Konflik Papua Perlu Solusi

Selasa, September 15, 2009



Kondisi Papua belakangan ini sempat memanas, perang dingin antara pemerintah dan masyarakat Papua terus berlanjut tanpa adanya solusi.

Rentetan kejadian, pembakaran Rektorat Uncen, penyerangan Polsekta Abepura, pengibaran bintang kejora mewarnai Kamtibmas di tanah Papua.

Mesikapi itu, Ketua Solidaritas HAM dan Demikrasi Rakyat Sipil Papua (SHDRP) Usama Yugobi mengatakan, perlu segera dicarikan pemecahan masalah yang tepat agar akarnya dapat diatasi

“Kejadian-kejadian ini mungkin saja akan terus menerus terjadi, maka harus ada solusi,” jelasnya.

Realita masyarakat umum melihat bila terjadi satu pelanggaran hukum baik itu tindakan kriminal maupun tindakan makar aparat hukum dapat menuntaskan perkara hukum ke meja hijau.

Namun bila dikaji dengan permasalahan HAM maka, permasalahan ini sampai kapan pun tidak akan terselesaikan, tentunya ini satu contoh kongkrit yang perlu disikapi dengan arif.

Menurutnya, penegakan keadilan di tanah Papua ini jauh dari harapan, sekalipun bersentuhan hukum dan aparat berlawanan, namun perlawanan masyarakat terus jut.

Katanya, katanya, pembangunan di era Otsus ini semakin tidak terarah, empat sektor dalam UU No.21 Tahun 2001, sama sekali belum memberi manfaat.

“Masyarakat jenuh dengan omong kosong pejabat yang nota bene orang asli Papua tentang pembangunan, mereka setelah menduduki jabatan justru mensejahterakan diri, sedangan masyarakat tidak merasakan perubahan Otsus,”ujarnya.(fer)
------------------------------
Sumber:papuapos.com

BACA TRUZZ...- Konflik Papua Perlu Solusi

Oktovianus Pogau:Masih SMA Tapi Jadi "Guru" di Pemerintahan

Zaman sekarang ini, dunia nggak terlalu luas untuk dijelajahi, karna teknologi informasi makin canggih. Meski tekno udah berkembang pesat, ada juga orang yang belon bisa menikmati dan memahami tekno canggih tersebut. Salah satunya internet... Bayangin, di Papua sono, main internet ke warnet aja 1 jamnya bayar 10rebu loh! Puji Tuhan, lagi-lagi ada satu sosok pemuda yang dibangkitkan Tuhan untuk melihat keadaan ini.

Oktavianus Pogau, salah satu teman kita dari Papua yang udah terjun di bidang jurnalistik 'n pernah belajar internet sendiri, punya kerinduan untuk mengajar internet. Meski Okto yatim piatu, namun semangatnya tinggi untuk membangkitkan Papua dari ketertinggalan. Remaja yang duduk di kelas 2 SMA Kristen Anak Panah, Nabire-Papua ini sempat bikin website dan blog untuk pemerintah sekaligus jadi guru di sana. Penasaran ama pengalamannya? Simak obrolan kita bareng Okto!

Sejak kapan kamu tertarik dunia tulis menulis dan media internet?
Aku suka menulis sejak SMP kelas 2, sekitar tahun 2005. Saat itu di sekolah, guru bahasa indonesiaku menunjukkan sebuah berita tentang lumpur lapindo di Porong, Sidoarjo. Beliau meminta murid-murid untuk memberikan tanggapan melalui tulisan. Entah kenapa, waktu itu aku punya banyak gambaran dan pendapat tentang kasus ini. Akhirnya apa yang aku pikirkan aku tuangkan dalam tulisan. Saat guruku baca, dia langsung bilang kalo tulisanku bagus. Sejak itu, aku termotivasi untuk menulis. Kebetulan waktu itu juga, warnet di Nabire baru ada. Nah, begitu denger ada warnet, aku jadi penasaran 'n jadi lebih sering ke sana.

Kabarnya di Nabire, warnet jarang ditemukan. Apa yang bikin kamu terdorong untuk terus belajar internet meskipun sulit?
Sejam main internet, aku harus bayar 10ribu. Padahal, kalo aku main internet bisa berjam-jam. Demi ke warnet, aku sisihkan uang saku. Di Nabire warnet cuma ada satu. Tantangan lain yang aku dapatkan adalah budaya. Banyak orang pelit untuk membagikan ilmu baru, apalagi yang punya gelar. Makanya ilmu pengetahuan di Papua itu mahal. Nggak heran kalo Papua dianggap tertinggal. Dari sinilah muncul motivasiku untuk belajar keras tentang internet, komputer, dan dunia jurnalis. Aku ingin berbagi ilmu membangun Papua untuk lebih maju dan bebas dari ketertinggalan.

Siapa sih yang memotivasi kamu untuk nggak menyerah?

Tuhan Yesus, Pribadi pertama yang sangat memotivasi aku. Yang kedua, diriku sendiri, lalu orang-orang terdekatku. Tiap menghadapi tantangan, aku selalu ngobrol ama Tuhan, supaya Dia tunjukkan apa yang harus aku lakukan. Saat Teduh adalah waktu yang tepat untuk terus minta motivasi dan kehendakNya. Merenungkan FirTu tuh wajib hukumnya. Saat orang lain nggak dukung, aku belajar untuk gak dengerin hal-hal negatif yang bisa melemahkanku. Aku belajar untuk selalu bisa memotivasi diriku sendiri setiap saat.

Siapa sih yang kamu ajari?
Banyak banget! Semua teman-teman yang aku kenal di Nabire, termasuk orang-orang yang lebih tua dariku. Dari mahasiswa sampai pejabat di pemerintahanpun aku ajari main internet dan aku buatkan blog. Selain itu, teman-teman di sekolah dan siapapun yang datang minta tolong, pasti aku ajarin tanpa dipungut biaya. Aku akan ngajarin mereka sampai paham benar, jadi nggak ketinggalan.

Kabarnya kamu juga pernah nulis dan jadi wartawan, juga kolumnis muda beberapa media cetak. Gimana bagi waktu dengan sekolah?
Wah kalo diceritakan satu-satu bisa jadi satu buku ^_^. Aku pernah bikin web untuk ajang kebudayaan Papua secara otodidak. Emang sih sederhana... Puji Tuhan dapat penghargaan dari banyak kalangan termasuk pemerintah Papua. Sampai saat ini, aku aktif memberikan tulisan dan liputan di Papua Pos, Kabar Papua. Aku juga sempat dipercaya jadi editor yang punya kuasa untuk mengijinkan sebuah berita dimuat atau enggak. Puji Tuhan, sekolah nggak terganggu, lancar-lancar aja. Kuncinya, aku bisa atur waktu. Sampe-sampe, 24 jam itu terasa kurang buat aku bekerja, hehehe... Ini semua anugerah Tuhan, sehingga hasil kerja keras itu bisa memberkati banyak orang.

Pesannya buat teman-teman muda se-Indonesia apa nih?

Jangan terpengaruh dengan keadaan dan keterbatasan. Dalam berkarya, nggak harus punya fasilitas lengkap, supaya terlaksana. Yang penting harus punya kemauan keras, tekad, dan selalu ngobrol sama Tuhan. Jadikan keterbatasan sebagai kunci sukses kita! (*/Bb)

Sumber: Renungan Harian BOOM edisi Oktober 2008)


BACA TRUZZ...- Oktovianus Pogau:Masih SMA Tapi Jadi "Guru" di Pemerintahan

Kelaparan Yahokimo Jilid II, 92 Orang Meninggal Dunia: DAP Minta Pemerintah Segera Tanggap

Kepala Pemerintahan Dewan Adat Papua (DAP) Fadal Al-Hamid minta Pemda Kabupaten Yahukimo bersama pemerintah Provinsi Papua untuk segera tanggap dan menseriusi kejadian kelaparan di tujuh distrik di Kabupaten Yahukimo. Berdasarkan data yang diperoleh hingga saat ini sudah 92 orang yang dinyatakan meninggal akibat kasus kelaparan yang terjadi akibat gagal panen karena buruknya cuaca.

“Ini sangat mengejutkan, karena beberapa waktu lalu Gubernur Papua Barnabas Suebu menghibur masyarakat dengan penurunan angka kemiskinan yang turun hingga empat persen untuk wilayah Papua, tapi hari ini kita mendengar ada orang yang kelaparan di Yahukimo dan telah berlangsung sejak empat bulan lalu,” kata Fadhal saat ditemui wartawan disela-sela acara meeting Deplu yang berlangsung di Swiss Belhotel, Rabu (2/9).

Lebih lanjut dikatakan Fadhal, kondisi Yahukimo saat ini seperti tidak ada pemerintahan. Padahal disana ada pemerintah kabupaten, Distrik sampai kampung, tapi bencana kelaparan malah tidak dihiraukan.

“Mengapa ini bisa terjadi selama 4 bulan dan tidak diketahui oleh pemda setempat? Otsus delapan tahun cukup untuk mengatasi masalah ini. Apa lagi yang kurang?” katanya dengan mimik wajah heran.

Menurutnya kedatangan presiden beberapa waktu lalu untuk panen raya di daerah Yahukimo hanya sekedar untuk menghibur masyarakat setempat dan memberitahukan kepada semua orang bahwa persoalan kelaparan di Yahukimo bisa diatasi.
“Apa yang dilakukan saat itu untuk menghibur semua orang sama sekali tidak menyelesaikan persoalan jangka panjang,” ujarnya.

Sedangkan persoalan cuaca di Yahukimo dan didaerah pegunungan lainnya memang tidak pernah bisa kita atasi, karena ini terjadi setiap tahun. Namun yang dapat kita atasi adalah menyiapkan program jangka panjang kedepan untuk cuaca yang mengganggu seperti di Yahukimo agar rakyat tidak kelaparan lagi.

” harapnya sambil menambahkan seharusnya program ini sudah dilakukan oleh pemerintah kabupaten ataupun provinsi jauh sebelum masalah ini tejadi.

Pemda Belum Bertindak
Sementara itu Pendeta Isak Kipka tokoh agama setempat, yang dihubungi wartawan via ponselnya, Rabu (2/9) mengatakan, kelaparan yang terjadi pada awalnya diketahui hanya melanda empat Distrik, namun kini bertambah menjadi tujuh distrik dimana kasus ini terjadi sekitar bulan Mei lalu, karena cuaca buruk yang melanda Yahukimo terjadi mulai bulan Januari hingga Agustus 2009 ini. Dan telah menelan korban sebanyak 92 orang.

“Kelaparan ini sudah terjadi pada bulan Mei lalu hingga kini, dan ini diakibatkan buruknya cuaca serta gagal panen warga setempat,” kata isak.

Diungkapkan meski kasus kelaparan ini telah terjadi kurang lebih empat bulan, namun belum ada tindak lanjut dari pihak pemerntah setempat maupun pemerintah provinsi Papua, padahal upaya untuk meminta bantuan telah dilakukan melalui proposal-proposal yang diajukan kepada pemerintah daerah kabupaten Yahukimo.

Dan hingga berita tentang kasus kelaparan yang melanda tujuh Distrik diantaranya distrik Langda, Bomela, Seradala, Suntamon, Walma, Pronggoli dan Heryakpini ini sama sekali belum ada perhatian secara khusus dari pemda baik berupa bantuan makanan maupun obat-obatan.

Diterangkan lagi, beberapa waktu lalu pemerintah provinsi Papua melalui Dinas sosial provinsi Papua telah mendatangi kabupaten Yahukimo guna meninjau daerah tersebut namun hingga kini tidak ada tindak lanjut oleh Pemprov hingga kasus kelaparan ini terjadi.(lina)
-----------------------
Sumber: Papuapos.com

BACA TRUZZ...- Kelaparan Yahokimo Jilid II, 92 Orang Meninggal Dunia: DAP Minta Pemerintah Segera Tanggap

Selamatkan Tanah dan Orang Papua!

Pada 13 September kemarin, dikenal sebagai Hari Hak Azasi Manusia Internasional bagi Bangsa Pribumi se-Dunia. Hal itu sesuai dengan deklarasi PBB 13 September 2007 lalu.
Terkait hal ini, Dewan Adat Papua (DAP) sebagai masyarakat pribumi turut memperingati ulang tahun ke-3 Hari Hak Azasi Manusia Internasional bagi Bangsa Pribumi se-Dunia tersebut.

Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Forkorus Yaboisembut,S.Pd, mengatakan, tema yang diangkat adalah "Mari Kita Selamakan Tanah dan Orang Asli Papua". Tema ini menjadi suatu seruan tentang penyelamatan tanah dan orang asli papua, bangsa Papua, rumpun Melanesia, ras Negroid yang masih tersisa 1,2 juta jiwa dari creeping genoside (pemusnahan secara merangkak perlahan-lahan) dan dari kehancuran tanah Papua menuju Papua baru.

Seruan penyelamatan tanah dan orang asli Papua terdiri dari 8 bagian yaitu, penyelamatan tanah Papua, penyelamatan jiwa orang asli Papua dari creeping genoside, perilaku orang asli Papua yang berakibat creeping genoside, penyelamatan Sumber Daya Alam (SDA), penyelamatan hutan, penyelamatan kampung-kampung tradisional, masa depan orang asli Papua, permasalahan-permasalahan yang telah, sedang dan akan dihadapi orang asli Papua.

Pokok-pokok seruan sebagaimana diungkapkan itu, sebagai pengingat dan peringatan untuk harus diingat dan dilaksanakan oleh masyarakat adat Papua. Pertama, keselamatan dan masa depan orang Papua ada di tangan orang Papua sendiri. Sebab ancaman kematian kian semakin menyata dimana masyarakat adat ditembak, dibunuh, diculik, ditangkap, dipenjarakan, mati kelaparan, menderita dan mati karena sakit dan penyakit.

Kedua, dilihat dari perkembangan jumlah penduduk di tanah Papua pada saat menjelang pelaksanaan penentuan pendapat rakyat (Pepera) pada tahun 1969, jumlah penduduk asli Papua lebih kurang 800.000 jiwa dan sampai dengan pada tahun 2007 jumlah penduduk asli Papua berjumlah 1, 2 juta jiwa. Jika dibandingkan dengan dengan Negara tetangga PNG (Papua New Guinea) pada saat merdeka pada tahun 1975, jumlah penduduk 700.000 jiwa dan pada tahun 2007, negara tetangga tersebut jumlah penduduknya sekitar 7 juta jiwa.

Ini pertanda bahwa pertumbuhan penduduk orang asli Papua di Papua Barat tidak bertambah secara signifikan dalam kurun waktu yang sama. Bertolak dari perbedaan jumlah penduduk yang amat mencolok di atas menyatakan sejak integrasi hingga saat ini terindikasi telah, sedang dan akan terjadi creeping genoside pada orang asli Papua. Hal ini dapat menyata dengan telah terjadinya berbagai operasi tumpas yang dilakukan oleh militer secara langsung semenjak 1 Mei 1963-1998, pembunuhan kilat, penembakan, penculikan, penangkapan dan pemenjarahan sewenang-wenang, pembunuhan psikis dengan Tuhan separatis, makar dan OPM (Organisasi Papua Merdeka).

Disamping itu, masyarakat adat Papua juga dibunuh dengan cara diracuni melalui makanan dan minuman, minuman keras, pelayanan kesehatan yang tidak memadai dan meninggal karena kelaparan dan penyakit HIV/AIDS. Akibatnya, populasi penduduk asli Papua semakin terancam.

Sebuah paper penelitian yang sampaikan dalam Indonesian Solidarity an the West Papua Paper Project, 9-10 Agustus 2007 di Sidney, Australia yang disampaikan oleh Dr. Jim Elmslie menyebutkan populasi penduduk non-Papua pada tahun 2020 akan meningkat tajam menjadi 70,8% dari total 6,7 juta jiwa penduduk Papua pada tahun 2020. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, pada tahun 2030. Dr. Jim memprediksikan penduduk asli Papua hanya 15.2% dari total 15,6 juta jiwa penduduk Papua. Dengan kata lain, perbandingan antara penduduk asli Papua dan non-Papua pada tahun 2030 akan mencapai 1:6,5. Oleh karena itu, masyarakat adat tanpa terkecuali di semua level dan tingkatan harus menyelematkan diri terlebih dahulu dari ancaman kematian dan dari berbagai proses ketidakadilan yang dialami.

Ketiga, eksploitasi SDA terus terjadi di tanah Papua. Masyarakat adat mati di atas kekayaan alam (emas), sementara kaum pemodal dan penguasa menari-nari di atas tulang belulang dan darah masyarakat adat Papua. Eksploitasi tambang tembaga dan emas oleh PT. Freeport dan gas alam oleh Brithis Petrolium di Babo Bintuni, perusahaan gas di Sorong serta berbagai perusahaan lainnya merupakan fakta yang tidak dapat dielakan. Demikian pula dengan pengeksploitasian hutan yang terus dilakukan secara legal maupun illegal.

Keempat, dalam pandangan dasar hidup masyarakat adat Papua, tanah adalah mama yang melahirkan, memberi makan, hidup dan beranak cucu. Karena itu tanah sesungguhnya milik komunitas dan bukan milik pribadi tertentu. Tanah bagi masyarakat Adat Papua memiliki nilai ekomis dan religi.

"Soal tanah adat kami DAP serukan penyadaran dulu, nanti kami tindaklanjuti dengan aturan," ungkapnya dalam konferensi pers di Kantor DAP, Minggu, (13/9).
Secara iman (secara khusus Kristiani) tanah adalah milik Tuhan yang dipercayakan kepada setiap bangsa dengan batasnya untuk keberlangsungan hidup mereka (Lih. Kitab Ulangan 19:13 dan 27:17). Lahan produktif pertanian tidak lagi dialihfungsikan untuk perumahan, penanaman kelapa sawit, lahan industri namun dilindungi demi keberlangsungan hidup masyarakat Adat Papua. Oleh karena itu, diserukan kepada orang asli Papua supaya tanah hak milik Masyarakat Adat Papua jangan dijual lagi namun disewakan atau dikontrakkan bagi pemodal dan pengguna lainnya.

Kelima, secara ekonomi masyarakat adat terus semakin tersisih. Tempat-tempat sentral di kota-kota, tanah semua dikuasai oleh pemodal yang nota benenya warga migran. Mereka mendirikan ruko-ruko, supermarket dan sentra-sentra ekonomi dimana-mana. Akibatnya masyarakat adat tidak mendapatkan tempat yang layak dan manusiawi.

Keenam, semakin derasnya arus perubahan dan tidak adanya perhatian dari semua pihak dalam memelihara serta melestarikan kampung-kampung tradisional dengan segala sistem dan nilai pemerintahan tradisional semakin hilang dan musnah. Hak hidup dan kebebasan masyarakat adat Papua semakin terancam. Pemerintah melalui aparat penegak hukum terus melakukan pembungkaman hak dan kebebasan bagi masyarakat adat Papua. Sebaliknya apa yang menjadi tanggungjawab aparat belum secara serius mengungkapkan tuntutan masyarakat adat.

Beberapa persoalan yang patut disebutkan ialah pelaku penembakan Opinus Tabuni yang tertempak pada tanggal 9 Agustus 2009 di Lapangan Sinapuk Wamena pada saat memperingati hari Internasional Masyarakat Pribumi. Demikian pula proses hukum pelaku penculikan Theys Hiyo Eluay dan sopirnya Aristoteles Masoka serta berbagai kasus pelanggaran HAM berat lainnya.

Bertolak dari keprihatinan sebagaimana diungkapkan di atas, guna mengakhiri dan menyelamatkan masyarakat adat Papua maka ia menyuarakan dan menyatakan sikap, bahwa, seluruh masyarakat adat untuk saling bahu membahu membangun kekeluargaan, persatuan, persaudaraan sebagai sesama anak adat Papua untuk menyelamatkan diri dan tanah Papua dari ancaman kepunahan.

Berikutnya, berjuang agar mencapai kesadaran bahwa semua orang adalah satu bangsa yakni bangsa Papua, rumpun melanesia dan ras negroid di pasifik dan bukan bangsa Indonesia, rumpun Melayu dari Yunan Kamboja.

"Pemerintah Indonesia, Amerika Serikat, Perserikatan Bangsa-bangsa, Pemerintah Belanda untuk segera membuka diri guna dilakukannya dialog internasional atau referendum bagi penyelesaian dan penyelamatan masyarakat adat Papua dari krisis kemanusiaan dan ancaman pemusnahan yang semakin menyata," tegasnya.

Tentang, penembakan di Timika, jika dilihat modusnya sama dengan penembakan warga Amerika Serikat beberapa bulan lalu, hanya saja dalam akhir-akhir ini intensitasnya meningkat, dan jelas ini mungkin saja dilakukan oleh agen provokator yang sama, karena mereka yang menembak itu adalah orang yang terlatih dalam menembak maupun menghilangkan jejaknya.

"Saya pernah bilang bahwa coba OPM ditarik dan pasukan juga ditarik, dan dilihat siapa dalang dari aksi penembakan itu. Ini skenario yang sudah diatur agar membungkam masyarakat yang memperjuangkan haknya pada PT. Freeport itu, karena tidak mau kue yang sama dibagi, maka dibuatlah aksi-aksi penembakan itu, supaya masyarakat adat ditangkap, diintimidasi supaya jangan berteriak lagi. Mana ada masyarakat adat punya senjata," terangnya.(nls/fud)
----------------------
Sumber: Cenderawasihpos.com

BACA TRUZZ...- Selamatkan Tanah dan Orang Papua!

Mama-Mama Papua Demo ke Gedung Negara

Tuntut Pembangunan Pasar yang Layak di Tengah Kota

Sekitar 200 massa yang menamakan diri Solidaritas Mama-mama Pedagang Asli Papua (Solpap), Senin (14/9) kemarin menggelar aksi unjuk rasa di depan jalan masuk Gedung Negara, Dok V Jayapura. Mereka mendesak Gubernur Papua maupun Walikota Jayapura untuk segera merealisasikan pembangunan pasar khusus yang layak dan manusiawi di tengah kota bagi mama-mama pedagang asli Papua yang sehari-harinya berjualan di pinggir jalan dan emperan toko sepanjang Kota Jayapura.

Awalnya, massa yang dipimpin Robert Jitmau dari Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Jayapura ini menggelar aksi di halaman Kantor Gubernur Papua di Dok 2 Jayapura, namun karena semua pejabat termasuk Gubernur Papua Barnabas Suebu,SH berada di Gedung Negara, akhirnya massa tersebut memutuskan untuk melanjutkan aksinya ke Gedung Negara.

Massa pun akhirnya berjalan kaki dari Kantor Gubernur menuju Gedung Negara, Dok V Jayapura yang jaraknya sekitar 5 km itu dengan tertib. Namun setelah sampai di Dok V, massa tidak diizinkan masuk ke kompleks Gedung Negara. Sebab sebelum massa tiba di Gedung Negara sekitar pukul 12.00 WIT, aparat keamanan dari Polresta Jayapura sudah siaga di sana, sehingga ketika pendemo datang aparat kepolisian langsung membuat pagar betis menghalau massa yang umumnya mama-mama itu.

Karena tertahan aparat, akhirnya massa pun melakukan orasi sambil membentangkan sejumlah pamflet yang intinnya meminta gubernur memperhatikan mama-mama asli Papua melalui pembangunan pasar khusus mama-mama asli Papua di tengah kota.
"Anak sampai kapan mama jualan di atas tanah. Bapak Bas, kapan kami punya pasar jadi? Kami cape demo terus. Demikian antara lain tulisan tersebut.

Massa terus meneriakkan agar gubernur segera menemui massa. "Kami tidak mau kalau pejabat lain, harus gubernur temui kami," teriak seorang ibu. Namun gubernur tetap tidak keluar. Sebab pada waktu bersamaan gubernur melakukan pertemuan tertutup dengan Dubes Inggris, Marthin Hatfull. Asisten Umum Drs. Ibrahim Is Badaruddin, M.Si dan Kepala Dinas PU Provinsi Papua Jansen Monim ST,MMT yang ditugasi menemui dan memberikan penjelasan kepada pengunjuk rasa rupanya tidak digubris. Massa tetap nogotot harus bertemu gubernur.

Setelah terjadi negosiasi, akhirnya dipilih 14 perwakilan untuk masuk menyampaikan aspirasi kepada gubernur. Sementara massa di luar tetap setia menunggu hasil pertemuan perwakilan dengan gubernur. Setelah sekitar satu jam lebih menunggu, akhirnya perwakilan pun bertemu dengan Gubernur Barnabas Suebu,SH, Walikota Jayapura Drs. MR Kambu M.Si dan Yan Ayomi, S.Sos dari DPRP selaku Ketua Tim Pansus Mama-mama Pedagang Asli Papua, Sekda Drs Tedjo Soeprapto,MM para asisten dan para pimpinan SKPD terkait.

Dalam pertemuan itu, gubernur mengatakan, apa yang menjadi tuntutan mama-mama sangat penting dan sebenarnya sudah direspon pemerintah, hanya saja yang menjadi kendala selama ini adalah masalah tanah tempat pembangunan pasar tersebut.
Ada sejumlah lokasi yang dilirik, misalnya lokasi dok 8 yang ditawarkan Walikota Jayapura sesuai dengan tata ruang Kota Jayapura, namun tetap tidak memenuhi syarat. Apalagi pasar yang diinginkan harus di tengah kota.

Setelah diusulkan beberapa lokasi alternatif, akhirnya gubenur memutuskan pembangunan pasar itu dipusatkan di tempat Eks Damri di jalan Percetakan Jayapura.
Karena tanah di lokasi tersebut milik perhubungan (pusat), maka pihak pemerintah daerah akan segera menyelesaikan itu dengan pemerintah pusat. "Demi untuk mama-mama Asli Papua, maka saya rela pasang badan dengan pemerintah pusat," katanya.

Selain menyetujui lokasi di tempat DAMRI, gubernur juga setuju pembangunan pasar ini dianggarkan dalam APBD 2010, sehingga dipastikan sudah selesai sebelum Desember 2010.
Masalah anggaran ini akan disinergikan dari APBD Kota Jayapura dengan Provinsi. Untuk pembangunannya dipercayakan kepada Walikota Jayapura sebagai pelaksana.

Gubernur juga meminta perlunya pembinaan bagi mama-mama pedagang asli Papua sehingga lebih cakap dalam memanaj jualan mereka, yang pada gilirannya bisa meningkatkan perekonomian mereka.

Untuk menjawab keluhan mama-mama soal ongkos angkutan yang selama mahal, gubernur juga menyetujui untuk pengadaan satu unit angkutan murah yang nantinya dikelola dalam bentuk koperasi oleh mama-mama yang berjualan di pasar tersebut.
"Untuk sementara menungu pembangunan pasar khusus, silahkan saja berjualan dulu di tengah kota seperti biasanya," jelas gubernur.

Puas dengan jawaban itu, akhirnya perwakilan massa kembali menjelaskan hasil pertemuan itu kepada rekan mereka yang setia menunggu di luar pagar dan akhirnya massa membubarkan diri. (don/fud)
-------------------------
Sumber: Cenderawasihpos.com

BACA TRUZZ...- Mama-Mama Papua Demo ke Gedung Negara

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut