis di dalam proses mendapatkan ilham, ternyata beragam—dan kita tidak perlu meniru salah satu. Masing-masing punya cara sendiri-sendiri di dalam proses penciptaan. Namun, yang sama ialah kondisikan diri anda. Seorang penulis perlu mengisi baterai diri sendiri sampai penuh, sebelum mengeluarkan energi yang sudah ada.

Materia dan Forma
Jika setiap benda terdiri atas materia dan forma, ide dan tulisan juga demikian. Ide yang didapat dari pengodisian diri dan pengisian, perlu mendapatkan wujudnya dalam tulisan. Ide apa pun bisa diwujudkan dalam bentuk tulisan, tergantung topiknya.

Jika ditanyakan, manakah yang paling sulit memberi daging kerangka fiksi atau nonfiksi, maka yang pertamalah yang lebih sulit. Mengapa? Karena pertama itu memerlukan kreasi, fantasi, abstraksi yang luar biasa untuk bisa mewujud. Membentuk sesuatu yang tidak ada (tak kelihatan) yang disebut ide ke dalam bentuk tulisan—katakan cerpen—tidaklah mudah. Di sanalah penciptaan bermain. Di sana pula kata “mengarang” mendapatkan makna yang sesungguhnya: membuat suatu dari tidak ada menjadi ada.

Agak berbeda dengan menulis. Menulis karya nonfiksi bisa distrategikan. Bisa pula dibuat outline yang jelas-tegas karena sebuah tulisan nonfiksi memerlukan kerangka yang benar-benar nyata. Jadi, untuk menulis nonfiksi tidak mesti ketika “kumat”, sewaktu ilham datang, dan menunggu mood. Kapan saja menulis nonfiksi bisa dilakukan. Kerangka tulisan tinggal diberi daging di sana sini, baik dari ide orisinal maupun mengutip pendapat orang lain.

Tuang, Ya Tuangkan saja!

Menuangkan ide ke dalam tulisan, ibarat menuangkan teh dari teko ke dalam gelas. Tuang, ya tuangkan saja! Jangan berhenti, sampai gelasnya dianggap sudah penuh. Penuh, tapi tidak tumpah ruah dan meluber. Jika masih ada yang tersisa, tuangkan kedalam gelas yang lain.

Menuangkan ide ke dalam tulisan juga demikian. Kadangkala ide ide kita banyak sekali, kepala sampai mau pecah menampungnya. Rasanya, semua yang ada di kepala hendak dikeluarkan semua. Di sini sering seseorang menjadi tidak sabar, maunya menuangkan semua apa yang ada di kepalanya. Apa yang kemudian terjadi? Tulisannya tidak fokus. Topik yang dibicarakan tidak sistematis. Tidak proporsional. Ini karena yang bersangkutan mau menuangkan semuanya.

Tahap Sistematisasi
Pada tahap awal, hal demikian tidak apa-apa. Tampung saja ide yang ada dalam tulisan. Apa adanya, sampai habis. Ketika sudah selesai, kesempatan anda untuk menelitinya lagi. Apakah misalnya, susunan (sistem) tulisan anda urut ide demi ide? Adakah ide yang satu menyangkal yang lain? Kalau ya, bagaimana hal itu mesti disiasati? Apakah tetap mempertahankan ide yang satu, lalu membuang yang lain,dan menggantinya dengan ide baru yang mendukung?

Lihat pula kembali, apakah tulisan anda sudah proporsional. Pengantar, bahasan, dan simpulan—apakah unsur-unsur itu sudah ada semua? Kalau sudah ada dan terasa belum menarik alias kering, bagaimana caranya agar menjadikan menarik?

Pertimbangkanlah itu dari sisi pembaca. Seolah-olah, setelah tulisan selesai, anda menjadi sebagai orang lain. Sebagai orang lain, apakah anda tertarik membaca tulisan yang baru saja anda hasilkan? Apakah tulisan itu sudah cukup “berbicara”?

Tahap Mengedit
Sering timbul godaan, penulis pada saat bersamaan, sekaligus sebagai editor. Ini salah satu yang perlu dihindari. Ketika tengah menuangkan ide ke dalam tulisan, dan tatkala kumat mulai kambuh dan mood sedang “in”, tampung saja. Tuangkan semua yang ada. Jangan dulu dengan logika. Buanglah jauh-jauh ketakutan melanggar kaidah berbahasa yang baik dan benar. Jangan hiraukan tanda baca. Lemparkan kekhawatiran anda akan kode penulisan ke tabir jurang yang paling dalam. Maka ide yang tuangkan ke dalam tulisan akan mengalir bagai sungai. Terus dan terus, tiada henti. Habis satu ide, beralih ke ide yang lain. Jika sudah terbiasa menulis, seseorang tidak pernah kehabisan ide. Selalu saja ada ide baru. Semua, mengalir bagai aliran sungai, panta rhei kai uden menei—demikian kata filsuf Herakleitos.

Tatkala semuanya dianggap “selesai” dan anda sudah menulis dengan kesungguhan, kepenuhan, kegembiraan, dan mengerahkan semua energi, itu berarti anda tinggal menyelesaikan teknisnya saja. Saat mengoperasikan kalimat yang tidak jalan. Membetulkan bahasa, termasuk pilihan kata, yang keliru. Meluruskan ejaan yang salah dan menerapkan tanda baca secara cermat.

Untuk dapat menulis dengan benar dan menarik sesuai kaidah bahasa, seseorang tidak harus kuliah bahasa dan sastra. Belajar mandiri akan jauh lebih banyak menyerap. Bukankah setiap orang adalah pengguna bahasa? Kebiasaan baik yang dilakukan terus-menerus akan menjadi bagian yang melekat pada diri anda.

Karena itu, jadikanlah ensiklopedi, kamus, leksikon, dan buku penuntun sebagai bagian dari alat yang mendukung keberhasilan anda menulis. Dengan bantuan alat itu, anda jadi mafhum kapan kata “pun” dalam “sekali pun” ditulis serangkai dan kapan “sekali pun” ditulis terpisah. Dengan alat bantu itu pula anda tahu manakah penulisan yang benar, sekadar atau sekedar?

Tulisan anda akan menjadi akurat kalau didukung itu semua. Redaktur atau penerbit yang senang menerima kiriman naskah yang sudah matang, tidak hanya isinya, tapi juga bahasa dan cara penyajian yang baik, benar sekaligus menarik. Ibarat petani itulah pacul, parang, alat bajak, dan pupuk anda. Alat yang digunakan petani dalam proses bertani. Maka pergunakankan dengan maksimal?

Mengirimkan
Seorang penulis yang biasa menulis, tahu tema dan bentuk tulisan harus dikirim ke mana. Naluri dan intuisi akan menuntun anda menjadi biasa untuk menganalisis jenis tulisan ini cocok untuk media tulisan itu.

Bagaimana caranya mengirimkan tulisan? Sekarang zaman serba digital. Tidak mesti ke kantor pos. Cukup mengirimkan tulisan melalui pos atau internet. Asalkan disertai dengan keterangan yang jelas.

Sapalah redaktur atau pengasuh rubrik atau penanggung jawab media yang bersangkutan secara personal. Secara simpatik. Buatlah kata pengantar yang menyentuh, disertai alasan yang masuk akal, jelaskan pula mengenai kelebihan tulisan Anda. Usahakan meyakinkan redaktur bahwa tulisan anda memiliki daya pikat dan daya jual, karena itu sekaligus juga memuaskan audiens (pembaca, pasar)-nya. Yang lebih pokok katakan bahwa tulisan anda sesuai dengan kebutuhan mereka (redaktur/penerbit).

Di sana mekanisme pasar, yakni penawaran dan permintaan bertemu. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Penulis perlu tulisannya dipublikasi—dan mendapat honor. Penerbit butuh bahan untuk disajikan dan dimuat. Klop!
-----------------------------------------------------
Catatan: Tulisan ini disadur bebas dari bagian pertama tulisan R. Masri Sareb Putra di Majalah Matabaca Volume 3 Nomor 7 Maret 2005 oleh redkasi majalah SELANGKAH karena menarik dan ada kesesuaian topik majalah Selangkah. Ditulis kembali oleh Matheus Christofel Amoye Auwe.
----------------------------------------------------------
Sumber: Majalah SELANGKAH
BACA TRUZZ...- Hubungan antara Membaca dan Menulis

Menulis itu Membebaskan

“Banyak hal yang dapat diperoleh dan disumbangkan dengan menulis. Di samping dapat menyuarakan keterbelakangan komunitas tertentu, juga dapat melakukan kritik sosial. Melalui tulisan, kita dapat menyampaikan aspirasi kita tentang sesuatu. Kita juga dapat membagikan informasi tertentu kepada orang lain. Dapat juga memberitahukan peluang, ancaman dan kesempatan kepada orang lain melalui tulisan.”
Demikian kata YB Margantoro wartawan dan Kepada Lembaga Pelatihan Jurnalistik Surat Kabar Harian Bernas Jogya pada Pelatihan Jurnalistik Mahasiswa Papua seJawa-Bali yang diadakan oleh Majalah Selangkah (Komunitas Pendidikan Papua) beberapa pekan lalu.
Menurut Margantoro yang juga dosen di Universitas Sanata Dharma dan Atma Jaya itu, menulis itu menyuarakan keterbelakangan. Untuk mendapatkan sumber tulisan misalnya, kita tertarik untuk mengunjungi perumahan kumuh, daerah terpencil untuk mencari bahan tulisan sekaligus berkarya sosial. Apalagi dalam konteks ini, orang Papua kurang (belum banyak) mendapatkan perhatian dan kurang beruntung untuk mendapatkan pendidikan yang memadai, akses ekonomi yang baik, dan pelayanan kesehatan yang prima.

Lebih lanjut Margontoro mengatakan, menulis itu melepas kesakitan dan orang menjadi sehat. “Belajar menulis berarti juga belajar menghapus trauma. Menulis bukan saja memperkaya batin. Aktivitas menulis mampu mengurai kesakitan traumatis dan menyehatkan. Menulis adalah juga cermin intelektual. Intelektualitas seseorang dapat juga dipandang dari bagaimana ia dapat mengungkapkan gagasannya melalui tulisan. Banyak orang belajar dengan membaca tetapi jarang orang belajar dengan menulis.”

“Pelatihan Jurnalistik bertajuk “Menulis itu Membebaskan” yang diadakan oleh majalah “Selangkah” (Komunitas Pendidikan Papua) adalah tepat. Memang menulis itu membebaskan. Dapat membebaskan diri kita sendiri dan orang lain,” kata dia.

Irdianto mewakili Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam kata sambutannya mengiakan, menulis itu membebaskan. Tema pelatihan ini tepat. Dengan menulis banyak hal yang bisa kita dapatkan dan sumbangkan kepada orang lain. Kita bisa dapatkan banyak hal bukan sekedar karena menulis itu kegiatan melatih cara berpikir dan berbicara secara tepat tetapi juga untuk mencari referensi untuk menulis kita harus berhadapan dengan banyak bacaan.

Menurut Irdianto, menulis itu hal yang gampang-gampang sulit, tergantung pada ketekunan. Menulis itu seperti orang Indonesia yang besar dari kecil di Inggris lalu bisa berbahasa Inggris dengan baik. Juga seperti menulis harus sabar dan tekun dalam menulis. Proses pembebasan diri sendiri dan orang lain akan terjadi apabila kita tekun dengan dalam proses.

Direktur Yayasan Binterbusih, Drs. Paul Sudiyo yang hadir memberikan kata sambutan mengatakan, Papua bukan hitam karena kulit yang hitam tapi hitam karena tertinggal dari pendidikan juga tidak tersentuh oleh kemajuan. Kehitaman lainnya adalah otsus yang tidak menyentuh masyarakat serta hitam karena Papua yang kaya akan sumber daya alam itu tidak pernah dirasakan oleh masyarakat.

“Mengapa ini terjadi? Jawabannya temukan dalam pelatihan ini lalu buatlah suatu karya nyata setelah kegiatan ini. Beberapa pengalaman bahwa setelah pelatihan jurnalistik oleh suatu majalah dan buletin Papua di Jawa, majalah dan buletin tersebut macet. Semoga ini tidak terjadi pada Selangkah... semoga Selangkah akan maju dua langkah. Dengan menulis banyak hal yang dapat dilakukan untuk masyarakatmu di Papua sana. Kalian (mahasiswa Papua) harus menjadi aktor-aktor perubahan. Maka salah satu sarana perubahan adalah media (koran atau majalah) yang tidak memihak pada kepentingan apapun,’ kata Paul.

Budaya Menulis Mahasiswa
Ketua Komunitas Pendidikan Papua, Longginus Pekey mengatakan, budaya menulis di kalangan kita pelajar dan mahasiswa Papua belum terkembangkan. Sebenarnya minat menulis itu ada tetapi belum tergali dengan baik. Kadang merasa bahwa menulis itu tidak ada untungnya. Padahal menulis adalah salah satu cara untuk belajar.

“Perlu diakui bahwa banyaknya tulisan dari mahasiswa Papua yang masuk ke redaksi Selangkah memperlihatkan minat mereka. Namun kontruksi ide, tanda baca serta orisinalitas ide yang disampaikan melalui tulisan memang memprihatinkan. Sehingga ketika tulisan mereka tidak dimuat karena tidak layak muat, mereka patah semangat. Tidak mau terus mencoba dan berproses. Padahal menulis itu bukan langsung jadi. Ada orang yang tulisannya baru bisa dimuat setelah 999 kali gagal dimuat, kata Pekey mengajak.

Pekey mengakui, memang menulis itu sungguh merupakan pekerjaan yang susah untuk berkompromi dengan imaji atau otak. Banyak dari kita (mahasiswa Papua) menyerah, tidak mau terus berproses dengan kegiatan menulis itu. Padahal harapannya adalah mahasiswa dapat menjadi wakil rakyat dalam konteks tertentu.
Margantoro yang lebih dari 25 tahun berkiprah dalam dunia tulis menulis itu mengakui menulis itu memang tidak mudah. “Kegiatan menulis adalah bukan sekedar mengotori sebuah kertas. Seorang penulis tidak saja mesti memiliki keterampilan menuangkan materi tulisannya dengan menarik–memikat tetapi ia belajar untuk berpengetahuan luas, khususnya pengetahuan umum baik mengenai manusia (masyarakat) maupun alam seisinya. Artinya seorang penulis tidak boleh berhenti belajar. Mengisi diri baik dengan membaca, menyimak dan diskusi terus menerus.

Menurut Dr. Pranowo, MPd yang menjadi salah pembicara dalam pelatihan jurnalistik mengatakan, salah satu faktor terpuruknya budaya menulis di kalangan mahasiswa adalah pelajaran bahasa dan sastra Indonesia yang terkesan teoritis. Padahal hakikat pelajaran bahasa dan sastra Indonesia adalah belajar berkomunikasi secara lisan dan tertulis. Proses belajar selama ini hanya mendengarkan ceramah dari guru di depan kelas, siswa datang mencatat, pulang, ulangan, nilai dan ijazah. Pembelajaran model itu sudah tidak relefan. Orientasi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia harus dirubah. [yer]
-------------------------------------------
Sumber: Majalah SELANGKAH
BACA TRUZZ...- Menulis itu Membebaskan

Apa Sich Komputer Itu ???

Yohanes Marcellino Fernandez*)


Komputer itu Apa Sih?
Kalian tahu tidak? Tidak tahu! Ya, begini, komputer itu menurut bahasa aslinya (bahasa Inggris) berarti ‘tukang hitung”! Tidak salah kalau kalian menyebut komputer sebagai ‘tukang hitung”. Pada awalnya memang komputer diciptakan untuk menghitung. Lalu apa bedanya komputer dengan kalkulator. Kalian tahu juga ‘kan kalau kalkulator dipakai untuk menghitung juga. Bedanya adalah komputer bisa diprogram untuk melakukan tugas-tugas lain, tidak semata-mata hanya untuk menghitung. Tugas-tugas lain itu apa? Tugas-tugas lain itu antara lain: mengolah data, menganalisa data, menyimpan data, mengirimkan data dan masih banyak lagi. Bingung ?

Supaya kamu tra bingung, saya akan jelaskan beberapa istilah yang perlu kalian ketahui. Istilah pertama adalah program. Program adalah susunan perintah yang kita berikan kepada komputer untuk melakukan sesuatu. Komputer itu pada dasarnya adalah sebuah mesin yang bodoh. Dia tidak akan melakukan apa-apa jika kita tidak memberi perintah. Tetapi komputer adalah mesin yang sangat taat pada perintah yang kita berikan. Komputer tidak dapat membedakan mana perintah yang benar dan mana perintah yang salah. Dia akan melakukan setiap perintah persis seperti yang kita perintahkan.

Jadi, komputer berbeda dengan teman-teman. Teman-teman masih bisa berpikir untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perintah. Kalau teman-teman diperintahkan untuk mencuri, maka kalian masih bisa berpikir apakah perintah itu benar atau salah, baik atau buruk. Jika perintah itu adalah perintah yang salah pasti kalian tidak akan melaksanakannya. Tetapi komputer tidak bisa berpikir. Dia tidak tahu mana perintah yang benar mana yang salah. Pokoknya dia hanya menerima perintah dan menjalankannya.

Teman-teman pasti berpikir, bagaimana caranya memerintah komputer? Seperti yang saya jelaskan di atas, perintah-perintah untuk komputer disusun dalam sebuah program. Membuat program untuk komputer ternyata tidak gampang. Kalian harus memahami dulu bahasa komputer. Seperti kalau kalian mau memerintah orang Inggris, kalian harus tahu bahasa Inggris supaya orang yang kita perintah mengerti perintahnya. Atau kalau mau memerintah orang India, kalian harus tahu bahasa India. Nah, komputer punya bahasanya sendiri. Kalian harus belajar bahasa komputer supaya bisa membuat program. Orang yang pekerjaannya membuat program komputer disebut programmer. Teman-teman juga bisa menjadi programmer, asal teman-teman mau belajar dan bekerja keras. Gajinya lumayan! J

Istilah kedua yang mau saya jelaskan adalah data. Singkatnya data itu adalah kumpulan informasi. Contoh data pribadi :

Nama : Marcellino
Tempat Lahir : Nabire
Tanggal Lahir : 02 January 1990
Alamat : Jl. Merdeka No. 76 Nabire – Papua

Teman-teman pasti punya data pribadi seperti di atas. Nah, kumpulan informasi/keterangan seperti itulah yang disebut data. Selain data pribadi masih banyak lagi jenis data lainnya. Komputer bisa kita perintahkan untuk mengolah data, menyimpan data, mengirim data, menganalisa data dan sebagainya. Karena kemampuannya itu, komputer bisa mengerjakan berbagai macam perkerjaan tidak seperti kalkulator yang hanya bisa menghitung.. Contoh-contoh pekerjaan yang bisa dikerjakan komputer adalah (a) membuat dokumen, menyimpannya dan mencetaknya, (b) membuat gambar dan menyimpannya, (3) menghitung berbagai macam perhitungan, (4) berkomunikasi melalui internet dan masih banyak lagi.

Komputer bisa juga dimanfaatkan sebagai alat untuk belajar seperti yang kalian lakukan sekarang. Dan asal tahu saja zaman sekarang komputer telah dipakai untuk banyak sekali hal. Komputer dipakai di sekolah, di kantor, di lapangan udara, di rumah sakit, pokoknya di mana-mana. Oleh karena itu teman-teman harus mau belajar komputer yah. Kalau tidak belajar, siap tertinggal dan ditinggalkan orang lain!

Komponen Apa Saja yang Terdapat Didalam Komputer ???
Di dalam suatu perangkat komputer atau yang sering kita kenal dengan Personal Computer (PC) terdapat komponen-komponen perangkat keras (Hardware) maupun Perangkat Lunak (Software) yang membuat komputer tersebut dapat melakukan tugas-tugasnya. Perangkat Keras (Hardware) adalah bagian peralatan elektronik yang bisa dipegang dan dilihat (kasat mata), misalnya Monitor, CPU, Keyboard, Printer dan sebagainya. Sedangkan untuk perangkat lunak (Software) adalah bagian dari komputer yang tidak bisa dilihat dengan mata secara langsung tetapi bagian ini merupakan bagian yang penting dari suatu sistem komputer, misalnya program dan sistem operasi.

Contoh lain untuk menjelaskan perangkat lunak adalah seperti lagu-lagu yang disimpan dalam pita komputer atau CD (compact disk). Lagu dalam kaset atau CD itu ada (bisa dibuktikan jika diputar dalam tape recorder atau VCD), namun lagu tersebut tidak bisa dilihat (kasat mata). Perangkat lunak ini digolongkan lagi menjadi perangkat lunak sistem operasi, yaitu bahasa pemrograman dan program aplikasi.

Jika kita mengandaikan komputer dengan tubuh manusia berarti tubuh adalah perangkat keras (Hardware) dan jiwa atau roh adalah perangkat lunak (Software). Selain dua komponen di atas, terdapat juga satu komponen penting lainnya yaitu perangkat akal (Brainware). Perangkat Akal adalah pemakai komputer, atau orang yang mengoperasikan komputer, misalnya operator komputer, programmer, dan sebagainya. Berarti bila teman-teman menggunakan komputer, maka teman-teman merupakan komponen dari komputer tersebut. Betul Gak ??? J J J

Ok, sejauh ini apa teman-teman sudah dapat membayangkan komputer itu? Apa sich Komputer itu? Apa sich program itu? Komponen apa yang terdapat dalam komputer? Pasti teman-teman sudah bisa menjelaskannya kan? Pastinya bisa donk...

Untuk edisi ini kita cukupkan sampai di sini dulu yah, untuk edisi berikut kita akan mengetahui lebih banyak lagi tentang komputer dan sebagainya. So, wait for me yah.... Cayoooo.

*) Mahasiswa Teknik Univesitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta.
-------------------------------------------------------
Sumber: Majalah SELANGKAH
BACA TRUZZ...- Apa Sich Komputer Itu ???

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut