Oleh Harry Nenobais*)
Belakangan ini jika kita perhatikan melalui media cetak maupun media elektronik terlihat kembali maraknya aksi-aksi protes yang dilakukan sebagian masyarakat dan mahasiswa yang berada di Papua maupun di luar Papua terhadap implementasi Otonomi Khusus Papua.
Protes tersebut pada intinya berisi tentang kekecewaan terhadap hasil implementasi otonomi khusus yang sudah tidak lagi sesuai dengan cita-cita yang tercantum dalam UU No. 21/2001. Pada dasarnya otonomi khusus menurut UU No. 21/2001 adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Propinsi Papua dan Rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selain itu pula, di dalam undang-undang ini menghendaki adanya suatu kebijakan yang strategis dalam rangka peningkatan pelayanan, akselerasi pembangunan dan pemberdayaan seluruh rakyat Papua, terutama orang asli Papua. Dengan keberadaan undang-undang ini diharapkan dapat meminimalkan kesenjangan antara Propinsi Papua dengan propinsi lain.
Namun, setelah hampir delapan tahun implementasi otonomi khusus tidak membawa perubahan yang signifikan bagi seluruh rakyat Papua. Keadaan ini diperkuat oleh berbagai hasil penelitian. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Agus Dwiyanto, dkk dalam wadah Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM (2003) terhadap sepuluh propinsi di Indonesia, termasuk Propinsi Papua.
Dalam penelitian tersebut menghasilkan beberapa temuan, yaitu sejak diberlakukannya kebijakan desentralisasi, kualitas dan akes pelayanan publik khususnya kepada masyarakat miskin masih rendah, APBD yang tidak berorientasi kepada kepentingan publik, tetapi lebih berorientasi kepada kepentingan DPRD dan birokrasi, kurang dilibatkannya masyarakat dalam proses perencanaan, implementasi, dan evaluasi kebijakan publik, masih lemahnya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, serta rendahnya kualitas kinerja aparatur pemerintahan daerah.
Keadaan ini semakin diperparah oleh rendahnya kapabilitas dan aksesbilitas masyarakat terhadap penyelenggaraan tata pemerintahan yang berlangsung. Rendahnya kapabilitas dan akseptabilitas masyarakat, membuat kalangan elit lokallah yang lebih dominan menikmati kekuasaan. Mereka telah menjadi "raja-raja kecil" yang membangun "kerajaannya" bagi keuntungan dan kekayaan pribadi. Kenyataan ini pernah dikemukakan oleh Barnabas Suebu (2007): "Saya melihat ada dua dunia di Papua. Pertama, dunia birokrasi yang pesta pora dengan uang otonomi khusus. Kedua, dunia rakyat kecil di kampung-kampung. Dunia yang terus berteriak, menjerit, menangis, miskin dan papa. Mereka hidup dalam kemiskinan dan kebodohan. Bahkan ada yang mati karena lapar".
Aksi protes yang dilakukan oleh sebagian masyarakat dan mahasiswa terhadap hasil pelaksanaan otonomi khusus tentunya perlu dicermati secara arif dan cerdas, sebelum akhirnya menimbulkan permasalahan yang lebih besar dan kompleks. Bertitik tolak pada kenyataan di atas, mungkin kita bertanya. Mengapa implementasi otonomi khusus selama ini tidak dirasakan manfaatnya oleh rakyat Papua? Mengapa dalam perjalanannya otonomi khusus tidak sesuai dengan cita-cita semula? Apa yang keliru dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan yang ada? Sehingga perlu dilakukan perbaikan-perbaikan. Semua ini perlu dicari upaya pemecahannya supaya implementasi otonomi khusus tidak semakin jauh dari cita-cita semula.
Apa itu Good Governance? Good governance atau tata pemerintahan yang baik merupakan konsep yang cukup baru di Indonesia. Konsep ini diperkenalkan ke Indonesia melalui lembaga-lembaga internasional, seperti PBB, UNDP, World Bank dan ADB. Semua lembaga internasional ini berkeyakinan bahwa good governance sebagai penentu untuk mencapai keberhasilan pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan.
Pada tahun 1990 misalnya, di forum pertemuan Komite Bantuan Pembangunan, para menteri dari negara-negara donor sepakat bahwa ada keterikatan erat antara sistem politik yang terbuka, demokratis dan akuntabel, hak individual, beroperasinya sistem ekonomi yang efektif dan berkeadilan, dengan tingkat penurunan kemiskinan. Sebaliknya, sistem administrasi dan kebijakan pemerintah yang buruk di banyak negara berkembang menjadi kendala utama mencapai pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan (lihat Hetifah Sj Sumarto, 2004).
Governance menunjuk pada pengertian bahwa kekuasaan tidak lagi semata-mata dimiliki atau menjadi urusan pemerintah semata. Governance menekankan pada pelaksanaan fungsi governing secara bersama-sama oleh pemerintah dan lembaga-lembaga lain, yaitu swasta/bisnis maupun masyarakat sipil, LSM. Dan kualitas governance adalah faktor terpenting untuk menjamin suksesnya menghapuskan kemiskinan dan membangun fondasi menuju masyarakat yang pro-orang miskin dan berkeadilan (Kateherine Marshall, Direktur Bank Dunia, 2004).
Good governance itu adalah penyelenggaraan pemerintahan secara partisipatif, efektif, jujur, adil, transparan, dan bertanggung jawab kepada semua level pemerintahan, mulai pemerintahan desa/kampung, pemerintahan kabupaten/kota, pemerintahan propinsi dan pemerintahan pusat. Melalui good governance terciptanya keseimbangan di antara tiga aktor yaitu pemerintah, swasta/bisnis, masyarakat sipil dalam penyelenggaraan pemerintahan. Mengapa? Karena masing-masing aktor saling memerlukan dan melengkapi.
Dalam pelaksanaan good governance ada prinsip-prinsip yang harus dihormati oleh semua aktor, yaitu partisipasi, trasnparansi, akuntabel, efektif dan efisien, kepastian hukum, kesetaraan, responsif, konsesus, pengawasan publik, dan profesionalisme. Oleh Karena itu penyelenggaraan sistem pemerintahan harus melibatkan banyak pelaku, jaringan, dan lembaga di luar pemerintah untuk mengelola masalah dan kebutuhan publik.
Perwujudan Good Local Gorvernance
Apakah mungkin good governance dapat terwujud di Papua? Bagaimana realisasi dan mekanismenya? Otonomi Khusus Papua sebenarnya membuka peluang yang amat lebar bagi terciptanya good gorvernance. Hal ini telah banyak dikemukakan David Osbrone dan Ted Gaebler (1992); Manor (1998); Cornwall dan Gaventa (2001) bahwa pemerintahan lokal memiliki peluang besar untuk mendorong demokratisasi karena proses desentralisasi lebih memungkinkan pemerintahan yang lebih responsif, inovatif, produktif, representatif, transparan, dan akuntabel sehingga membuka peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Dengan good local governance maka pemerintah daerah, sektor swasta/bisnis, masyarakat secara bersama-sama bergerak dan bekerja dalam penyelenggaraan pemerintahan. Perwujudan good local governance tentu saja sangat tergantung pada para stakeholders yang terlibat dalan governance itu sendiri. Aspek-aspek yang harus disentuh adalah pada bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Bagi Papua perwujudan good governance sudah sangat mendesak diselenggarakan agar cita-cita otonomi khusus dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh rakyat Papua.
Apalagi saat ini masyarakat Papua yang dicengkram kemiskinan (80%), semakin tidak berdaya ketika berhadapan dengan melambungnya harga-harga kebutuhan pokok. Oleh karena itu, masing-masing aktor perlu memahami tugas dan fungsinya secara baik. Selanjutnya, tentu saja perlu diupayakan terbentuknya relasi yang menuju kepada sinergi di antara tiga aktor tersebut yang bersifat check and balances.
Pemerintah daerah dalam tugas-tugasnya yaitu membuat kebijakan, memberikan pelayanan publik, penegakan hukum, dan pemberantasan korupsi harus memiliki profesionalisme dan kinerja yang tinggi, karena ditenggarai rendahnya profesionalisme dan kualitas kinerja pemerintah daerah merupakan salah satu penghambat terbesar bagi terwujudnya good local governance.
Maka amatlah penting segera dilakukan reformasi birokrasi pemerintahan secara kelembagaan, manajemen, dan personil sehingga terciptanya akuntabilitas, transparansi, efektivitas, efisiensi, dan profesionalitas dalam setiap pembuatan kebijakan, pelayanan publik, penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Kemudian masyarakat sipil (LSM, gereja, partai politik, lembaga adat, kelompok studi, organisasi profesi, yayasan, dan sebagainya) menjalankan fungsi-fungsi reperesentasi kolektif dari rakyat, kemudian penyaluran layanan publik serta layanan tanggung jawab terhadap masyarakat lainnya.
Di sinilah pemberdayaan dan akses kepada lembaga-lembaga masyarakat harus ditingkatkan. Dan sektor swasta/bisnis (pengusaha, pedagang, rekanan, dan sebagainya) tugasnya adalah memproduksi barang dan jasa, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan investasi. Kesemua tugas dari masing-masing aktor tersebut harus benar-benar dilandasi oleh cita-cita bersama yaitu untuk menciptakan kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan bagi seluruh rakyat Papua.
Pemerintah kabupaten/kota dan propinsi merupakan pemeran kunci bagi terwujudnya good governance yaitu sebagai katalisator sekaligus koordinator bagi masyarakat sipil dan sektor swasta/bisnis untuk bersama-sama membentuk kolaborasi yang efektif mengatasi dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Sehingga pada akhirnya cita-cita otonomi khusus dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Papua, karena untuk itulah kitorang Papua bernegara Indonesia. Tuhan menyertai kita semua.
*)Alumnus MAP-UGM,
Guru SMA Kristen Anak Panah, dan SMA YPPK Adhi Luhur Nabire serta
Dosen STT Walter Post Cabang Nabire
Belakangan ini jika kita perhatikan melalui media cetak maupun media elektronik terlihat kembali maraknya aksi-aksi protes yang dilakukan sebagian masyarakat dan mahasiswa yang berada di Papua maupun di luar Papua terhadap implementasi Otonomi Khusus Papua.
Protes tersebut pada intinya berisi tentang kekecewaan terhadap hasil implementasi otonomi khusus yang sudah tidak lagi sesuai dengan cita-cita yang tercantum dalam UU No. 21/2001. Pada dasarnya otonomi khusus menurut UU No. 21/2001 adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Propinsi Papua dan Rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selain itu pula, di dalam undang-undang ini menghendaki adanya suatu kebijakan yang strategis dalam rangka peningkatan pelayanan, akselerasi pembangunan dan pemberdayaan seluruh rakyat Papua, terutama orang asli Papua. Dengan keberadaan undang-undang ini diharapkan dapat meminimalkan kesenjangan antara Propinsi Papua dengan propinsi lain.
Namun, setelah hampir delapan tahun implementasi otonomi khusus tidak membawa perubahan yang signifikan bagi seluruh rakyat Papua. Keadaan ini diperkuat oleh berbagai hasil penelitian. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Agus Dwiyanto, dkk dalam wadah Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM (2003) terhadap sepuluh propinsi di Indonesia, termasuk Propinsi Papua.
Dalam penelitian tersebut menghasilkan beberapa temuan, yaitu sejak diberlakukannya kebijakan desentralisasi, kualitas dan akes pelayanan publik khususnya kepada masyarakat miskin masih rendah, APBD yang tidak berorientasi kepada kepentingan publik, tetapi lebih berorientasi kepada kepentingan DPRD dan birokrasi, kurang dilibatkannya masyarakat dalam proses perencanaan, implementasi, dan evaluasi kebijakan publik, masih lemahnya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, serta rendahnya kualitas kinerja aparatur pemerintahan daerah.
Keadaan ini semakin diperparah oleh rendahnya kapabilitas dan aksesbilitas masyarakat terhadap penyelenggaraan tata pemerintahan yang berlangsung. Rendahnya kapabilitas dan akseptabilitas masyarakat, membuat kalangan elit lokallah yang lebih dominan menikmati kekuasaan. Mereka telah menjadi "raja-raja kecil" yang membangun "kerajaannya" bagi keuntungan dan kekayaan pribadi. Kenyataan ini pernah dikemukakan oleh Barnabas Suebu (2007): "Saya melihat ada dua dunia di Papua. Pertama, dunia birokrasi yang pesta pora dengan uang otonomi khusus. Kedua, dunia rakyat kecil di kampung-kampung. Dunia yang terus berteriak, menjerit, menangis, miskin dan papa. Mereka hidup dalam kemiskinan dan kebodohan. Bahkan ada yang mati karena lapar".
Aksi protes yang dilakukan oleh sebagian masyarakat dan mahasiswa terhadap hasil pelaksanaan otonomi khusus tentunya perlu dicermati secara arif dan cerdas, sebelum akhirnya menimbulkan permasalahan yang lebih besar dan kompleks. Bertitik tolak pada kenyataan di atas, mungkin kita bertanya. Mengapa implementasi otonomi khusus selama ini tidak dirasakan manfaatnya oleh rakyat Papua? Mengapa dalam perjalanannya otonomi khusus tidak sesuai dengan cita-cita semula? Apa yang keliru dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan yang ada? Sehingga perlu dilakukan perbaikan-perbaikan. Semua ini perlu dicari upaya pemecahannya supaya implementasi otonomi khusus tidak semakin jauh dari cita-cita semula.
Apa itu Good Governance? Good governance atau tata pemerintahan yang baik merupakan konsep yang cukup baru di Indonesia. Konsep ini diperkenalkan ke Indonesia melalui lembaga-lembaga internasional, seperti PBB, UNDP, World Bank dan ADB. Semua lembaga internasional ini berkeyakinan bahwa good governance sebagai penentu untuk mencapai keberhasilan pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan.
Pada tahun 1990 misalnya, di forum pertemuan Komite Bantuan Pembangunan, para menteri dari negara-negara donor sepakat bahwa ada keterikatan erat antara sistem politik yang terbuka, demokratis dan akuntabel, hak individual, beroperasinya sistem ekonomi yang efektif dan berkeadilan, dengan tingkat penurunan kemiskinan. Sebaliknya, sistem administrasi dan kebijakan pemerintah yang buruk di banyak negara berkembang menjadi kendala utama mencapai pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan (lihat Hetifah Sj Sumarto, 2004).
Governance menunjuk pada pengertian bahwa kekuasaan tidak lagi semata-mata dimiliki atau menjadi urusan pemerintah semata. Governance menekankan pada pelaksanaan fungsi governing secara bersama-sama oleh pemerintah dan lembaga-lembaga lain, yaitu swasta/bisnis maupun masyarakat sipil, LSM. Dan kualitas governance adalah faktor terpenting untuk menjamin suksesnya menghapuskan kemiskinan dan membangun fondasi menuju masyarakat yang pro-orang miskin dan berkeadilan (Kateherine Marshall, Direktur Bank Dunia, 2004).
Good governance itu adalah penyelenggaraan pemerintahan secara partisipatif, efektif, jujur, adil, transparan, dan bertanggung jawab kepada semua level pemerintahan, mulai pemerintahan desa/kampung, pemerintahan kabupaten/kota, pemerintahan propinsi dan pemerintahan pusat. Melalui good governance terciptanya keseimbangan di antara tiga aktor yaitu pemerintah, swasta/bisnis, masyarakat sipil dalam penyelenggaraan pemerintahan. Mengapa? Karena masing-masing aktor saling memerlukan dan melengkapi.
Dalam pelaksanaan good governance ada prinsip-prinsip yang harus dihormati oleh semua aktor, yaitu partisipasi, trasnparansi, akuntabel, efektif dan efisien, kepastian hukum, kesetaraan, responsif, konsesus, pengawasan publik, dan profesionalisme. Oleh Karena itu penyelenggaraan sistem pemerintahan harus melibatkan banyak pelaku, jaringan, dan lembaga di luar pemerintah untuk mengelola masalah dan kebutuhan publik.
Perwujudan Good Local Gorvernance
Apakah mungkin good governance dapat terwujud di Papua? Bagaimana realisasi dan mekanismenya? Otonomi Khusus Papua sebenarnya membuka peluang yang amat lebar bagi terciptanya good gorvernance. Hal ini telah banyak dikemukakan David Osbrone dan Ted Gaebler (1992); Manor (1998); Cornwall dan Gaventa (2001) bahwa pemerintahan lokal memiliki peluang besar untuk mendorong demokratisasi karena proses desentralisasi lebih memungkinkan pemerintahan yang lebih responsif, inovatif, produktif, representatif, transparan, dan akuntabel sehingga membuka peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Dengan good local governance maka pemerintah daerah, sektor swasta/bisnis, masyarakat secara bersama-sama bergerak dan bekerja dalam penyelenggaraan pemerintahan. Perwujudan good local governance tentu saja sangat tergantung pada para stakeholders yang terlibat dalan governance itu sendiri. Aspek-aspek yang harus disentuh adalah pada bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Bagi Papua perwujudan good governance sudah sangat mendesak diselenggarakan agar cita-cita otonomi khusus dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh rakyat Papua.
Apalagi saat ini masyarakat Papua yang dicengkram kemiskinan (80%), semakin tidak berdaya ketika berhadapan dengan melambungnya harga-harga kebutuhan pokok. Oleh karena itu, masing-masing aktor perlu memahami tugas dan fungsinya secara baik. Selanjutnya, tentu saja perlu diupayakan terbentuknya relasi yang menuju kepada sinergi di antara tiga aktor tersebut yang bersifat check and balances.
Pemerintah daerah dalam tugas-tugasnya yaitu membuat kebijakan, memberikan pelayanan publik, penegakan hukum, dan pemberantasan korupsi harus memiliki profesionalisme dan kinerja yang tinggi, karena ditenggarai rendahnya profesionalisme dan kualitas kinerja pemerintah daerah merupakan salah satu penghambat terbesar bagi terwujudnya good local governance.
Maka amatlah penting segera dilakukan reformasi birokrasi pemerintahan secara kelembagaan, manajemen, dan personil sehingga terciptanya akuntabilitas, transparansi, efektivitas, efisiensi, dan profesionalitas dalam setiap pembuatan kebijakan, pelayanan publik, penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Kemudian masyarakat sipil (LSM, gereja, partai politik, lembaga adat, kelompok studi, organisasi profesi, yayasan, dan sebagainya) menjalankan fungsi-fungsi reperesentasi kolektif dari rakyat, kemudian penyaluran layanan publik serta layanan tanggung jawab terhadap masyarakat lainnya.
Di sinilah pemberdayaan dan akses kepada lembaga-lembaga masyarakat harus ditingkatkan. Dan sektor swasta/bisnis (pengusaha, pedagang, rekanan, dan sebagainya) tugasnya adalah memproduksi barang dan jasa, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan investasi. Kesemua tugas dari masing-masing aktor tersebut harus benar-benar dilandasi oleh cita-cita bersama yaitu untuk menciptakan kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan bagi seluruh rakyat Papua.
Pemerintah kabupaten/kota dan propinsi merupakan pemeran kunci bagi terwujudnya good governance yaitu sebagai katalisator sekaligus koordinator bagi masyarakat sipil dan sektor swasta/bisnis untuk bersama-sama membentuk kolaborasi yang efektif mengatasi dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Sehingga pada akhirnya cita-cita otonomi khusus dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Papua, karena untuk itulah kitorang Papua bernegara Indonesia. Tuhan menyertai kita semua.
*)Alumnus MAP-UGM,
Guru SMA Kristen Anak Panah, dan SMA YPPK Adhi Luhur Nabire serta
Dosen STT Walter Post Cabang Nabire
0 komentar:
Posting Komentar