Membaca dan Menulis itu Membebaskan!

Sabtu, Agustus 04, 2007

Oleh Yermias (Ignatius) Degei*)

Beberapa pekan lalu, Papuans mahasiswa asal Papua (bukan nama sebenarnya) bertanya kepada saya, "Kawan, majalah "Selangkah" edisi depan akan mengangkat topik apa (edisi ini maksudnya-red)? Saya ingin menyumbang tulisan. Boleh to?" Saya sungguh apresiatif atas pertanyaan Papuans. Secara spontan saya menjawab, "Topik utama edisi depan adalah membaca dan menulis. Kami ingin bicara tentang pentingnya budaya membaca dan menulis bagi masyarakat, pelajar dan mahasiswa Papua. Jadi, kalau kawan mau sumbang tulisan boleh saja, tetapi tidak harus tentang membaca dan menulis. Kawan boleh tulis tentang apa saja, yang penting konteksnya Papua."

Sebelum saya melanjutkan penjelasan secara detil latar belakang pemilihan topik membaca dan menulis, Papuans memotong pembicaraan saya. "Membaca dan menulis? Ah... kamu kayak anak TK/ SD saja. Apakah tidak ada topik lain yang lebih baik." Papuans pergi meninggalkan saya sambil ketawa-ketiwi dan bergabung dengan beberapa teman lain asal Papua yang ada tidak jauh dari tempat kami berdialog. Waktu itu benar-benar saya tidak tahu (bahkan sampai sekarang), apa yang dipahami Papuans tentang membaca dan manulis. Hingga deadline majalah ini, Papuans belum menyumbang tulisan yang dia janjikan (lupa kalee). Maka, saya akan tulis tajuk ini untuknya. Harapannya, edisi berikut, Papuans dapat menyumbang tulisan untuk melayani rakyatnya melalui tulisan.

***
"Jadi dengan menulis ini membuka kebiasaan kita untuk menghilangkan kebiasaan budaya bisu dan kebiasaan kita diam, " (Dr. Benny Giay). "... salah satu cara untuk menambah wawasan kita adalah dengan banyak membaca. Sebenarnya hampir semua orang mengerti pentingnya membaca, tetapi mereka tidak ingin menjadikan membaca sebagai salah satu hobi mereka dalam proses pengembangan dirinya," (John Robert Powers).

Dua ungkapan di atas itu, tentunya bukan untuk anak-anak TK/SD. Lagipula, kalau Yakobus F Dumupa penulis buku "Berburu Keadilan di Papua Barat" mengatakan " Saya sangat menyadari bahwa akar masalah Papua Barat harus dipikirkan, dibicarakan, dan dituliskan terus-menerus supaya kita tidak tenggelam dalam budaya lupa, kegenitan sempit, dan lebih penting agar masalah Papua Barat dapat dituntaskan dengan jujur, adil dan benar," bukan tanpa refleksi mendalam atas pentingnya membaca dan menulis. Tentu juga bukan tanpa alasan bila Komunitas Pendidikan Papua (KPP) menggelar pelatihan Jurnalistik Praktis bagi mahasiswa Papua se Jawa-Bali bertajuk "Menulis itu Membebaskan" di Yogyakarta selama 3 hari (24-26 Agustus 2006).

Kata orang (saya mulai yakin), membaca dan menulis bagaikan sayur dan garam. Satu melengkapi yang lain. Tanpa membaca ide menulis kering. Membaca berasal dari kata dasar baca. Sulit sekali mendeskripsikan apa itu membaca. Saya punya kamus bahasa Indonesia setebal Injil, tetapi malas buka (mudah-mudahan kamu tidak ikut-ikutan dengan saya). Jadi saya mencoba untuk menjelaskannya menurut versi saya saja. Membaca itu sebuah kegiatan yang melibatkan panca indera mata yang mengartikan sederetan kata dan kalimat yang diteruskan ke otak dan diterjemahkan sebagai suatu arti dengan subyek tertentu.

Ketika kita membaca fisik dan batin turut terlibat. Otak adalah salah satu bentuk fisik itu. Otak akan bekerja keras men-translate kalimat-kalimat yang kita baca. Akan lebih keras lagi apabila buku yang kita baca itu adalah buku sejenis Matematika. Lalu apa hubungannya dengan batin? Dengan membaca batin akan ikut merasakan apakah sebuah bacaan itu bernuansa sedih, senang dan lain-lain.

Kita telah diajarkan membaca sejak kita duduk di Sekolah Dasar, seperti kata Papuans di atas. Saat saya menulis ini pun saya bisa membaca karena guru-guru saya yang mengajarkannya. Namun sangat disayangkan budaya membaca buku (terutama di kalangan kita) belum menjadi sebuah kebiasaan. Masyarakat lebih senang menonton sinetron atau film di TV daripada membaca. Padahal... film dan sinetron itu dibuat awalnya dengan membaca dan dituliskan ke dalam sebuah naskah/skenario. Contohnya adalah buku Harry Potter. Dengan membaca sebenarnya kita menambah pengetahuan dan wawasan kita di berbagai bidang, baik itu soal sosial sampai ke soal teknologi. Lebih baik lagi apabila setelah membaca kita tuangkan bacaan itu ke tulisan dengan versi kita sendiri dalam bentuk ringkasan atau rangkuman.

Membaca itu proses reseptif untuk menjadi produktif menulis. Anda dan saya tidak akan membagikan sesuatu kalau kita tidak memiliki sesuatu. Namun, bukan berarti anda dan saya harus demikian. Anda dan saya bisa menulis dulu juga boleh. Tapi yang jelas anda akan memiliki ide-ide baru atau gagasan-gagasan yang tak terhitung jumlahnya melalui proses membaca yang benar (bukan baca asal-asalan). Membaca dan menulis adalah proses kerja intelektual dan kebebasan di ranah pendidikan, kebudayaan, dan masa depan. Meski membaca dan menulis memberikan value yang holistik, namun tidak setiap orang mau dan mampu melaksanakan. Membaca dan menulis bahkan bisa menjadi momok bagi banyak orang, tidak terkecuali komunitas intelektual, termasuk mahasiswa (Papua).

Memang suatu realita bahwa bagi kebanyakan orang, khususnya di Papua, terutama mahasiswa Papua, membaca dan menulis mungkin adalah sebuah pekerjaan yang tidak menyenangkan. Bahkan membosankan dan menyita waktu untuk ngobrol (cerita mob). Apalagi belajar membaca dan menulis bukan lagi anak TK/SD (seperti ungkapan Papuans). Namun, perlu simak salah satu nilai yang ditanamkan dalam kursus John Robert Powers adalah tentang bagaimana kita bisa meningkatkan kapasitas dalam diri kita dengan menjadikan membaca dan menulis sebagai salah satu kebutuhan untuk membangun kesadaran kritis bagi rakyat.

Di kalangan kita masih sering ada anggapan bahwa untuk menjadi seorang penulis tidak cukup hanya berbekal pengetahuan dan latihan. Kemampuan menulis adalah bakat alamiah yang hanya dimiliki oleh segelintir orang istimewa saja. Shakespeare, Faulkner, Chekov, dan Gibran misalnya, adalah beberapa nama yang menjadi penulis besar karena anugerah bakat alam yang mereka miliki. Atau dengan kata lain kemampuan menulis adalah kemampuan yang sudah ditetapkan dan tidak bisa diubah.

Apakah memang benar demikian? Dalam buku yang judul aslinya "On Writing: A Memoir of The Craft", Stephen King memberikan sebuah sanggahan. Menurutnya, bekal sebagai penulis memang sudah ada dalam diri seorang penulis. Namun, bekal itu tidaklah istimewa. Banyak orang yang punya bakat sebagai penulis dan bakat-bakat itu dapat diperkuat dan dipertajam dengan membaca dan terus menerus mencoba menulis. Dan, untuk itu, kita hanya harus melakukan dua hal: banyak membaca dan banyak menulis (baca: Mizan.com).

Kata orang menulis itu memperkaya hidup orang-orang yang akan membaca karyamu dan memperkaya hidupmu sendiri pula... menulis itu mukjizat, seperti air kehidupan... air itu gratis. Jadi, minumlah...", Nasihat Ahmad Badrus Sholihin. Berdasarkan nasihat-nasihat yang dipaparkan di atas dan realitas mahasiswa Papua yang tercermin melalui Papuans, maka majalah "Selangkah" edisi ini lebih banyak menyoroti tentang menulis dan membaca. Karena kami mulai mengerti bahwa dengan menulis seseorang dapat dengan mudah mengekspresikan dirinya dan menuangkan ide-ide yang ada dibenaknya sehingga di suatu saat tulisannya dapat dibaca oleh orang lain.

Teman-teman mahasiswa Papua, kalau kita tidak mau menjadi orang yang tidak memiliki identitas dan peradaban, maka silakan jangan menulis! Menulis itu adalah sebuah warisan untuk anak cucu kita agar mereka dapat menarik pengalaman dari pendahulu-pendahulunya. Selamat membaca dan setelah itu menulis. Kerena membaca dan kemudian menulis itu membebaskan diri kita, orang lain dan bahkan bangsa kita.

*) Pimpinan Redaksi Majalah SELANGKAH

Catatan: Tulisan ini pernah menjadi tajuk rencana pada majalah mahasiswa Papua "Selangkah" edisi X Mei-Juli 2007

1 komentar:

Papua dalam Kota mengatakan...

tulisan ini perlu di sebarluaskan.....

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut