Pendidikan dan Pengajaran Ala Pater Drost untuk Papua

Sabtu, Agustus 04, 2007

Oleh Yermias (Ignatius) Degei*)

To the point. Itulah gaya Pater Drs. Ignatius Josephus Geraldus Drost, SJ., dalam menyikapi pendidikan. Drost adalah teladan guru sekaligus pendidik, pendidik sekaligus guru dan guru besar lagi. Ia sungguh terlibat secara total dalam persoalan pendidikan di Indonesia. Gagasan-gagasannya yang berbasis filosofis mengena pada hakikat pendidikan. Pendidikan diletakkan di tengah realitas sosial. Pendidikan bukan untuk sekedar ilmu tetapi, pendidikan untuk hidup. Itulah arah perjuangan Drost. Tidak heran bila dia dijuluki sebagai tokoh pendidikan sekaligus raja kritikus pendidikan.

Menurut Drost yang meninggal dunia pada hari sabtu, 19 Februari 2005 pukul 16.15 WIB di Rumah Sakit Elisabeth Semarang, Jawa Tengah, dalam usianya yang 80 tahun itu, proses belajar mengajar adalah bukan suatu kejadian sepihak. Ungkapan pembelajaran yang diberikan oleh seorang pengajar bukan semata tranfer pengetahuan tertentu, melainkan memilki efek pendamping yang tersirat dalam proses tersebut dan meningkatkan kemandirian peserta didik. Pengajaran yang benar adalah suatu proses pendidikan yang menghasilkan pengalaman belajar yang menyangkut perhatian, kognisi dan motivasi peserta didik untuk menguasai dan memperoleh pengetahuan, informasi, keterampilan ataupun sifat tertentu dan karenanya menjadikan perubahan peserta didik.

Dalam upaya membentuk manusia muda melalui sekolah, Drost melalui bukunya yang berjudul “Proses Pembelajaran sebagai Proses Pendidikan, menjelaskan, semua orang ‘kita’ akan mengatakan: kedua-duanya (pendidikan dan pengajaran) sama. Itulah malapetaka atau musibah yang melanda dunia persekolahan kita. Karena yang diadakan di sekolah adalah pengajaran bukan pendidikan. Dengan kegitan pendidikan menanamkan nilai-nilai ke dalam budi orang. Anak usia 0–20 tahun masih perlu dibentuk atau dididik. Jadi, pendidikan tinggi tidak masuk akal. Pengajaran tinggi itulah istilah yang tepat. Pendidikan sebagai proses pembentukan merupakan proses informal. Tidak ada pendidikan formal karena tidak mungkin. Seluruh proses pemuliaan, ialah pembentukan moral manusia muda hanya mungkin lewat interaksi informal antara dia dan lingkungannya.

Yang pertama-tama mengajarkan kepada anak tentang Allah, pengalaman tentang pergaulan manusia dan kewajiban memperkembangkan tanggung jawab diri sendiri dan orang lain adalah orang tua. Jadi kesimpulan yang paling mendasar dalam pandangan Drost adalah lembaga pertama dan utama pembentukan dan pendidikan adalah keluarga. Keluarga perlu dibantu oleh masyarakat karena masyarakat perlu mengatur kebutuhan hidup di dunia ini. Usaha meraih tujuan hidup sebagai makluk berkebudayaan dan bermasyarakat berlangsung melalui perkembangan serasi manusia muda menurut segi pandangan fisik, moral, dan intelektual. Proses pembentukan intelektual pada manusia dibentuk melaluai proses pembelajaran di sekolah.

Proses pembelajaran adalah proses menjadikan orang lain belajar. Menurutnya, tidak ada sekolah yang menjadikan orang pintar. Pembelajaran yang terjadi di sekolah hanya membantu manusia muda untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya. Drost sependapat dengan Paulo Freire yang menentang sistem pembelajaran transfer kaya bank tanpa nilai apapun. Yang dibutuhkan dalam pembelajaran menurut para tokoh pendidikan aliran ini adalah dialog, bercerita. Guru dan siswa berbeda tetapi mereka harus bercerita dan berdialog. Dengan demikian terjadi tranformasi nilai dan budaya dalan diri pembelajar. Namun itu akan menjadi apabila pengajar menghargai kebebasan, hak, kekuasaan pribadi-pribadi. Itu berarti menurut Drost, mendampingi kaum muda berbagi hidup dengan orang lain.

Pendidikan pengajaran di sekolah yang sebenarya menurut Drost kelahiran 1 Agustus 1925 di Batavia ini adalah berusaha mengubah cara kaum muda memandang dirinya sendiri dan makluk insani lain, sistem-sistem dan struktur masyarakat. Hasil pembelajarannya, pria dan wanita yang kompeten, bertanggung jawab, dan penuh perhatian bagi sesama.

Ketika manusia lepas dari keadaan yang diciptakan oleh Tuhan, ialah keluarga segala sesuatu diseragamkan. Mulai masuk TK, SD, SLTP dan SMU segala-galanya, mulai dari sistem pendidikan, pakaian, sepatu, bahkan rambut, warna kulit (dalam buku-buku teks) dipaksakan harus seragam. Ciri khas pribadi dan lingkungan tidak boleh ada lagi. Keanekaragaman suku, bahasa, agama, adat istiadat yang ada di Indonesia tidak dihargai. Siswa yang memiliki kemampuan belajar yang berbeda dipaksakan mengikuti kurikulum yang mutlak sama. Pendidikan seragam atau pendidikan yang mendukung kolektivitas ini telah membuahkan orang-orang muda Indonesia yang tidak bertanggung jawab, tidak berinisiatif, pembeo belaka. Bukan individu yang berkepribadian melainkan individu anggota kawanan yang tidak punya moral dan korupsi atas nama orang lain.

Ungkapan-ungkapan Pastor yang pernah menjadi rektor Universitas Katolik Sanata Dharma Yogyakarta ini memang bernada keras, namun muncul karena adanya keprihatinan terdalam atas keselamatan manusia. Menurut dia, bahaya usaha membentuk kepribadian orang lain adalah bahwa saya memaksa orang lain seperti saya. Seakan saya itu pribadi unggul. Saya berani berkata bahwa seorang pemimpin, misalnya guru, kepala sekolah, direktur perusahan, birokrat, dan sebagainya yang gagal membentuk penggantinya, gagal sebagai pemimpin. Karena mereka memaksa menggantinya seperti mereka sendiri. Kita kejar hasil dan lupa akan kemampuan berhasil. Kita hanya ingin pelajar kita lulus dengan gemilang. Akan tetapi yang didorong lulus dilupakan pembentukan karakter dan kepribadian, hasilnya robot.

Pastor Drost tokoh pendidikan yang berani dan mempu mengungkap kenyaatan carut-marutnya dunia pendidikan kita, dia telah tiada. Ia telah berpulang ke Allah Bapa! Kini tinggal karya-karyanya. Karya-karya tulis yang memberikan sumbangan yang besar terhadap dunia pendidikan dalam rangka pengembalian pendidikan kepada hakikatnya, yaitu membentuk manusia muda untuk mempertemukan dengan kodrat sejatinya, yaitu kemanusiaan.

Sebagai pesan moral terakhir, melalui bukunya mantan Direktuir SMA Kanisius Jakarta ini memberikan beberapa unsur dari pola pembelajaran yang berusaha mencapai pembentukan manusia muda. Dalam pembelajaran, pelajar belajar dan pengajar mengajar. Seorang pengajar mendidik dengan mengajar dan mengajar dengan mendidik. Pembelajaran ini dengan menekankan pengalaman refleksi dan aksi menawarkan sejumlah cara seorang pengajar dapat mendampingi para pelajar guna memudahkan proses belajar dan berkembang lewat jumpaan dengan kebenaran hidup dan panggilan arti hidup manusia.

Drost menilai kebanyakan pengajar masih memakai pola yang jauh lebih menekankan peran pengajar dari pada peran pelajar. Dalam pembelajaran seperti ini penekanan utamanya adalah keterampilan menghafalkan. Pengajaran ini jelas salah. Karena dalam pembelajaran ini tidak ada unsur refleksi yang menuntut kepada pelajar memikirkan arti manusiawi dari pada apa yang dipelajari dan pentingnya bagi sesama.

Lingkungan yang positif juga salah satu pendukung utama dalam pembelajaran sistem ini. Peningkatan dari pendidikan religius dan pendidikan nilai diusahakan lewat pengembangan kurikulum-kurikulum baru, alat-alat peraga, dan buku-buku pegangan. Namun kemajuan ini lebih sedikit dari pada yang diharapkan. Padahal, berbagai penelitian telah membuktikan bahwa iklim sekolah yang positif merupakan prasyarat sebelum pengajaran nilai dimulai.

Pendidikan dan Pengajaran di Tanah Papua?
Generasi muda Papua---hasil pendidikan dan pengajaran sistem pendidikan Indonesia---adalah korban sejarah masa lalu. Sejak Papua diintegrasikan ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), segala sesuatu (pendidikan dan pengajaran) dipaksakan harus sama. Sementara, katanya NKRI adalah bangsa yang majemuk. Majemuk karena setiap suku bangsa memiliki adap istiadat, cara berpikir dan bertindak serta cara belajar dan mendidik yang berbeda. Masalah lingkungan juga hal tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Katanya, semua ini dalam rangka Bhineka Tunggal Ika. Entalah.

Cara bekerja, cara belajar, cara bertindak, cara berekspresi, dan cara hidup orang Papua sungguh tidak dihargai dengan sistem pendidikan yang otoriter dan sentralistik di masa lalu. Sistem pendidikan di Indonesia adalah menginginkan semua harus sama, mulai dari seragam sekolah, cara belajar dan secara diam-diam rambut dan kulitpun menginginkan harus sama. Cara seperti itulah yang Drost menyebutnya sistem yang sungguh tidak menghargai manusia sebagai ciptaan Sang Sumber Cinta yang yang tiada duanya.

Contoh kasus, pengajaran sepihak yang memandang pembelajar kertas putih sehingga mengajarkan tentang kereta api, becak, brobudur, Siti, Sari di pengunungan, pantai dan lembah-lembah di Papua adalah tidak lebih dari oleh Paulo Freire menyebutnya sebagai pendidikan pembodohan. Anak dibutakan dengan realitas sosialnya. Pendidikan tidak kontekstual itu adalah sebuah usaha pembunuhan karakter manusia Papua oleh penguasa. Anak yang harus tumbuh dalam kebebasan berdasarkan realitas sosial itu dipaksakan dengan pendidikan dan pengajaran yang jauh dari kehidupannya. Sehingga kepekaan dan karakter berpikir sungguh dibunuh. Ini bukan semata kesalahan pengajar tetapi kesalahan sistem karena pengajar adalah juga hasil sistem.

Dalam sistem itu pengajar dipaksakan pendidikan dan pengajaran harus tekstual. Dalam keadaan pendidikan seperti ini tokoh pendidikan seperti Drost, SJ, muncul dan berteriak pendidikan itu bukan untuk membelenggu tetapi untuk membebaskan manusia. Pendidikan itu harus kontekstual supaya manusia itu tidak tercabit dari akar lokalnya sehingga mampu membebaskan dirinya dan lingkunganya.

Otonomi Khusus yang sudah dikembalikan tahun 2005 oleh Dewan Adat Papua itu, cukup memberi ruang gerak kepada orang Papua untuk mengubah cara pandang kita tentang pendidikan dan pengajaran. Lebih khusus berpikir tentang perombakan sistem pendidikan sentralistik ke lokal tanpa menutup diri terhadap perkembangan global. Tetapi, otonomi sungguh tidak berhasil sehingga sekali dikembalikan tetap dikembalikan. Kini ada cara lain, yaitu diversifikasi kurikulum yang memberikan kesempatan kepada daerah untuk merekayasa pendidikan sesuai kebutuhan daerah dan tentu saja sesuai dengan lingkungan dan cara berpikir orang Papua. Namun itupun seandainya tangan kanan tidak dipegang oleh Jakarta. Karena itu, seandainya pula pemerintah daerah bijaksana menyikapi hal ini.

Untuk itu, sebelum kita beranjak ke masalah sistem, marilah dulu kita refleksikan dan mengubah cara pandang kita tentang hakikat pendidikan dan pengajaran. Drost, mengingatkan kembali bahwa dalam pembelajaran siswa harus mengenal karakteristik lingkungan mereka, sebagai sumber kekuatan mereka, untuk mengenali benar apakah lingkungan mereka potensial mempunyai daya dukung terhadap kehidupan mereka. Bila potensial, maka mereka harus mampu memberdayakan secara profesioanal untuk kesejahteraan mereka dan mempersiapkan pengetahuan dan keterampilan untuk pemberdayaan manusia melalui pendidikan.

Drost, (1999) menegaskan kembali, pembelajaran di tanah Papua perlu diperhatikan bagaimana membentuk sikap mental siswa untuk menghargai orang lain kendati berbeda pendapat, saling mempercayai, salinng mengampuni, membantu para siswa menjadi pribadi dewasa. Lama kelamaan para pelajar akan sadar bahwa pengalaman-pengalaman yang paling mendalam timbul dari hubungan dengan pengalaman orang lain. Refleksi harus mengantar pelajar kepada makin menghargai hidup orang lain dan kepada kegiatan-kegiatan, kebijakan-kebijakan menunjang atau menghalangi pengembangan dan pertumbuhan kita semua sebagai manusia.

Dalam kaitannya dengan ini, dalam pembelajaran perlu diperhatikan wawasan alternatif pilihan; kemampuan untuk memilih, serta kemampuan pembelajar untuk berimajinasi terhadap keadaan di luar yang dialami pembelajar; kemampuan memilih berdasarkan tarik menarik antara kekuatan dari berbagai kepentingan yang mempengaruhi; kesiapan keahlian atau keterampilan sesuai dengan persyaratan yang dibutuhkan; menumbuhkan imajinasi anak, berwawasan, mampu melihat alternatif, mampu memutuskan untuk memilih alternatif. Dengan demikian sekolah itu bukan lagi sekedar tempat transfer pengetahun tetapi benar-benar menjadi tempat memanusiakan manusia muda yang berintelek, berafektif, bermoral dan beriman, sehingga pada gilirannya dia secra konkret (aspek motorik).

Yang perlu dipikirkan bersama oleh pelaku pendidikan, mahasiswa, pemerhati pendidikan Papua adalah bagaimana membangkitkan masyarakat Papua secara optimal dari segi “natural” sehingga situasi lokalnya menjadi sumber daya yang berguna bagi kehidupannya melalui pendidikan dan pengajaran. Pemanfaatan kekuatan komunitas dan alamnya sangat diperlukan sebagai modal inspirasi. Wawasan nasional dan global di luar lokalitas-kontekstual juga diperlukan. Ini hanya sebuah pemikiran sang guru pendidikan dan pengajaran, Pater Drost, SJ. Pelaksanaan praktis di lapangan adalah keseriusan kita dalam penerapan dan terus mencari alternatif-alternatif pendidikan yang mampu menciptakan manusia Papua yang dapat bersaing dalam segala bidang.

Berbahagialah bangsa yang mengutamakan pendidikan, merubah dan merekayasa dari waktu ke waktu disesuaikan dengan realitas hidup dan perkembangan zaman, karena mereka akan menjadi tuan di negeri sendiri.

*) Sekretaris Komunitas Pendidikan Papua

Catatan: Tulisan ini pernah dipublikasikan melalui www.wikimu.com

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut