Oleh Longginus Pekey*)
“Saya melihat di televisi orang tidak memiliki ijazah ada yang sukses menjadi pengusaha besi bekas” Kata Hilmy, siswa kelas tiga sekolah alternatif SMP Qaryah Thayyibah di lereng Gunung Merbabu. Ia tenang-tenang saja dan tidak begitu peduli dengan hasil Ujian Nasional (UN) (Kompas, 24/5/06).
Ungkapan di atas tidak mudah diterima oleh sebagian besar orang di negeri ini, terutama orang tua siswa dan siswa yang tidak lulus UN. Bahkan ditemukan ada siswa yang frustrasi dan bahkan mencoba bunuh diri, karena merasa gagal, terutama menghadapi tuntutan orang tua ataupun guru bahwa anaknya harus lulus UN.
Dalam hal itu, pada saat UN kecurangan sering terjadi, misalkan menyontek atau dengan sengaja ada pihak tertentu (guru) membeberkan soal sebelum pelaksanaan UN, karena sekolah ingin menampilkan mutu yang “semu” hanya untuk mendapat jempol dari orang tua murid dan pemerintah. Ya, kalau tidak mau dibilang bisnis pendidikan. Barangkali pemerintah setempatpun membiarkan bocornya soal UN? Entalah!
Kembali pada ungkapan Hilmy di atas. Ungkapan Hilmy dan realitas berpikir kita bertolak belakang. Bahkan dilema. Di satu sisi kita sekolah untuk mendapat ijazah dan mencari pekerjaan. Di sisi lain ada fakta, bawa ijazah bukan satu-satunya untuk mencapai kesuksesan. Dari ke dua kondisi nyata seperti itu tidak bisa ditolak dan tidak salah kalau kita memandang ijazah sangat penting. Begitupun sebaliknya bila dikatakan ijazah tidak penting sebagai tolak ukur sukses seseorang.
Dengan begitu, kedua pandangan seperti itu pantas untuk direfleksikan, tanpa mendeskreditkan salah satunya, muncul pertanyaan mendasar, mana yang paling penting. Memperoleh pendidikan, sekolah, atau memperoleh ijazah? Ada banyak jawaban. Tetapi yang jelas menurut Dr. Mochtar Buchori (1993) ada tiga jawaban.
Pertama, pandangan pendidikan adalah yang terpenting. Paulo Freire ahli pendidikan dari Amerika Latatin yang pernah memprakarsai pembebasan buta huruf berpedapat bahwa pendidikan adalah sebagi basis pembebasan. Ia pernah menemukan bahwa orang dewasa manapun dapat belajar membaca dalam waktu empat puluh jam (Ivan Ilic 1982). Lebih jauh lagi dari pembebasan buta huruf itu, pendidikan pada prinsipnya adalah membebaskan manusia dari keterasingannya, membuat orang menjadi semakin kritis menghadapi persoalan hidup, terutma dewasa ini.
Menurut pandangan ini sebenarnya semua tempat dapat dijadikan sekolah. Entah itu di laut, darat, gunung, lembah maupun di mana saja di setiap tempat dapat dijadikan untuk memupuk ilmu sesuai konteks hidup dari setiap individu. Pemahaman seperti itu terkait erat dengan inti pemahaman mengenai pendidikan menurut Dr. Mochtar Buchori (1993), yaitu sebagai proses pemupukan pengetahuan, keterampilan dan sikap untuk mewujudkan segenap potensi yang ada dalam diri seseorang.
Kedua, pandangan bahwa yang penting sekolah. Kualitas ataupun mutu sekolah tidak diperhatikan. Kelompok ini meyakini bahwa yang penting bisa sekolah, mau jadi apa urusan belakangan. Karena memang menurut Dr. Mochtar Buchori (1993) sejak dulu orang tahu sekolah tidak lain dari wahana yang dipergunakan untuk melangsungkan proses pendidikan.
Walaupun menurut Iva Illich melalui bukunya Bebas dari sekolah (1982) secara radikal menolak sekolah, karena di era yang kapitalistik sekolah menjadi pembanding bagi si miskin dan si kaya. Seperti yang mulai ataupun sedang tampak di negeri ini sekolah menjadi tampilan menarik dengan wajah sebagai pembanding antara kelas sosial. Orang kaya mendapat fasilitas dan media pembelajaran yang baik dibandingkan yang miskin. Selain itu sekolah sebagi institusi formal selama ini pemerintah mengeluarkan uang besar, namun sampai sekarang belum menunjukan kemajuan mutu pendidikan.
Ketiga, pandangan yang berasumsi pada ijazah. Menurut Dr. Mochtar Buchori (1993) ijazah memang penting sebagai tanda pengakuan, bahwa seseorang telah menyelesaikan suatu program pendidikan tertentu. Hanya saja ada pemahaman yang agak keliruh, apapun pendidikan yang didapat, melalui cara apa saja yang penting mendapatkan ijazah. Pandangan sepeti ini sangat berbaya, karena bisa mendorong kita untuk bersifat instan dan spekulatif, tidak menghargai proses pendidikan, karena kesannya yang penting dapat ijazah ilimunya belanganan. Pemikiran itu terkadang didukung oleh pihak akademi maupun orang tua yang ingin melihat anaknya cepat selesai dan mendapat kerja. Misalkan saja, tidak jarang kita mendengar ungkapan seorang guru dan dosen, bahkan orang tua mengatakan “sekolah yang rajin biar cepat selesai, mendapatkan ijazah dan bisa bekerja”.
Dari ketiga pandangan itu sebenarnya menurut Mochtar Buchori (1993) sejak dahulu orang sudah memiliki pandangan bahwa pendidikan, sekolah dan ijazah adalah satu kesatuan yang tidak terpisah. Ketiga hal itu bila diperdebatkan hanya membuang waktu dan hanya menguras otak untuk membahasnya, karena akan tidak masuk akal kalau dipertentangkan. Karena semuanya memiliki isi atau substansi yang sama.
Tetapi alam dan situasi serta kondisi sekarang tidak sedikit orang yang ternyata memandang nilai tertulis atau ijazah seperti barang mewah. Dengan begitu orang sekolah memang untuk mencari ijazah. Artinya, di sini terjadi penyatuan pemahaman mengenai pendidikan, sekolah dan ijazah menyatu semakin meluruskan pemahaman kita, bahwa sekolah bila diartikan sebagai wahana mendapatkan pengetahuan atau pendidikan dan sekolah juga menjadi wahana untuk mendapatkan ijazah.
Dengan begitu kita akui bahwa, di situlah letak penting ijazah terutama sebagai ukuran ilmu pengetahuan atas suatu jenjang pendidikan tertentu. Atau dalam arti lain ijazah sudah selayaknya menjadi tolak ukur dari skill atau kemampuan seseorang, toh sebagai ukuran kompetensi layak dan tidaknya diterima menjadi karyawan. Karena tidak bisa dipungkiri, bahwa ijazah bagi kebanyakan masyarakt kita diidentikan dengan karyawan dan pegawai (negeri ataupun swasta).
Lantas bagaiman dengan lapangan kerja di negeri ini belum bisa menampung para pencari kerja. Sementara setiap tahun penyandang ijazah sarjana, SMA dan SMP yang bertambah. Padahal usaha keras melalui proses sekolah tahap demi tahap yang menyita waktu dan energi sejak tingkat SD, SMP, SMU, Perguruan Tinggi sudah dilakukan untuk mendapatkan ijazah. Dengan begitu, apa yang harus diajarkan di sekolah baik formal maupun noformal harusnya dipikirkan secara matang, agar siswa yang ditamatkan dari sebuah sekoalah (SMP, SMA ataupun Perguruan Tinggi) setidaknya membawa bekal ijazah melainkan ada keterampilan yang bisa dikembangkan di masyarakat.
Jual Beli Ijazah
Lepas dari hal di atas, ada fenomena yang sama sekali tidak terpuji dan tidak mendidik. Saat ini banyak terjadi jual beli ijazah. ”Ada uang ada barang, ada uang ada ijazah dan gelar.” Pernyataan itu menjadi semakin trend pada tahun-tahun terakhir ini. Ada segelintir orang termasuk beberapa pejabat dan artis menyandang ijazah palsu. Mereka membeli dan menggunakan ijazah “aspal” atau asli tapi palsu dengan begitu nyaman.
Hal seperti itu terjadi karena mendapat dukungan dari beberapa universitas dari dalam maupun di luar negeri yang melakukan pembelajaran dengan membuka program “kelas” tertentu bagi pencari gelar. Pembelajarannya dilakukan kapan saja dibutuhkan. Sering dilakukan dalam hotel atau apartemen berbintang. Anehnya walaupun pertemuannya minim, kadang hanya tiga kali pertemuan, namun ada jaminan mendapat gelar sesuai permintaan dan jumlah uang yang dibayar. Perbuatan seperti ini sebenarnya adalah bentuk dari pembodohan dan justru akan merendahkan kualitas dan mutu pendidikan.
Sebenarnya pemakai dan pemberi ijazah palsu tergolong telah melakukan kejahatan. Sama dengan tindakan kriminal karena melakukan kejahatan akademik, hukumannya penjara. Seperti tertera dalam pasal 68 ayat (1) UU Sisdiknas yang berbunyi: “Setiap orang yang memberi ijasah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi dan/atau vokasi dari suatu pendidikan yang tidak memenuhi prasyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan /atau pidana denda paling banyak lima ratus juta rupiah”. Ayat 2 mengatakan: “Setiap orang yang mengunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi dan/atau vokasi yang diperoleh dari suatu pendidikan yang tidak memenuhi prasyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak lima ratus juta rupiah”
Bunyi pasal-pasal itu bukan suatu yang menakutkan atau dapat menghentikan tindakan penggunaan ijazah palsu. Lemahnya penegakan hukum dalam penerapannya menjadi celah besar bagi tindakan kriminal seperti itu. Jangankan teroris mereka yang sudah ketahuan menggunakan ijazah palsu saja diselamatkan dari jebakan hukum. Sehingga meninggalkan kesan aturan dan hukum dibuat untuk dilanggar dan dapat dibeli dengan uang.
Persoalan jual beli ijazah di atasi menjadi semakin rumit karena melibatkan banyak pihak di dalamnya, seperti pihak intansi pemerintahan, pihak kampus dan bahkan keamanan. Yang bisa dilakukan menyangkut persoalan ini, paling tidak adalah merubah cara berpikir masyarakat yang serba instan dengan memberikan pemahaman bahwa, belajar bukan untuk sekolah dan bukan sekedar mencari ijazah, tetapi belajar itu untuk hidup diri sendiri dan membuat orang lain hidup. Lebih penting adalah setelah melalui proses pendidikan tidak menjadi pembunuh kehidupan.
*) Ketua Komunitas Pendidikan Papua
0 komentar:
Posting Komentar