Cyntia Warwe: Poligami untuk Generasi, Mengapa Tidak?

Kamis, Agustus 05, 2010

           Akhir-akhir ini, wacana poligami banyak dibicarakan orang di tanah Papua. Mereka berbicara di berbagai tempat dan melalui berbagai media. Beberapa bulan lalu,  tepatnya 30 Oktober 2009 wacana poligami didiskusikan cukup serius dengan melibatkan berbagai pihak. Mereka yang dilibatkan adalah Aprila Wayar (wartawati Tabloid Jubi), Rinny Soegiyoharto (Psikolog, lulusan UI Jakarta), Heni Lani (Aktivis HAM), Ryan Andrew Adriana Saroy (Mahasiswa Tingkat Akhir Fakultas Hukum Universitas Janabadra Jogjakarta), Puput Daryo (Mahasiswa FT. Arsitektur Unika Soegiyapranata Semarang), Seniora Papua, Marice Katem (Alumnus Santa Maria Jogjakarta), Binangko Moiwend (SKP Jayapura), Octavianus Pogau (Siswa SMA di Nabire), Green Emerald (Sekred Tabloid JUBI), Miosindi Abubar (Wartawan Tabloid JUBI), Pdt Jessy Leimena (Alumnus Fak. Teologi UKDW), John Pakage (Wartawan Reuters untuk Papua), Emmy Sahertian (Aktivis HAM dan Juga Pendeta), Imbir Charles (Aktivis Lingkungan-CII-Sorong), Farsijana (Dosen UKDW), Yermias Degei (Guru SMA Adhi Luhur Nabire dan sekretaris LPP-edPaPaS), Donald Heipon (Aktivis HAM), Budi Hernawan (SKP Jayapura n Bruder), Kalfin Carles (Aktivis HAM-Mantan Ketua PKMFP Yogyakarta, Theus Rumere (Aktivis Lingkungan Hidup), Lucky Ir (Pimpinan Redaksi Cenderawasih Pos).  Diskusi itu tidak berakhir dengan sebuah kesimpulan. Melalui, webblognya, Oktopianus Pogau juga menulis tentang poligami.
            Terkait isu poligami tersebut, Majalah Selangkah menemui salah satu aktivis perempuan Papua, Cyntia Warwe dari Garda-Papua di Jayapura beberapa waktu lalu. Wawancara itu terkait tulisannya yang berjudul “Filosofis Poligami untuk Generasi” yang sempat dipublikasikan melalui facebook dan mendapat respon beragam dari berbagai pihak. Berikut petikannya.
 
Sebenarnya, apa itu poligami?
Dalam antropologi sosial, poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan) sekaligus pada suatu saat. Kemudian monogami adalah seseorang memiliki hanya satu suami atau istri pada suatu saat. Ada tiga bentuk poligami, yaitu poligini (seorang pria memiliki beberapa istri sekaligus), poliandri (seorang wanita memiliki beberapa suami sekaligus), dan pernikahan kelompok (bahasa Inggris: group marriage, yaitu kombinasi poligini dan poliandri).

Bagaimana sejarahnya?
Laki-laki pada hakikatnya adalah poligami. Namun, seiring dengan perkembangan zaman mulai muncul kesadaran bahwa kalau akhirnya tidak bias menjamin keluarga dari sisi ekonomi dan kasih sayang tidak penting untuk poligami. Budaya poligami di Jawa sudah biasa. Salah satu teman saya cerita, bapak kosnya di Yogyakarta beristri tiga. Seorang teman dari Nabire menceritakan bahwa moyangnya beristri tujuh. Di Wamena, Obahorok beristri puluhan. Di Intan Jaya juga ada yang beristri puluhan. Masih banyak juga. Di  luar negeri, Milton Mbhele di Weenen, Afrika Selatan menikahi empat perempuan bersamaan, yang mana Hukum di Afsel membolehkan pria seperti Mbhele untuk melakukan pernikahan poligami atau lebih dari satu istri. Aturan itu berlaku bagi mereka yang berasal dari suku tradisional Afsel, yaitu Zulu dan Swazi. Presiden Afrika Selatan Jacob Zuma bahkan memunyai 3 istri. Masih banyak lagi. Jadi, poligami bukan menjadi suatu masalah di Afrika Selatan.
 
Sejarah poligami masa lalu berbeda dengan masa kini. Dulu, selain untuk generasi juga dia (orang tua) melihat beban kerja. Ketika dia punya kekayaan banyak dan istrinya kerja seorang diri, maka dia akan mencari istri baru untuk kurangi beban kerja. Dia akan menikah. Kalau sekarang, ketika kita lihat uang banyak, kekuasaan besar merasa diri dia bias miliki saja. Apakah mau istri limakah-enamkah terserah, tapi sekarang lebih banyak bukan dalam rangka gererasi. Lebih banyak nafsu dan gengsi maka beristri Jawa, Manado, Sumatra, dan lain-lain. Jadi, bukan untuk generasi yang rambut keriting dan kulit hitam.   
Kapan dan oleh siapa wacana poligami dalam konteks generasi itu mulai dimunculkan?
Dalam konteks generasi, sebenarnya makna poligami sudah dibicarakan mahasiswa Papua di Jawa untuk meningkatkan keturunan masyarakat asli Papua. Selanjutnya, pada diskusi Mambesak News di Hollandia (Jayapura: red), saya terhentak saat mendengar saudari Justicia dan Hypocrite mengatakan bahwa ’’tong harus poligami’’. Dan, pada saat itu Geel dan Eva menyetujui itu. Saya dengan Che hanya memberikan senyuman saat mendengar ungkapan ’’poligami’’, karena mahasiswa Papua di wilayah Makassar berpikir pun tidak pernah apalagi berdiskusi mengenai poligami.
 
Lalu, sebenarnya mengapa kebanyakan orang terus membicarakan pentingnya poligami?
            Wacana poligami mulai dibicarakan karena ada sebuah keprihatinan akan  eksistensi penduduk asli Papua. Tingkat populasi penduduk asli Papua tidak sebanding dengan penduduk non-Papua. Dr. Jim Elmslie, seorang peneliti dari Universitas Sidney pada akhir tahun 2007 dalam sebuah sebuah konferensi di Australia mengatakan bahwa pertumbuhan penduduk Papua hingga tahun 2030 lebih didominasi oleh pertumbuhan penduduk non-Papua. Ia memberikan perbandingan tentang penduduk asli Papua dan non-Papua sejak tahun 1971. Perbandingan ini dapat dilihat dalam tulisan saya di internet dengan judul “Filosofis Poligami untuk Generasi”.
            Yang lebih mengkhawatirkan lagi, pada tahun 2030 Dr. Jim memprediksikan penduduk asli Papua hanya 15,2% dari total 15,6 juta jiwa penduduk Papua. Dengan kata lain, perbandingan antara penduduk asli Papua dan non-Papua pada tahun 2030 akan mencapai 1 : 6,5. Data BPS Papua pada tahun 2000 menunjukan jumlah penduduk asli Papua adalah sebanyak 1.460.846 jiwa.  Hanya mengalami pertambahan jiwa sebanyak 560.843 dalam kurun waktu 1970 - 2000 (30 tahun).
            Jadi, data lain seperti yang ditulis Tabloid Jubi, 3 April 2008, di masa yang sama, penduduk Papua New Guinea bertambah dari 2.554.000 pada tahun 1969, menjadi 5.299.000 jiwa pada tahun 2000. Jadi ada pertambahan sebanyak 2.745.000 jiwa. Pertambahan penduduk asli Papua di Indonesia tidak sampai 50% sedangkan di PNG penduduknya bertambah lebih dari 100%.

Bagaimana cara melakukan?
Ini adalah wacana umum.  Jadi, ide poligami ini dapat dibicarakan secara serius melalui  diskusi. Ide ini dikembangkan dan dibicarakan untuk generasi Papua ke depan. Poligami merupakan sesuatu yang dibolehkan, namun bukan sesuatu yang diharuskan. Artinya, seseorang boleh saja berpoligami dengan catatan dia dapat memenuhi syarat yang ditentukan melalui diskusi yang lebih serius. Memang secara logika, poligami terkesan tidak adil, sebab tidak memperbolehkan poliandri (wanita bersuami banyak). Namun, aturan yang muncul juga harus disesuaikan dengan logika, sebab logika manusia itu terbatas.
            Pandangan saya, kita dapat melihat dari hikmah poligami ini dengan menguji keikhlasan. Dan, menurut saya layak untuk jadi catatan adalah ‘menguji kemampuan kita dalam berbagi sesuatu yang kita cintai’’.  Ya tentunya, berbagi sesuatu yang dicintai, karena mencintai sesuatu bukan berarti kita harus memiliki sesuatu itu. Sebab, jika kita masih merasa harus memiliki sesuatu yang kita cintai berarti kita masih menjadi orang yang egois. Orang egois adalah orang yang hanya mencintai dirinya sendiri.
Mencintai sesuatu dapat dibuktikan dengan membiarkan orang lain merasakan manfaat dari yang kita cintai. Selain itu, membiarkan yang kita cintai dapat mencintai yang dia cintai. Pusingkah? Jika pusing berarti Anda masih berpikir.
            Memikirkan konsep ini tidak menjadi rumit, apabila diri kita sendiri berpikir untuk generasi, untuk memperbanyak keturunan dan dapat dilihat dari faktor umur perempuan dan tingkat kedewasaan pemikiran perempuan untuk generasi Papua ke depan. Saya sangat mengharapkan ide ini dikembangkan secara riil dan melihat dalam konteks Papua 30 tahun ke depan. Ideologi untuk generasi Papua ke depan sangat dibutuhkan, kesadaran intelektual kita diuji dalam hal ini.

Bagaimana dengan ajaran agama yang melarang poligami?
            Saya tidak ingin membedah poligami ini dalam ajaran agama, karena banyak sudah membahas orang.  Beberapa bulan lalu sempat dibicarakan di kampus STT Kijne, Abepura tetapi dalam diskusi tersebut hal ini tidak dilihat dari sudut pandang agama. Mereka lebih melihat dari segi proteksi identitas orang Papua, hitam dan keriting yang beberapa tahun ke depan mungkin hanya akan akan ada di museum untuk di kunjungi. Jadi, poligami itukan kebudayaan orang Papua dan perlu diwacanakan untuk proteksi. 
            Dalam diskusi itu dibicarakan bahwa dasar kebutuhan manusia adalah kebahagiaan yang artinya menyangkut landasan ekonomi. Adat dan orang tua dulu sudah mengajarkan hal-hal yang positif, yaitu tentang poligami. Mereka mampu menunjukkan kewibawaan dalam mengambil kebijakan dalam lingkungan sosial dan mereka mampu menyakinkan komunitas adat (Mambri, Tonawi, Ondoafi/Ondofolo ’BigMan’ dan menunjukkan kematangan dalam mengambil sikap untuk melakukan poligami. Sebenarnya,   sejarah nabi-nabi juga membuktikan bahwa poligami itu hal yang wajar dan diakui.  Jadi, yang  penting tanggung jawab untuk membagikan kebahagian secara bijak.
          Tapi, kaitan konflik agama saat ini dengan poligami Abraham adalah tidak benar. Konflik agama itu bukan karena poligami tetapi itu lebih karena ideologi.

Bagaimana konsep Anda tentang pemenuhan kebutuhan dalam keluarga?
            Dalam konteks kebutuhan dalam berpoligami juga harus memenuhi hirarki kebutuhan menurut konsep Abraham Maslow (pelopor aliran psikologi humanistic). Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri). Ini yang harus dijalankan oleh suami-istri yang ingin menjalankan konsep poligami unutuk generasi. Kalau tidak diperhatikan, kebutuhan gizi anak dari menyusui dini hingga besar dan kecerdasan otak tidak berkembang sebagaimana baiknya.
            Ini juga harus dilihat dalam konteks masyarakat Papua kelas bawah yang standar kemiskinan masih mendominasi. Apa salahnya jika suatu keluarga ingin poligami namun taraf kehidupannya masih rendah dan keluarga tersebut meminta jaminan ke pemerintah. Itupun kalau sudah ada aturan oleh pemerintah/seperti yang terjadi di Jepang.

Apa yang terjadi di Jepang?
            Yang terjadi di Jepang menarik. Menteri Kesehatan Jepang Hakuo  Yanagisawa, yang melihat angka kelahiran yang rendah di Jepang mengatakan, sebuah keluarga memiliki anak lebih dari lima anak, maka akan diberikan jaminan oleh negara untuk kelangsungan pertumbuhan seorang anak tersebut. Dan, Perdana Menteri Shinzo Abe berjanji akan mengeluarkan Undang-Undang untuk mendorong perusahaan bersifat lebih fleksibel dalam menghadapi kebutuhan keluarga karyawan mereka. Angka kesuburan Jepang jatuh di bawah 1.26 bayi per ibu dalam tahun 2005. Informasi ini dapat dibacara di voanews.com, 29/01/2007.
            Memang Yanagisawa dikecam karena menggambarkan wanita sebagai mesin pencetak anak. Tetapi, di depan parlemen dia sudah meminta maaf karena ‘’melukai perasaan perempuan’’. Hal ini dilakukan karena melihat angka kelahiran paling rendah di Jepang, yang menimbulkan kekhawatiran tentang pertumbuhan ekonomi dan kemampuan mendanai penggelembungan biaya pension.
 
Bagaimana dengan nikah dini?
            Menikah dini tentunya kita melihat dari faktor umur perempuan juga menjadi pertimbangan, dalam menerapkan konsep poligami ini, tanggapan sdri, selly mambor dalam komunitas papua (Mari memulai dari diri kita. Kita harus jaga organ reproduksi kita bila kita mau menyelamatkan orang Papua dari genosida melalui rencana "bikin anak banyak". Jadi mari setia dengan satu perempuan. Saya sepakat bila solusinya nikah dini dan bikin anak banyak. Satu orang Papua dengan satu istri bisa melahirkan 15 anak berkualitas dalam umur 40 tahun, ditambah lagi bila anak-anaknya dinikahkan dini, maka sudah pasti punya cucu yang banyak.  
            Setelah pasangan suami istri sudah tidak produktif atau meninggal, dia bangga bisa mempersembahkan 20 atau 30 anak dan cucu selama ia hidup. Kalau kita semua mulai sadar dengan cara ini, 10 tahun kedepan kita sudah bisa mengatasi bahaya genosida), menikah dini juga kita harus memikirkan kematangan dari pola pikir perempuan, kalau pun menikah dini dengan konsep untuk generasi tentunya tidak akan menjadi masalah. Namun, terkadang dalam menikah dini pasti masih banyak terjadi ke egoisan dalam diri perempuan (konteks saya).

Ngomong-ngomong, bagaimana kalau suami Anda nanti ingin poligami?
            Untuk generasi, saya berpikir tidak ingin egois dan memakai perasaan. Bila suatu saat saya mendapat lelaki Papua yang ingin menerapkan konsep poligami dan siap memberikan kebutuhan secara manusiawi, kalaupun dalam pemenuhan kebutuhan tidak bisa terpenuhi tentunya saya juga diberikan kebebasan bekerja/berkarir (untuk menghasilkan kebutuhan) dalam keluarga. Tentunya lelaki Papua yang akan menjadi pilihan saya nantinya tidak egois dalam hal membagi jatah ekonomi/kebutuhan dalam rumah tangga.
 
Bagaimana tanggapan Anda untuk kaum feminis dan aktivis perempuan yang memperjuangkan kesetaraan gender?
            Untuk kaum feminis atau pun aktivis perempuan, tampaknya lebih mementingkan perasaan (atau lebih tepat egonya), dari pada logika dan kecerdasannya. Lihat saja sikap mereka terhadap kesetaraan gender. Sebenarnya apa yang ingin diangkat dalam isu ini (poligami), yaitu (1) apakah keinginan untuk mengangkat martabat wanita? (2) apakah hanya ingin menunjukkan bahwa wanita itu bisa sama seperti laki-laki?

Apa yang mau katakana di akhir wawancara ini?
            Saya mau mengucapkan terima kasih untuk tulisan Okto Pogau yang menceritakan konsep poligami adalah sebuah jawaban dalam konteks proteksi orang asli Papua. Pada intinya, kalau untuk generasi dan ideologi apa yang tidak mungkin. Ide ini dikembangkan ke depan. Jangan hanya menjadi konsumsi publik dan menjadi perdebatan semata dan sebatas menjadi mengawang atau pun mimpi. Saya senang dengan tulisan “cewe mogee” (perempuan Papua Barat), yaitu ’’zaman boleh berubah, budaya jangan dirubah’’.
            ’’Kesadaran akan hal ini sangat penting di tengah kaum perempuan. kehadiran anak dalam sebuah keluarga ditentukan oleh perempuan, apakah banyak atau sedikit mau lahir berapa tergantung perempuan. Sementara kita lihat bahwa jumlah orang Papua sekarang sedikit dibandingkan dengan negara tetanggga kita PNG. Kalau kita tidak berpikir ini, kita tunggu saja saatnya nanti, orang Papua hanya akan ditemukan di museum.
                 Saya menyambung lagi ungkapan Cewe Mogee, yaitu perempuan Papua harus menjaga diri. Perempuan harus sehat maka perempuan akan melahirkan anak-anak Papua yang pintar yang suatu saat akan memegang dunia…tidak percaya…terserah….  Sehat berarti tidak sakit atau tidak ada ganguan fungsi tubuh maupun gangguan mental dan kejiwaan. Untuk menjaga agar semuanya stabil maka seorang perempuan harus menyadari dan berubah dari sekarang.....belum terlambat…to?

Apakah ada saran khusus untuk perempuan Papua?
          Perempuan Papua harus mengerti sejarah perkembangan setiap suku, sehingga bisa dikaitkan dengan teori–teori kontemporer. Pendidikan dan kesehatan menjadi acuan untuk perempuan Papua lebih produktif. Untuk poligami harus selesai dalam konteks berpikir bukan sebagai teori–teori yang menjadi perdebatan kosong di antara perempuan Papua. Sehingga penerapan harus di mulai dari ‘’SIAP dan SADAR’’, bahwa ini bukan ‘NAFSU dan PENINDASAN’’, terhadap perempuan Papua sendiri. Tentunya ini sebuah opini yang coba dibangun untuk membantu perempuan Papua berpikir dari segi kecerdasan intelektual untuk sesuatu yang obyektif untuk Papua. Tidak ada sesuatu yang sulit jika kita ingin jalani ini, tidak ada sesuatu yang sulit juga”jika’’ kita tidak ingin menjalaninya.  Toh, untuk Generasi, kondisi subyektif perempuan harus kuat, tentunya itu kembali ke pribadi diri sendirilah yang harus bertanya ‘’sa siap ka tidak ee, untuk poligami’’. [Yermias Degei]
---------------------------------
Sumber: Majalah SELANGKAH Edisi Januari-Maret 2010
BACA TRUZZ...- Cyntia Warwe: Poligami untuk Generasi, Mengapa Tidak?

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut