By bomkonwoqk Gerald Bidana*)
Pada hakekatnya bimbingan dan konseling merupakan upaya bantuan untuk mewujudkan perkembangan potansi diri manusia secara optimal baik secara kelompok maupun individual sesuai dengan hakekat kemanusiaannya dengan berbagai potensi, kelebihan dan kekurangan/kelemahan serta permasalahannya.
Bimbingan konseling sangat berperan dalam melihat peristiwa kehidupan manusia (secara individual maupun kelompok) dalam kaitan dengan perkembangan ilmu pengetathuan dan teknologi misalanya perubahan dan perkembagan masyarakat secara menyeluruh, modernisasi, era globalisai dan informasi, dampak (globalisasi, modernisasi dan informasi), derajat manusia diantara sekalian makhluk, manusia seutuhnya, sumber permasalahan, peranan pendidikan, peranan bimbingan konseling, peraturan perundang-undangan sistem pendidikan nasioanl dan dimensi-dimensi kemanusiaan.
Disini ada sejumlah ciri-ciri manusia yang berfungsi penuh/utuh yang dikemukakan para psko-hunamitik yang bisa menjadikan pembelajaran bagi kita; adalah sebagai berikut :
- Menurut Frankl :
(1) mencapai penghayatan yang penuh tentang makna hidup dan kehidupan; (2) bebas memilih dalam bertindak; (3) bertanggung jawab secara pribadi terhadap segala tindakan; (4) melibatkan diri dalam kehiduapn bersama orang lain.
- Menurut Jung :
(1) memiliki pemahaman yang mendalam tentang diri sendiri; (2) menerima diri sendiri termasuk kekuatan dan kelemahan; (3) menerima dan bersikap toleran terhadap hakikkat dan keberadaan kemanusiaan secara umum; (4) menerima hal-hal yang masih belum dapat diketahui atau misterius, (5) bersedia mempertimbangkan hal-hal yang bersifat tidak rasioanl tanpa meninggalkan cara-cara berpikir logis.
- Menurut Maslow (1) mengembangkan seluruh kemampuan dan potensinya; (2) lebih jauh lagi, mereka adalah oyrang-orang yang telah berhasil mewujudkan diri sendiri secara penuh; (3) memiliki orientasi yang realistik; (4) menerima diri dan orang lain; (5) spontan; (6) lebih berpusat pada tugas daripada berpusat pada sendiri dan tidak selalu memperhitungkan siapa memperoleh keuntungan ataupun kerugian (diri sendiri atau orang lain), yang lebih dipentingkan ialah pekerjaan atau tugas dapat diselesaikan dengan baik; (7) memiliki hal-hal khusus yang bersifat amat pribadi dan tidak boleh dicampuri oleh orang lain; (8) bebasa dan mandiri, akan pertiimbangan-pertiimbangan diri sendiri dan tidak sekedar meniru orang lain; (9) mampu menghargai orang lain sebagai sesuatu yang unik dan tidak menyamaratakan orang lain itu berdasarkan pandangan apriori (streotype) tertentu; (10) memiliki padangan dan penglaman yang bersifat mistik atau spritual yang cukup menonjol meskipun tidak selalu dinyatakannya lewat bahasa agama; (11) menyatukan diri ke dalam kegiatan sosial-kemanusiaan dan memiliki perhatian yang besar terhadap kesejahteraan orang lain; (12) menjalin hubungan yang sangat dekat dan intim dengan sejumlah orang; (13) mengamalkan nilai-nilai demokratis : menghargai semua orang tanpa memandanag ras, suku, agama, latar belakang sosial ekonomi; (14) memiliki rasa humor (yaitu rasa humor yang hangat dan segar dan bukan yang menyakitkan atau menyinggung orang lain); (15) tidak mencampuradukan antara tujuan dan cara mencapai tujuan itu; (16) kreatif; (17) tidak mau mengikuti begitu saja budaya – adat istiadat yang ada karena melihat kelemahan dan keterikatannya yang membelenggu; dan (18) lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan melalui kegiatan nyata (aksi) daripada sekedar melalui penanggapan ( reaksi).
Mewujudnyatakan sejumlah pendapat para ahli tentang manusia utuh atau manusia yang berkembang secara penuh atas potensi diri, kemampuan manusia insani membutuhkan proses yakni melalui pola pendidikan lingkungan keluarga, masyarakat dan pendidikan formal yang cocok dan yang membebaskan. Pembelajaran di bidang Bimbingan dan Konseling tidak lain adalah SIAPAKAH MANUSIA ITU! Yang mengaju pada pertanyaan bagaimana dan sejauhmana pertumbuhan dan perkembangan potensi diri manusia sejak perencanaan, kelahiran sampai tutup usia. Maka sebetulnya ilmu Bimbingan Konseling sangat relevan bagi setiap manusia yang mendambakan kehidupan yang lebih baik yaitu dari diri sendiri, kehiduapan dalam keluarga dan dengan sesama di lingkungannya.
Lalu bagaimana dengan keberadaan manusia Papua dahulu terhadap ilmu bimbingan konseling atau psikologi pendidikan? Sejauh pemahaman saya bahwa manusia Papua dahulu sudah memiliki ilmu bimbingan konseling pada konteks yang sangat sederhana adalah terwujud dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan mereka sangat sederhana tetapi mengandung filsafat hudp yang luar bisa yang belum tentu dimiliki manusia Papua sekarang. Contoh kongkrit praktek hidup manusia dahulu adalah melaksanakan (1) pendidikan inisiasi-pendidikan penanaman nilai-nilai hidup manusia insani; (2) cara bersikap dalam situasi tertentu;(3) bagaimana bersikap terhadap tamu; (4) cara membuat sebuah rumah yang benar; (5) cara membuat pagar kebun yang benar; (6) cara melahirkan anak yang benar; (7) cara perkawinan yang benar; (8) mendidik anak yang benar; dan sebagainya. Konteks pendidikan seperti ini sudah tentu masuk dalam kajian bimbingan dan konseling atau psikologi pendidikan melalui dunia perkuliahan saat ini. Sedangkan orang manusia Papua kini tidak memiliki minat dalam bidang yang sangat relevan ini. Hal ini disebabkan karena ketidaktahuan kita melalui pola dan sistem pendidikan yang diberlakukan di Papua khususnya dan
Manusia Papua kini mengalami degradasi nilai-nilai kultur sebagai landasan hidup manusia suku-suku dengan bukti (1) kebanyakan anak yang lahir dan dibesarkan di kota atau daerah lain tidak memiliki bahasa daerah orang tuanya; (2) tidak memiliki nilai-nilai budaya khas orang tuanya; (3) terlalu menganggungkan, menganggap lebih baik budaya orang lain daripada budaya sendiri; (4) merasa jijik bila menggunakan pakaian tradisional dan sikap-sikap apatis lainnya yang tidak mencerminkan sebagai manusia Papua. Sejumlah sikap dan pandangan di atas disebabkan (1) sebagian besar orang tua manusia Papua tidak mendapatkan pendidikan informal secara baik dan benar; (2) para orangtua mendidik anak tidak sesuai dengan budayanya atau mendidik ala Papua dengan menggangap budaya luar baik adanya; (3) mangajarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu bagi manusia Papua dan lainnya. Pola pandang seperti ini sudah sangat keliru sehingga perlu mengadakan kajian-kajian secara ilmiah untuk mengembalikan identitas suku-suku manusia yang ada di seluruh Papua seperti beberapa tulisan oleh generasi potensial manusia MEE Papua, contoh tulisan Titus Chris Pekei tentang MANUSIA MEE. Buku ini sebetulnya sebagai inspirasi bagi manusia muda Papua untuk lebih mengkaji dan menemukan identitas diri diantara manusia lain di jagat raya Papua.
[*] Mahasiswa Bimbingan dan Konseling. Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Catatan: Makalah disampaikan dalam Diskusi yang diselnggarakan Komunitas Pendidikan Papua (KPP), pada Selasa 18-03-08 di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
1 komentar:
Orang-orang macam Gerald begini yang sa suka. Salam dari semarang (sa orang BK juga, orang Jawa rindu Teluk Yotefa, Jayapura) harisfine@yahoo.co.id
Posting Komentar