Di Deiyai, Kolera ‘Makan’ 230 Orang

Rabu, Agustus 25, 2010

Wabah kolera kembali merebak di Kabupaten Deiyai. Tepatnya di Kampung Komauto, Distrik Kapiraya. Jumlah korban 230 orang. “Sampai sekarang wabah kolera masih menyerang warga Kamauto di Distrik Kapiraya,” kata Jason Yobee, Sabtu (21/8).

Menurutnya, pemerintah daerah masih belum menangani wabah tersebut. “Dinas Kesehatan belum turun ke lapangan untuk melihat penyebab Muntaber. Wabah itu terjadi sebelum pemekaran, saat masih Kabupaten Paniai,” kata Jason.

Muntaber di Komauto diduga mirip wabah di Lembah Kamu (Kabupaten Dogiyai), Muye (Kabupaten Paniai) dan Kabupaten Deiyai setahun silam.

Bukan hanya di Komauto. Kini wabah sudah menyerang warga Kampung Atou dan Idego, Distrik Kapiraya. “Wabah bermula dari gejala muntaber sejak Juli 2008 lalu,” imbuh Yobee.

Ironisnya, beberapa orang yang membantu pasien justru ikut meninggal. “Sampai sekarang pemerintah daerah belum tangani wabah itu, padahal kami sudah beberapa kali sampaikan, tapi hanya dijanjikan saja.”

Di Distrik Kapiraya tidak ada petugas kesehatan. Gedung Puskesmas yang dibangun pemerintah Kabupaten Paniai, ibarat rumah hantu. Obat-obatan pun tak ada. “Dulu masyarakat kecewa, jadi sempat bakar gedung Puskesmas itu,” katanya.

Masyarakat setempat saat ini sangat mengharapkan adanya perhatian dari pemerintah dan lembaga kemanusiaan menyusul merebaknya wabah tersebut. (Markus You)
-------------------------------------
Sumber: www.tabloidjubi.com
BACA TRUZZ...- Di Deiyai, Kolera ‘Makan’ 230 Orang

Food Estate dan Masyarakat Adat

  Oleh: Oktovianus Pogau*)


MERAUKE Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) belakangan ini menjadi topik hangat. Rencananya, di Merauke akan dibuka jutaan hektare (ha) lahan untuk pengembangan program “lumbung” pangan nasional. Food estate merupakan konsep pengembangan produksi pangan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan di suatu kawasan yang sangat luas. Secara sederhana konsep ini bisa dikatakan perkampungan industri pangan.

Untuk mendukung program food estate, pemerintah membuat payung hukum. Tujuannya, menarik investor masuk. Salah satunya, Instruksi Presiden No 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi 2008-2009 termasuk mengatur investasi pangan skala luas (food estate). Memasuki tahun 2010, Kementerian Pertanian merancang peraturan pemerintah (PP) tentang food estate atau pertanian tanaman pangan dengan skala sangat luas. Sebelumnya, persoalan ini sudah masuk dalam Perpres No 77/2007 tentang Daftar Bidang Usaha Tertutup Dan Terbuka untuk Investasi.

Saat ini, diperkirakan ada 7,13 juta ha yang dianggap telantar di Indonesia. Kabupaten Merauke, Papua, salah satu daerah yang dipandang layak untuk program food estate dengan lahan seluas 1,6 juta ha. Program ini secara resmi dicanangkan Bupati Merauke, Jhon Gluba Gebze pada perayaan HUT Kota Merauke ke 108, 12 Februari 2010.
Merauke memiliki cadangan lahan pertanian 2,49 juta ha, terdiri dari lahan basah 1,937 juta ha, dan lahan kering 554,5 ribu ha. Lahan yang ada hampir semua datar, hingga cocok untuk usaha pertanian skala luas. Sedangkan yang berpotensi untuk pengembangan food estate sekitar lahan 1,63 juta ha. Dari luas itu, sekitar 585.000 ha lahan penggunaan lain (APL) yang sudah mendapat persetujuan Kementerian Kehutanan.
Beberapa distrik di Merauke merupakan kawasan sentral produksi. Untuk tanaman padi di Merauke, Semangga, Kurik, Tanah Miring, Okaba dan Kimaam. Kedelai ada di Jagebob, Malind, Muting, Elikobel, Okaba dan Kimaam. Sedangkan jagung di distrik Semangga, Jagebob, Muting, Elokobel, Okaba, dan Kimaam.

Milik Konglomerat
Kabarnya, untuk mendukung program ini akan ada 36 investor di Merauke. Dari jumlah itu, 28 investor dalam negeri, sisanya asing. Serikat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Merauke, menyebutkan, beberapa perusahaan besar telah mulai beroperasi sejak Mei lalu. Misal, perusahaan milik Prabowo Subianto, PT Kertas Nusantara memperoleh lahan paling besar 154.943 ha untuk hutan tanaman industri (HTI).

Perusahaan ini hadir dengan surat rekomendasi 522.1/2700 tanggal 23-10-2008. Secara khusus perusahaan ini untuk pembuatan kertas dan bubur kertas, berkantor pusat di Menara Bidakara, Jakarta Pusat. Daerah operasi mereka meliputi beberapa distrik, seperti Ngguti, Okaba dan Tubang. Kehadiran PT Kertas Nusantara ini sudah tentu membuka hutan cukup besar. Keadaan ini khawatir terjadi konflik antara masyarakat adat setempat dengan perusahaan.

Lalu, Medco Group, perusahaan milik Arifin Panigoro melalui anak usaha PT Medco Papua Industri Lestari. Dia telah berinvestasi juga di Merauke. Kehadiran mereka dengan surat rekomendasi No.522.2/415 tanggal 18-02-2010, beroperasi di distrik Kaptel dan Ngguti. Lahan yang akan dibuka untuk energi biomassa (industri produksi energi) dan hutan tanaman industri (HTI) seluas 169.000 ha. Medco Group dan Arifin Panigoro hadir dengan tiga misi utama yakni; memperluas eksplorasi, meningkatkan produktivitas lapangan, serta memperketat balancing portfolio. Medco Group tentu akan beroperasi dalam waktu cukup lama di sana.

Tak ketinggalan, Keluarga Wiliam Soeryadjaya yang pernah menjadi orang nomor dua terkaya di Indonesia. Mereka menanamkan modal lewat PT Agro Lestari dengan anak perusahaan PT Papua Agro Lestari bergerak di perkebunan sawit. Perusahaan ini mendapat lahan operasi seluas 39,8 ribu ha, dengan surat keputusan. No 08 tanggal 16 Januari tahun 2007. Wilayah operasi mereka meliputi sebagian besar Distrik Ulilin.

Selain ketiga konglomerat kelas kakap itu, masih ada beberapa lagi yang perusahaan besar. Sebut saja Tommy Winata pemilik kelompok usaha Artha Graha Network melalui anak usaha PT Sumber Alam Sutera (SAS), Aburizal Bakrie dari kelompok Bakrie Group dan lain-lain.

Masyarakat Adat dan Lingkungan
Rencana ini mendapat respons dari berbagai kalangan, baik lembaga swadaya masyarakat maupun gereja di Papua. Septer J Manufandu, Sekretaris Eksekutif Foker LSM Papua mengatakan, program MIFEE yang membuka lahan 1,6 juta ha merupakan ancaman baru kerusakan hutan dan terjadi marginalisasi hak-hak masyarakat adat Marind. Direktur Serikat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Merauke, Pastor Decky Ogi MSC menyatakan, dampak MIFEE sudah tentu merugikan masyarakat adat setempat. Diana Gebze dari Solidaritas Masyarakat Papua Tolak MIFEE menolak kehadiran MIFEE karena berpotensi menggusur hak-hak adat masyarakat Marind demi kepentingan imperialisme.

Tujuan MIFEE tidak buruk jika memang murni mengatasi krisis ketahanan pangan. Namun, yang menjadi kekhawatiran jika program ini menggusur hak-hak adat, hutan dan budaya masyarakat setempat. Banyak pengalaman pahit yang membuat masyarakat adat di Papua, trauma.

Semoga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih ingat pada pidato di Kopenhagen akhir tahun lalu. Saat itu, dia mengajak pemimpin dunia menginjeksi logika ekonomi baru (new economic logic) dalam konsep pembangunan ekonomi. Konsep new economic logic versi SBY itu adalah mempertahankan tegakan hutan jauh lebih menguntungkan daripada menebang.

Pemerintah harus serius memerhatikan hak-hak masyarakat adat Marind. Pemerintah jangan membuat peraturan yang berpihak kepada pemodal, sembari mengabaikan hak-hak masyarakat adat. Peraturan daerah khusus (perdasus) yang mengatur hak-hak hidup, hutan dan adat harus dibuat. Ini untuk mengantisipasi keberlangsungan hidup masyarakat adat Marind di Merauke, Papua. Mari bersama-sama melihat, apakah kehadiran MIFEE menjadi ancaman atau berkah bagi masyarakat Merauke.

*) Solidaritas Masyarakat Papua
Sumber : http://www.jurnalnasional.com/show/arsip?berita=140808&pagecomment=1&date=2010-8-20
BACA TRUZZ...- Food Estate dan Masyarakat Adat

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut