Reformasi Pendidikan Papua

Jumat, Agustus 03, 2007

Oleh Yermias (Ignatius) Degei *)

Berbicara tentang “Reformasi Pendidikan untuk Pembebebasan Papua” terkesan idealis, dan politis. Namun ide untuk menulis tulisan ini justru muncul ketika mengamati sistem pendidikan Papua yang terkesan dipolitisir. Dengan demikian idealisme anak bangsa untuk mengembalikan eksistensi manusia Papua serta segala isinya melalui reformasi pendidikan adalah jawabannya. Artinya pembebasan manusia Papua adalah melalui reformasi pendidikan Papua. Pokoknya reformasi pendidikan Papua!.

Mengapa Harus Direformasi? Bagaimana mereformasinya? dan apa yang ingin kita capai dengan mereformasi pedidikan? Pertanyaan-pertanyaan di atas bukan sekedar pertanyaan retoris, tetapi membutuhkan jawaban dari berbagai pihak terutama mahasiswa dan masyarakat Papua. Tulisan ini penulis hendak mengarah ke sana. Namun kiranya tidak lebih dari sempurna untuk menjawab tiga pertanyaan tersebut.

Penulis membedah tiga pertanyaan di atas berdasarkan pengalaman dan perkembangan pendidikan Indonesia khususnya Papua, mulai dari pertanyaan nomor satu hingga ketiga. Mengapa Harus Direformasi? Berbicara tentang pendidikan, sampai kapan pun tak akan pernah basi. Masalah pendidikan tetap aktual dibicarakan di belahan dunia mana pun, tidak hanya di lembaga-lembaga pendidikan tetapi juga di lembaga pemerintahan dan lembaga masyarakat. Karena, hakikat pendidikan adalah (meminjam istilah dari Diryarkara) memanusiakan manusia. Membuat manusia sebagaimana manusia, menghargai harkat dan mastabatnya. Pendidikan itu untuk membuat manusia sadar akan dirinya dan kehidupannya, orang lain, lingkungan hidup, dan bangsanya.

Pendidikan itu bukan untuk membelenggu manusia tetapi untuk membebaskan manusia dari ketertinggalannya ke arah kemajuan. Paulo Freire sudah membuktikan hal itu negerinya. Bahwa pendidikan itu memang untuk membebaskan manusia. Pendidikan adalah pencerahan masyarakat manusia. Sudah terbukti pula di berbagai belahan dunia. Saksikan di negara-negera Eropa, Jepang, Cina, Amerika dan masih banyak negara lainnya. Mereka sungguh mengahargai pendidikan dan menjadikan pendidikan sebagai dasar pembebasan.

Namun yang terjadi di Indonesia berbeda. Pendidikan seakan-akan dilupakan, ironis sekali sekarang pendidikan menjasi ajang bisnis. Kotak-ganti kurikuklum, sistem pendidikan nasional tidak membuhkan hasil. Terkesan hanya membung-buang biaya dan tenaga, sementara mutu pendidikan tidak diperhatikan. Negeri ini seakan tidak peduli dengan kualitas, lebih memilih kuantitas. Ujian Akhir Nasional yang menimbulkan sorotan publik salah satu contoh bahwa pemerintah kita lebih senang kuantitan. Mereka lebih memilih nilai, daripada bagaimana siswa itu memilki nilai-nilai hidup dalam pendidikan. Pemerintah lebih mengutamakan kognitif, daripada afektif dan psikomotorik.

Ini realita yang dihadapi negara kita. Dalam hal ini, ide pendidikan untuk pembebasan yang di gulirkan oleh Paulo Freire menemukan relevansinya. Pendidikan model ini menekankan pada tranformasi pengetahuan yang memihak pada kemanusiaan universal. Jika pada pendidikan gaya bank murid hanya difungsikan sebagai obyek yang kosong dan tidak tahu apa-apa, sedangkan seorang pengajar melakukan tugasnya hanya sekedar menggugurkan kewajiban dan menyampaikan apa yang diketahuinya.

Jadi, kebebasan berpikir kritis dan pengembangan sikap tidak mendapatkan porsi sama sekali. Selain itu, pengajar kurang punya tanggungjawab moral dan sosial terhadap masa depan pengajar dan bangsa. Dalam pendidikan lokalitas dan pendidikan untuk pembebasan, pengajar dan pembelajar memahami realitas lokalnya. Misalnya, perlu adanya kesadaran akan karakter budaya dan lingkungan setempat.

***
Dari gambaran di atas, berbagai alternatif perlu dicari dan diusahakan bersama untuk menyelamatkan manusia Papua dari pandangan-pandangan yang selama ini kurang diterima. Untuk itu, dalam pembelajaran siswa harus mengenal karakteristik lingkungan mereka, sebagai sumber kekuatan mereka, untuk mengenali benar apakah lingkungan mereka potensial mempunyai daya dukung terhadap kehidupan mereka. Bila potensial, maka mereka harus mampu memberdayakan secara profesioanal untuk kesejahteraan mereka dan mempersiapkan pengetahuan dan keterampilan untuk pemberdayaan manusia melalui pendidikan. Dan apabila tidak potensial, pembelajar memberikan pandangan keluar dari daerah itu.

Namun sesuai situasi dan lingkungan Papua. Kiranya pendidikan lokalitas mampu manjawab tantangan kehidupan yang belum terbuka secara luas untuk mengenal dunia luar. Pembelajaran sepatutnya memberikan wawasan kerja sesuai dengan lingkungannnya. Hal ini sangat mendudukung pembelajar setelah selesai dari tingkat pendidikan dasar maupun tingkat atas. Kemudian langkah selanjutnya tergantung dari pembelajar, yang penting dia memiliki suatu ketrampilan atau hasil dari pendidikan yang dia tempuh. D

alam rangka mencari alternatif pendidikan Papua yang lokalitas, maka beberapa syarat perlu diperhatikan seperti yang di sampaikan (Djohar, 2002a*) dalam seminar pendidikan yang diadakan oleh lembaga pendidikan dan penelitian Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Maka membutuhkan: kemerdekaan pembelajar untuk memilih, artinya kebebasan memilih harus diserahkan kepada pembelajar sendiri; wawasan alternatif pilihan; tersedianya pilihan; kemampuan untuk memilih, serta belum tersedia pilihan maka dibutuhkan juga kemampuan pembelajar untuk berimajinasi terhadap keadaan di luar yang di alami pembelajar; kemampuan memilih berdasarkan tarik menarik antara kekuatan dari berbagai kepentingan yang mempengaruhi; kesiapan keahlian atau keterampilan sesuai dengan persyaratan yang dibutuhkan; siswa harus mengenal lokalnya. Maka pendidikan itu harus diusahakan untuk mampu menumbuhkan imajinasi anak, berwawasan, mampu melihat alternatif, mampu memutuskan untuk memilih alternatif dengan pertimbangan-pertimbangan sendiri, perenungan atas adanya kekuatan tarik menarik yang dirasakan, pendidikan tidak sentris sekolah, dan pemahaman lokalnya.

Berkaitan dengan hal di atas, kalau kita melihat kehidupan masyarat Papua khususnya pegunungan, mereka benar-benar nikmat akan lokalitasnya. Yang perlu dipikirkan bersama adalah bagaimana mereka bisa nikmati sesuai dengan apa yang mereka nikmati sekarang ini. Maka para palaku pendidikan termasuk mahasiswa, diajak untuk mencermati secara benar potensi lokal, diberdayakan secara optimal dari segi “natural” sehingga situasi lokalnya menjadi sumber daya yang berguna bagi masyarakat.

Pemanfaatan kekuatan komunitas dan alamnya sangat diperlukan sebagai modal inspirasi. Pembicaran ini tidak terbatas pada lokalitasnya, tetapi wawasan nasional di luar lokalitas-kontekstual juga diperlukan meskipun yang menanggap tidak begitu banyak. Maka apabila ditanggapi sebagian dari mereka maka diharapkan mereka memiliki imajinasi nasional. Wawasan global juga perlu diberikan sehingga segala kesempatan tidak terbuang begitu saja. Sistem pembelajaran ini menuntut guru yang profesional dan harus mempunyai wawasan yang luas. Wawasan yang luas sangat mendukung untuk membuat pembelajaran tidak monoton dengan berbagai kesempatan yang sengaja tersedia.

Akhirnya dengan perhatian yang serius mencari alternatif-alternatif pendidikan yang menyelamatkan individu dari semua pelaku pendidikan termasuk pemerintah daerah. Pendidikan harus mampu menciptakan manusia yang mampu bersaing dalam segala bidang terutama dalam dunia kerja.

Tulisan ini rasanya belum mampu memberikan sesuatu, namun tindak lanjud dari tulisan ini sangat diharapkan untuk berjuang membebaskan manusia Papua dari perbudakan segala bidang, terutama dibidang pendidikan. Berbahagialah bangsa yang mengutamakan pendidikan, merubah dan merekayasa dari waktu ke waktu disesuaikan dengan perkembangan zaman, karena mereka akan menjadi tuan di negeri sendiri.

*) Sekretaris Komunitas Pendidikan Papua

Catatan: Tulisan ini pernah dipublikasikan pada 06 Agustus 2004 melalui http://www.westpapua.net/news/04/08/060804-reformasi_pendidikan_papua-5483.html

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Itu idealnya. Papua itu benar-benar membutuhkan orang untuk mereformasi pendidikan. Kalau tidak segera. Ya sudah biarkan saja kemanusiaanya manusia Papua itu terjerus bersama hiruk pikuk bisnis dan prokyek pendidikan di Papua.

Papua dalam Kota mengatakan...

dalam beberapa forum diskusi saya melihat masi banyak dari kita, (mahasiswa Papua) yang kemampuan penalrannya masi sangat kurang. Pernyataan-pernyataan yang sering dilontarkan biasanya hanyalah kalimat-kalimat yang mereka hafalakan ketika mendengar atau membaca subua karaya. Akhirnya unsur kekinian, dan kaitan dengan konteks pembahasan menjadi jauh dari pernyataan mereka.

saya pikir, perlu ada semacam konsesus dari para pendidik di papua agar tidak hanya menjadikan anak-anak sebagai bank data tetapi bagaimana membuat mereka mampu mengelola data-data itu. (timakasi)

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut