Ketika Siswa Butuh Perhatian

Rabu, September 19, 2007

Oleh Longgimus Pekey*)

Banyak anak putus sekolah. Bukan hanya karena tidak mampu secara finasial semata, tetapi ada juga yang putus sekolah, karena sekolah tidak memberikan kenyamanan. Pihak sekolah malah membebani siswa dengan hukuman yang seharusnya tidak pantas bagi siawa. Juga tidakan-tindakan kekerasan lain yang dilakukan oleh pihak sekolah.

Kadang suara ketawa, kadang suara teriakan histeris terdengar. Sangat ramai. Kadang juga suara tangisan terdengar di halaman sekolah itu. Pasti suara ketawa, teriakan anak yang sedang gembira ria. Suara tangisan pun kadang terdengar, pasti saja tangisan anak usia SD yang jatuh atau dicubiti para seniornya yang SMP, karena melakukan kesalahan dalam permainan ataupun juga karena lemparan bola kasti yang sangat keras mendarat di kepala, perut atau kaki ataupun, karena salah satu bagian organ fisiknya terkena benturan keras dengan temannya.

Tangisannya kadang tidak terdengar suara. Hanya terlihat dari air mata dan raut muka yang menunjukkan ia sedang menangis. Air matanya menetes satu demi satu mebasahi pipi. Ada juga yang dihisap dan ada pula kemudian jatuh ke tanah sampai bendungan airmatanya mengalir habis. Usai memangis turut kembali dalam permainan bersama teman-temannya.

Kadang ada anak yang walaupun sakit ditabrak atau disenggol, tetapi masih saja terus menlanjutkan permainan. Ada lagi yang sakit tetapi beralasan pura-pura tidak sakit, karena takut dan malu diejek temannya dengan istilah keren ‘banci’, malu dilihat orang banyak, juga malu dilihat gurunya yang juga terlibat dalam permainan.

Melihat anak menyembunyikan rasa sakit memang agak lucu. Gerak-gerik dan raut wajahnya berusaha menahan, menyembunyikan sakit, walaupun dalam hatinya muncul gumulan kebencian. Kadang terungkap lewat bahasa mengejek, menjatuhkan atau mengucapan kata kotor. Melihat tingkah anak seperti itu memang lucu dan kadang suara ketawa tidak dapat tertahankan. Keluar begitu saja dengan suara yang kencang, apa lagi suara ketawanya beberapa orang teman. Kalau lagi ketawa suaranya tidak dapat dibendung.

Kami kadang tersenyum menyaksikan tingkah anak-anak itu. Kadang juga kami menyembunyikan suara ketawa ataupun wajah senyum agar anaknya tidak malu. Sebenarnya ekspresi itu sebagai wujud kegembiraan. Senang melihat anak didik bergembira dan bersemangat. Saking gembira dan semangatnya mereka membuat kami pun turut asik dalam kegiatan bersama. Tanpa bosan kami selalu mengekplorasi otak mencari permainan baru dan menarik yang sifatnya dapat mendidik.

Keterlibatan kami membuat mereka semakin antusias untuk terlibat dalam proses dinamika belajar itu. Simbiosis matualisme pun terjadi, mereka banyak belajar dari kami, sebaliknya kami pun banyak belajar dari mereka.

Sifat antusias mereka tidak hanya dalam kegiatan olahraga saja. Mereka andil dalam kegiatan, seperti pramuka plus dengan muatannya adalah dinamika kelompok untuk memecakan permasalahan tertentu. Juga, mereka sangat antosias mengikuti les, seperti bahasa Inggris dan belajar IPS.

Memang ada anak yang suka melawan, tetapi tidak ada hukuman yang pantas baginya, karen tidak layak bagi seorang anak didik untuk menerima hukuman, apa lagi dicubit atau dimarahi, atau dikenakan hukuman fisik lainnya. Melakukan hal demikian anak tidak akan lagi merasa bebas untuk belajar, atau takut utuk melakukan sesuatu, dengan alasan nanti dimarahi atau dihukum guru. Tetapi justru teguran datang dan dilakukan oleh teman-temannya sendiri yang merasa terganggu.

Tidak menegur, atau memperingati siswa bukan karena kami takut, justru itulah kelebihan yang dimiliki seorang anak. Tanggung jawab guru adalah mendampingi dan mengalihkan keberaniannya pada hal yang wajar dan positif. Kami menyadari bahwa itu adalah bagian dari tugas seorang guru, disamping mengajar ilmu pengetahuan kepada mereka.

Kata orang disekitar lingkungan sekolah SD, dan SMP guru turut bermain, sepak bola, badminton, kasti bersama murid kadang saling mengejek seperti teman sebaya itu adalah hal yang menarik. Ketika itu benar-bener tidak ada lagi superioritas yang mebatasi ruang gerak canda antara guru dan siswa.

Sering sekali kami mengantar anak yang rumahnya jauh. Seperti siswa kelas dua Sarwan dan Kismawati. Keduanya dari kalitengah. Letaknya dilereng kaki gunung Suroloyo arah selatan dari candi Borobudur dan sekolahnya. Biasanya memakan waktu kira-kira 1 jam. Pernah suatu saat, ketika pertama kali mengatar siswa, karena tidak begitu mengenal medan, lagi pula semakin ke atas jalannya terjal dan berbatu teman kami jatuh dari motornya, tetapi tidak begitu mengalami cidera parah.

Semua yang kami lakukan itu dengan senang hati dan itulah salah satu cara kami untuk memacu semgaat anak didik untuk terus belajar. Sebagai calon guru selama tiga bulan Praktek pengalaman lapangan dan pengapdian masyarakat (PPL Plus) di SD, SMP dan Mayarakat Borobudur kami belajar banyak hal dari mereka.

Melatih kami peka untuk melihat masalahan dan situasi yang dihadapi seorang anak. Banya hal yang dapat menjadi refleksi, ternyata situasi belajar itu akan sekamin enjoy apa bila tercipta suasana keakraban dan ada interaksi yang baik antara siswa dan guru. Tidak ada superioritas yang membatasi hubungan siswa dan guru. sebaliknya menjadikan siswa sebagai teman bermain. Dan juga berikan kebebasan kepada siswa mengembankan potensi yang dimiliki.

Guru perlu terlibat di dalam kegiatan siswa sebagi pendandamping dan mengatur jalannya permainan, karena memang belajar adalah sebuah permainan yang harus dialami sisiwa.

Jangan pernah membayangkan sekolah dapat membebaskan siswanya, kalau superioritas seorang guru (dosen) masih mendominasi atas diri siswa. Dikatakan sebagai Proses belajar bila terjadi interaksi yang transfomatif di antara siswa dan guru.

*) Ketua Komunitas Pendidikan Papua, Tulisan pernah dimuat di Majalah Selangkah.
-------------------------
sumber: Majalah SELANGKAH

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut