Pendidikan Pembebasan Berbasis Andragogi (Kombinasi Ivan Ilich dan Paulo Freire

Sabtu, Agustus 04, 2007

Oleh PURYANTO*)

SEKOLAH itu lebih berbahaya daripada nuklir. Ia adalah candu! Bebaskan warga dari sekolah,” begitu kata Ivan Ilich. Kecaman sinis ini hingga saat ini bukanlah sekadar ungkapan apriori terhadap sekolah. Ia menjadi mantra yang hidup dan menantang bagi para pemikir pendidikan.

Kata-kata itu menjadi berbobot bukanlah sekadar ungkapannya yang bertendensi pada sikap asal nyleneh, melainkan didasarkan fakta yang melatarbelakanginya. Ilich saat itu melihat semua bentuk sekolah di berbagai negara telah terjebak pada semangat berpikir yang didasarkan tuntutan-tuntutan kebutuhan formal sekolah. Implikasi dari dominasi keduannya ini kemudian melahirkan suatu corak pendidikan yang hanya sekadar menjadi agen reproduksi sistem dan struktur sosial yang tidak adil seperti relasi gender, relasi rasisme, dan sistem relasi kekuasaan.

Relasi itulah yang kemudian memunculkan sikap ketidakpercayaan pada netralitas pendidikan oleh para pemikir kritis radikal seperti Frantz Fanon, Paulo Freire, Antonio Gramsci, dan Ivan Ilich. Mereka menganggap bahwa segala macam bentuk pemikiran tidaklah berdiri sendiri seperti yang diasumsikan para pemikir liberal. Ia hadir dari sebuah prosesi sejarah dan selalu terkait dengan situasi zaman saat pemikiran itu ada.

Memang, dalam tataran kognitif objektivitas menjadi sebuah keabsahan bagaimana netralitas ilmu pengetahuan tetap harus diposisikan. Pemikiran itu juga menegaskan bahwa masalah yang terjadi di masyarakat bukanlah terkait dengan persoalan politik ekonomi yang ada. Oleh sebab itu, orientasi pendidikan tidak bisa dihubungkan dengan keadaaan ekonomi politik di luar pendidikan.

Objektivikasi mengacu pada asumsi independensi sesuatu yang berdiri sendiri. Dalam bidang pemikiran, ia menjadi keharusan untuk lepas dari asumsi yang lahir dari segala macam bentuk pemikiran sebelumnya. Ia juga menjadi antitesis daripada asumsi-asumsi teologis zaman pertengahan yang selalu didominasi mistisime gereja (agama). Menjadi keharusan di sini adalah fakta dan data (empirisme) sebagai sebuah argumen untuk menyimpulkan segala sesuatu.
Lantas, apa yang salah dari pemikiran ini? Dalam tafsiran kritis, kata objektivikasi ini tidak ada salahnya, bahkan ia tetap harus dijadikan titik dasar metode penalaran terhadap realita. Namun, ketika ia diletakkan pada soal makro berkaitan dengan latar belakang pemikirannya, yang terjadi adalah wujud keharmonisan antara ide dan materi.

Ie menurut paham kritis adalah suatu bentuk premis dan kesimpulan yang dalam faktanya (bukan yang seharusnya) akan selalu terkait dengan persoalan yang melingkupinya. Oleh karenannya, pemikiran macam apa pun objektivnya ia menjadi sebuah entitas yang tidak mandiri dari realita sosial. ”Netralitas” ini pula oleh kalangan pemikir kritis radikal dikritik sebagai pemikiran yang tidak bertanggung jawab sekaligus terjebak pada arus hegemoni ideologi dominan kapitalisme. ”Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa bersikap netral, objektif maupun berjarak dengan masyarakat (detachment) seperti anjuran aliran positivisme”. (Fakih Mansour, 1999:22)

Konsepsi keberpihakan pendidikan ini sesungguhnya juga menjadi kritis solusi kaum liberal yang naif melihat maju atau mundurnya sebuah masyarakat hanya didasarkan aspek mentalitas. Terkait dengan kepentingan ekonomi politik modal di atas, adalah suatu kewajaran bila kemudian Presiden Megawati yang kita ketahui sangat lunak dengan program dan kebijakan ekonomi IMF dan Bank Dunia ini tanpa merasa berdosa kemudian mengatakan bahwa betapa soal mentalitas yang pada gilirannya juga menampilkan kadar disiplin sosial yang rendah bagi bangsa kita (Kompas, 2/5/2002).

Ketidaknetralan pendidikan ini rasanya amat sulit diterima oleh kalangan pemikir liberal termasuk di Indonesia. Independensi pendidikan yang dikembangkan oleh para pemilik modal selama masa Orde Baru setidaknya adalah wujud keberhasilan the dominant ideology (pembangunanisme) IMF dan Bank Dunia dalam melakukan transaksi investasi kebijakan arus modal. Ini juga yang kemudian banyak menyingkirkan peran pemikir kritis seperti Arief Budiman dan Sritua Arief untuk cukup puas menggagas ide di luar jalur kekuasaan.

Apa sesungguhnya pendidikan kritis?

Di atas telah diuraikan posisi pendidikan berkaitan dengan persoalan relasi sosialnya beserta kritik pemikiran kritis radikal terhadap kenetralan pendidikan aliran liberal/positivisme. Pertanyaan kemudian, apa sesungguhnya pendidikan kritis ini?

Pendidikan kritis pada dasarnya merupakan aliran, paham dalam pendidikan untuk pemberdayaan dan pembebasan. Pendidikan haruslah berbentuk suatu usaha yang mengarah pada cita-cita ideal/positif bagi umat manusia. Ia berfungsi sebagai usaha refleksi kritis, terhadap the dominant ideology ke arah transformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, strata gender, kemiskinan, marginalisasi kaum bawah dan penyelewengan HAM, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil.

Lebih idealnya, Paulo Freire mengatakan bahwa pendidikan haruslah berorientasi pada konsepsi dasar memanusiakan kembali manusia yang telah mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur sosial yang menindas (Pedagogi of the Opresed, New York 1986:67). Ia juga melakukan kritik terhadap kapitalisme dan mencita-citakan perubahan sosial dan struktural menuju masyarakat yang adil dan demo-kratis, suatu masyarakat tanpa eksploitasi dan penindasan.

Oleh karena itu, pendidikan dalam mainstream ini adalah media untuk resistensi dan aksi sosial yang tidak dapat dipisahkan dan merupakan bagian dari proses transformasi sosial. Perangkat pisau analisis yang dipakai dalam memahami kontradiksi sosial adalah perspektif kelas. Analisis kelas ini ini lebih memfokuskan pada relasi struktur sosial, ketimbang hanya memfokuskan pada korban eksploitasi. Dengan demikian, yang menjadi agenda utama pendidikan kritis adalah tidak sekadar menjawab kebutuhan praktis untuk mengubah kondisi golo-ngan miskin, terbelakang, namun juga (meminjam istilah Antonio Gramsci) adalah melakukan counter hegemoni dan counter wacana terhadap ideologi sosial yang telah mengakar dalam keyakinan.

Metode praksis
Metode praksis yang dipakai dalam persoalan ini bertitik tolak dari model pendidikan di luar kebanyakan sekolah formal yang kini banyak kita saksikan. Kalau pedagogi kita kenal sebagai manajemen mendidik anak, metode yang dipakai pendidikan kritis adalah andragogi yang dikenal sebagai mendidik orang dewasa.

Perbedaan keduanya sangat mencolok. Walaupun pedagogi bukan hanya seni mendidik anak dalam kategori usia, kebanyakan kita me-nyaksikan model ini dipakai oleh sistem sekolah kita. Pengertiannya adalah menempatkan murid sebagai anak-anak yang dianggap masih kosong dari ilmu pengetahuan. Ibarat botol kosong, ia perlu diisi dan setelah penuh, sang murid telah dianggap lulus/selesai.

Konsekuensi metode ini adalah menempatkan peserta didik secara pasif. Murid sepenuhnya menjadi objek dan guru menjadi subjek. Guru mengurui, murid digurui, guru memilihkan apa yang harus dipelajari, murid tunduk pada pilihan tersebut, guru mengevaluasi murid dievaluasi. Kegitan belajar ini me-nempatkan guru sebagai inti terpenting sementara murid menjadi bagian pinggiran (Seri Pendidikan Popular, 1999:24).

Berbalik dari itu, andragogi adalah pendidikan pendekatan orang ”dewasa” yang menempatkan murid sebagi subjek dari sistem pendidikan. Knowles (1970), menggambarkan murid sebagai orang dewasa diasumsikan memiliki kemampuan aktif untuk merencanakan arah, memiliki bahan, menyimpulkan, mampu mengambil manfaat, memikirkan cara terbaik untuk belajar, me-nganalisis dan meyimpulkan, serta mampu mengambil manfaat dari pendidikan. Fungsi guru adalah sebagai ”fasilitator”, bukan menggurui. Oleh karena itu, relasi antara guru dan murid bersifat multicomunication dan seterusnya.

Itulah yang diharapkan dari Ivan Ilich saat pendidikan kemudian sebagai sarana bagi ajang kreativitas minat dan bakat peserta. Visi pendidikan yang demokratis, liberatif kemudian menjadi kebutuhan yang pokok ketika kita masih punya satu cita-cita tentang bagimana pentingnya membangun kehidupan yang humanis. ***

*) Penulis adalah editor buku tinggal di Bandung.

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut