Pendidikan Gratis, Dinilai Kebijakan Tanpa Arah di Papua

Selasa, Maret 24, 2009

Peraturan Gubernur Nomor 5 Tahun 2009 tentang pembebasan biaya pendidikan bagi wajib belajar pendidikan dasar dan pengurangan biaya pendidikan bagi peserta didik orang asli Papua pada jenjang pendidikan menengah menuai kritik. Berbagai pihak menilai, pembebasan biaya pendidikan itu dapat saja justru melahirkan kemalasan dan sikap manja.

“Kita semua sepakat bahwa anak-anak Papua harus bersekolah. Karena, salah satu kendala mengapa banyak anak Papua tidak sekolah adalah masalah biaya pendidikan. Maka, kebijakan pemerintah Provinisi Papua itu harus diapresiasi. Namun, yang menjadi soal adalah apakah memang benar, soal utama anak Papua tidak bersekolah karena masalah biaya. Saya kira, lebih pada soal cara pandang masyarakat kita (Papua:red) tentang pendidikan atau sekolah.”

Demikian kata sekretaris Lembaga Pendidikan Papua—Education for Papuan Spirit (edPaPaS), Yermias Degei, S.Pd. kepada Tabloid Jubi di Nabire, Senin, (16/3).

Lebih lanjut Degei menjelaskan, sebenarnya pendidikan gratis itu akan benar-benar terlaksana kalau dilalui dengan satu studi atau semacam pemetaan soal pendidikan di tanah Papua. Kalau kita melakukan studi atau pemetaan, maka masalah sebenarnya akan jelas.

“Saya lihat pendidikan gratis itu akan menciptakan sikap malas dan manja. Orang Papua itu pekerja keras. Tetapi, sekarang ada beras JPS, Raskin, ada Dana Respek, kesehatan gratis, dan pendidikan gratis lagi. Ini semua mengarah pada suatu kesimpulan bahwa hidup orang Papua gratis. Orang Papua tidak boleh bekerja keras. Orang Papua tidak usah kerja repot-repot. Dulu alam memanjakan orang Papua dan kini alam sudah dikuras habis, lalu ganti dengan dengan Otsus yang memanjakan semuanya. Lalu, orang Papua mau jadi di masa depan?”, kata Degei.

Soal pendidikan gratis ini, katanya, biaya sendiri saja banyak anak malas belajar. Banyak anak lebih memilih santai-santai. Tidak sedikit anak asli Papua yang mencari sekolah-sekolah yang pembelajaran santai, alias nilai bisa dibeli, ijazah mudah didapat. Padahal mereka membayar lebih mahal dari biaya sekolah yang bermutu dan disiplin. Lalu, orang tua juga membiarkan ini. Kebanyakan orang menganggap sekolah itu untuk nilai dan ijazah setelah itu jabatan dan ujung-ujungnya adalah korupsi. Pembangunan kandas.

“Pendidikan gratis itu akan sukses apabila masyarakat Papua mengerti hakikat pendidikan. Artinya, untuk apa saya belajar? Untuk apa anak saya harus sekolah? Anak-anak juga harus mengerti mengapa mereka harus sekolah? Apakah sekolah untuk nilai dan ijazah atau untuk hidup,” katanya.

Alumnus Fakultas Kegurun dan Ilmu Pendidikan Universitas Katolik Sanata Dharma Yogyakarta ini menilai bahwa, saat ini belum banyak orang Papua yang merasa bahwa pendidikan itu kebutuhan. “Kita lihat saja, lebih banyak orang Papua, baik anak sekolah maupun orang tua belum melihat pendidikan—sekolah—belajar) itu sebagai kebutuhan. Kebanyakan melihat sebagai kewajiban. Kebijakan ini seakan mewajibkan orang untuk belajar. Tersirat unsur kewajiban.” Katanya.

Dia mengatakan, sebelum pendidikan gratis saja banyak siswa di pedalaman merasa sekolah tidak penting. Di pedalaman kebanyakan anak akan menganggap pendidikan belum menjadi kebutuhan. ‘Sekolah tidak makan, kalau ke hutan pasti dapat burung untuk makan’. Pandangan seperti itu harus kita rubah dulu.

“Memang, saat ini sudah ada perubahan cara pendang tetapi masih sebatas sekolah/pendidikan itu penting. Belum sampai tingkat megapa pendidikan itu penting dan untuk apa harus sekolah. Kebanyakan orang memahami sekolah (sumber daya manusia) itu dengan ijazah dan nilai. Lalu, ukuran keterpenuhan SDM adalah dengan menghitung berapa sarjana, bukan menghitung berapa yang biasa apa,” kata Degei.

Jadi, katanya, pendidikan gratis merupakan salah satu usaha yang terpuji di era Otsus Papua. Tapi, tidak akan berubah banyak di bidang pendidikan kalau tidak disertai dengan perubahan cara pandang. “Pembangunan pendidikan Papua bukan soal biaya tetapi soal mengubah cara berpikir dan soal membangun kepercayaan diri orang Papua. Juga yang penting adalah pembangunan pendidikan di tanah Papua harus berdasar pada pemetaan yang jelas untuk memenuhi tuntutan lokal, nasional dan internasional.

“Kita harus merencanakan kehidupan orang Papua di masa depan dengan menjadikan orang Papua di tanah mereka dengan pendidikan. Jangan-jangan kita membantu tetapi akhirnya menjerumuskan. Roh baik itu awalnya baik dan bisa berakhir buruk, kalau tidak hati-hati,”tegasnya. (Willem Bobi/Nabire)

BACA TRUZZ...- Pendidikan Gratis, Dinilai Kebijakan Tanpa Arah di Papua

Pemda Dogiyai Gelar Pelatihan Penatausahaan Keuangan Daerah di Nabire

Pemerintah Kabupaten Dogiyai menggelar pelatihan tentang “Penatausahaan Keuangan Daerah dan Penyusunan Pertanggungjawaban Bendaharawan sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2009 dan Permendagri Nomor 59 Tahun 2007” pada Senin, 16 s.d. Kamis, 19 Maret 2009 di Aula BKKBN Nabire, Kabupaten Nabire.

Kepada Tabloid Jubi, ketua panitia pelatihan Yafet Tebay, S.E. mengatakan, pelatihan itu diadakan khusus untuk Kepala Tata Usaha, Kepala Seksi Keuangan, dan Bendahara Pengeluaran dari masing-masing instansi (badan dinas, inspestorat, kantor, bagian, dan distrik se Kabupaten Dogiyai) masing-masing 2 orang. Pelatihan itu ditargetkan untuk 100 orang, tetapi yang mengikuti pelatihan hanya 62 orang peserta.

“Kami berharap dengan pelatihan ini peserta memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam mengelola keuangan keuangan daerah pada satuan kerja perangkat daerah di lingkungan pemerintahan Kabupaten Dogiyai. Sasarannya jelas, terwujudnya aparatur pengelola keuangan daerah yang handal dan bertanggung jawab. Juga, untuk tercapainya sistem pelaporan keuangan yang sesuai dengan standar akuntansi keuangan daerah.” Kata Tebay.

Ketika ditanya mengapa pelatihan di Nabire (Kabupaten lain:red), Kepala Bidang Akuntansi, Pembukuan, dan Pelaporan, Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPPKAD) Kabupaten Dogiyai ini mengatakan, pelatihan diadakan di Nabire karena biaya transport (APBD Dogiyai 2009) untuk narasumber yang didatangkan dari Jakarta diusulkan pada saat Pemerintah Dogiyai masih berkantor di Nabire.

“Anggapannya adalah 6 bulan ke depan setelah pengusulan, pemerintah Dogiyai masih akan berkantor di Nabire, tetapi dalam perjalanannya ada aksi demo dari masyarakat Dogiyai yang meminta pemerintah Dogiyai harus berkantor di Dogiyai. Waktu itu, walaupun belum ada kantor bupati, tetapi Bapak Bupati Karateker perintahkan semua harus naik (ke Dogiyai: red). Maka, terpaksa, pelatihan harus diadakan di Nabire” katanya.

Pantauan Tablid Jubi di tempat pelatihan, menunjukkan bahwa peserta pelatihan didominasi oleh perempuan dan non-Papua. Terlihat, para peserta pelatihan kebanyakan masih berdomisili di Nabire (belum punya rumah di Kabupaten Dogiyai).

Tebay mengatakan, soal lebih banyak pendatang yang hanya punya rumah di Nabire dan keluarga di Nabire adalah bukan alasannya. “Mereka masih di Nabire lebih karena di Dogiyai belum ada kantor kas. Bupati baru mengusulkan ke Bank Indonesia untuk membuka Bank Papua di Dogiyai. Setelah ada Bank Papua semua harus naik, walapun hingga saat ini BPPKAD masih berkantor di Nabire,” katanya. (Willem Bobi/Nabire)

BACA TRUZZ...- Pemda Dogiyai Gelar Pelatihan Penatausahaan Keuangan Daerah di Nabire

Siapa Mau Jadi Guru di Supiori?

Pemkab Supiori, Papua, hingga tahun 2009 ini masih kekurangan tenaga guru untuk mendukung proses belajar mengajar siswa di berbagai jenjang pendidikan.

Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran (Kadisdikjar) Drs Hasanuddin Nusi, di Supiori, Senin, mengakui, jumlah guru yang mengajar di berbagai sekolah hingga Maret 2009 ini tercatat 100 lebih.

"Idealnya jumlah guru yang tersedia di Kabupaten Supiori berkisar 400 sampai 500 tenaga pendidik. Ya kondisi ini hanya 100 lebih sehingga kita masih membutuhkan tambahan tenaga gutu," ungkapnya menanggapi tenaga guru di Kabupaten Supiori.

Ia mengatakan, tenaga guru yang masih dibutuhkan di Supiori, di antaranya, guru mata pelajaran Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, Bahasa Inggris serta guru bidang studi tertentu lainnya.

Akibat terbatasnya jumlah guru di Supiori, menurut Hasanuddin, pada beberapa sekolah di pulau-pulau tertentu aktivitas belajar mengajarnya hanya ditangani satu hingga dua guru.

Kondisi kekurangan guru, menurut Kadisdikjar Hasanuddin, hampir semua dialami kabupaten pemekaran lain di Papua maupun Papua Barat sehingga kondisi ini perlu mendapat perhatian.

"Kenyataan saat ini sebagian daerah pemekaran di Papua juga sama mengalami kekurangan guru,"ujarnya.

Upaya Pemkab Supiori sendiri, lanjutnya, pada tahun ini juga telah melakukan seleksi penerimaan CPNS 12 Maret 2009 dengan alokasi tenaga guru yang bakal diterima mencapai 100 orang.

Ia berharap, setelah seleksi CPNS diumumkan beberapa waktu mendatang diharapkan tambahan guru yang dinyatakan lulus dapat mengatasi keterbatasan tenaga pendidik di daerah ini.

Berdasarkan data hingga 2009 ini, jumlah sekolah di Kabupaten Supiori mencapai 60 buah sekolah, diantaranya tingkat SD 41, SMP 11, SMA 4 serta SMK 1 tersebar di lima distrik.

----------------------
Sumber:http://regional.kompas.com/read/xml/2009/03/16/07595345/siapa.mau.jadi.guru.di.supiori

BACA TRUZZ...- Siapa Mau Jadi Guru di Supiori?

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut