Pemuda, Pendidikan dan Tantangan Zaman Baru

Jumat, Juni 06, 2008

(The Young, The Education and The Challenges of New Era)

Oleh David Misiro*)

“Men and nations can only be reformed in their youth, they become incorrigible as they grow old. Manusia dan bangsa-bangsa hanya dapat dibentuk selagi muda, mereka tidak dapat diperbaiki lagi sesudah menjadi tua,” demikian kata seorang tokoh Perancis terkenal Jean Jacquis Rousseau.

Menarik sekali bahwa Rousseau melihat adanya kesejajaran antara perkembangan hidup manusia dan suatu bangsa. Ada dua pokok pikiran yang kiranya relevan bagi kehidupan generasi muda kita (Papua) sebagaimana disoroti oleh Rousseau bahwa pada masa itulah “The Golden Age” (masa muda, masa emas) proses pembentukan dan perbaikan itu berlangsung.

Adalah harapan saya semoga pemikiran-pemikiran berikut yang terbentuk dalam suatu konfigurasi thema ”Pemuda, Pendidikan dan Tantangan Zaman Baru” ini akan ada nilainya bagi Anda, baik sebagai pemuda, pelajar dan mahasiswa yang sedang bercita-cita membangun suatu hari esok yang cemerlang dan suatu hari lusa yang lebih gemilang --- suatu masa depan yang lebih baik bersama keluarga, handai-taulan, bersama rakyat, dan bangsa dan negeri-mu Papua --- bahkan bersama si dia yang sangat Anda cintai.


The Young!

Siapa sebetulnya pemuda itu? Pasti ada banyak pendapat entah dari sudut pandang manapun: biologic, paedagogic, antropolgic, sosiologic maupun politic. Pemuda adalah golongan usia muda, entah pelajar, mahasiswa, kelompok usia muda lainnya dan yang sudah bekerja (jadi pengawai negeri sipil atau swasta tidak memandang masih bujang atau sudah menikah). Pemuda tergolong generasi muda, generasi baru. Merekalah yang diharapkan menjembatani perubahan zaman. Mereka dikategorikan sebagai kelompok usia muda antara 17 tahun hingga 52 tahun. Kalau remaja berusia antara 13;0 tahun hingga 16;0 tahun. Masa remaja berlangsung singkat, tidak lama. Masa transisi antara 53;0–59;0 dan di atas usia 60;0 adalah generasi tua. Masa transisi pun berlangsung singkat.

Jadi seseorang (entah laki atau perempuan) jikalau tidak pernah melalui dan menikmati masa remaja-nya atau masa muda-nya, perlu dipertanyakan, ketika itu kau ada di mana ? Sebab jika seseorang tidak pernah menapaki masa muda-nya atau masa remaja-nya dengan baik, lalu dikemudian hari dia mengalami guncangan hidup dalam kehidupan rumah tangga, pasti ada yang menyindir bahwa dia lagi memasuki “masa puber ke-2” dan seterusnya (malukah?).

Topik ini sengaja dipilih karena adanya rasa tanggungjawab moral terhadap generasi muda kita Indonesia dan Papua khususnnya, terhadap negeri dan bangsa-ku sendiri. Saya ingin bertanya seperti Max Weber (sarjana Jerman terkenal) kepada generasi muda kita “Di manakah tempatnya bagi generasi muda kita dalam sejarah? Apakah mereka hanya mau menjadi pengekor atau tidak haruskah mereka menjadi sesuatu yang lain yang lebih besar pada zaman baru ini ?

Wah..., rupa-rupanya Max Weber melihat bahwa ada generasi muda yang hanya mau bermain-main dalam sejarah, mereka tidak bersungguh-sungguh membangun negerinya, bangsanya. Dia (Max Weber) murka sehingga berkata seperti itu. Max Weber melanjutkan “Apakah kalian tidak bisa tampil sebagai “homo-sapiens (manusia pemikir), atau “homo-faber (manusia kerja) ataukah kalian hanya mau menjadi “homo-ludens (manusia bermain, pengekor)”? Walau demikian murkanya, toh pada akhirnya Max Weber mengajak seluruh generasi muda di negerinya agar segera bangkit dari kesuraman, dari kedurjananan, dan dari kekelamanan. Bangkitlah! Jadilah Pelopor, Bukan Pengekor! Sebagai pelopor, pemuda hendaknya tampil sebagai “agent of reasoning” tapi juga harus lebih dari itu, sebagai “agent of change”. Simaklah kata-kata Max Weber tadi sebagai dorongan dalam menjalani zaman baru ini. Syaloom!

***

Mari kita maju SELANGKAH lebih jauh lagi! Tidak terasa kita sudah berjalan begitu cepat meninggalkan zaman lama dan kini kita sudah dan sedang berada di dalam ”zaman baru”. Zaman yang penuh tantangan dan perubahan. Sepertinya kita telah bermimpi dan mimpi itu sudah menjadi kenyataan. Namun mimpi yang sudah menjadi ”kenyataan” itu belum sepenuhnya kita olah dan nikmati di ”zaman baru” ini. Kita baru berjalan 9 tahun di dalam ”zaman baru” ini dan sebentar lagi kita memasuki dekade pertama di abad baru ini. Kita baru saja dan sedang membersihkan jalan-jalan yang sudah hancur yang dibuat oleh anazir-anazir tak bertanggungjawab di ”zaman lama” seolah-olah ada generasi masa lalu yang tidak mau menyiapkan dan menopang generasi penerus bangsa dan negeri ini berjaya di masa datang. Lebih banyak urus isi perut lalu membunuh dan menghancurkan bangsa dan rakyat ini daripada menyiapkan generasi baru bangsa ini untuk membangun diri menghadapi tantangan masa depan. Luar biasa kondisi masa lalu yang unik tapi juga penuh kehebatan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupan.

Education ust be taking the first place

Pendidikan tetap diberi tempat nomor satu dalam membangun bangsa dan negara. Disinilah tempatnya pemuda mempersiapkan diri. Oleh karena itu, setiap sistem pendidikan yang sehat selalu berusaha memahami zamannya dan berusaha pula memenuhi tuntutan-tuntutannya. Setiap sistem pendidikan selalu berusaha mempersiapkan masyarakat yang dilayaninya, mengembangkan wawasan-wawasan baru untuk mengakomodasikan perubahan-perubahan yang nampak akan datang. Interaksi antara sekolah dan masyarakat seperti ini lalu melahirkan watak yang dinamis pada sistem pendidikan. Dan dinamika ini tercermin pada perubahan-perubahan yang terjadi pada dan dilakukan oleh sekolah-sekolah yang terdapat dalam sistem pendidikan tadi. Perubahan-perubahan ini tidak terasa selama kita sedang menjalaninya. Kita baru sadar akan terjadinya perubahan ini kalau kita menengok ke belakang, ke masa lalu. Kita lalu berkata: “Alangkah bedanya pendidikan dahulu dengan pendidikan sekarang”.

Pada tahun 1997 yang lampau, kita berada di ambang perubahan. Kita sudah meninggalkan “zaman lama”, dan kini berjalan di dalam“zaman baru”. Kata para ahli, “zaman baru” yang kita jalani ini sangat berbeda dari “zaman lama” yang kita sudah tinggalkan. Tapi apalah dikata bila dibuktikan dengan kondisi real dan obyektif yang kini kita jalani sekarang? Rasanya masih begitu banyak manusia Indonesia pada umumnya dan khususnya bagi rakyat Papua masih cenderung ingin mempertahankan kondisi “zaman lama”. Zaman lama yang penuh kehebatannya, zaman yang penuh perjuangan pula, tetapi yang harus ditinggalkan pula. Kita butuh perubahan dan perubahan itu terdapat pada “zaman baru”. Adakah Anda merasa bahwa Anda sedang berada di dalam ”zaman baru” itu? Ataukah Anda masih terbuai dan terlena dengan sisa-sisa kenikmatan bujukan ”zaman lama” yang sudah berlalu seolah-olah pula Anda sudah berubah padahal Anda sementara ini sedang berjalan-jalan di dalam suatu alam khayalan yang masih mengasyikkan alias Anda sedang ketinggalan kereta? Bangkit dan bergandeng tangan berjalan menuju puncak impian kita di ”zaman baru” ini. Ayoh, quick wake-up!

Berikut, saya akan terus bernyanyi dan bernyanyi terus tentang lagu ”Pendidikan” yang menjadi fokus perhatian saya dan tentunya Anda juga. Saya terus berlari menuju impian saya ”Venture for the Victory, Striving for Superiority” bagi Rakyat-ku, bagi Negeri-ku Papua.

Apabila pandangan-pandangan ini diterima sebagai kebenaran, maka kita lalu bertanya: “Tidakkah pendidikan kita, harus mempersiapkan diri untuk menanggapi perubahan-perubahan yang sedang dan akan datang?” Apakah pendidikan kita tidak wajib mempersiapkan anak-anak kita untuk belajar menguasai berbagai pengetahuan praktis dan keterampilan yang akan diperlukan di “zaman baru”? Bagaimanakah bentuknya tanggungjawab keluarga-keluarga, masyarakat luas dan pemerintah terhadap pendidikan nasional kita yang mau tak mau mengalami perubahan akibat pergeseran nilai dari “zaman lama” ke “zaman baru”? Zaman baru sudah kita masuki dengan runtuhnya zaman lama termasuk yang dijuluki dengan “Orde Baru” atau yang sering dijuluki sebagai “Orde Baru-nya Soeharto (Orbato)” pada tahun 1998.

Sembilan tahun sudah kita jalani “zaman baru” (1998-2007) dan segera kita masuki tahun ke-10. Tapi rasanya kita masih berjoget di tempat saja? Banyak pertanyaan bermunculan: Benarkah kita telah memasuki “zaman baru” yang menjanjikan itu? Jika benar bahwa kita telah memasuki “zaman baru”, manakah tanda-tandanya? Memangnya “zaman baru” itu yang ditandai dengan lahirnya “Undang-Undang Pendidikan” yang baru (UU-RI Nomor 20 Tahun 2003) ? Ataukah UU Otsus No.21/2001 (yang telah bermasalah itu) bagi Rakyat Papua? Dengan kata lain, kita bertanya “Apakah memang sudah tiba waktunya bagi kita untuk melakukan langkah-langkah dasar yang akan mendorong sistem pendidikan kita menata dirinya kembali, mentransformasikan dirinya menjadi sistem pendidikan baru yang mampu menjawab tantangan dalam masyarakat kita? Akan lahirkah Perdasus-Perdasus, Perdasi-Perdasi untuk mendukung UU Otsus No.21/2001 demi mensejahterakan Rakyat Papua? Apakah ada Perdasus yang qualify pengganti LOSO dan MOSO di masa silam? Ataukah akan muncul manuver-manuver politik yang lebih licik lagi untuk menghabiskan Rakyat dan manusia Papua di tanah leluhurnya? (Saat ini UU Otsus No.21/2001 tengah direvisi/diamandemenkan oleh oknum tertentu – Cs. Jika amandemen UU Otsus No.21/2001 itu memiliki takaran yang lebih tinggi berpihak kepada Jakarta, harus ditolak oleh rakyat Papua).

Tanggungjawab Pemerintah

Tanggungjawab pemerintah merupakan lanjutan dari apa yang dirintis oleh keluarga dan masyarakat. Realisasinya dalam bentuk pendidikan formal dan pendidikan sub-sistem lainnya. Hampir lebih banyak tanggungjawab pendidikan dibebankan kepada pemerintah. Pemerintah menganggarkan dana untuk pembangunan pendidikan nasional kita mulai dari TK hingga PT (Perguruan Tinggi), termasuk pendidikan keterampilan. Namun demikian dewasa ini masih banyak guru yang tidak sejahtera karena tidak hidup di dalam rumah yang baik dan sehat sehingga dapat menjalankan fungsi mengajarnya secara baik dan tenang pula.

Selanjutnya untuk mengatur suatu sistem pendidikan nasional yang serasi terpadu dan berkesinambungan, maka Pemerintah Negara kita mengeluarkan kebijakan-kebijakan penting yang mengatur sistem pendidikan nasional kita. Kebijakan-kebijakan penting yang lahir dewasa ini untuk mengatur dan menata kehidupan pendidikan nasional kita adalah Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, yang dicantumkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003, berikut Peraturan-Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang (i) Pendidikan Pra Sekolah, (ii) Pendidikan Dasar, (iii) Pendidikan Menengah, (iv) Pendidikan Tinggi, (v) Pendidikan Luar Sekolah, (vi) Tenaga Kependidikan, dan (vii) Peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan Pendidikan Nasional, serta (viii) Keputusan-Keputusan Mendiknas RI tentang Gelar dan Sebutan Lulusan Perguruan Tinggi.

Kalau dilihat soal biaya yang diperuntukkan membangun Papua sebetulnya jauh lebih besar apabila dirasionalisasikan dengan populasi penduduk Papua. Penduduk di Tanah Papua diperkirakan 2, 6 Juta jiwa. Orang Papua sendiri 1,4 Juta orang dan non-Papua 1,2 Juta orang. Mengapa anak-anak Papua tidak diistimewakan soal biaya pendidikan? Misalnya pembebasan SPP, pemberian uang kos, uang buku, dan lain-lainnya?! Uang lebih banyak bertengger di kantong-kantong para pejabat daripada turun sampai di bawah di tangan rakyat, apalagi untuk menghidupkan dunia pendidikan saja harus memberatkan orangtua siswa lewat Komite Sekolah. Ini tidak benarrrr!

Peranan Pendidikan dan Sumbangannya Dalam Pembangunan Bangsa

Bangsa Indonesia telah menjalani kemerdekaannya 62 Tahun. Dengan usianya yang semakin tinggi itu tidak berarti bahwa bangsa ini sudah hebat dan sudah sejahtera dalam segala segi kehidupan. Di sisi lain bangsa ini masih dijajah oleh pemimpin-pemimpinnya sendiri dengan cara-cara menciptakan ketidak-stabilan, pembunuhan di mana-mana, permusuhan antar sesama, pembiaran penderitaan yang berkepanjangan, dan sebagainya.

Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembangunan ini, di antaranya alam yang kaya, indah dan beriklim tropis, penduduk yang banyak dan potensial disertai kebudayaan bangsa yang berbhinneka tunggal ika. Namun demikian terdapat empat faktor dominan yang membawa keberhasilan itu.

Pertama, semangat juang, patriotisme, dan tekad rakyat, para pejuang, dan penerus kemerdekaan yang tiada kenal menyerah dan berhenti dengan dilandasi nilai-nilai luhur pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Ketangguhan semangat juang dan patriotisme itu, tampak tatkala adanya penyimpangan-penyimpangan.

Kedua, dalam perkembangannya, bangsa Indonesia melalui wakil-wakilnya di DPR/MPR memberikan kesepakatan bahwa pembangunan nasional pada hakekatnya bertujuan untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya dan seluruh masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Manusia menjadi inti pembangunan, baik sebagai pelaku maupun sebagai tujuan. Betapa tidak manusialah yang merasakan pahit manisnya pembangunan itu dan yang akan meneruskan pembangunan itu. Kualitas manusia Indonesialah yang akan membawa keberhasilan bukan terletak pada kekayaan alam yang melimpah ruah.

Ketiga, perekonomian yang semakin meningkat dengan laju pertumbuhannya mencapai di atas 5 %. Tingkat perekonomian ini tampak pada pembangunan fisik, sarana dan prasarana yang semakin baik, yang memberikan taraf kesejahteraan rakyat yang semakin meningkat.

Keempat, pendidikan bangsa yang semakin maju dan meningkat. Kenyataan ini dapat dilihat bahwa sebagian besar tenaga pembangunan di Indonesia, berangsur-angsur dilakukan oleh tenaga hasil pendidikan dalam negeri, dan sebagian kecil yang beruntung memperoleh kesempatan studi di negara maju, pada umumnya berhasil, bahkan ada yang mendapat predikat cumlaude. Itupun menunjukkan bahwa pendidikan Indonesia cukup baik. Keadaan ini memunyai dampak positif terhadap pendapatan sebagian dari kesejahteraan rakyat. Perekonomian Indonesia semakin meningkat membaik dari tahun ke tahun. Pendapatan perkapita pun meningkat, contohnya dewasa ini pendapatan per kapita sekitarUS$ 700.

Permasalahan dan Tantangan Masa Depan Bangsa

Kemajuan dan sumbangan pendidikan yang demikian besar terhadap pembangunan bangsa, tiada berarti luput dari permasalahan. Justru masalah utama yang sangat mendasar adalah kualitas produktivitas manusia Indonesia dan masyarakat Indonesia yang relatif rendah. Salah satu penyebabnya sekitar 70 % tenaga kerja kita masih berpendidikan maksimal SD. Keadaan ini wajar bila bangsa Indonesia belum mampu menghasilkan barang dan jasa sebagai karya yang bermutu, menarik dan mudah dapat bersaing, bermitra dan mandiri dengan hasil barang dan jasa bangsa-bangsa maju lainnya yang rakyatnya berpendidikan lebih tinggi.

Permasalahan ini akan semakin tampak apabila dilihat secara kuantitatif, yaitu bahwa setiap tahun 1,2 juta (38 %) lulusan SD tidak dapat melanjutkan studi ke SLTP dan sekitar 1,2 juta anak putus sekolah dasar. Sedangkan anak SLTP, 455 ribu tidak dapat melanjutkan studi ke SLTA dan sekitar 454 ribu anak SLTP putus SLTP. Ini mempunyai arti bahwa sekitar 2,3 juta anak SD dan SLTP keluar sekolah, sehinggga selama Repelita VI diperkirakan akan berjumlah sekitar 16,5 juta dari seluruh populasi SD dan SLTP sebanyak 36,44 juta anak (Sumber Depdikbud, 1994).

Secara lebih luas, sejak awal tahun 1969/1970, secara garis besar Proyek Penilaian Nasional Pendidikan (PPNP) dan Master Design pembaharuan pendidikan Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) menggariskan bahwa permasalahan pokok pendidikan berkisar pada pemerataan, mutu, relevansi (link and match) dan efisiensi pendidikan. Keadaan itu relatif konstan, dan dijadikan strategi dasar pembangunan pendidikan hingga sekarang pada zaman baru ini.

Selain dari masalah tersebut di atas, dampak globalisasi yang tidak dapat dihindari, terutama pasca Deklarasi Bogor, dalam rangka menyongsong masyarakat industri, investasi dan perdagangan bebas tahun 2020 di kawasan Asia Pasific, maka tantangannya akan semakin besar bagi bangsa Indonesia, yaitu dituntut memiliki kemampuan bersaing, bermitra dan mandiri atas dasar jati diri kita sendiri.


Pendidikan Salah Satu Kunci Keberhasilan Pembangunan Bangsa

Menghadapi permasalahan dan tantangan masa depan bangsa, memerlukan pendekatan secara simultan dalam arti melibatkan kepedulian penanganan pelbagai pihak. Namun demikian wahana utama atau salah satu kunci penentu keberhasilan pada masa lalu dan masa depan bangsa ialah pendidikan. Melalui pendidikan bangsa yang baik, diharapkan bangsa Indonesia akan mampu bersaing, bermitra dan mandiri di atas jati diri bangsa. Ini merupakan salah satu strategi bahwa pendidikan adalah salah satu penentu keberhasilan Pembangunan.

Memperhatikan permasalahan dan tantangan masa depan tersebut, pendidikan Indonesia dewasa ini telah memiliki UU RI Nomor 20 Tahun 2003 yang mengatur tentang Sistem Pendidikan Nasional kita dan Peraturan-Peraturan Pemerintah yang cukup lengkap. Namun apakah sudah siap atau belum sekalipun sangat memerlukan pengelolaan yang sangat konsepsional mendasar tetapi dapat dilaksanakan dan ditangani secara profesional dan proporsional?

Disinyalir sampai saat ini pendidikan Indonesia masih menekankan pendekatan tradisional, pengetahuan menjadi kekuatan utama (knowledge as a power) yang masih bersifat fragmentaris, belum atau kurang menggunakan pendekatan perspektif terpadu yang mengutamakan pendidikan sebagai suatu kekuatan utama (education as a power), dimana manusia menjadi kekuatan utama secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan dalam kurun waktu yang cukup jauh. Oleh karena itu dalam rangka memacu laju pembangunan, kebijakan nasional yang memberikan prioritas pembangunan ekonomi seiring dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia akan sangat tepat bila disertai dengan prioritas pendidikan.

Hal ini sangat penting, karena wahana utama untuk meningkatkan kualitas manusia adalah pendidikan Namun apakah semua impian ini telah diwujudkan? Semuanya tinggal impian. Indonesia kembali disibukkan dengan memberantas dosa-dosa masa lalu mantan Penguasa Orde Baru, Soeharto. Waktu berjalan terus dan tak terasa kita memasuki Era Baru, Abad Baru atau Zaman Baru. Kita terus berbenah diri walau belum ditemukan seorang pemimpin yang cocok untuk mengantar bangsa Indonesia keluar dari lembah nista ini. Barangkali SBY!? Kita lihat nanti!


The Challenges and the Changes!

Kecenderungan-kecenderungan baru pada zaman lama dan abad XXI yang dengan sendirinya memengaruhi pendidikan nasional kita. Secara global, apakah ciri-ciri pokok dari kehidupan dalam abad XXI yang baru saja kita jalani 9 tahun terakhir kini? Ada pelbagai pandangan mengenai corak kehidupan dalam abad baru ini. Pertama, menurut Daniel Bell, kehidupan dalam masa datang nanti akan ditandai oleh dua kecenderungan yang saling bertentangan yaitu kecenderungan untuk berintegrasi dalam kehidupan ekonomi, dan kecenderungan untuk berpecah belah (kecenderungan fragmentasi) dalam kehidupan politik. Kedua kecenderungan ini sekarang ini sudah menjadi kenyataan di pelbagai kawasan di dunia ini.


Kecenderungan Integrasi Ekonomi Dunia

Kecenderungan integrasi ekonomi dunia terjadi di mana-mana tempat di pelbagai kawasan. Yang kita sempat merekam dan ketahui antara lain:

a. Integrasi ekonomi yang telah terjadi di Eropa dalam bentuk European Union (E.U).

b. Di Amerika Utara dalam bentuk NAFTA (North America Free Trade Area atau Kawasan Perdagangan Bebas Amerika Utara).

c. Di Asia dan Pasifik dalam bentuk APEC (Asian Pacific Economic Cooperation atau Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik).

d. Di Asia Tenggara dalam bentuk AFTA (Asean Free Trade Area atau Kawasan Perdagangan Bebas Negara-Negara ASEAN).

Disamping kecenderungan ekonomi di atas, kecenderungan politik pun mulai dan sedang bergolak di mana-mana tempat di seluruh dunia ini, termasuk kita di Indonesia.

Fragmentasi Politik

Fragmentasi politik terjadi di mana-mana tempat di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Kita dapat mencatat beberapa fragmentasi politik di beberapa kawasan di dunia dan di dalam negeri seperti:

a. Di bekas negara Yugoslavia (Bosnia, Serbia, dan sebagainya).

b. Di bekas wilayah Uni Soviet (Chesnia, Latvia, Georgia, dan sebagainya).

c. Di berbagai negara di Benua Afrika (Rwanda, Burundi, Angola, Liberia dan sebagainya).

d. Di Asia (Sri Langka, Bangladesh, India, Pakistan, Thailand, Myanmae, Indonesia, dan sebagainya).

e. Di Eropa (Belgia, Irlandia, Spanyol/separatis Basque, dan sebagainya).

f. Di Italia pun terjadi frgamentasi serupa. Liga Utara di bawah pimpinan Umberto Bossi minta status khusus kepada pemerintah pusat di Roma. Kalau tidak dikabulkan, mereka akan berdiri sendiri dan mendirikan negara baru dengan nama Padania. Kelompok ini benar-benar mampu mengurus diri sendiri, karena wilayah Italia Utara ini adalah suatu wilayah yang cukup kaya, yang memiliki tenaga kerja yang cukup terdidik.

g. Di Indonesia, terjadinya tuntutan melepaskan diri dari NKRI karena kawasan-kawasan tertentu merasa dianaktirikan dalam pelaksanaan pemerintahan, pemerintah pusat dianggap tidak jujur dalam roda pembangunan yang mengakibatkan pemberontakan terjadi di mana-mana menuntut keadilana Akibatnya rakyat berjatuhan di mana-mana, karena menganggap wibawa pemerintah dirongrong. Konflik horizontal pun diciptakan sebagai cara untuk mengganggu stabilitas bangsa seolah-olah bahwa benar-benar rakyat memberontak padahal cara yang digunakan untuk dijadikan sebagai proyek pembantaian rakyat. Kondisi ini terjadi seperti di Aceh, Maluku, Poso dan Papua. Demikian pula di dalam negeri ada perasaan bahwa sesungguhnya di dalam negara ini hidup dua bangsa yang berbeda etnis yakni bangsa Indonesia etnis Melayu dan bangsa Papua yang etnis Melanesia.

Fragmentasi di pelbagai kawasan ini terjadi karena pelbagai alasan. Menurut Senator Daniel Moynihan, kekuatan yang paling potent untuk menimbulkan fragmentasi politik sekarang ini ialah etnisitas. Kekuatan besar lain di samping etnisitas yang juga bisa menimbulkan fragmentasi politik ialah agama. Misalnya, Sudan, sampai sekarang tidak bisa mengatasi konflik Utara-Selatan yang ditimbulkan oleh masalah perbedaan agama ini. Hal yang sama ini sudah terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun yang lalu, di mana-mana di seluruh Indonesia terjadi pembakaran gedung-gedung gereja, perlawanan etnis seperti terjadi di Kalimantan, dan beberapa kawasan di Indonesia.

Faktor-faktor lain lagi yang juga dapat menimbulkan fragmentasi politik ialah bahasa dan pengalaman sejarah (in memoria passionis). Bahasa bisa menimbulkan perpecahan dalam arti bahwa perbedaan bahasa bisa dieksploitir untuk menghidup-hidupkan rasa saling tidak senang. Pengalaman sejarah dapat merupakan pemicu fragmentasi politik apabila permusuhan serta rasa saling benci yang terjadi di masa lalu setiap kali dihidupkan kembali dan diteruskan kepada generasi muda. Hal ini biasanya dilakukan dengan tujuan, agar ingatan tentang masa lalu tetap hidup dan akan memperkuat tekad generasi muda untuk mengembalikan kehormatan generasi tua. Kenangan tentang kepahitan yang diderita oleh nenek moyang di masa lalu tetap dihidup-hidupkan agar generasi muda tetap bertekad untuk “membalaskan dendam kesumat” generasi tua. Dengan cara ini lalu kita jumpai kecenderungan fragmentasi yang bersumber pada sejarah.

Dalam hubungan ini dapat disebutkan, bahwa generasi muda Indonesia menghadapi suatu persoalan pelik di masa mendatang, yaitu bagaimana mengemudikan kehidupan bangsa dan negara melalui manuver-manuver politik dengan memanfaatkan “celah-celah penyelamat (safety routes)yang terdapat antara kedua kekuatan yang saling bertentangan ini. Hanyalah apabila kita benar-benar memahami kedua kekuatan ini, akan mungkin bagi kita untuk menghindari jebakan-jebakan yang datang baik dari kekuatan ekonomi kosmopolitan, maupun yang datang dari kekuatan politik nasional.

Hanyalah dengan kelincahan ekonomis dan politis akan mungkin bagi kita untuk menghindarkan diri dari jebakan “kolonisasi ekonomi global” dan dari jebakan “chauvanisme politik nasional”.

Dalam kaitannya dengan pembangunan dunia pendidikan di tanah air, maka para arif-bijak perlu memperhatikan dan memperhitungkan dua kekuatan global ini terhadap perkembangan pendidikan nasional kita. Sebab bagaimanapun juga ada pengaruhnya kecenderungan integrasi ekonomi dunia maupun fragmentasi politik yang terjadi baik di dalam maupun luar negeri.

Ciri lain dari kehidupan dalam Abad XXI yang sedang kita jalani ini ialah bahwa globalisasi akan mewarnai seluruh kehidupan di masa mendatang. Salah satu arti globalisasi” ialah bahwa masalah-masalah tertentu seperti masalah pertumbuhan penduduk, masalah lingkungan, masalah kelaparan, masalah narkotika, masalah Hak Asasi Manusia (HAM) --- untuk menyebutkan beberapa contoh – dipandang sebagai persoalan-persoalan yang bersifat global, persoalan-persoalan yang menyangkut nasib seluruh umat manusia. Masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), di manapun terjadi, akan disoroti oleh seluruh dunia internasional. Dalam zaman globalisasi ini tidak ada satu negara pun yang dapat bersembunyi dari sorotan dunia dan menutup diri terhadap kekuatan-kekuatan global yang terdapat di seluruh dunia.


Dengan melihat bagaimana reaksi dua kecenderungan tersebut di atas, maka tugas kita adalah mempersiapkan anak-anak kita untuk menjalani Abad Baru ini, yang penuh dengan kenyataan-kenyataan baru dan persoalan-persoalan baru dan untuk menghadapi semuanya itu diperlukan pendidikan baru pula. Kita tidak boleh sama sekali membuat anak-anak kita menjalani kehidupan dalam zaman baru ini dengan sistem pendidikan lama, dengan cara-cara berpikir lama, cara-cara ortodox yang masih membingungkan kebanyakan guru sebagai pelaksana garis terdepan di sekolah-sekolah kita. Orientasi kita harus ke depan, ke Abad Baru ini kalaupun kita harus menoleh ke belakang ke abad lalu sebagai cermin untuk membersihkan noda-noda pendidikan yang masih menjerat kita.

Ini semua merupakan tanggungjawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Keluarga harus lebih berperan lebih besar lagi bagi pembentukan kepribadian anak, menanamkan disiplin moral yang baik bagi anak, menempa jiwa anak melalui pendidikan keluarga, menanamkan nilai-nilai keagamaan sehingga kelak anak tidak tersesat di jalan hidupnya. Bagaiman pun juga, pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anak dikembalikan kepada orangtua (keluarga), dalam abad dan zaman apa pun masalah ini tetap dikembalikan kepada orangtua.


Tantangan Pendidikan

Apa yang harus kita lakukan sekarang untuk mempersiapkan anak-anak kita untuk menghadapi segenap tantangan di atas? Dapatkah kita dengan sistem pendidikan kita sekarang ini membekali anak-anak kita dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dapat mereka pergunakan untuk menjadi tenaga kerja yang cukup produktif dalam kehidupan ekonomi Indonesia yang modern? Dapatkah kita membekali mereka dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang membuat mereka menjadi warga negara yang mau dan mampu mendewasakan demokrasi dalam masyarakat kita? Dapatkah kita mendorong mereka dengan berani menegakkan keadilan, kejujuran dan kebenaran? Mampukah untuk turut menegakkan citra yang lebih baik tentang diri kita dalam pergaulan kita dengan bangsa-bangsa lain di dunia?

Saya kira inilah secara garis besar tantangan yang kita hadapi bersama di bidang pendidikan sekarang ini. Saya tidak tahu mana jawabannya yang pasti terhadap pertanyaan ini. Pertanyaan ini perlu dijawab secara bersama. Kesan saya ialah bahwa selama kita belum dapat meningkatkan kemampuan pemuda kita dalam hal-hal yang mendasar, dalam the basics, selama itu pula pemuda kita akan kewalahan menghadapi masalah-masalah yang timbul dalam zaman modern ini.

Modernitas adalah sesuatu yang telah ada di tengah-tengah kita. Untuk menegakkan kehidupan yang menjunjung tinggi manusia dalam zaman modern ini, kita harus memahami inti modernitas itu. Kalau kita tidak berhasil membantu anak-anak kita memahami inti modernitas dan tuntutan dinamika modernitas, mereka akan kandas pada lapisan lahiriah dari modernitas ini. Dan ini akan menimbulkan pelbagai persoalan. Ketidakmampuan menjawab persoalan-persoalan yang muncul dalam kehidupan modern akan membuat mereka lari ke dunia khayalan.


Apakah yang Dapat Dipandang Sebagai The Basics Dalam Pendidikan?

Secara umum, basics ialah segenap kegiatan pendidikan yang mempersiapkan anak-anak untuk mampu menjalani kehidupan (preparing children for life), bukan sekedar mempersiapkan anak-anak untuk pekerjaan. Ini biasanya terdiri dari pelajaran-pelajaran tentang lingkungan fisik, tentang lingkungan sosial dan lingkungan budaya, dan pelajaran-pelajaran yang membawa anak ke pemahaman diri sendiri. Logika yang mendasari strategi pendidikan ini ialah, bahwa hanyalah mereka yang memahami lingkungan fisiknya, memahami lingkungan sosial dan lingkungan budayanya, serta memahami dirinya sendiri – hanyalah manusia-manusia seperti ini yang akan dapat mengarungi kehidupan ini dengan baik, dalam arti mampu hidup dan mampu menyumbangkan sesuatu kepada kehidupan.

Yang dilakukan oleh sekolah-sekolah yang mengikuti pandangan ini ialah memberikan pendidikan yang ditandai oleh tiga jenis keseimbangan, yaitu (i) keseimbangan antara pendidikan rohani dengan pendidikan jasmani, (ii) keseimbangan antara pengetahuan alam dengan pengetahuan sosial dan budaya, dan (iii) keseimbangan antara pengetahuan tentang masa kini dengan pengetahuan tentang masa lampau.

Mata pelajaran yang lazim dipergunakan sebagai wahana atau media untuk melaksanakan program pendidikan seperti ini ialah bahasa nasional, bahasa asing, matematika, pengetahuan alam (dan teknologi), pendidikan moral (agama, kewarganegaraan, pengabdian masyarakat), dan komputer, ini yang biasa disebut sebagai mata pelajaran inti (core subject matters). Di sekitar mata pelajaran inti ini disusun pelajaran-pelajaran yang dipetik dari bidang kesenian dan bidang olahraga. Dengan program pendidikan seperti ini maka ketiga jenis keseimbangan tersebut dapat dilaksanakan.

Program ini dapat diberikan dalam dua versi, yaitu versi untuk anak biasa, dan versi untuk anak-anak yang dengan kemampuan di atas rata-rata. Untuk kelompok anak yang terakhir ini diberikan perkayaan-perkayaan (enrichment courses). Ini dapat diberikan untuk mata pelajaran apa saja: bahasa, sejarah, matematika, pengetahuan alam, musik, olahraga, dan apa saja yang diminati anak. Di Sekolah Dalton (The Dalton School) di kota New York, misalnya, perkayaan dalam pelajaran sejarah ini diberikan dalam bentuk-bentuk simulasi penggalian arkeologis (simulations of archeological excavations) yang dilakukan dengan komputer. Perkayaan dalam mata pelajaran bahasa di beberapa sekolah dilakukan dengan memberikan pelajaran dalam bahasa-bahasa klasik (misalnya Sansekerta, Latin dan Yunani), atau pelajaran dalam berbagai bahasa modern (Jerman, Perancis, Spanyol, Rusia, Italia, Cina dan Jepan). Di Malaysia salah satu mata pelajaran dalam bahasa modern ini ialah bahasa Thai dan bahasa Tagalog. Perkayaan di bidang sains di beberapa sekolah diberikan dalam bentuk mata pelajaran Oceanography, pengamatan astronomis, dan fisika nuklir. Perkayaan dalam pendidikan moral diberikan dalam bentuk mata pelajaran etika, filsafat, humaniora, anthropologi, dan perbandingan agama. Dan ini semua dilakukan pada taraf pendidikan SMA.

Apakah yang sekarang dapat kita lakukan dalam situasi kependidikan kita yang penuh dengan berbagai kekurangan ini? Saya tidak tahu betul, tetapi saya rasa selalu ada sesuatu yang dapat dilakukan. Tetapi sebelum kita melakukan sesuatu, terlebih dahulu kita harus menjawab untuk diri kita sendiri pertanyaan berikut: Apakah yang kita berikan sekarang ini kepada anak-anak kita sebagai bekal untuk menempuh kehidupan lebih lanjut setelah mereka tammat SMA? Setiap orang dari kita harus menjawab pertanyaan ini. Baru setelah kita mempunyai jawaban yang jelas terhadap pertanyaan ini, akan mungkin bagi kita untuk melakukan sesuatu dalam rangka mempersiapkan anak-anak kita menghadapi kehidupan di Abad Baru ini (Abad XXI).

Dalam pandangan saya, kita tidak dapat tetap bertahan pada program pendidikan kita sekarang ini. Idealnya ialah bahwa sekolah-sekolah yang mampu diberikan kebebasan untuk mengembangkan program pendidikan (kurikulum) sendiri, yang merupakan variant dari kurikulum yang disusun pemerintah. Kurikulum pemerintah ini sebaiknya kita pandang dan kita perlakukan sebagai master model dari kurikulum nasional. Jadi kurikulum nasional itu bukan hanya satu, melainkan ada beberapa jenis. Tetapi semuanya mengikuti rancangan dasar (basic design), yang terdapat dalam kurikulum-master-model tadi.

Dalam keadaan kita sekarang ini gagasan ini jelas tidak akan dapat dilaksanakan. Dalam keadaan kita sekarang ini apa yang dapat kita lakukan masing-masing ialah berusaha melaksanakan program yang ada dengan memperhatikan kebutuhan anak dalam hubungan dengan perubahan-perubahan yang akan datang. Ini tidak mudah, tetapi dapat kita lakukan kalau kita mau.


Akhir Kalam

Barangkali penulis dinilai telah keluar jauh dari konteks judul ini, namun apa saja yang baru diutarakan bukanlah tiada artinya jikalau semua pihak (keluarga, masyarakat dan pemerintah), ingin memberi dukungan yang penuh kepada sistem pendidikan nasional kita demi menjalani “Era Baru”, suatu “Zaman Baru” yaitu Abad Baru, Abad XXI yang sedang kita jalani ini. Zaman Baru ini yang sangat sarat dengan tantangan, yang harus dijawab dengan kesungguhan dan dengan kehati-hatian. Kita diperhadapkan dengan pertanyaan yang tidak hentinya muncul dalam benak kita masing-masing adalah: Sudah siapkah kita, sudah siapkah aku, menjalani zaman baru ini? Apakah kita atau saya akan lebih banyak berperan sebagai plan-maker atau sebagai agent of change ataukah mungkin saya menjadi salah satu penghambat kemajuan dalam perubahan pada Zaman Baru ini?


Untuk Direnungkan dan Ditindaklanjuti!

Dari seluruh rangkaian uraian di atas, maka dirasa perlu untuk membuat beberapa perenungan agar kita dapat memetik maknanya demi tanggungjawab bersama terhadap pembangunan pendidikan nasional umumnya dan pendidikan di Tanah Papua.

a. Pendidikan tetap merupakan tanggungjawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Masing-masing komponen tersebut memunyai tugas pokok dan fungsi, antara lain:

1) Keluarga merupakan lembaga pertama dan yang utama bagi penyediaan bibit-bibit unggul sumber daya manusia (SDM) bagi masa depan bangsa. Anak harus ditempa dengan baik lewat proses awal ini dalam keluarga sebelum dilepas ke sekolah (pemerintah) dan masyarakat.

2) Masyarakat harus memberikan kontribusi dukungan yang baik bagi proses perkembangan anak, agar ia dapat menata dirinya lebih baik, bukan saja kelak sebagai “men of reasoning” melainkan sebagai “agent of change”.

3) Pemerintah merupakan penanggungjawab utama terhadap penyelamatan bangsa, penyelamatan generasi lewat institusi-institusi pendidikan formal maupun non-formal. Pemerintah dituntut menyiapkan pusat-pusat keunggulan demi proses selanjutnya untuk mencetak tenaga-tenaga unggul yang memiliki daya saing kompetitif yang tinggi, calon pemimpin bangsa pada masa depan.

b. Pendidikan tetap merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan bangsa ke depan, pada zaman baru ini.

c. Salah satu problem pembangunan adalah masalah tenaga kerja yang kurang berkualitas (SDM) dan masalah pengangguran yang kini kian membengkak. Dimanakah tempat mempersiapkan tenaga kerja yang berkualitas? Pendidikan dan pelatihan adalah tempatnya. Ingat hasil survey PERC tahun 2002 bahwa SDM Indonesia berada pada urutan 12 setelah Vietnam.

d. Kecenderungan-kecenderungan baru dunia masa kini dan pada zaman baru ini tidak lain ialah kecenderungan integrasi ekonomi dan kecenderungan fragmentasi politik baik di dalam maupun di luar negeri. Kedua macam kecenderungan ini telah ikut memengaruhi sistem pendidikan di Indonesia, sehingga menuntut adanya perubahan pula dalam sistem pendidikan kita demi menjawab tantangan zaman.

e. Tugas dan tanggungjawab kita adalah mempersiapkan generasi muda ini agar mampu menjalani kehidupan di Zaman baru ini, Era Baru atau Abad Baru ini. Jika tidak, mereka akan menjadi pemicu permasalah di Abad modern ini.


Rekomendasi

Dalam mempersiapkan generasi muda untuk menjalani zaman baru ini, penulis merasa berkepentingan untuk merekomendasikan beberapa hal untuk dilaksanakan oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah, yaitu:

1. Utamakan sekolah kejuruan baru sekolah umum. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi membengkaknya angka pengangguran.

2. Perlu diadakan ceramah-ceramah tentang pendidikan usia dini, pendidikan keluarga dan atau family-diagnostic sehingga tiap keluarga memahami betapa pentingnya fungsi keluarga bagi perkembangan anak.

3. Pentingnya pemerintah menyiapkan pusat-pusat keunggulan pendidikan demi mengantisipasi zman baru ini. Institusi terkait harus ditata dengan baik. Dibutuhkan pemimpin-pemimpin yang kualifait, berani mengambil keputusan membangun dunia pendidikan dan sanggup menggerakkan dunia pendidikan.

4. Pemimpin pendidikan hendaknya lebih berperan aktif sebagai “Playing Coach” dan bukan sebagai “Planner” semata-mata. (Flexible in tactics, strong in principle).


*) Penulis adalah pemerhati masalah-masalah social-budaya-politik.

------------------------------------------

Sumber: Majalah Selangkah Edisi Januari-Maret 2008

BACA TRUZZ...- Pemuda, Pendidikan dan Tantangan Zaman Baru

25 Tahun OTSUS Tak Akan Bahwa Perubahan

Kamis, Juni 05, 2008

Hingga saat ini pemerintah Papua belum memiliki renstra otsus maupun perdasus hingga pelaksanaan otsus berjalan sepotong sepotong. Setiap Gubernur membawa sesuai pikirannya tanpa ada kesinambungan. Sedangkan para pemimpin Papua cenderung saling lempar kesalahan tanpa benar-benar ingin menyelesaikannya.

Tekad Barnabas Suebu, Gubernur Papua untuk menuntaskan semua instrumen pelaksanaan otsus seperti peraturan daerah provinsi (Perdasi) dan peraturan daerah khusus (perdasus) pada tahun 2008 sepertinya hanya isapan jempol belaka.Hingga bulan mei 2008 belum ada satu pembahasan yang dilakukan oleh pihak legislatif. “Ada 11 perdasi yang belum mendapat tanggapan gubernur, dan ini sangat menghambat pelaksanaan otsus di Papua” ujar Yance Kayame, Ketua Komisi A DPR Papua. Akibatnya hingga 7 tahun pelaksanaan otsus, ia merasakan otonomi khusus sudah keluar jauh dari relnya dan menjadi tugas seluruh masyarakat untuk mengembalikan pada relnya.

Kajian dari komisi A DPR Papua, dalam 7 tahun pelaksanaan otonomi khusus yang saat ini masih berproses, telah terjadi perubahan yang cukup signifikan seperti peningkatan APBD setiap tahun, keberpihakan pada orang asli Papua semakin dirasakan namun semua itu dirasakan belum maksimal karena kebutuhan kebutuha dasar masyarakat belum sepenuhnya dapat terpenuhi secara proporsional baik pendidikan, kesehatan, gizi, perumahan maupun infrastruktur. “Pedasi dan Perdasus sebagai instrumen penting dalam memback up UU No.21/2001 hingga saat ini belum dirumuskan, sehingga berbagai kewenangan yang diberikan tidak dapat diimplemenrtasikan.” Ujar Ramses Wally, wakil ketua Komisi A DPR Papua.
Menurutnya selain itu ada beberapa hal penting yang menghambat pelaksaan otsus, seperti tidak adanya rencana strategis (renstra) khusus otsus, lembaga ad-Hoc yang bertugas menyiapkan perdasi dan perdasus, pemerintah pusat sering mengeluarkan kebijakan yang kontroversial yang menyulitkan UU No.21/2001 seperti pemekaran, PP No.77/2008 tentang lambang daerah dan yang terakhir adalah rencana pemerintah mengeluarkan Perpu otsus tanpa melibatkan DPR Papua. Juga belum adanya lembaga Kebenaran dan rekonsiliasi sebagai media penyelesaian masa lalu, terutama pelurusan sejarah Integrasi Papua dalam NKRI yang juga menjadi amanat UU No.21/2001.

Menurut Amir Siregar, wartawan dari Radio Republik Indonesia (RRI) saat mengikuti hearing dan dialog Pers dan Komisi A tentang Prediksi kondisi Papua setelah 25 tahun otsus berjalan bahwa kondisi yang terjadi saat ini dakibatkan karenaa DPR Papua lemah,”Untuk memperbaikinya, saya pikir rakyat Papua harus memilih wakil-wakilnya yang benar-benar berani memperjuangkan kepentingan rakyat,” ujar Siregar. Misalnya saat gubernur Papua memilih tidak menggunakan Perdasus No.1/2007 tentang pembagian dana otsus dalam menyusun Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Papua tahun 2007 dan 2008, seharusnya DPR Papua menolak.

“Kami, komisi A sudah pernah menyampaikan itu, namun ketika itu orang mengelu-elukan kebaikan piramida yang begitu sempurnahnya. Ini suatu hal yang sangat memprihatinkan. Tapi jika sekarang tanya ke saya apakah saya optimis dengan pelaksanaan otsus, saya akan jawab saya prihatin dan saya tidak yakin bisa tercapai tujuan utama otsus. Banyak hal disini yang tidak dilaksanakan dengan baik. Seperti dana otsus untuk pendidikanyang seharusnya 30 persen tetapi dalam pelaksanaannya tidak sampai 7 persen. Daerah daerah lain tidak perlu otonomi khusus, SPP bisa dibebaskan. Tetapi kita dengan dana sebesar itu belum bisa,” kata Yanni, anggota komisi A yang juga ketua Partai Bintang Reformasi (PBR) provinsi Papua.

Robin Manurung dari RRI juga berpikir seharusnya hanya dalam waktu 10 tahun perubahan sudah benar benar terjadi, “Apalagi jika Papua mampu mengambil Rp. 100 Trilyun dari kayu dan ikan seperti kata pak Bas baru-baru ini. Untuk mengejar ini kita perlu Rp. 200 trilyun tidak lebih. Lalu mengapa DPRP tidak tidak panggil semua orang? Masukkan semua orang itu, mereka melanggar undang-undang,” ujar Manurung.

Menjawab pertanyaan ini, Yanni menjawab “Begitulah persoalan, Memang ada suatu kekuatan untuk menyampaikan kebenaran. Kita bicara disini juga belum akan ada manfaatnya. Namun saya percaya jika kita terus menerus menyuarakan itu. Semua sudah lebih tahu tahu dari saya,” kata Yanni. Selain itu menurut Yanni Lemahnya Sumber Daya Manusia (SDM) pemerintah provinsi dalam hal management, birokrasi tumpang tindih, proyek2 yang berorientasi pada kepentingan kepentingan. Disatu sisi rakyat Papua dalam kondisi kelaparan, namun memiliki mega proyek yang menghabiskan dana ratusan milyar.

Netty Dharma Somba, dari harian The Jakarta Post yang ikut nimbrung menggungkapkan bahwa yang pertama tama harus dibenahi bukan renstra, ataupun aturan aturan yang harus dilengkapi. Melainkan komitmen untuk membangun Papua dari para pemimpin Papua yang harus ada terlebih dahulu baru otsus dapat dilaksanakan dengan baik. “Dahulu sebelum ada otsus, jurang hanya terjadi antara orang Papua dan Pendatang. Namun setelah otsus semakin banyak jurang. Antara Papua dan Pendatang, antara suku dan suku, antara pejabat dan rakyat biasa. Hal ini menyebabkan biaya rekonsiliasi yang lebih besar. Sebab itu kita harus mencegah jangan sampai ada lebih banyak jurang lagi ” ujarnya. Contohnya propinsi Sragen dengan PAD dan APBD yang sangat kecil namun dapat menggratiskan pendidikan.Di sana tidak ada kepala dinas dengan mobil merk Ford atau mobil yang berharga milyaran namun masyarakat menjadi prioritas utama. Setelah itu baru hal hal yang lain.

Karena Gubernur Papua, Barnabas Suebu sendiri mengatakan sebelum kepemimpinannya 90 persen dana Otsus dihabiskan oleh Birokrat. Namun hingga saat ini belum ada tindakan nyata terhadap koruptor ataupun tidakan penghematan dari para birokrat.

Untuk itu Kepala Biro Antara Jayapura, Pieter Tukan mengingatkan bahwa otsus ada karena orang Papua minta merdeka. Jika tidak dilaksanakan dengan baik maka tindakan saat ini hanya menunda masalah. “Saya memprediksi jika keadaan seperti ini terus berlanjut hingga 25 tahun mendatang maka yang terjadi adalah terjadi konflik antara orang Papua, terjadi konflik antara orang Papua dan orang pendatang namun lahir di Papua dan antara orang Papua dan orang pendatang. Apalagi saat itu beberapa kontrak karya perusahaan besar seperti PT Freeport dan BP Migas berakhir. Akan banyak pihak ketiga yang bermain dan membuat kisruh Papua,” ujarnya. Untuk itu Ia mengingatkan agar jika ingin menyelesaikan maka harus dimulai hari ini sebab kesadaran untuk merdeka bukan datang karena masyarakat Papua menyadari mereka kaya SDA namun karena rasa kebebasan.

Sebagai wakil rakyat, peran DPR Papua tentu sangat diharapkan oleh masyarakat Papua. Misalnya jika ada perdasi atau Perdasus yang harus dibahas gubernur namun tidak selesai dalam jangka waktu tertentu, maka DPRP harus berani mengambil keputusan untuk memberlakukannya. “Sebagai langkah awal, komisi A akan meminta agar tahun anggaran 2009 Gubernur harus membuat 2 APBD. Yang pertama APBD khusus tentang anggaran pendapatan belanja yang berasal dari dana otsus dan APBD umum yang berasal dari sumber dana selain otsus,” ujar Yance Kayame.Selain itu Kayame memandang perlunya mendorong penyusunan tim AD hock untuk melakukan restra,Perdasi dan perdasus sebagai instrumen penting dalam pelaksanaan otsus.

Dengan begitu impian menemukan masyarakat Papua yang sejahtera dengan sumber daya manusia yang berkualitas, sehat, cukup pangan dan memiliki perekonomian mandiri setelah dua puluh lima tahun paskah pelaksanaan otsus dapat terwujud. (Angel Flassy)
-----------------------------------------------------------------
http://www.fokerlsmpapua.org
BACA TRUZZ...- 25 Tahun OTSUS Tak Akan Bahwa Perubahan

Mayoritas Orang Papua Cenderung Makan Nasi

Rabu, Juni 04, 2008

Tercatat sebanyak 30 % penduduk Papua mengkonsumsi umbi-umbian (petatas), 15 % mengkonsumsi sagu dan selebihnya 55 % mengkonsumsi beras. Krisis pangan tampaknya tak akan pernah usai kalau masyarakatnya masih terus diajak mengkonsumsi hanya satu pangan saja. Padahal sebagai daerah tropis, mestinya tidak terjadi penyeragaman bahan pangan. Masyarakat Biak Numfor punya pengalaman tentang rusaknya makanan pokok keladi dan bete beberapa tahun silam.

Hama ulat menghancurkan dan merusak tanaman keladi bete yang hendak dipanen di wilayah Biak Numfor dan Supiori. Waktu itu terjadi krisis pangan dan orang tua berusaha mengolah buah bakau atau dalam bahasa Biak disebut aibon untuk dikonsumsi sebagai pengganti keladi bete. Kini pemerintah Kabupaten Supiori terus mempromosikan tepung aibon ini untuk konsumsi lokal di sana.

Belajar dari pengalaman hama ulat di Kabupaten Biak Numfor tentunya membuat masyarakat untuk tidak selalu mengosumsikan satu jenis tanaman pangan saja. Kalau meminjam program pemerintah yaitu sudah saatnya dilakukan diversifikasi pangan atau keanekaraman pangan perlu dikembangkan. Meskipun masyarakat di tanah Papua sudah lama mengenal keanekaragaman pangan mulai dari pisang, sagu, keladi, talas, kumbili di suku Marind Merauke, batatas di pedalaman Papua.Ironinya kondisi masyarakat asli di Papua saat ini mulai beralih konsumsi pangan lokal ke padi padi alias beras sebagai bentuk penyeragaman pangan. Hal ini diperparah lagi dengan program beras miskin (raskin) sehingga masyarakat sudah jarang berkebun dan hanya menjual ikan atau hasil tanaman pertanian holtikultura untuk membeli beras murah.

Memang masyarakat Papua telah mengenal sejumlah makanan lokal, seperti sagu, ubi jalar, keladi, singkong, dan pisang. Tetapi hanya dua jenis makanan yang begitu populer, yakni sagu bagi masyarakat pantai dan ubi jalar untuk masyarakat pedalaman. Jika disimak ternyata dari hari ke hari makanan lokal itu diabaikan, sebab pemerintah mulai mensosialisasikan pola makan beras. Sedangkan budidaya padi di kalangan petani lokal tidak bisa dikembangkan. Walau masyarakat di Lembah Baliem dan Merauke telah mengolah sawah tetapi tak bertahan lama. Masyarakat suku Dani di Kampung Yiwika menanam padi di dalam sawah mereka tetapi merasa banyak menyita waktu sebab malam jaga tikus dan siang usir burung. Pekerjaan mengolah sawah tak seenak membuat bedeng bedeng kebun hipere.

Dr Josh Mansoben di Jayapura kepada Jubi mengatakan, hasil penelitian sejumlah dosen Uncen menunjukkan, kecenderungan masyarakat Papua mengonsumsi beras terus meningkat setiap tahun dibanding makanan lokal. Bahkan, ada sebagian penduduk Papua tidak lagi berupaya menanam pangan lokal, dengan alasan akan membeli beras.Padahal, pangan lokal seperti ubi jalar, keladi, pisang, singkong dan sagu sudah dikenal masyarakat sejak nenek moyang. Makanan ini dari turun-temurun dikenal orang Papua. Bahkan, sagu memiliki nilai budaya dan tradisi yang sangat tinggi karena mengandung unsur mistis dan magis.

Data dari Tanaman Pangan Provinsi Papua menyebutkan sejak 1998 tercatat sebanyak 30 % penduduk Papua mengosumsi umbi umbian (petatas), 15 % mengosumsi sagu dan selebihnya 55 % mengosumsi beras.Bukan itu saja tetapi pada tahun 1996-1998, produksi ubi jalar di Papua sebanyak 435.000 ton. Tetapi jumlah ini terus menurun setiap tahun. Pada tahun 1999-2001 hanya mencapai 340.000 ton. Tahun 2003 lebih parah lagi dengan jumlah produksi hanya 250.000 ton. Produksi ubi jalar terbesar di daerah Pegunungan Tengah (Paniai, Puncak Jaya, Jayawijaya, Tolikara, Yahokimo, Pegunungan Bintang, dan Nabire).

Sedangkan menurut Ir Leonardo A Rumbarar Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Papua belum lama ini di Jayapura menyebutkan potensi lahan tanaman pangan dan holtikultura di Provinsi Papua seluas 14.269.376 Ha. Dalam tahun 2006 penggunaan lahan untuk sawah seluas 25.127 hektar dan untuk lahan kering hanya 165.505 hektar.Adapun sentra tanaman pangan padi padian terdapat di Kabupaten Merauke, Kota Jayapura, Nabire, Waropen, Kabupaten Jayapura, Sarmi dan Mimika. Sentra tanaman jagung terdapat di Paniai, Keerom, Kota Jayapura, Kab Jayapura, Sarmi, Biak Numfor dan Nabire. Sentra tanaman kedelai di Kab Keerom, Merauke, Jayapura, Nabire dan Sarmi. Sentra tanaman kacang tanah di Kabupaten Merauke, Nabire, Jayapura, Sarmi, Paniai. Sentra kacang hijau hanya di Kabupaten Biak Numfor. Ubi jalar (hipere) di Kabupaten Jayawijaya, Jayapura, Paniai, Puncak Jaya, Tolokara, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Merauke dan Keerom. Sentra keladi di Kabupaten Biak Numfor dan Kabupaten Supiori.

Bahkan data dari Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura mencatat produksi dan kebutuhan padi di Papua tahun 2005-2007 hanya 73.775 ton saja sedangkan kebutuhannya mencapai 297.940 ton Sedangkan produksi ubi jalar sekitar 307.871 ton sementara kebutuhannya sebesar 284.847 ton. Berarti terdapat kelebihan stok ubi jalar atau hipere.Masyarakat Pegunungan Tengah terutama di Lembah Baliem suku Dani (Jayawijaya) menyebut ubi jalar dengan sebutan hipere (Ipomea batatas). Penduduk suku Kurima (Jayawijaya) menyebut supuru, dan penduduk di Tiom menyebut mbi. Ubi jalar asal Baliem, termasuk jenis raksasa dengan panjang 2 meter dan garis tengah mencapai 30 cm, dan beratnya mencapai 15 kg.

Bahkan mereka mengenal ratusan jenis ubi jalar sesuai dengan nama yang diberikan sendiri. Terkadang dalam satu bedeng berukuran 10 meter x 20 meter ditanam lebih dari 20 jenis ubi jalar.Ubi jalar juga lebih tahan hawa pegunungan ketimbang bete(taro) dan syafu(yam), dan dapat ditanam sampai ketinggian 2700 meter.Hal ini memungkinkan penduduk asli Papua tinggal menghuni lembah lembah yang tinggi. Betatas yang daunnya sangat lebat dan cukup bergizi berguna ( sebagai pakan) untuk pemeliharaan babi secara besar besaran.

Cara bertanam ubi pada masyarakat Dani ialah dengan membuat gundukan atau timbunan tanah setinggi kurang lebih 10 cm yang disebut hipere ukul. Di dalam hipere ukul ini ditanam dua batang bibit ubi atau hipere ai.Secara umum terdapat tiga tipe cara berkebun yang dikembangkan sesuai kondisi lahan antara lain ;1. Di lereng gunung : kebun dibuat dengan sistem teras yang memanjang atau menuruni lereng. Tetapi pada lokasi lokasi tertentu dibuat teras membujur sebagai penyangga tanah.2. Di tanah/daerah andai : kebun dibuat dengan membangun parit parit kecil yang dangkal atau wen tinak antar bedeng. Parit dalam dibuat di sekeliling kebun.3.Di daerah rawa : kebun dibuat dengan parit parit lebar dan dalam atau wen ika antar bedeng.

Adapun kegunaan parit parit adalah sebagai sumber air berlebih, sebagai saluran pembuangan, sumber air pada musim kemarau. Biasanya parit tersebut dihubungkan dengan sungai kecil atau parit alam.Pekerjaan kaum laki laki dalam berkebun yaitu membuka lahan sebagai lokasi kebun baru dibersihkan dengan memakai kapak dan parang. Selanjutnya tanah diolah dengan tongkat penggali/sege, gumpalan gumpalan tanah digali lalu disebarkan dengan tangan di atas bedengan. Sedangkan kaum perempuan menghaluskan tanah dalam bedengan. Kaum pria bertanggungjawab untuk membangun pagar dari kayu atau batu batuan di sekitar kebun untuk mencegah perusakan oleh babi.

Penanaman dilakukan bervariasi. Bila larik pertama ditanami jenis ubi jalar jenis saporeken, musan, sapoleleke, dan pilhabaru, maka larik berikutnya ditanami jenis lain. Variasi jenis tanaman ini dimaksudkan agar tidak bosan mengonsumsi satu jenis ubi jalar tertentu. Karena rasa dan aroma setiap ubi jalar berbeda. Pembantu Rektor I Universitas Cenderawasih Sam Renyaan mengatakan masyarakat Dani mengenal banyak jenis ubi jalar (batatas) sekitar 24 jenis dan ada jenis batatas yang tepungnya sangat bagus untuk ayam goreng Kentucky. “Saya harap suatu saat nanti ada penelitian yang memakai tepung petatas asal Jayawijaya dalam adonan ayam goreng,”ujar Renyaan dalam dialog Pengelolaan Sumber Daya Alam Forum Komunitas Pengetahuan, Kawasan Timur Indonesia di Jayapura belum lama ini.

Pengetahuan masyarakat Pegunungan Tengah mengenai manfaat ubi termasuk tinggi, terutama untuki anak-anak atau bayi biasanya diberikan jenis walelum karena teksturnya halus, tidak berserat dan mengandung betakarotein tinggi. Jenis helalekue dan arugulek dikonsumsi oleh orang dewasa, dan untuk makanan ternak (babi) biasanya diberikan jenis musan, yang tidak bercitarasa dan kulitnya tampak pecah-pecah.Hasil penelitian dari Uncen menyebutkan, di Papua terdapat 681 jenis umbi-umbian dan sekitar 15 persen di antaranya setelah diteliti ternyata memiliki sejumlah kesamaan. Penelitian itu hanya berfokus pada jenis daun, tulang daun, warna kulit, dan daging umbi.

Ubi jalar dapat dipanen antara 6 dan 8 bulan, tergantung jenis tanah, sinar matahari, dan jenis ubi. Tanah berhumus dengan tingkat kelembaban cukup tinggi, mempercepat ubi berisi dan dalam waktu enam bulan dapat dipanen. Masyarakat Pegunungan Tengah hanya mengonsumsi ubi jalar dengan cara direbus, dibakar, dan sebagian dijemur di sinar matahari kemudian disimpan. Belum ada yang mencoba mengelola ubi jalar untuk bahan kue.

Ubi jalar termasuk tidak tahan terhadap proses pembusukan dan ulat ubi. Makin lama disimpan citarasa dan aromanya terus menurun. Malah bila disimpan di tempat yang lembab menjadi tumbuh, berkecambah. Karena itu, ribuan ton ubi jalar milik petani di Pegunungan Tengah sering rusak dan membusuk. Ubi jalar hanya bertahan 3-4 bulan jika disimpan di tempat dengan suhu udara 20-30 derajat Celsius.

Salah satu cara menyimpan batatas atau mengawetkan pernah dilakukan oleh Women and Their Children Health (WATCH) Program Wamena. Cara ini mereka tiru dari Papua New Guinea (PNG) orang PNG menyebut batatas kering dengan nama kao kao rice. Cara membuatnya batatas dibilas dengan air hingga bersih kemudian dikuliti atau diiris tipis menyerupai keripik singkong. Keripik batatas ini dijemur sampai kering dan bisa bertahan sampai delapan bulan. Cara memasaknya bisa seperti menanak nasi didandang. Keripik batatas dihancurkan dan dibasahi dengan air bersih, dibungkus serta dibakar dengan batu sesuai cara memasak orang Dani. Bisa juga dibuat bubur batatas ducampur wortel dan sayuran lainnya tanpa mengurangi rasa ubinya.

Selain batatas dan taro di Provinsi Papua termasuk salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki potensi sagu terbesar, bahkan terluas di seluruh dunia. Luas lahan sagu 771.716 hektar atau sekitar 85 persen dari luas hutan sagu nasional. Wilayah sebarannya di Waropen Bawah, Sarmi, Asmat, Merauke, Sorong, Jayapura, Manokwari, Bintuni, Inawatan, dan daerah yang belum terinventarisasi.

Di Kabupaten Asmat sagu sebagai makanan khas pemberian nenek moyang dan cara masaknya mereka hanya membakar saja. Orang Asmat biasa menyebut sagu bola yang dibakar. Kebiasaan jaman dulu di Asmat, menokok sagu harus diawali dengan upacara adat. Maksudnya agar nenek moyang yang menjaga sagu itu dapat memberikan sari yang bagus dan dapat dikonsumsi untuk pertumbuhan dan kesehatan. Data dari Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Jayapura, luas lahan sagu di Jayapura 38.670 ha, terdiri dari 14.000 ha areal budidaya dan sisanya areal hutan sagu alam. Dari areal ini diperoleh tepung sagu sebanyak 6.546 ton, sebanyak 62,98 persen di antaranya dijadikan stok pangan penduduk Kabupaten Jayapura, sisanya untuk bahan makanan penduduk kota Jayapura. Produksi sagu di Papua diperkirakan 1,2 juta ton setiap tahun.

Mantan Bupati Jayapura Yan Pieter Karafir pernah mengeluarkan SK Bupati tentang perlindungan dan pengembangan sagu alam di Kabupaten Jayapura. Dalam Simposium Sagu di Jayapura YP Karafir memperoleh penghargaan karena membudidaya dan mengamankan sagu sebagai pangan lokal bagi masyarakat Papua.Sam Renyaan menambahkan sagu juga bisa dikembangkan jadi bahan baku mie dan juga untuk produk tepung sagu untuk bahan kue dan roti. Memang sagu tidak hanya dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat, tetapi juga digunakan untuk produk industri modern, seperti proses pembuatan kayu lapis, sohun, kerupuk, kue kering, jeli. Di Jepang pati sagu setelah dicampur dengan bahan tertentu digunakan untuk bahan baku plastik daur ulang, lampu komputer, dan layar flat monitor TV.

Meski pun sagu tumbuh secara alami tetapi upaya untuk melakukan budi daya dan perkebunan sagu jelas sangat tepat sebab jika tidak akan terus berkurang karena alih fungsi lahan. Fakta telah menunjukan bahwa akibat pengembangan Kota Jayapura terpaksa dusun dusun sagu milik warga Tobati dan Injros harus ditebang. Kini ketergantungan terhadap pangan beras sangat tinggi di tanah Papua sementara produksi beras sendiri masih kurang. Pilihan terbaik adalah jangan tergantung pada satu tanaman pangan saja sebab selama berabad abad sagu jarang terkena hama atau gagal panen. (Dominggus A. Mampioper dari berbagai sumber)
---------------------------------------------------------
Sumber: http://www.fokerlsmpapua.org
BACA TRUZZ...- Mayoritas Orang Papua Cenderung Makan Nasi

Budaya Menulis di Kalangan Mahasiswa

Selasa, Juni 03, 2008

Oleh : Hendra Sugiantoro

DALAM menempuh pendidikan di perguruan tinggi, mahasiswa tak dapat dilepaskan dari aktivitas membaca dan menulis. Kedua aktivitas tersebut dimaksudkan untuk memperkaya khazanah pengetahuan sekaligus mengembangkan spesialisasi keilmuan mahasiswa. Dengan melakukan aktivitas membaca dan menulis, mahasiswa diharapkan akan memiliki kemampuan memahami dan mengaplikasikan bidang keilmuan yang tentu saja sangat menunjang proses akademiknya.

Aktivitas membaca dan menulis pada dasarnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Untuk dapat melakukan aktivitas menulis, mahasiswa dituntut membudayakan aktivitas membaca. Dengan kata lain, aktivitas menulis mahasiswa berkaitan erat dengan aktivitas membacanya. Namun demikian, aktivitas membaca yang menjadi landasan menulis ini ternyata belum begitu maksimal. Masih dijumpai mahasiswa yang kurang antusias membaca literatur-literatur terkait mata kuliahnya. Tidak jauh berbeda dengan tingkat membaca masyarakat Indonesia umumnya, rendahnya minat membaca juga terjadi di kalangan mahasiswa.

Adanya kenyataan rendahnya budaya membaca di kalangan mahasiswa ini tentu berpengaruh terhadap aktivitas menulisnya. Dalam melakukan aktivitas menulis, mahasiswa dituntut membuka berbagai literatur. Kesulitan dalam melakukan aktivitas menulis dimungkinkan terjadi jika mahasiswa tidak memiliki motivasi dan ketekunan membaca.

Memang dapat dikatakan mahasiswa yang memasuki perguruan tinggi tidak bisa menghindar dari aktivitas menulis. Di perguruan tinggi, khususnya S1, mahasiswa dilatih untuk menghasilkan karya tulis, seperti makalah, laporan praktikum, dan skripsi (tugas akhir). Yang disebut terakhir umumnya merupakan laporan penelitian berskala kecil, tetapi dilakukan cukup mendalam. Sementara makalah yang ditugaskan kepada mahasiswa lebih merupakan simpulan dan pemikiran ilmiah mahasiswa berdasarkan penelaahan terhadap karya-karya ilmiah yang ditulis pakar-pakar dalam bidang persoalan yang dipelajari. Penyusunan laporan praktikum ditugaskan kepada mahasiswa sebagai wahana untuk mengembangkan kemampuan menyusun laporan penelitian (Harry Firman : 2004).

Dengan demikian, mahasiswa dituntut memiliki kemampuan menulis dalam menunjang keberhasilan studinya. Sebut saja misalnya dosen yang mengampu mata kuliah X menganjurkan mahasiswa menyusun makalah sebagai bagian dari penilaian akhir. Mahasiswa yang mendapatkan tugas menyusun makalah tentu saja harus menuliskannya secara baik, sistematis, dan mudah dipahami. Dengan penyusunan makalah yang baik dipastikan memudahkan dosen memahami kerangka berpikir mahasiswa dalam penyajian makalahnya. Penyusunan makalah secara baik, sistematis, dan mudah dipahami jelas akan memberikan nilai positif. Tugas penyusunan makalah ini tidak saja diberikan oleh dosen yang megampu mata kuliah X, tetapi juga dosen-dosen mata kuliah lainnya. Banyaknya tugas makalah yang diberikan dosen berarti menuntut mahasiswa selalu membuka literatur dan menulis. Kebiasaan membaca dan kemampuan menuangkan pemikiran dalam tulisan yang dimiliki mahasiswa dipastikan akan berbanding lurus dengan peningkatan prestasi akademiknya.

Ditinjau lebih jauh, aktivitas membaca dan menulis sebenarnya telah ditumbuhkan dosen di perguruan tinggi. Tugas penyusunan makalah, misalnya, mengajak mahasiswa tekun membaca dan meningkatkan kualitas tulisan. Lomba kepenulisan karya ilmiah pun sering kali diselenggarakan di perguruan tinggi, seperti Lomba Karya Tulis Mahasiswa (LKTM) dan Program Penulisan Kritis Mahasiswa (PPKM). Dari pemberian tugas makalah dan lomba kepenulisan tersebut mahasiswa diarahkan untuk membiasakan membaca dan menulis sebagai tradisi intelektual di perguruan tinggi. Pertanyaannya, apakah mahasiswa memberikan respons positif terhadap stimulus menulis tersebut?

Aktivitas menulis di kalangan mahasiswa bisa dikatakan belum berjalan baik. Rangsangan menulis yang dilakukan dosen atau pun melalui lomba penulisan menunjukkan beragam perilaku di kalangan mahasiswa. Diakui atau tidak, mahasiswa sering kali merasa terbebani dengan tugas-tugas penyusunan makalah. Setiap dosen memberi tugas menyusun makalah selalu ditanggapi negatif oleh sebagian mahasiswa. Bahkan, mahasiswa tidak jarang memberikan stigma buruk terhadap dosen yang memberi tugas menyusun makalah karena dianggap memberatkan. Berbagai lomba kepenulisan pun hanya diikuti oleh segelintir mahasiswa.

Adanya respons kurang baik dari mahasiswa ini tentu disebabkan berbagai faktor yang tidaklah sederhana. Harus diakui jika karakter sebagian mahasiswa saat ini lebih menyukai pekerjaan yang tidak terlalu berat. Setiap tugas kuliah—tidak hanya penyusunan karya tulis—selalu dianggap membebani mahasiswa. Budaya instan memang disadari telah menjangkiti kepribadian sebagian mahasiswa di perguruan tinggi.

Perilaku menyontek saat ujian pertengahan semester dan ujian akhir semester tidak dimungkiri merupakan penyakit akut yang menunjukkan budaya instan tersebut. Mahasiswa dengan karakter seperti ini (baca : mahasiswa Z) dalam mengerjakan tugas kuliah termasuk menyusun makalah sering kali asal cepat jadi. Dalam penyusunan makalah atau karya tulis lainnya, mahasiswa Z ini sering kali hanya memindahkan tulisan orang lain atau mencomot berbagai referensi tanpa memerhatikan kaidah penulisan yang baik dan benar. Misal, mahasiswa Z dalam menyusun tugas makalah memiliki tema “Keluarga dan Penanaman Moral”.

Mahasiswa Z ini mencari literatur di perpustakaan yang terkait dengan penanaman moral dan keluarga. Dari bacaan-bacaan terkait, mahasiswa Z sering kali hanya copy paste apa yang dituliskan penulis dalam bacaan tersebut. Perilaku seperti itu memang tidaklah salah, namun tanpa memerhatikan kaidah penulisan tentu tidak dibenarkan dalam penyusunan karya tulis.

Sebagai sebuah bentuk aktivitas akademik, upaya menumbuhkan dan memacu minat mahasiswa untuk menulis tentu harus terus-menerus dilakukan. Meminjam istilah Prof. Dr. T. Jacob dalam Kata Pengantar buku Menulis Karya Ilmiah karangan Etty Indriati, Ph.D (2003), mahasiswa yang menulis karya-karya ilmiah disebut sebagai karyawan ilmiah. Bagi karyawan ilmiah, menulis seharusnya telah menjadi budaya dan panggilan hidup untuk menyebarluaskan ilmu dan pengetahuan kepada masyarakat luas. Dengan menulis, mahasiswa tentu akan dapat mentransformasikan pengetahuan dan wawasannya.

Di pihak mahasiswa, motivasi internal dalam diri mahasiswa sendiri untuk giat menulis tentu saja sangat diharapkan. Respons positif diharapkan muncul dari mahasiswa dengan, pertama, mengerjakan tugas-tugas penyusunan makalah, paper, laporan praktik/observasi sesuai kaidah keilmuan dan kepenulisan yang benar. Kedua, berperan dan berpartisipasi aktif dalam setiap perlombaan karya tulis ilmiah sebagai upaya menerapkan dan menguji ilmu pengetahuan terkait jurusan dan program studinya. Ketiga, mengembangkan ilmu pengetahuan terkait jurusan dan program studinya melalui karya-karya tulis yang dapat memberikan kontribusi bagi kehidupan masyarakat. Semoga.

*)HENDRA SUGIANTORO,
pekerja media di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)
BACA TRUZZ...- Budaya Menulis di Kalangan Mahasiswa

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut