Image Otsus Masih Sebatas Uang

Selasa, November 25, 2008

*Mu'saad: Banyak Subtansi Otsus Belum Dilaksanakan

Democratic Center Universitas Cenderawasih memandang bahwa Otsus Papua yang pelaksanaannya telah memasuki 7 tahun, masih relevan untuk dijadikan sebagai solusi dalam penyelesaian sejumlah masalah krusial di Papua.

Kepala Pusat Kajian Demokrasi (Democratic Center) Uncen Drs. H.Mohammad A. Musa'ad, M.Si mengungkapkan, setiap tahun pada 21 November yang merupakan tanggal pengesahan UU Otsus Papua, harus dijadikan momentum untuk melakukan retrospeksi dan prospeksi terhadap pelaksanaan kebijakan Otsus Papua.

Terkait hal itu, setiap 21 November Democratic Center (DC) yang sebagian besar anggotanya ikut berperan dalam penggagasan dan pencetusan Otsus Papua selalu melakukan kegiatan diskusi, dialog dan curah pendapat guna menghasilkan kajian kritis atas perjalanan Otsus Papua dari tahun ke tahun.

Mencermati dinamika sosial politik di Papua memasuki 7 tahun pelaksanaan kebijakan Otsus, DC sesuai kompetensi yang dimilikinya menyampaikan beberapa hasil penelitian dan kajian yang perlu dipahami dan disikapi semua komponen bangsa, diantaranya pertama, dari segi perspektif idiil normatif Otsus masih relevan menjadi solusi dalam penyelesaian masalah di Papua. Hanya saja dalam perspektif factual emperik kondisinya justru mencemaskan.

" Yang terjadi di lapangan banyak subtansi yang terdapat dalam UU Otsus belum mampu dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen. Banyak pihak terutama penyelenggara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota sampai saat ini belum memahami secara konprehensif filosofi dan subtansi UU. Ironinya, image Otsus masih dipahami sebatas uang dan belum pada subtansi yang sesungguhnya, " ujar Mu'saad saat menggelar jumpa pers di Sekretariat DC di Kampus Uncen Abepura, sabtu (23/11).

Dikatakan, perbedaan persepsi dan pemahaman, rendahnya komitmen serta kebijakan yang keliru (overlapping) merupakan bukti pembenaran atas ketidak konsistenan dan konsekuennya pelaksanaan materi muatan yang diamanatkan dalam UU Otsus.

Kendati pelaksanaan kebijakan Otsus belum efektif (kacau balau), DC merasa perlu memberikan apresiasi terhadap segala upaya yang dilakukan berbagai pihak dalam mendorong pelaksanaan Otsus. Hanya saja, perlu diingatkan bahwa upaya tersebut harus dilakukan secara simultan dan komprehensif, bukan parsial (sepotong-potong) serta memperhatikan nilai dasar, prinsip dasar serta materi muatan Otsus secara konsisten.

Hal itu perlu dilakukan agar tidak terjadi pembiasan yang mengarah pada kontraproduktif terhadap upaya-upaya guna mewujudkan efektivitas pelaksanaan Otsus Papua. Tujuh nilai dasar yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan Otsus adalah, pemberdayaan orang asli Papua, demokrasi dalam kedewasaan, supremasi hukum, etika moral, perlindungan/ penegakan HAM, penghargaan terhadap kemajemukan dan kesamaan hak sebagai warna negara.

Sedangkan prinsip-prinsip yang tidak boleh diabaikan dalam pelaksanaan kebijakan Otsus adalah, proteksi terhadap orang asli Papua dalam batas waktu tertentu, kebijakan keberpihakan, pemberdayaan, bersifat universial dan adanya accountabilitas publik.

" Jadi Otsus ini berlaku untuk semua orang Papua, hanya saja perlu adanya kebijakan-kebijakan khusus bagi orang asli Papua dalam bentuk proteksi, keberpihakan dan pemberdayaan, " ujarnya didampingi tim asistensi Otsus seperti Bambang Sugiyono, SH, Frans Maniagasi serta John Rahael (mantan anggota DPR RI).

Kedua, DC memberikan apresiasi atas pembahasan sejumlah Raperdasi dan Raperdasus oleh DPRP dan Pemprov, termasuk yang sudah ditetapkan. Namun begitu, DC menyayangkan karena sebagian besar Perdasi tersebut ternyata bukan merupakan amanat Otsus, bahkan terdapat Perdasi dan Perdasus bertentangan dengan filosofi dan subtansi Otsus Papua. Misalnya, UU Otsus yang mengamanatkan 11 Perdasus dan 17 Perdasi sebagai peraturan pelaksanaan dan penyusunannya harus dibuat dalam skala prioritas tertentu. Sebab, terdapat penyusunan Perdasus dan Perdasi tertentu menjadi landasan bagi penyusunan Perdasus dan Perdasi yang lain.

Ketiga, mengenai munculnya wacana parpol local, dijelaskan bahwa dalam UU Otsus Papua tidak dikenal Parpol local, namun penduduk Provinsi Papua dapat membentuk Parpol. Pembentukan dan keikutsertaanya dalam Pemilu berdasarkan peraturan perundang-perundang an yakni UU Parpol dan UU Pemilu. Karena itu, pembentukan Parpol local hanya dapat dilakukan jika tercantum dalam UU Parpol dan UU Pemilu dan/atau revisi UU Otsus Papua.

Mengenai kebijakan affirmatif terhadap orang Papua, bagi Mu'saad hal itu merupakan suatu stategi yang cerdas dalam mendorong akselerasi pembangunan SDM Papua, hanya kebijakan ini harus dilakukan dengan hati-hati serta memperhatikan prinsip dasar kebijakan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar nantinya penerapan kebijakan itu tidak mengarah pada tindakan diskriminasi dan/atau pelanggaran HAM.

Berkaitan dengan maraknya aspirasi masyarakat menginginkan pemekaran daerah atau pembentukan daerah otonom baru provinsi/kabupaten, DC memandang bahwa hal itu merupakan trend yang terus mengalami penguatan. Karena itu dibutuhkan kreativitas Pemda untuk mendesain suatu strategi penataan daerah di Provinsi Papua dalam waktu 20 atau 25 tahun kedepan, dengan memperhatikan berbagai aspek, yakni proses, format, keserasian, kesatuan budaya, sumberdaya ekonomi dan prospek pengembangan.

" Evaluasi Otsus yang telah dilakukan 2 kali oleh Pemprov dengan Uncen tahun 2007 dan Pemerintah Pusat melalui Depdagri dengan kemitraan untuk kerjasama pembaharuan pemerintah 2008 sebagian besar masih difokuskan pada evaluasi terhadap pengunaan dana Otsus belum pada kebijakan yang seharusnya ditujukan pada Pemerintah Pusat maupun Provinsi sesuai kewenangan dan kewajiban masing-masing dalam melaksanaan Otsus.

Sementara itu, mantan anggota DPR RI yang juga anggota pengagas Otsus Papua John Rahail mengajak seluruh komponen bangsa di Papua untuk bersama-sama membangun tanah papua dalam konteks NKRI melalui kebijakan Otsus. Sebab, sesungguhnya orang Papua sendiri yang mempermalukan dirinya sendiri dimana disaat dana Otsus dimanfaatkan, rakyat Papua ada yang bersikap menolak Otsus, bahkan ada yang menuding Otsus. Padahal rakyat Papua atau para pejabat di Papua baru mengalami perubahan hidupnya di Tanah Papua setelah ada Otsus.

" Makanya orang-orang yang mengatakan seperti ini sesungguhnya sangat berdosa, karena menipu dirinya sendiri dan kepada Tuhan. Padahal para penyelenggara Otsus ini diberikan amanah dari rakyat untuk mengemban misi dengan harapan agar kehidupan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin," cetusnya.

Hanya saja yang terjadi selama ini adalah ketidakpastian. Harus disadari membangun negara atau daerah adalah sistem bukan ego. Yang menjadikan sistem itu berdaya guna untuk rakyat adalah, ketika sistem itu menjadi tertulis. Namun yang terjadi selama Otsus berjalan, tidak ada satu sistem pun yang tertulis.

UU Otsus hanya bisa dilaksanakan jika subtansi dalam UU itu yakni bagian yang memperintahkan adanya Perdasi dan Perdasus harus dilaksanakan. Tapi, jika Perdasi dan Perdasusnya saja belum ada, apa yang mau dilaksanakan. Bicara Otsus itu gagal atau tidak memang belum berjalan. Yang berjalan selama ini hanya uangnya saja, sementara produk-produk lain sebagai pelaksanaan Otsus belum ada.

Karena itu, untuk mengatasi permasalahan tersebut perlunya diadakan dialog bersama untuk merevitalisasi dan memperkuat kembali pelaksanaan Otsus baik menyangkut sistemnya, peraturannya maupun berbagai aspek lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan Otsus itu sendiri.
--------------------
Sumber: Cendrawasih Pos, 24 November 2008
BACA TRUZZ...- Image Otsus Masih Sebatas Uang

Sekuntum Bunga untuk Guru

Oleh : Fx Triyas Hadi Prihantoro

Spanduk "Selamat Hari Guru, Kami Mencintaimu" terbentang di pintu masuk SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta, Selasa pagi (25/11). Di pintu gerbang itu pula telah berjajar sejumlah pengurus OSIS. Dengan ramah mereka menyambut setiap guru yang datang.

Begitulah cara murid SMA Pangudi Luhur Santo Yosef memperingati Hari Guru Nasional kemarin. Ketua OSIS SMA Pangudi Luhur Santo Yosef, Cristina Anny, mengatakan, penghormatan kepada guru telah menjadi agenda kegiatan tahunan (OSIS) di sekolahnya. "Tanpa guru tidak akan ada pemimpin bangsa dan para profesional di negeri ini," ujarnya.

Tak kalah menarik, pada upacara memperingati Hari Guru Nasional ke-63 di sekolah tersebut, kemarin, semua petugas upacaranya dilaksanakan sendiri oleh para guru.

Wakasek Kesiswaan, Drs. Anton M, mengatakan, ini menunjukkan bahwa guru dapat menjadi contoh bagi para siswa termasuk dalam hal menggelar upacara. "Upacara bendera dengan seluruh petugasnya para guru akan memberi sebuah kesadaran bagi guru itu sendiri bahwa tidak mudah untuk melaksanakan tugas dalam upacara bendera yang biasanya ditangani oleh para siswa," terangnya.

Yang lebih mengharukan dan membanggakan bagi guru-guru SMA Pangudi Luhur Santo Yosef dalam upacara ini adalah pada saat sesi Paduan Suara menyanyikan lagu 'Hymne Guru', 'Terima kasih Guru' dan 'Syukur'. Bersamaan dengan itu seluruh anggota OSIS dan pengurus kelas dengan membawa sekuntum bunga kemudian menyerahkan kepada semua guru yang mengikuti upacara.

Dalam momen ini, berbagai ungkapan terima kasih diberikan semua siswa dengan berjabat tangan untuk mengucapkan selamat Hari Guru Nasional. "Sekuntum bunga untuk guruku tercinta," ungkap salah satu siswa dengan meyerahkan sekuntum mawar merah.

Hari Guru Nasional ke-63 tahun 2008 kemarin yang diperingati serentak di seluruh pelosok tanah air mengambil tema "Guru yang Profesional, Bermartabat, Sejahtera dan Terlindungi Mewujudkan Pendidikan Bermutu".

Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo, dalam sambutan tertulisnya, yang dibacakan oleh seluruh Pembina Upacara di setiap sekolah se-Indonesia yang memperingati Hari Guru Nasional ini mengatakan, bahwa momen hari guru menjadikan guru semakin profesional, sebab kesejahteraannya diperhatikan oleh Pemerintah.
Peringatan Hari Guru Nasional kemarin di sejumlah kota juga diwarnai oleh aksi demonstrasi para Guru Tidak Tetap (GTT) yang telah mengabdi selama bertahun-tahun namun belum juga diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil.
-------------------------------------
Sumber: [www.kabarindonesia.com]
BACA TRUZZ...- Sekuntum Bunga untuk Guru

BERAS MENGANCAM MAKANAN LOKAL PAPUA

“Rakyat Diminta Pertahankan Makanan Lokal”

Nabire (Selangkah)-- Data Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Papua menyebutkan, sejak 1998 tercatat sebanyak 30% penduduk Papua mengosumsi umbi-umbian (petatas), 15% mengosumsi sagu dan selebihnya 55% mengosumsi beras. Pada tahun 1996-1998, produksi ubi jalar di Papua sebanyak 435.000 ton. Tetapi jumlah ini terus menurun setiap tahun. Pada tahun 1999-2001 hanya mencapai 340.000 ton. Tahun 2003 lebih parah lagi dengan jumlah produksi hanya 250.000 ton. Produksi ubi jalar terbesar di daerah Pegunungan Tengah (Paniai, Puncak Jaya, Jayawijaya, Tolikara, Yahokimo, Pegunungan Bintang, dan Nabire).

Sementara menurut Dr. Josh Mansoben seperti dikutip Tabloid Jubi melalui FokerLSMPapua.org, 28 April 2008, berdasarkan hasil penelitian sejumlah dosen Uncen menunjukkan, kecenderungan masyarakat Papua mengonsumsi beras terus meningkat setiap tahun dibanding makanan lokal. Bahkan, ada sebagian penduduk Papua tidak lagi berupaya menanam pangan lokal, dengan alasan akan membeli beras.

Sedangkan menurut Ir Leonardo A Rumbarar Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Papua, potensi lahan tanaman pangan dan holtikultura di Provinsi Papua seluas 14.269.376 Ha. Dalam tahun 2006 penggunaan lahan untuk sawah seluas 25.127 hektar dan untuk lahan kering hanya 165.505 hektar.

Adapun sentra tanaman pangan padi-padian terdapat di Kabupaten Merauke, Kota Jayapura, Nabire, Waropen, Kabupaten Jayapura, Sarmi dan Mimika. Sentra tanaman jagung terdapat di Paniai, Keerom, Kota Jayapura, Kab Jayapura, Sarmi, Biak Numfor dan Nabire. Sentra tanaman kedelai di Kabupaten Keerom, Merauke, Jayapura, Nabire dan Sarmi. Sentra tanaman kacang tanah di Kabupaten Merauke, Nabire, Jayapura, Sarmi, Paniai. Sentra kacang hijau hanya di Kabupaten Biak Numfor. Ubi jalar di Kabupaten Jayawijaya, Jayapura, Paniai, Puncak Jaya, Tolokara, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Merauke, Keerom, dan Nabire. Sentra keladi di Kabupaten Biak Numfor dan Kabupaten Supiori serta sebagian di Nabire.

Data di atas menunjukkan bahwa masyarakat asli di Papua saat ini mulai beralih konsumsi pangan lokal ke beras yang katanya makanan nasional sebagai bentuk penyeragaman pangan. Hal ini diperparah lagi dengan program Raskin (beras miskin) atau beras jaminan pelayanan sosial (JPS). Sejak ada program Raskin, masyarakat sudah jarang berkebun dan hanya menjual ikan atau hasil tanaman pertanian holtikultura untuk membeli beras murah.

Krisis pangan tampaknya tak akan pernah usai kalau masyarakatnya masih terus diajak mengonsumsi hanya satu pangan saja. Padahal sejak dahulu masyarakat Papua telah mengenal sejumlah makanan lokal, seperti sagu, ubi jalar, keladi, singkong, dan pisang, dan lainnya. Namun yang terkenal selama ini dua jenis makanan yang begitu populer, yakni sagu bagi masyarakat pantai dan ubi jalar untuk masyarakat pegunungan.

Jika disimak ternyata dari hari ke hari makanan lokal itu diabaikan, sebab pemerintah mulai menyosialisasikan pola makan beras. Sedangkan budidaya padi di kalangan petani lokal tidak bisa dikembangkan. Masyarakat Lembah Baliem dan Merauke misalnya, telah mengolah sawah tetapi tak bertahan lama. Masyarakat suku Dani di Kampung Yiwika menanam padi di dalam sawah mereka tetapi merasa banyak menyita waktu sebab malam jaga tikus dan siang usir burung. Pekerjaan mengolah sawah tak seenak membuat bedeng kebun hipere.

Peralihan dari makanan lokal ke beras ini secara jelas dapat dilihat dari data Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura provinsi Papua. Produksi dan kebutuhan padi di Papua tahun 2005-2007 hanya 73.775 ton saja sedangkan kebutuhannya mencapai 297.940 ton. Sedangkan produksi ubi jalar sekitar 307.871 ton sementara kebutuhannya sebesar 284.847 ton. Berarti terdapat kelebihan stok ubi jalar.

Pertahankan Makanan Lokal
Makanan lokal Papua seperti ubi jalar, keladi, pisang, singkong dan sagu sudah dikenal masyarakat sejak nenek moyang. Makanan ini dari turun-temurun dikenal orang Papua. Masyarakat Papua pesisir dan pedalaman menganggap sagu dan ubi-umbian bukan hanya sekedar makanan pokok. Sagu misalnya, memiliki nilai budaya dan tradisi yang sangat tinggi karena mengandung unsur mistis dan magis. Sementara di pedalaman, umbi-umbian tertentu juga mengandung unsur mistis dan magis. Maka berbagai pihak berharap rakyat Papua harus mempertahankan makanan lokal yang telah ada sejak turun-temurun.

”Siapa bilang nasi itu lebih baik dari sagu dan umbi-unbian. Kan, beras dan makanan lokal itu sama-sama mengandung karbohidrat. Memangnya beras itu protein sehingga makanan lokal yang tidak mengandung protein harus ditinggalkan,” kata Ruben Edowai, Tokoh Adat Nabire.

Maka, dirinya berharap, rakyat Papua mulai saat ini harus mempertahankan segala sesuatu yang telah ada sejak dulu, khususnya umbi-umbian. ”Orang Papua gunung telah menemukan ratusan varietas umbi, namun hingga kini mungkin tinggal sedikit. Soalnya adalah pemerintah memanjakan rakyat dengan beras. Ada beras ini dan beras itu. Beras JPSlah Rakinlah itukan sebenarnya mebunuh makanan lokal orang Papua. Sekarang orang pedalaman malas buat kebun. Mereka hanya menunggu beras dari pemerintah. Jika, beras habis, mereka akan makan apa,” katanya.

Sementara itu, katanya, kini orang Papua memandang supermi sebagai barang mewah istrinya beras. ’Sebagian besar rakyat menganggap bahwa, supermi adalah istrinya beras. Beras harus masak berpasangan dengan supermi. Lalu mereka lupa berbagai jenis sayur yang memiliki vitamin tinggi. Sebenarnya, Tuhan itu telah menyediakan banyak makanan bagi orang Papua yang jarang kita jumpai di daerah lain. Jika kita membiasakan diri konsumsi makanan-makanan dari luar itu sama saja kita menolak pemberian Tuhan kepada orang Papua. Orang Papua harus bersyukur kepada Tuhan dengan mempertahankan dan mengonsumsi makanan lokal (umbi-umbian maupun sayuran yang ada),” kata Ruben berharap.

”Sebenarnya, melalui program-program yang merupakan dewa penyelamat itu justru membunuh masa depan rakyat. Program apapun seharusnya benar-benar perhatikan kondisi rakyat. Selama ini, berbagai program jarang perhatikan berbagai perbedaan yang ada di Indonesia. Jakarta buat program yang cocok dengan Jakarta. Begitu program itu sampai di Papua justru membunuh rakyat Papua. Salah satu contoh adalah program Raskin dan JPS,” jelasnya.

Rakyat Papua kini kehilangan segala-galanya, termasuk makanan lokal. Itu disebabkan karena program Jakarta mengindonesiakan orang Papua. ”Dulu, Jakarta bilang seluruh rakyat Indonesia harus makan beras. Katanya, makanan lokal itu, kurang baik. Orang-orang di pedalaman yang tidak tahu menanam padi dipaksakan makan beras. Mereka bilang beras lebih baik dari pada umbi-umbian. Ini satu bentuk pembunuhan masa depan orang Papua yang berbeda cara hidupnya dengan orang Jawa. Jakarta bilang, orang Papua harus hidup sama dengan orang Jawa, mulai dari makanan lokal, budaya, cara berpikir dan lain-lain,” kata seorang yang enggan diebutkan namanya.

Maka, berbagai pihak berharap dengan adanya Otsus, pemerintah daerah sudah seharusnyalah melindungi makanan lokal baik dengan membuat peraturan daerah maupun dengan membuat proyek-proyek percontohan. “MPR dan Gubernur harus mengakomodir hal seperti ini melalui Perdasi dan Perdasus. Kalau kita membiarkan hal ini, makanan lokal akan hilang sementara rakyat asli Papua tidak bisa menanam padi. Jika ini dibiarkan, maka akan terjadi kasus-kasus serupa dengan Yahokimo,” demikian mengemuka dalam sebuah diskusi di Nabire beberapa waktu lalu.

Para bupati diharapkan dapat juga mengikuti jejak mantan Bupati Jayapura Yan Pieter Karafir . Seperti yang dilangsir Tabloid Jubi melalui FokerLSMPapua.org, 28 Apr 2008, mantan Bupati Jayapura Yan Pieter Karafir pernah mengeluarkan SK Bupati tentang perlindungan dan pengembangan sagu alam di Kabupaten Jayapura. Dalam Simposium Sagu di Jayapura (FokerLSMPapua.org, 28 Apr 2008) YP Karafir memperoleh penghargaan karena membudidaya dan mengamankan sagu sebagai pangan lokal bagi masyarakat Papua. [Yermias Degei/Selangkah/dari berbagai sumber]

BACA TRUZZ...- BERAS MENGANCAM MAKANAN LOKAL PAPUA

Mempertimbangkan Arah Sejarah Kita

“Orang Papua bisa menikmati hak-haknya sebagai manusia, bukan menyaksikan hak-haknya dilanggar atau dikekang. Inilah artinya merdeka sebagai manusia. “

Oleh: Johannes Supriyono*)

L’histoire se repete! Sejarah berulang kata orang Perancis. Apa yang pernah terjadi di masa lalu terjadi lagi di zaman ini. Dan setiap pengulangan sejarah kelam berarti air mata tercurah. Kepedihan menancapkan cakarnya lagi di lubuk hati. Lalu pertanyaan yang terdengar klise harus diungkapkan lagi: mengapa ini terjadi? Tetapi sejarah akan terus berulang sampai, pada suatu titik, orang-orang yang terlibat dalam sejarah itu membelokkannya.

Opinus Tabuni tersungkur oleh peluru yang menembus dadanya. Serentak Wamena menjadi perhatian jagat. Air mata ibu-ibu menganak sungai. Getir rasanya. Peluru telah merenggut Opinus dari antara kaumnya. Ini bukan kematian oleh peluru yang pertama di Papua. Mungkin juga bukan yang terakhir. Pertanyaannya adalah mengapa kematian oleh peluru belum berakhir? Dan, mungkinkah suatu hari kelak tidak ada lagi anak-anak Papua mati karena peluru nan kejam?

KEMATIAN Opinus Tabuni menegaskan perjalanan sejarah rakyat Papua sebagai perjalanan kaum yang (di)kalah(kan), yang dijiwai oleh darah. Kalau mau dibaca secara positif, perjalanan sejarah Papua adalah sejarah perjuangan untuk diakui sebagai manusia dengan martabat sepenuhnya. Francis Fukuyama dalam The End of History and the Last Man menyatakan perjalanan sejarah adalah perjalanan menuju menyatunya ideologi-ideologi menjadi kapitalisme liberal. Sementara, sejarah Papua bergerak menuju pengakuan sebagai manusia, warga negara dunia yang semartabat dengan warga dunia lainnya.

Sebagai manusia yang merdeka, bukan saja merdeka dari ketakutan akan peluru yang tiba-tiba melesat dan merampas hidup, orang Papua bisa menentukan nasibnya sendiri (self-determination). Orang Papua bisa menikmati hak-haknya sebagai manusia, bukan menyaksikan hak-haknya dilanggar atau dikekang. Inilah artinya merdeka sebagai manusia.

Menyaksikan dan merasa-rasakan sejarah para korban, kita mencium bau anyir darah. Tidak ada sukacita kemenangan, tetapi duka cita karena kematian yang murah. Tidak ada sorak dan tarian ibu-ibu, tetapi kepala berkerudung dengan sedu sedan. Tidak ada anak-anak kecil bermain, berlari-larian tetapi berdiri terpaku pada jasad yang kaku. Kegembiraan pudar dan terbang. Angan-angan akan masa depan yang gemilang berubah menjadi amarah. Bukankah ini sejarah yang tidak pernah dicatat bahwa mereka belum menjadi pelaku aktif bagi sejarahnya sendiri? Ya, mereka mengingat kekalahan demi kekalahan yang menyesakkan!

Sejarah yang kita kenal hampir selalu berkisah tentang pahlawan, tentang kemenangan, dan tentang peristiwa yang monumental sehingga diabadikan. Kematian yang direkam pun hanya milik mereka yang agung. Tetapi, para budak dan serdadu-serdadu yang terlibat hampir tidak pernah disebut namanya. Hidup mereka tidak berharga untuk satu huruf pun dalam kitab sejarah.

Agaknya untuk menimbang arah sejarah Papua, kita tidak perlu mendongak pada para petinggi negeri. Bisa-bisa kita malah merasa ngeri. Lihatlah peluru, darah, dan air mata yang mungkin masih akan terjadi lagi setelah Opinus Tabuni. Di sana kita akan mendapati pertanyaan yang menghujam hati. Apakah arti hidup di sini?

SEJARAH kita bangun sendiri dari kekalahan dan kekalahan. Kegetiran yang datang silih berganti akan membuat dahaga kita akan kemanusiaan yang merdeka semakin besar. Arus sejarah akan semakin menderas dan mungkin tak lagi terbendung. Tidak ada orang yang tidak ingin menjadi juara. Tidak ada orang yang tidak ingin merdeka bagi dirinya sendiri!

Rasa kalah itu tidak perlu mengemuka sebagai dendam. Tidak ada gunanya dendam kecuali akan membuat kita semakin terpuruk dan sejarah menjadi lebih mengerikan. Dendam akan membuat tanah ini menjadi kerajaan kekerasan. Dalam arena kekerasan tak seorang pun tampil sebagai pemenang. Kekerasan, sebagaimana perang, adalah kekalahan bagi kemanusiaan!

Pertautan antara sejarah dan identitas tidak lagi dapat kita elakkan. Kematian Opinus Tabuni adalah salah satu elemen dari identitas kita: manusia Papua yang belum sepenuhnya memanusia. Pengalaman kematian itu menjadi pengalaman kita bersama. Bukankah kematian seperti itu bisa merenggut kita juga? Hakikat manusia sebagai makhluk yang merdeka masih jauh dari kenyataan kita sehari-hari.

Kemerdekaan sebagai manusia mengejawantah dalam kemampuan kita untuk menghayati kemanusiaan kita secara utuh. Kita bisa hidup secara damai. Kita bisa bersuara tanpa takut dibungkam. Kita bisa menghargai orang lain tanpa banyak curiga. Juga kita bisa menentukan masa depan. Mengikuti Nietzsche, kita bisa mengatakan ‘ya’ pada kehidupan!

Sejarah akan bergerak pada penciptaan tata kehidupan yang berkeadilan, yang mengakui nilai-nilai dasar kehidupan, yang memungkinkan anak-anak tumbuh dan berkembang. Inilah panggilan sejarah kita: mendorong terciptanya jagat di mana manusia dapat menghayati kemanusiaannya tanpa terancam atau mengancam manusia lain.

MARTIN Luther King, Jr. memimpikan empat orang anaknya untuk hidup damai di dunia yang tidak menilai mereka dari warna kulitnya, tetapi dari hidupnya. Ia membagikan mimpinya itu dalam orasinya yang diawali secara amat menawan. I have a dream… Ia berjuang dengan menggandeng begitu banyak pihak untuk mewujudkan impian itu. Impian itu ia bayar dengan kematiannya pada 1968. Ia dibunuh. Tetapi, sejarah mencatat arus sejarah diskriminasi warna kulit pelan-pelan lenyap.

Masih ada Mahatma Gandhi di India yang memimpin gerakan aktif tanpa kekerasan untuk melepaskan India dari penjajahan Inggris. Dunia mengaguminya.

Hari ini kita memiliki perempuan hebat dari Myanmar, Aung San Suu Kyi, pemimpin liga demokrasi di negerinya. Ia berjuang dengan tenang dan mendapatkan dukungan besar dari seluruh dunia. Seakan-akan seluruh dunia bergandengan tangan menyokong peraih nobel perdamaian ini.

Kita di sini, saatnya membagikan mimpi kita kepada sobat-sobat; mengajak mereka untuk bergandeng tangan dan memimpikan tata dunia yang adil agar kita bisa hidup semartabat dengan mereka. Lalu, sejarah baru akan pelan-pelan lahir di tanah kita. Sejarah tidak pernah dibangun dalam sehari. Mungkin saja kita bernasib seperti Martin Luther King, Jr. Ia tidak pernah melihat mimpinya mekar tetapi ia mewariskan pada dunia.
*) Peminat masalah sosial, tinggal di tanah Papua
BACA TRUZZ...- Mempertimbangkan Arah Sejarah Kita

Depdiknas Ubah Visi SMK

Minggu, November 23, 2008

Tanamkan Jiwa
Kewirausahaan


Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mengambil langkah strategis untuk mengatasi problem pengangguran. Mulai tahun depan, Depdiknas akan fokus kepada pengembangan sekolah menengah kejuruan (SMK). Harapannya, dengan langkah tersebut, daerah tidak kekurangan produk-produk yang siap kerja.

''Ke depan, SMK disesuaikan dengan potensi daerah karena bertujuan agar lulusan sekolah kejuruan dapat segera terserap di dunia kerja atau dunia usaha di daerah,'' terang Sekjen Depdiknas Dodi Nandika ketika ditemui di gedung Depdiknas, Jakarta, kemarin.

Dodi lantas mencontohkan, sekolah kejuruan di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, yang mengkhususkan kepada pendidikan kelautan. ''Nunukan kan bentuknya pulau. Kalau dibuat jurusan perhotelan, kasihan lulusannya harus menyeberang pulau untuk bekerja,'' kata dia.

Yang terpenting, ujar dia, pembangunan sekolah kejuruan pada masa-masa mendatang difokuskan kepada bidang-bidang potensial. Misalnya, agrobisnis, komputer, pariwisata, hotel, otomotif, dan bisnis. ''Kita ingin anak-anak SMK bisa mengembangkan jiwa dan budaya entrepreneurship (kewirausahaan, Red),'' tuturnya.
Dodi menilai, untuk mengubah visi itu justru tidak membutuhkan kurikulum khusus entrepreneur. Menurut dia, jiwa kewirausahaan bisa diberikan atau ditempatkan di bidang apa saja. Kurikulum kewirausahaan, kata dia, justru membuat mindset (pemikiran) tentang entrepreneur menjadi salah. ''Kita terbelenggu kurikulum dan ini justru menjadi penyebab kegagalan,'' tambahnya.

Menurut Dodi, dalam program Depdiknas tersebut yang terpenting untuk menumbuhkan jiwa entrepreneur kepada siswa SMK adalah pelajaran di lapangan. Caranya, guru harus mengajarkan kepada siswa tidak sekadar teori, tetapi praktik tentang wirausaha di dunia nyata.

Saat ini rasio jumlah sekolah kejuruan dibandingkan dengan sekolah menengah atas (SMA) terus meningkat. Jika pada 2005 rasionya 30 persen banding 70 persen, pada 2008 mencapai 47 persen banding 53 persen. ''Ditargetkan pada 2014, 70 persen sekolah menengah yang ada di Indonesia merupakan sekolah kejuruan,'' katanya.
Salah satu pengusaha kenamaan Bob Sadino siap mendukung program Depdiknas tersebut. Karena itu, dia terjun langsung dan siap menjadi konsultan lepas bagi Depdiknas. Bob menitipkan imbauan agar guru SMK harus mengubah paradigma pengajarannya, yaitu bisa membimbing siswanya ke lapangan.

''Guru tidak boleh sekadar mengajarkan teori. Guru-gurunya harus dibuka dulu mindset-nya. Harus ada shock therapy agar guru tak sebatas mengajar, tapi juga membimbing, mengarahkan, dan bisa membuat siswa mandiri,'' terangnya.

Menurut Bob, pendidikan di SMK harus bertumpu kepada tiga pilar pendidikan. Yaitu, learning to know (belajar untuk tahu), learning to do and to be together (belajar untuk melakukan sesuatu dan melakukan bersama masyarakat), dan learning to be (belajar untuk menjadi). (zul/oki)

--------------------------
Sumber: http://www.cenderawasihpos.com/detail.php?id=21704&ses=
BACA TRUZZ...- Depdiknas Ubah Visi SMK

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut