Dalam suatu seminar bedah buku yang berjudul "Mungkinkah Nilai-nilai Hidup Budaya Suku Mee Bersinar Kembali?", karya Ruben Pigay, S.pak, yang dihadiri masyarakat umum dan pelajar SMU, tidak lama ini di Aula STT Walter Post II, Nabire, Papua Barat, membuat saya tertuju dalam satu dari makna penting dari keseluruhan diskusi yang telah memaksa orang Papua, khsusnya suku Mee di Paniai untuk kembali kepada nilai-nilai budaya Mee. Ternyata, tradisi suku Mee dalam corak produksi tradisionalnya mampu memberikan solusi ditengah ancaman krisis energi dan faktor geopolitik dunia yang berdampak pada naiknya harga kebutuhan pokok di Indonesia, lebih khusus di Papua Barat.
Yang harus disadari dan tra boleh disangkal adalah bahwa pergeseran fluktuatif terjadi dalam kehidupan budaya hampir setiap suku di Papua Barat sejak pendudukan koloniaslime Indonesia. Indonesia yang pada masa Orde Baru sebagai suatu kekuasaan 'boneka AS' menjadi jembatan ke Papua Barat bagi penyeberangan budaya imperialisme global, suatu kekuatan yang telah memaksa penduduk pribumi menikmati arus modernisasi sebagai konsekuensi logis. Praktek kolonialisme melalui ancaman pemekaran wilayah kekuasaan kolonial Indonesia yang bersamaan dengan suplai penduduk migran dan perluasan daerah teritori militer paling tidak menjadi faktor utama dari dampak evolusi budaya suku-suku di Papua Barat.
Praktek eksploitatif itu ditandai dengan memudarnya etos kerja beternak dan berkebun yang lalu begitu luar biasa dalam nilai-nilai budaya suku Mee. Hampir dataran tanah adat Mee yang dulu menghasilkan flora nan hijau sebagai sumber konsumen kini menjadi dataran tandus yang tidak ada nilai guna bagi kelangsungan makluk hidup. Bila orang Papua sudah tidak mempunyai dusun/kebun lagi atau hubungan timbal balik antara alam dan manusia terganti dengan ketergantungan terhadap produk luar, atau bila Orang Papua Barat dipaksa menajadi manusia-manusia era moderen yang mempunyai permintaan konsumsi yang sama. maka bahaya globalisasi yang kini ditandai dengan kenaikan harga BBM, tidak mungkin tidak menjadi ancaman masyarakat adat Papua Barat.
Memang bahayanya tidak separah yang dialami daerah-daerah lain di Indonesia dalam hal kenaikan barang dan jasa, terutama kenaikan harga sembako dan jasa-jasa transportasi, dan kelihatannya bagi rakyat Papua aksi protes kenaikan BBM massa FPN (Front Pembebasan Nasional) yang menjalar di Indonesia (tidak di Papua Barat) belum menunjukan perjuangan bersama, namun paling tidak kenaikan harga BBM mengakibatkan permintaan yang semakin menggelembung bagi kaum migran Papua yang menguasai sektor perdagangan, transportasi dan industri. Bagi mereka, kondisi ini merupakan kesempatan untuk memperbesar kantong penghasilan mereka. Sebab, banyak uang Otsus yang beredar di tangan orang Papua Barat menjadi incaran bagi mereka.Contoh, bila di Entrop, Jayapura beberapa waktu lalu terjadi mogok sopir angkot menuntut kenaikan tarif harga transportasi, bagi rakyat Papua Barat, hal itu bukan suatu ancaman, padahal, dengan tarif 4.000 pp Entrop-Abe, omset sehari bisa mencapai sejuta hingga dua juta, atau sejajar gaji sebulan PNS golongan menengah. Ini semakin memperkuat ketergantuangan bagi orang Papua Barat dalam segala aspek yang tentu saja telah didominasi oleh kaum migran (orang pendatang).
Sistematis dan tepat sasaran. Itu kalimat yang pas buat keberhasilan praktek kolonialisme Indonesia di Papua Barat, terhadap orang Papua Barat. Penindasan dan penghisapan menjadi nyata, tatkala orang Papua Barat sendiri seakan-akan meng-iyakan itu terjadi. Saat-saat tidak ada lagi kesadaran berdaulat diatas tanah airnya, saat-saat itu tawaran posisi stategis di daerah-daerah pemekaran baru menjadi sasaran empuk. Partai-partai politik diboyong habis kaum intelektual yang seharunya menjadi revolusi nilai-nilai budaya Papua Barat. Pilihan itu menjadi keharusan, sebab sumber penghasilan pangan dan ternak sudah tidak ada lagi.
"Suku Mee harus kembali kepada nilai-nilai yang dahulu", demikian ajak Ruben Pigay yang sudah beranjak di usia senja dalam bukunya. Buku itu seakan-akan memaksa saya merenung sejenak dan tidak lain, hanya nilai-nilai budaya yang mampu mempertanhankan kondisi sosial, ekonomi-politik suatu wilayah. Sekalipun tingkat konsumsi minyak dunia tidak lagi sepadam dengan produksi minyak dunia, tetapi sepanjang rakyat Papua Barat, khususnya suku Mee bisa membudayakan kembali aktivitas berkebun dan beternak, maka bukan tidak mungkin wilayah dan orang Papua Barat tetap resistan dalam menghadapi penjajahan dan penghisapan global. [Victor F. Yeimo -sekedar renungan pribadi]
Yang harus disadari dan tra boleh disangkal adalah bahwa pergeseran fluktuatif terjadi dalam kehidupan budaya hampir setiap suku di Papua Barat sejak pendudukan koloniaslime Indonesia. Indonesia yang pada masa Orde Baru sebagai suatu kekuasaan 'boneka AS' menjadi jembatan ke Papua Barat bagi penyeberangan budaya imperialisme global, suatu kekuatan yang telah memaksa penduduk pribumi menikmati arus modernisasi sebagai konsekuensi logis. Praktek kolonialisme melalui ancaman pemekaran wilayah kekuasaan kolonial Indonesia yang bersamaan dengan suplai penduduk migran dan perluasan daerah teritori militer paling tidak menjadi faktor utama dari dampak evolusi budaya suku-suku di Papua Barat.
Praktek eksploitatif itu ditandai dengan memudarnya etos kerja beternak dan berkebun yang lalu begitu luar biasa dalam nilai-nilai budaya suku Mee. Hampir dataran tanah adat Mee yang dulu menghasilkan flora nan hijau sebagai sumber konsumen kini menjadi dataran tandus yang tidak ada nilai guna bagi kelangsungan makluk hidup. Bila orang Papua sudah tidak mempunyai dusun/kebun lagi atau hubungan timbal balik antara alam dan manusia terganti dengan ketergantungan terhadap produk luar, atau bila Orang Papua Barat dipaksa menajadi manusia-manusia era moderen yang mempunyai permintaan konsumsi yang sama. maka bahaya globalisasi yang kini ditandai dengan kenaikan harga BBM, tidak mungkin tidak menjadi ancaman masyarakat adat Papua Barat.
Memang bahayanya tidak separah yang dialami daerah-daerah lain di Indonesia dalam hal kenaikan barang dan jasa, terutama kenaikan harga sembako dan jasa-jasa transportasi, dan kelihatannya bagi rakyat Papua aksi protes kenaikan BBM massa FPN (Front Pembebasan Nasional) yang menjalar di Indonesia (tidak di Papua Barat) belum menunjukan perjuangan bersama, namun paling tidak kenaikan harga BBM mengakibatkan permintaan yang semakin menggelembung bagi kaum migran Papua yang menguasai sektor perdagangan, transportasi dan industri. Bagi mereka, kondisi ini merupakan kesempatan untuk memperbesar kantong penghasilan mereka. Sebab, banyak uang Otsus yang beredar di tangan orang Papua Barat menjadi incaran bagi mereka.Contoh, bila di Entrop, Jayapura beberapa waktu lalu terjadi mogok sopir angkot menuntut kenaikan tarif harga transportasi, bagi rakyat Papua Barat, hal itu bukan suatu ancaman, padahal, dengan tarif 4.000 pp Entrop-Abe, omset sehari bisa mencapai sejuta hingga dua juta, atau sejajar gaji sebulan PNS golongan menengah. Ini semakin memperkuat ketergantuangan bagi orang Papua Barat dalam segala aspek yang tentu saja telah didominasi oleh kaum migran (orang pendatang).
Sistematis dan tepat sasaran. Itu kalimat yang pas buat keberhasilan praktek kolonialisme Indonesia di Papua Barat, terhadap orang Papua Barat. Penindasan dan penghisapan menjadi nyata, tatkala orang Papua Barat sendiri seakan-akan meng-iyakan itu terjadi. Saat-saat tidak ada lagi kesadaran berdaulat diatas tanah airnya, saat-saat itu tawaran posisi stategis di daerah-daerah pemekaran baru menjadi sasaran empuk. Partai-partai politik diboyong habis kaum intelektual yang seharunya menjadi revolusi nilai-nilai budaya Papua Barat. Pilihan itu menjadi keharusan, sebab sumber penghasilan pangan dan ternak sudah tidak ada lagi.
"Suku Mee harus kembali kepada nilai-nilai yang dahulu", demikian ajak Ruben Pigay yang sudah beranjak di usia senja dalam bukunya. Buku itu seakan-akan memaksa saya merenung sejenak dan tidak lain, hanya nilai-nilai budaya yang mampu mempertanhankan kondisi sosial, ekonomi-politik suatu wilayah. Sekalipun tingkat konsumsi minyak dunia tidak lagi sepadam dengan produksi minyak dunia, tetapi sepanjang rakyat Papua Barat, khususnya suku Mee bisa membudayakan kembali aktivitas berkebun dan beternak, maka bukan tidak mungkin wilayah dan orang Papua Barat tetap resistan dalam menghadapi penjajahan dan penghisapan global. [Victor F. Yeimo -sekedar renungan pribadi]
0 komentar:
Posting Komentar