Buramnya Pendidikan di Kabupaten Nabire

Sabtu, Agustus 04, 2007

Oleh Yermias (Ignatius) Degei*)

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi permintaan Litbang Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Nabire (IPMANAB) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai bahan diskusi bagi anggota IPMANAB DIY. Topik yang diberikan kepada saya beberapa pekan lalu adalah “Pembangunan Pendidikan di Kabupaten Nabire”. Sayangnya, topik tersebut tidak sempat didiskusikan dalam forum besar. Hanya dapat didiskusikan dalam forum kecil saja. Jadi, tulisan ini adalah sebuah panduan diskusi yang saya persiapkan pada saat itu.

Saya rasa, poin-poin pokok dari realitas pembangunan pendidikan di kabupaten Nabire yang telah kami diskusikan itu perlu dipublikasikan untuk kepentingan pembangunan pendidikan di kabupaten Nabire. Tujuannya adalah mencoba mengungkapkan fenomena pembangunan pendidikan di kabupaten Nabire beberapa tahun terakhir.

Bagian awal dipaparkan tentang “HAK mahasiswa” dalam kaitannya dengan pembangunan pendidikan; kemudian tentang bangunan SMP dan SMA baru di Nabire; kemudian tentang fenomena “Akta 4” instan; selanjutnya sedikit tentang pelaksanaan Ujian Nasional; dilanjutkan dengan penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS); kemudian pemaparan buram pendidikan dasar di pedalaman Nabire secara sekilas; dan diakhiri dengan rekomendasi konkret atas beberapa persoalan.

Bantuan Studi Mahasiswa: HAK yang Tergadai
Mahasiswa asal kabupaten Nabire adalah aset pembangunan Papua dan khususnya kabupaten Nabre. Mahasiswa itu aset masa depan maka menjadi suatu kewajiban pemerintah daerah untuk memperhatikan (mendukung) mahasiswa. Dukungan yang saya maksud adalah berupa fasilitas belajar dan bantuan studi. Mahasiswa punya hak untuk mendapatkan perhatian itu. Namun kenyataan selama ini berkata lain. Nyatanya adalah siapa dekat, siapa tunduk, siapa berani, siapa saudara!

Selama beberapa tahun terakhir mahasiswa Nabire seakan anak ayam kehilangan induk. Tidak punya asrama (yamewa/hamewa) sehingga setiap saat mahasiswa harus menyewa gedung atau tempat untuk pertemuan. Bahkan ketika pemerintah kabupaten Nabire datang ke Yogyakarta untuk memberikan bantuan gempa, mahasiswa Nabire harus menyewa kantin Universitas Sanata Dharma untuk tempat pertemuan. Lantas, IPMANAB Yogyakarta tidak memiliki asrama (yame owa/hamewa) untuk tempat pertemuan. Mahasiswa Nabire di Yogyakarta tidak punya tempat untuk berkumpul bersama sebagai satu keluarga Nabire di Yogyakarta.

Sementara itu, bantuan studi yang merupakan HAK mahasiswa juga telah tergadai. “Kami akan kasih bantuan, kalau kamu tidak kritis”. Mahasiswa dituntut untuk tunduk dan manut pada sebuah kebobrokan. Pemerintah daerah selama ini takut pada kekritisan mahasiswanya. Bukankah seharusnya pemerintah harus bangga melihat asetnya kritis.

Orang tua mahasiswa (pemerintah daerah Nabire) yang seharusnya membiarkan anak-anaknya tumbuh dan berkembang dengan idealisme-idealisme masa depan, justru dipangkas habis dengan kepentingan politik sesaat. Idealisme mahasiswa seakan-akan diharapkan tukar dengan yang sebenarnya HAK mahasiswa, yaitu mendapatkan fasilitas dan bantuan studi. Bukan sebuah kebohongan apabila mahasiswa mengatakan HAK kita selama ini menjadi proyek kepentingan politik. Diskriminasi (nepotisme) juga mendapat ruang dalam proyek pemberian bantuan studi.

Orang tua (pemerintah daerah) punya alasan kadaluarsa untuk tidak memenuhi HAK mahasiswa. Pemerintah terus dan selalu membawakan mahasiswa pada kepengurusan IPMANAB masa lalu. Artinya, ketika mahasiswa dengan kepengurusan yang baru mengajukan permohonan untuk bantuan asrama, jawabannya adalah “kalian tidak akan menjaga dengan baik seperti dulu”. Padahal kepengurusan (orang-orang/oknum-oknum) yang tidak menjaga asrama dengan kepengurusan saat ini sungguh berbeda. Apakah memang harus disamakan? Tentu tidak. Kepengurusan sekarang lain dengan kepengurusan masa lalu. Maka sebenarnya bukan menjadi sebuah alasan mendasar untuk tidak memenuhi HAK mahasiswa. Entalah!

Mengapa mendapatkan bantuan adalah HAK mahasiswa?
Dana Otonomi khusus (Otsus) untuk pembangunan pendidikan di tanah Papua adalah alasannya. Dana Otsus Papua mencapai milyaran. Sebagai mahasiswa Nabire punya hak untuk mendapatkan dana pendidikan yang katanya milyaran rupiah itu. Dana pendidikan untuk tiap kabupaten di Papua jumlahnya sama. Dari dana yang jumlahnya sama itu, coba perhatikan kabupaten lain. Kabupaten lain sungguh nyata dan transparan dalam pengalokasian untuk mahasiswanya. Banyak data tentang hal ini, misalnya mahasiswa Puncak Jaya digaji Rp 500.000/bulan.

“Bupati Kabupaten Puncak Jaya, Drs Elieser R mengatakan, setiap mahasiswa asal Puncak Jaya diberikan biaya kuliah Rp 500.000,00/bulan. Uang sebesar itu diberikan secara merata setiap bulan. Pemberian biaya kuliah ini tidak hanya bagi mereka yang kuliah di Jayapura, namun yang kuliah di luar provinsi Papua seperti di Manado, Jogjakarta dan sejumlah provinsi lainnya juga ikut diberikan. Bahkan menurutnya, khusus untuk membiayai kuliah mahasiswa yang berjumlah kurang lebih 2.000 orang ini pemerintah daerah harus mengeluarkan anggaran sekitar 9 miliar rupiah dari APBD tiap tahun. Setiap tahun anggaran bantuan bagi mahasiswa asal Puncak Jaya ini jumlahnya meningkat terus. "Anggaran setiap tahunnya, khusus untuk biaya kuliah mahasiswa ini berubah-ubah, artinya terus mengalami peningkatan karena jumlah mahasiswa dan biaya yang digunakan tentunya terus bertambah," ujarnya kepada wartawan usai meresmikan Asrama Kinaonak di Youtefa, Kotaraja, Kamis (22/9) kemarin.
Anggaran 9 miliar rupiah ini dikhususkan untuk biaya mahasiswa, artinya anggaran beasiswa untuk tingkat SD, SMP dan SMA belum termasuk, atau posnya tersendiri. Selain diberikan tunjangan biaya untuk kuliah, mahasiswa asal Puncak Jaya ini juga dibuatkan sejumlah asrama, baik di Jayapura maupun di luar provinsi Papua. Seperti di Jogjakarta, Sulawesi Utara (Manado) dan sejumlah provinsi lainnya juga dibagunkan asrama mahasiswa, (Ito, Cenderawasih Pos).

Data tentang bantuan berupa biaya studi dan fasilitas (asrama) dapat juga dibandingkan dengan kabupaten lain. Misalnya, kabupaten Sorong Selatan, jangankan bantuan, kepala daerah langsung datang ke tiap kota studi untuk berdialog dengan mahasiswa. Sungguh luar biasa! Mahasiswa memang rindu pemimpin seperti itu. Banyak contoh lain, Merauke, Wamena, Biak, Seruai, Fak-fak dan kabupaten lainnya sudah ada asrama putra dan putri. Yang menarik dari kabupaten lain adalah pemerintah membangun komunikasi dengan mahasiswa sehingga pemerintah tahu benar mahasiswanya. Tahu yang berarti, tahu tentang data bidang A ada berapa orang, bidang B ada berapa dan seterusnya.

Akhirnya pemerintah merencanakan dengan baik bidang apa yang kurang dan bidang apa yang musti harus mendapat perhatian. Tentukan sesuai kebutuhan di lapangan. Pertanyaannya adalah ke manakah dan diatur dengan manajemen seperti apakah dana pembangunan pendidikan untuk kabupaten Nabire selama ini? Kita tidak tahu entah ke mana HAK mahasiswa Nabire di Yogyakarta. Memang, perlu diakui bahwa bantuan insidental itu ada, yaitu berupa bantuan transportasi ketika mahasiswa pulang liburan. Sayangnya, itupun kalau kita mampu bertahan berhari-hari di kantor kabupaten. Selain itu, beberapa waktu lalu pemerintah Nabire juga melakukan pendataan mahasiswa tugas akhir, namun penyalurannya meninggalkan berbagai pertanyaan. Bantuan itu tidak dinikmati oleh semua mahasiswa Nabire yang sudah mengumpulkan data dan memang punya HAK untuk itu.

Mekanisme dan dasar penentuan jumlah bantuan tidak jelas. Ada yang dapat satu juta, ada yang satu juta lima ratus, ada pula yang sampai lima juta dan ada juga yang justru tidak dapat. Bahkan, konon dikabarkan sekelompok anak dapat 18 juta per orang? Apakah itu adil? Mahasiswa eksak yang sebenarnya membutuhkan dana lebih banyak untuk penelitian justru ada yang dapat satu juta saja. Lebih aneh lagi tidak ada konfirmasi dari pemerintah tentang nama-nama mahasiswa yang telah dibantu (yang sudah ditransfer uangnya) dan yang belum berdasarkan data yang telah dikumpulkan beserta alasannya. Bantuan sungguh meninggalkan kecemburuan sosial antar mahasiswa Nabire di Yogyakarta.

Dalam sebuah diskusi forum kecil itu, Derek Mote sesepuh mahasiswa mengatakan, mendapatkan asrama dan bantuan studi itu HAK mahasiswa. HAK itu ada dan HAK itu harus mahasiswa dapat. Namun selama ini pemerintah Nabire memperlakukan adik-adik tidak manusiawi. Padahal mahasiswa ini adalah anak-anak dari pemerintah. Pemerintah itu orang tua kita, maka mestinya dia perhatikan kita.

“Saya sebagai sesepuh sangat sedih melihat kalian (mahasiswa) harus menyewa tempat pertemuan, harus tinggal dua tiga orang di satu kamar, dan ada yang putus studi karena tidak ada biaya. Selama ini pemerintah justru sibuk dengan politik. Terutama tentang Pemekaran Provinsi Irian Jaya Tengah, Kotamadya Nabire dan pemekaran Kabupaten Dogiyai. Ini tidak benar. Bahkan anehnya HAK mahasiswa itu justru di bawah ke dalam masalah politik. Artinya HAK mahasiswa dipolitisir,” kata Derek Mote tugas belajar dari PT Freeport Indonesia di Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan Yogyakarta ini.

Kata Derek, kita berdoa saja, mudah-mudahan bantuan pendidikan yang adalah HAK kita itu selanjutnya tidak tergadai oleh kepentingan tertentu. Pemerintah Nabire bagaimanapun juga adalah orang tua kita, maka mereka tetap akan memperhatikan kita.

SMP dan SMA Baru: Proyek Jitu Era OTSUS
Pendidikan yang pada hakikatnya membantu manusia (muda) untuk menemukan diri dan mengantarkan ke arah alam kedewasaan untuk membebaskan diri dari berbagai keterbelakangan sungguh tidak nampak di Papua. Jangan heran bila berpuluh-puluh tahun anak-anak di pedalaman harus belajar tentang Becak, Kereta, Gunung Bromo, Ini Bapak Budi dan segala macam yang ada di Jawa. Ini pendidikan abstrak atau pendidikan pembodohan. Membuat orang tidak mengenal tentang dirinya, lingkungan dan yang penting tentang masa depannya.

Mereka tidak berkembang sungguh. Pemberlakuan Otonomi Khusus (otsus) di tanah Papua seakan menjadi angin segar untuk melakukan perubahan di berbagai bidang, termasuk pembangunan pendidikan. Namun dari sistemnya orang Papua masih belum bisa berbuat banyak. Orang Papua hanya bisa membangun dari sisi fisik, yaitu sekolah baru dan perbaikan sekolah yang sudah ada, namun itupun belum sepenuhnya.

Sana sini masih banyak yang harus dibenahi. Angin segar yang dibawa oleh Otsus ini dimanfaatkan oleh banyak orang. Pemanfaatannya dari sisi yang mendatangkan uang, yaitu memperbanyak sekolah. Hampir di setiap kabupaten orang mulai membuka sekolah baru “banyak-banyak”. Apakah itu negeri maupun swasta atas nama SDM.

Sumber Daya Manusia Papua yang tertinggal menjadi alasan utama mengejar dana Otsus yang memang tidak sedikit. Peluang ini diintip oleh orang-orang tertentu di Papua, khususnya di Nabire. Banyak orang mengusulkan ke pemerintah untuk membuka sekolah baru. Mereka bersembunyi di balik ketertinggalan. Ketertinggalan benar-benar menjadi daun untuk membungkus proyek kejahatan kemanusiaan itu. Kejahatan kemanusiaan karena usulan pembanguan “sekolah baru” itu tanpa pertimbangan berbagai hal yang harus dipenuhi (fasilitas, guru, kurikulum, sistem pembelajaran dan tetek bengek lainnya) yang harus diperhatikan di sebuah “sekolah baru”.

Hasil dari institusi pendidikan bernama sekolah itu hanya nilai dan ijazah. Di sekolah yang dibangun dengan dasar yang tidak bagus, pembelajaran terjadi hanya sebatas transfer pengetahuan. Siswa seakan menjadi kertas kosong yang dicorak-coret oleh guru semaunya. Guru menjadi mahatahu, siswa belajar, guru mengajar. Tidak ada keterampilan, pendidikan dan moral. Cara ini namanya marginalisasai dengan cara paling rapi dan baru, yaitu pembodohan orang Papua oleh orang luar dan orang sendiri di era Otsus. Pemerintah daerah harus berani membongkar pembodohan berkedok “pembangunan sumber daya manusia” ini.

Jumlah sekolah yang banyak tidak menjamin peningkatan SDM. Sumber daya manusia hanya akan terbangun apabila lembaga yang bernama sekolah itu benar-benar dibangun dengan guru, fasilitas, manajemen serta sistem pembelajaran yang baik. Keberanian pemerintah diuji di sini, apakah pemerintah berani dan memunyai visi yang mulia untuk SDM sehingga mengefektifkan kembali sekolah-sekolah yang ada. Artinya mengurangi dan melengkapi. Kongkretnya bubarkan saja sekolah-sekolah yang terkesan main-main dan hanya cari uang tanpa membangun SDM dan fasilitas untuk benar-benar membangun sumber daya manusia. Pemerintah memang selektif karena kini sekolah sudah menjadi bisnis (kapitalisme yang licik---istilah Ivan Ilich).

Dalam diskusi, Alumnus SMTP Pertanian Nabire, Derek Mote mengatakan, sekolah-sekolah SMA yang baru itu justru akan melahirkan penggangguran baru yang tidak terampil. “SMA Negeri 3 Bomonani dan SMA Negeri di Moanemani misalnya, tidak akan menghasilkan apa-apa. Salah satu sekolah dari dua SMA itu harus segera dijadikan SMK. Daerah pedalaman harus dibangun sekolah yang sesuai dengan keadaan lingkungan dan masyarakat. Kebanyakan masyarakat di pedalaman itu masih petani dan peternak tradisional, sehingga perlu dibangun atau salah satu SMA diganti dengan SMK. Harapannya pertanian dan peternakan tradisional itu lambat laun meningkat menjadi pertanian dan peternakan semi modern,” kata mahasiswa yang menyelesaikan sekolah dasarnya di SD Negeri Moanemani dan menyelesaikan SMP Negeri Bomomani Mapia itu.

“Akta 4” Instan di Kabupaten Nabire?
Sejarah selalu berulang. Dulu, guru-guru "dikejar-kejar" akta mengajar. Sekarang para sarjana non-kependidikan "mengejar-ngejar" akta mengajar. Tidak salah memang, karena bunyi salah satu pasal Undang-Undang Guru dan Dosen adalah kewajiban setiap tenaga pengajar memiliki akta mengajar. Selain UU yang mewajibkan “Akta 4” juga di daerah-daerah seperti Nabire yang kekurangan guru adalah hal yang menggembirakan apabila para sarjana non-kependidikan mengejar-ngejar “akta 4” . Semakin banyak sarjana non-kependidikan yang “mengejar-ngejar”“Akta 4” semakin terpenuhi pula kekosongan guru di sekolah.

Terpenuhinya tenaga guru itu tidak hanya dari sisi kuantitas tetapi juga dari sisi kualitasnya. Lantas, program “Akta 4”/Mengajar bertujuan untuk membekali kompetensi mengajar yang profesional. Kompetensi bidang studi dan memadukannya dengan metodologi pembelajaran yang tepat baik secara teoretik maupun praktik untuk diimplementasikan dalam proses pembelajaran. Karena tidak hanya kuantitas maka, program “Akta 4” membekali kompetensi mengajar bagi sarjana non-kependidikan. Program Akta-4” ini mensyaratkan beban studi 36 SKS sampai dengan 40 SKS dengan kurikulum paket yang dapat diselesaikan dalam waktu 2 (dua) semester.

Fenomena yang terjadi di kabupaten Nabire tidak semulia itu. Dikabarkan, salah satu kepala SMP swasta di kota Nabire membuka kesempatan bagi sarjana non-kependidikan untuk mendapatkan “Akta 4” dalam waktu yang singkat. Konon, “Akta 4” yang mensyaratkan beban studi 36 SKS sampai dengan 40 SKS dengan kurikulum paket yang dapat diselesaikan dalam waktu 2 (dua) semester itu dapat diperoleh secara instan.

Fenomena ini, memang suatu keuntungan bagi yang membutuhkan atau terdesak oleh kebutuhan ekonomi dan harus cepat kerja. Namun masalahnya mungkin mengenai mutu pendidikan yang ditawarkan para pengelola "Akta 4" itu. Apakah dapat dijamin menghasilkan tenaga pengajar dan pendidik handal, atau sekadar memenuhi formalitas kepemilikan sertifikat? Dalam hal ini, pihak yang berwenang wajib memperhatikannya.

Politisasi Ujian Nasional: Siswa Lulus atau Meluluskan
Meluluskan sama dengan menjadikan lulus; diluluskan (ada bantuan/siswa pasif ). Sementara lulus berarti berhasil dalam ujian tanpa unsur bantuan. Standar keberhasilan pendidikan di sebuah sekolah atau sebuah kabupaten diukur dengan kompetensi lulusan. Bicara soal hakikat dari pendidikan berarti nilai serta kelulusan itu bukan ukuran. Ukurannya adalah sejauh mana siswa itu menjadi kompeten dengan apa yang dia pelajari, menjadi dirinya sendiri, mengenal diri dan lingkungannya, memiliki wawasan untuk saat ini dan ke depan.

Bagaimana siswa dapat memahami dan menerapkan apa yang dipelajarinya di ruang kelas dalam kehidupan nyata, baik keterampilan maupun sikap. Dia dapat mencerminkan kompetensinya melalui nilai di atas kertas tanpa bantuan apa-apa dalam ujian dan dari siapapun. Membantu siswa pada saat ujian itu jelas-jelas membunuh anak untuk tidak berkembang. Budaya itu harus kita tinggalkan. Ada beberapa kasus terkait Ujian Nasional yang terjadi di Nabire beberapa waktu lalu menarik untuk disoroti.

Pada ujian tahun 2006, misalnya dikabarkan beberapa sekolah di Nabire sudah mendapatkan soal ujian beberapa hari sebelum pelaksanaan Ujian Nasional. Guru mengajarkan para siswa berdasarkan soal Ujian Nasional yang telah didapatnya. Kemudian apabila masih ada siswa yang tidak lulus, maka pada ujian susulannya siswa hanya mengisi nama, kemudian blangko isiannya di isi oleh guru. Hasilnya adalah lulus seratus persen.

Lulus seratus persen di sekolah tertentu dengan proses meluluskan ini dinilai sebagai keberhasilan sekolah bersangkutan maupun bagi pemerintah. Sekolah yang benar-benar meletakkan pendidikan pada hakikatnya dan bila pada saat Ujian Nasional tidak lulus beberapa orang maka sekolah tersebut harus dicap tidak berkualitas. Jadi sekolah tertentu termasuk pemerintah melihat keberhasilan pembelajaran bukan dengan kompetensi tetapi sejauh mana sekolah itu membantu meluluskan siswanya pada ujian nasional. Kompetensi siswa adalah urusan belakang.

Yang penting semua siswa harus diluluskan demi gengsi dan kepentingan. Kalau pendidikan masih harus dipolitisir demi nama baik sekolah dan pemerintah semata, maka itu merupakan penggianatan atas pembangunan sumber daya manusia yang sesungguhnya, yaitu mempertemukan manusia dengan kodrat sejatinya KEMANUSIAAN. Kita harus mengakhiri!

Dana BOS: Bantuan untuk BOS, Kepala Sekolah, atau OS?
Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) berasal dari kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) untuk meringankan beban pendidikan. Terutama untuk meringankan uang SPP bagi siswa. Namun kenyataan berkata lain. Siswa tetap membayar SPP dalam jumlah yang sama degan sebelum ada BOS, bahkan bertambah mahal.

Persoalannnya tidak hanya itu, penyaluran dana BOS di Kabupaten Nabire justru mengisahkan beberapa pertanyaan, apakah dana BOS ini untuk Bos (pejabat terkait), untuk kepala sekolah, untuk OS (operasional sekolah) atau justru ketiga-tiganya? Saya akan bercerita. Ini menarik.

Ada tiga cerita. (1) “Dana BOS bantuan untuk Bos?” Akhir tahun 2005, saya amati para kepala sekolah SD dari pedalaman Nabire membanjiri kota Nabire. Mereka tinggal berbulan-bulan. Setiap hari pulang pergi ke kantor dinas pendidikan seakan-akan sudah menjadi kantor mereka. Suatu ketika saya bertanya kepada seorang kepala SD. “Pak, akhir-akhir ini guru-guru SD memenuhi dinas pendidikan hampir setiap hari itu ada apa? “Kami menunggu pencairan dana BOS dari dinas,” katanya menjelaskan.

Bapak guru kepala SD dari pedalaman ini mengatakan bahwa dia dan teman guru lainnya sudah berbulan-bulan menunggu pencairan dana BOS. Ketika ditanya mengapa lama-lama, pak guru itu mengatakan, pihak dinas menunda-nunda hingga berbulan-bulan untuk membangikan dana BOS. Semua data yang diminta telah kami kumpulkan. Pada awalnya ambil uang di kantor pos, kemudian dialihkan ke bank Papua, lalu katanya pemrintah akan membukakan rekening di Bank Rakyat Indonesia (BRI).

Saya hanya dengar cerita itu. Selanjutnya saya tidak tahu, dana BOS dibagikan setelah berapa lama, melalui bank apa, dan dalam bentuk apa? Apabila tidak dijelaskan dengan baik mengapa harus lama, mengapa pada awalnya lewat A lalu berubah lewat B dan seterusnya berarti ini menjadi wilayah abu-abu yang meninggalkan pertanyaan. Jumlah dana yang besar, jangka waktu di bank lama, bunganya berapa? Dari tempat A ke tempat B juga kalau diberikan keterangan bisa memunculkan kecurigaan persekongkolan. Kalau tidak transparan, pertanyaan “Dana BOS bantuan untuk BOS (?), bisa menjadi jawaban dalam konteks ini.

(2) Dana BOS bantuan untuk kepala sekolah? Suatu ketika salah satu staf direktorat Jendral Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda, Departemen Pendidikan Nasional melakukan kunjungan kerja di daerah. Pada saat itu dia lebih banyak bergaul dengan para guru. Dia juga tanya-tanya dan cari tahu informasi tentang penggunaan dana BOS kepada guru-guru. Sebagian guru tidak tahu bahwa dia dari Jakarta. Secara spontan seorang guru berkata, “Aduh bagi dana BOS cepatkah? Saya banyak utang jadi. Orang-orang yang punya utang ada tunggu di rumah. Saya sudah janji untuk ganti mereka punya uang dengan dana BOS.” Karena penasaran staf dari pusat ini berkomentar lagi, “Iyo sekolah kami juga ada pinjaman untuk perbaiki kursi dan meja”. Lalu kata guru yang tadi, “Kalau saya punya itu utang pribadi. Bukan atas nama sekolah”.

Cerita ini juga mengisahkan betapa banyak guru di pedalaman merasa bahwa dana BOS adalah uang pribadi mereka sehingga menggunakan seenaknya untuk kepentingan mereka. Kalau hal seperti ini yang terjadi, maka benar bahwa dana BOS bantuan untuk kepala sekolah?

(3) “Dana BOS untuk Operasional Sekolah?” Tujuannnya memang mulia adanya. Dana itu merupakan bantuan operasional, khususnya untuk meringankan beban siswa untuk membayar SPP. Dengan adanya dana BOS diharapkan beban siswa untuk membayar SPP berkurang bahkan ditiadakan, namun tagihan tetap saja ada. Sebenarnya, dana BOS itu bukan untuk Bos, bukan juga untuk kepala sekolah dan memang bukan untuk siapa-siapa. Dana BOS memang harus dikembalikan pada tujuan mulianya, yaitu untuk meringankan beban siswa.

Wajah Buram Pendidikan Dasar di Pedalaman Nabire
Seorang anak SMA di Nabire melaporkan, pendidikan di daerah pedalaman (pegunungan) kabupaten Nabire sangat hancur atau sangat tertinggal dari daerah daerah lain. Dari data yang ada jumlah sekolah yang terdapat di daerah pedalaman (pegunungan) kabupaten Nabire sekitar 60-an sekolah dasar. Sekolah-sekolah tersebut terdapat dalam 4 distrik di antaranya: Kecamatan Sukikai, Kecamatan Mapia, Kecamatan Kamuu dan Kecamatan Ikrar Idakebo.

Dari sekian banyak sekolah tersebut, hanya 4 sekolah yang murid-muridnya dapat menerima pelajaran dengan baik dan lancar, karena gurunya dan fasilitasnya (gedung sekolah) lengkap, yaitu: SD YPPK St. Maria Timepa, Kecamatan Mapia, SD INPRES Bomomani, Kecamatan Mapia, SD YPPK St. Yoseph Moanemani, Kecamatan Kamuu, dan SMP YPPK St. Fransiskus Asisi Moanemani, Kecamatan Kamuu, sehingga murid-murid dari ke empat sekolah tersebut boleh dikatakan menonjol dari sisi prestasinya. Terutama dari sisi berberbahasa Indonesia, berhitung, bergaul dengan masyarakat luar dan sebagainya. Keempat sekolah ini merupakan sekolah yang dianggap mutunya agak baik di daerah pegunungan (pedalaman) Kabupaten Nabire. Sedangkan sekolah–sekolah yang lain murid-muridnya tidak dapat menerima pelajaran dengan baik karena beberapa hal.

Pertama, kurangnya guru di setiap sekolah, misalnya saja, SD INPRES Deneiode (Kecamatan Sukikai) 6 kelas ditangani oleh 1 (satu) guru, yaitu pak guru Benendiktus Magai karena guru di sekolah tersebut hanya dia sendiri; SD YPPGI Adauwo 6 kelas ditangani oleh 3 guru; SD YPPGI Magode, 6 kelas ditangani oleh 2 guru; dan masih ada sekitar 50-an sekolah. Ini bukan fiksi, ini fakta di lapangan yang didata oleh seorang siswa SMA di Nabire. Keterbelakangan siswa bukan karena murid-muridnya yang tidak mampu tetapi karena tidak ada guru yang bersedia untuk mengatur, menjaga, mengajar, mengarahkan dan mendidik mereka. Kebanyakan guru tinggal di kota dan mereka ke pedalaman hanya pada saat ujian.

Belum ada pengawasan langsung dari dinas pendidikan setempat. Sementara itu guru-guru yang masih mengajar di setiap sekolah di pedalaman (pegunungan) kabupaten Nabire semuanya sudah lanjut usianya, pak guru Leonardus Degei, 63 tahun usianya, pak guru Marius Petege, 66 tahun usianya, dan masih bayak guru lain yang se-umur dengan mereka. Tidak ada upaya persiapan guru dari dinas setempat atau pemerintah untuk menggantikan mereka. Sebenarnya dari pemerintah mengirimkan guru-guru pendatang (non pribumi) untuk mengajar di daarah pedalaman tetapi guru-guru tersebut cepat kembali lagi ke kota karena mereka tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya sehingga membuat mereka tidak bertahan hidup di pedalaman.

Epilog: Sebuah Rekomendasi
Pendidikan adalah yang paling baik untuk mengangkat harkat dan martabat manusia. Pendidikan adalah alat pembebasan dari berbagai ketertinggalan. Pendidikan ada untuk mempertemukan manusia dengan kodrat sejatinya, yaitu KEMANUSIAAN. Maka rekomendasi kongkret dan segera dari realitas yang dipaparkan di atas adalah:

Hubungan (komunikasi) antara mahasiswa Nabire tiap kota studi di seluruh Indonesia dengan pemerintah daerah Nabire harus dibangun kembali. Bantuan berupa fasilitas belajar (asrama) dengan pengawasan dan evaluasi berkala adalah suatu hal yang mendesak. Selain itu, beasiswa atau minimal bantuan berkala tiga bulanan atau semesteran bagi mahasiswa Nabire, khususnya bagi mahasiswa yang orangtuanya tidak mampu. Bantuan Praktek Kerja Lapangan (PKL), Kuliah Kerja Nyata (KKN), serta bantuan tugas akhir juga adalah harus diperhatikan. Untuk bantuan yang terakhir ini pemerintah daerah dan pengurus IPMANAB di tiap kota studi di Papua dan luar Papua perlu komunikasi untuk kepentingan pendataan. Pengurus IPMANAB setiap triwulan melaporkan berapa orang yang PKL, berapa yang KKN, berapa yang penelitian, serta berapa orang yang wisuda sekaligus bidang ilmu dari masing-masing mahasiswa. Pendanaan untuk ini harus ditetapkan dari APBD dan tranparansi penyalurannya adalah hal yang penting umtuk kelancarannya.

Sesuatu yang awalnya baik, prosesnya baik tetapi akhirnya tidak baik adalah roh jahat. Sekolah-sekolah baru, terutama SMA awalnya untuk membangun SDM orang Papua, prosesnya baik, hasilnya adalah nilai tinggi tetapi tidak berkompeten juga adalah kapitalisme yang licik. Sekolah yang benar adalah sekolah yang mendampingi anak-anak untuk belajar menemukan diri, mengenal lingkungan, mengenal masa depan dan mempersiapkan secara kognitif, afektif dan psikomotorik sehingga benar-benar menjadi kompeten. Banyak sekolah baru di Nabire akan menjadi roh jahat dalam pembangunan sumber daya manusia. Maka, bila perlu pemerintah mengefektifkan sekolah-sekolah baru. Sekolah Menengah Atas (SMA) yang tidak sesuai dengan konteks daerah juga akan melahirkan pengangguran baru yang tidak kompeten. Maka, beberapa SMA di pedalaman, khususnya SMA Negeri Bomomani dan SMA Negeri Moanemani harus diganti menjadi SMK pertanian dan peternakan.

“Akta 4” mensyaratkan beban studi 36 SKS sampai dengan 40 SKS dengan kurikulum paket yang dapat diselesaikan dalam waktu 2 (dua) semester tidak dapat diperoleh secara instan. Hal ini terutama, jika kita ingin membangun sumber daya manusia Papua, khususnya kabupaten Nabire. Membangun manusia bukan instan seperti yang dilakukan oleh salah satu kepala SMP swasta di Nabire itu. Kita butuh proses. Yang dilakukan kepala SMP swasta di Nabire itu adalah menyelamatkan yang gurunya untuk saat ini dan membunuh yang bibit (masa depan anak-anak Papua). Pemerintah seharusnya bertindak tegas dan menghentikan atau mengelola dengan benar demi generasi Papua yang akan di datang.

Biarkan Ujian Nasional mengevaluasi kompetensi siswa secara benar. Saatnya kita tinggalkan gengsi dan politisasi ujian nasional. Dengan membiarkan siswa mengerjakan sendiri tanpa bantuan, akan membantu kita untuk mengevaluasi keberhasilan sekolah dan khususnya siswa. Yang harus dibantu adalah bukan pada ujian nasional. Kita harus membantu dalam proses belajar siswa di sekolah. Dinas terkait bisa membantu siswa dengan menyediakan fasilitas perpustakaan umum meningkatkan profesionalisme tenaga pengajar, melakukan evaluasi semester dan lainnya. Bagi sekolah dan guru adalah dengan proses pendampingan yang serius. Kita harus beralih ke budaya lain yang lebih rasional.

Dana BOS untuk Operasional Sekolah. Itu tujuan utamanya memang. Dana itu merupakan bantuan operasional, khususnya untuk meringankan beban siswa untuk membayar SPP. Dengan adanya dana BOS diharapkan beban siswa untuk membayar SPP berkurang bahkan ditiadakan. Jangan membebani siswa dan orang tua dengan biaya yang tidak penting di era BOS. Yang jelas, dana bos itu bukan untuk Bos, bukan juga untuk kepala sekolah dan memang bukan untuk siapa-siapa. Dana BOS memang harus dikembalikan pada tujuan mulianya, yaitu untuk meringankan beban siswa. Kita harus berani!

Salah satu indikator keberhasilan pembangunan di kabupaten Nabire adalah pembangunan pendidikan dasar di pedalaman Nabire. Maka pendidikan di pedalaman Nabire harus ditangani secara khusus dan serius. Pelengkapan fasilitas, terutama buku-buku pelajaran, peningkatan profesionalisme guru dengan evaluasi yang benar, serta beasiswa putra pedalaman untuk belajar di bidang keguruan juga harus dilakukan oleh pemerintah. Sebenarnya, permasalahan pendidikan tidak sekedar itu (bisa jadi bukan itu yang utama) tetapi persoalan-persoalan pokok dan nyata di kabupaten Nabire yang dipaparkan di atas ini perlu di diskusikan secara lebih serius dan mendalam untuk menemukan kebenaran dan mencarikan solusi yang lebih mendalam demi perubahan pendidikan kota kita tercinta, Nabire.

*) Sekretaris Komunitas Pendidikan Papua

Catatan: Tulisan ini pernah dipublikasikan melalui www.wikimu.com

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut