Wabah Kolera di Nabire, 156 Meninggal

Rabu, Juli 30, 2008

JAYAPURA [SP Daily] - Wabah kolera dan muntaber yang melanda wilayah Lembah Kamuu, Kabupaten Nabire, Provinsi Papua, sejak April 2008 hingga saat ini, menelan korban meninggal dunia sebanyak 156 orang terdiri dari dewasa dan anak-anak. Wabah tersebut menyerang penduduk di 17 kampung dan satu distrik di Kabupaten Nabire.



Hal itu dikemukakan Bruder J Budi Hermawan OFM dari Serikat Keadilan Perdamaian (SKP) Keuskupan Jayapura saat membacakan siaran pers yang ditandatangani Ketua Biro Keadilan Perdamaian Keutuhan Ciptaan (KPKC) Sinode Gereja Kemah Injili (Kingmi) Papua, Pendeta Dr Beny Giay, Ketua KPKC Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua, Pendeta Dora Balubun, dan Frater Saul Wanimbo asal SKP Keuskupan Timika, Senin (28/7) pagi di Sekretariat SKP, Jayapura.

Diungkapkan, penyebaran wabah kolera tidak terbatas di Kamuu, Kabupaten Nabire, melainkan sudah mencapai Kabupaten Paniai dan bila tidak bisa diatasi, kemungkinan dapat juga menyebar hingga ke wilayah-wilayah terdekat lainnya di kawasan Pegunungan Tengah Papua.

Dikatakan, sangat disayangkan wabah yang telah menyerang selama empat bulan berturut-turut bahkan sudah menjadi Kejadian Luar Biasa sampai saat ini tidak ada tindakan nyata dari Pemerintah Kabupaten Nabire dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua untuk menyelamatkan nyawa warga. "Sungguh ironi mengingat pemerintah daerah justru lebih sibuk meresmikan wilayah pemekaran dan melantik pejabat bupati yang baru. Bahkan Pemprov Papua sibuk dengan turun ke kampung," ujarnya.

Dalam siaran pers, diungkapkan tidak ada upaya penanganan yang bersifat segera dan menyeluruh serta berkelanjutan dari pemerintah terhadap korban. Sikap tersebut menimbulkan frustrasi dan kecurigaan di masyarakat, bahwa wabah ini sengaja disebarkan.

Membiarkan

Dengan demikian, pemerintah sengaja membiarkan masyarakat meninggal akibat kolera. Suasana demikian telah menimbulkan ketegangan antarwarga setempat dan mendorong mereka melakukan pengerusakan rumah milik sejumlah warga pendatang yang dicurigai berhubungan dengan menyebarnya wabah tersebut, katanya.

Diungkapkan, gereja-gereja telah melakukan penanganan medis. Keuskupan Timika menerjunkan tim medis dari Yayasan Caritas Timika. Namun, karena keterbatasan kemampuan personil dan biaya, menyebabkan gereja-gereja tidak mampu menjawab segala kebutuhan penderita.

"Berdasarkan fakta-fakta itu, kami prihatin dan meminta Gubernur Provinsi Papua, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), dan Majelis Rakyat Papua (MRP) agar mengambil langka segera mengirimkan tim medis ke tempat kejadian," ujarnya.

Tokoh-tokoh gereja, tambahnya, meminta pemerintah jangan hanya menyibukkan diri dengan pemekaran dan jabatan politik semata. Mereka harus memberikan pelayanan kesehatan bermutu seperti diperintah oleh Pasal 59 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Juga meningkatkan sistem ketahanan pangan yang mendukung terjaminnya peningkatan gizi sesuai amanat Pasal 60 UU Otsus Papua.

Pengamat Papua, Dr Neles Tebay yang juga Ketua Sekolah Tinggi Teologi dan Filsafat Fajar Timur, Jayapura, menegaskan, ini adalah ironi. "Bagaimana kejadian selama empat bulan tidak diketahui pemerintah kabupaten Nabire dan Pemprov Papua. Apa artinya Otsus bagi Tanah Papua, kalau rakyatnya terus menderita dan meninggal tanpa pertolongan yang berarti," tandasnya. [154]

--------------------------------------------
Sumber: www.suarapembaruan.com
Last modified: 28/7/08
---------------------------------------
Baca juga di: http://papuapos.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1275&Itemid=

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut