Miskin di Atas Lumbung Emas

Sabtu, April 25, 2009

Gunung-gunung, lembah-lembah yang penuh misteri
Yangku puja slalu keindahan alammu yang memesona
Sungaimu yang deras mengalirkan emas
Syo ya Tuhan terima kasih…


Oleh Longginus Pekey*)
Bait terakhir lagu Syukur Bagi Tuhan yang indah didengar ini sudah tidak asing bagi orang Papua. Sanggat sering dinyanyikan ataupun kitorang dengar. Lagu ini memuja tentang betapa kayanya alam bumi cendrawasih pemberian Tuhan. Para pendeta menyebut tanah itu “berlumur madu dan susu”. Mereka benar memang benar, karena pulau itu kaya. Betapa banyak jumblah kekayaan yang ada di dalam laut, di lembah, dalam perut bumi cendrawasih. Sungguh sangat luar biasa alam yang masih tidur itu bagaikan gadis perawan yang meng gairahkan. Itulah tanah beserta alam Papua!

Syair yang diawali di atas suatu saat bisa saja akan menjadi kenangan sejarah belaka (kososng) atau hilang ditelan bumi, dengan lenyapnya orang Papua di tanah Papua. Karena berbagai persoalan, penyakit dan kekerasan ekonomi, pendidikan semakin memburuk dan mengantar rakyat Papua pribumi pada hari depan yang tidak pasti. Penduduk Papua sendiri miskin dan ‘mati banyak’ akibat penyakit, gizi buruk dan pembunuhan tanpa diadili ibarat “penalti tanpa wasit”.

Mari kitorang menoropong ekonomi rakyat di Papua. Di bidang ekonomi hingga sampai saat era modern ini orang Papua pribumi hanya menjadi penonton di negeri sendiri. Kalau begitu, lalu apa artinya syair lagu Syukur Bagi Tuhan di atas bagi orang Papua? Sementara mereka sampai saat ini belum ada tanda-tanda akan hidup sejahtera dan makmur. Para pemimpin daerah sendiri belum memiliki ukuran baku mengenai kesejahteraan dan kemakmuran untuk orang Papua pribumi.

Kebanyakan orang Papua pribumi memandang ketika memiliki motor, mobil, rumah mewah dengan isi rumah yang di hiasi barang antik sebagai tolak ukur kesejahteraan dan makmur. Seperti yang dimiliki segelintir elit politik dan birokrasi, pengusaha dan kebanyakan pendatang yang ada di sana.

Tidak memungkin bagi semua orang Papua pribumi seperti ini. Bukankah punya rumah sederhana, bisa makan (bergisi) tercukupi dan bisa membiayai pendidikan anak dan kesehatan masyarakat baik bisa menjadi ukuran kesejateraan? Tidak mesti kampanye gerakan ua anak cuku (KB) yang justru menambah berkurangnya jumlah penduduk orang Papua pribumi. Pemerintah daerah bertanggung jawab, dengan cara Stop Koruspsi!, kemudian kekayaan daerah dan keuangan daerah diatur dengan baik untuk kepentingan ekomomi, kesehatan, pendidikan dan infrastuktur rakyat.

Kalau kita mau jujur, mari kita amati dengan cermat mengenai kehidupan orang Papua pribumi, mereka saat ini sudah terasing di negeri mereka sendiri. Meskipun memang beberapa kota di Papua saat ini tidak berbeda dengan kota lain di Indonesia. Misalnya di Jayapura orang dengan mudah menemukan hotel berbintang, kawasan pertokoan yang berjejer-jejer di Kota Jayapura, kawasan Entrop, Hingga Abepura.

Kalau jalan-jalan ke Pasar, di sana dipadati pedagang. Orang Papua pribumi sendiri tidak memiliki tempat yang layak. Tokoh- Swalayan, Restoran siap saji, dan warung makan berada di mana-mana. Ironisnya, lebih sulit mencari orang Papua pribumi yang bekerja di sejumlah sentra perekonomian. Mereka hanya berjualan kebutuhan sehari-hari. Mama-mama hanya berjualan sayuran, ubi (ipere:Wamena) dan pekerjaan itu tidak rutin dilakukan.

Matahari, mendung dan hujang diterima mereka. Sayur menjadi layu terkena mata hari dan bahkan kadang mereka menerima resiko barang dagang dihancurkan Pol PP karena mereka jualan di tempat-tempat yang tidak diperbolehkan pemerintah. Tetapi bagi mereka sangat strategis. Lagi pula di pasar mereka tidak ada tempat, kalah bersaing. Di kebanyakan pasar tradisional Wamena, masih banyak terlihat orang Papua pribumi berjualan di los Pasar. Akan tetapi di Timika, los pasar dipadati pendagang pendatang, sedangkan pedagang asli Papua pada umumnya berjualan di telaras pasar atau di emperan toko. (Baca: Ekspedisi Kompas, 2007: 123)

Jari tangan kita cukup untuk menghitung orang Papua pribumi yang bekerja di satu toko, kios, warung makan, atau toko swalayan. Lebih sulit lagi menemukan orang Papua pribumi yang memiliki usaha sekelas itu. Inilah sebuah tantangan dan perjuangan yang dihadapi masyarakat Papua pribumi.

Ini wajar saja terjadi, perekonomian di Papua sudah dikuasai penduduka pendatang. Menurut Ekspedisi Kompas 2007 lalu, dituliskan bahwa Warga bugis, Buton, dan Makasar lebih banyak bergiat di sektor perdagagan sedangkan warga Menado, Toraja, dan Jawa di birokrasi pemerintahan. Orang Papua sendiri amat mendominasi dalam birokrasi dan formasi pegawai negeri sipil di Papua. Akan tetapi di sektor perekonomian orang Papua pribumi tenggelam.

Menurut Ketua Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Papua, Albert Rumbekwan, ”Ketidakberdayaan orang asli Papua/ orang Papua pribumi di sektor perekonomian merupakan fenomenan yang terjadi saat ini di berbagai kota di Papua”. Ia mencatat, di kawasan pertumbuhan dan kegiatan ekonomi di Papua seperti di Jayapura, Timika, Sorong, dan juga di Merauke – para pendatang mejadi aktor ekonomi yang dominan.

Dalam situasi seperti ini, pemerintah berupaya mencari investasi di Papua. Berdasarkan Badan Promosi dan Investasi Daerah Provinsi Papua 2006, pemerintah pusat telah mengirimkan lima surat persetujuan penanaman investasi di Merauke. Selain itu, ada 14 surat persetujuan investasi di wilayah Papua yang lain.

Tidak hanya itu Gubernur Papua, Barnabas Suebu rajin berburu investor. Hasilnya puluhan calom investor datang. “Raja Wali Grop, Sinar Mas Group, dan Medco Group, menunjukan minat mereka dalam bidang perkebunan kelapa sawit, khususnya produk biodisel. Pasific Group juga sudah melakukan sirvei untuk menjadikan sagu menjadi eta nol”, kata staf Gubernur Papua Agus Sumule.

Pengalaman orang Papua pribumi menunjukkan, investor di Papua selama ini tidak membawa kesejahteraan bagi orang pribumi. Orang Papua telah mengalami sendiri bersama PT Freeport. Mereka melihat, setelah hutan ulayatnya ditebang atau wilayahnya dijadikan areal tambang, masyarkat tetap miskin. Menurut Badan Pusat Statistik Privinsi Papua 2006, sejumbalah 486. 857 dari 604.922 rumah tangga di Papua atau 80 persen berada dalam kondisi miskin dan miskin absolut (Baca: Espedisi Kompas, 2007: 112).

Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Fajar Timur, Dr. Neles Tebai, Pr mengatakan, rakyat Papua pribumi belum siap menerima investasi. “Sitem baru yang diciptakan dari sebuah investasi berasal dari budaya luar Papua. Jelas banyak orang Papua akan kesulitan menyesuaikan diri dengan sistem ekonomi pasar yang ditawarkan investor,” katanya.

Pater Neles juga mengatakan, banyak rencana investor perkebunan justru melakukan di hutan ulayat masyarakat adat yang masih berada dalam budaya berburu dan meramu. “Pengalaman di Arso, misalnya masyarakat yang memiliki ulayat gagal menjadi pekerja kebun sawit yang sudah dibuka sejak belasan tahun lalu,” kata Tebai.

“Betul bahwa investasi menghasilkan pergerakan ekonomi. Akan ada penjual makanan, pedagang, persewahan mobil, dan jasa lainnya. Namun, saya belum yakin orang Papua akan mampu menjadi aktor berbagai disnis baru itu. Kami tidak punya modal dan skill, “ kata Pastor itu.

Semuanya bermuara pada sebuah pertanyaan yang harus di jawab dengan jujur, apakah pemerintah sudah merasa ukup berbuat untuk mendidik serta membangun kapasitas dan kompetensi orang Papua pribumi untuk bersaing di “dunia baru” pasca-investasi? Jika belum apakah investasi merupakan penyelesaian masalah kemiskinan di Papua? Jangan-jangan menjadi masalah baru…(baca: Espedisi Kompas, 2007: 113-114)

Kalua melihat kehidupan sosial orang Papua pribumi, mereka terdiri dari petani, peternak dan nelayan. Namun sampai saat ini di erah Otonomi Khusus yang sudah bergulir selama 8 tahun, hanya sedikit dapat dihitung dengan jari mereka yang beternak, nelayan dan menjadi petani? Petani, nelayan dan peternak yang sukses di Papua pun kebanyakan adalah para pendang.

Di situlah, seharusnya menjadi titik perhatian pemerintah, dan lembaga swadaya serta Agama dan kita semua yang peduli. Memberikan dorongan, pencerahan dan skill serta modal untuk menghidupkan usaha kecil dari potensi luar biasa yang mereka miliki. Bukan mengantikanya dengan potensi yang mereka tidak miliki seperti jadi buruh kelapa sawit, mereka sama sekali nol besar mengenai itu.

Semua elemen di Papua yang di sebutkan di atas memiliki pekerjaan rumah yang berat. Pekerjaan itu adalah memformasi ekonomi kerakyatan yang sesuai dan cocok bagi pengembangan ekonomi masyarakat asli Papua. Menarik mereka terlibat secara langsung ataupun tidak langsung berperan mengambil bagian untuk mengakat potensi ekonomi daerah. Menyadari hal ini Selangkah edisi ke sebelas ini mengambil tema Ekonomi Kerakyatan. Semoga saja memberikan inspirasi yang bisa menjadi kerja bersama berbagai pihak untuk melawan keterasingan dan kemiskinan di negeri sendiri yang kaya dan raya. Atau kita harus diam saja agar menjadi seperti makluk asing (alien) terasing dan menjadi penonton atas kesuksesan orang pendatang dan kapitalis, sementara orang Papua sendiri tetap miskin di atas lumbung emas.

*) Ketua Lembaga Pendidikan Papua-Education of Papuan Spirit (edPapaS)
---------------------
Sumber: Tajuk Rencana Majalah SELANGKAH Edisi Awal Tahun 2009


0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut