Oleh: Jhon Pekei *
Saya sebagai manusia MEE pun tentunya sangat bingung untuk menjawab pertanyaan di atas ini. Mengapa? Dengan adanya arus globalisasi yang kian tak terbendung lagi. Tapi mestinya sebagai Manusia MEE yang berdiam di wilayah barat Pegunungan Tengah Papua harus optimis untuk dapat mengembalikan segalanya menjadi sedia kala. Dan kitalah yang bisa menjawab dan menjadi pelaku atas keselamatan Bahasa Mee yang kian diambang kepunahan itu.
Ada satu pengalaman: Saat saya masih kelas dua di Kolese Le Cocq d'Armandville, SMA Adhi Luhur. Siang hari, om ( sebutan paman ala papua) dan beberapa orang teman sebayanya berkumpul di sebuah gubuk, hanya untuk sekedar duduk- duduk dan hanya saling bertukar pikiran. Ada om Kris Mote. Om Andi Mote, dan ada beberapa lagi yang saya lupa nama-nama mereka. Saya pun duduk duantara mereka dan mendengarkan jalannya pembicaraan ini. Rasanya pembicaraan mereka menjadi semakin hangat. Pembicaraan ini hanya lingkup soal bahasa MEE masa kekinian. Ada yang bilang “ kalian kira bahasa MEE masih bisa popular ka?”,” ato bagaimana ?”. kemudian satunya bilang , “ bagaimana, sekarang bahasa MEE su tacampur begitu. Campur dengan bahasa mee dan Indonesia, apalagi deng bahasa inggris”, katanya menambahkan.
Dari pembicaraan itu saya semakin paham akan pentingnya nahasa MEE. Bahasa MEE sudah tercampur dengan bahasa Indonesia. Dan dengan bahasa inggris. Misal, Ada beberapa kalimat yang menjadi sorotan , “ eh anak, minum UWO cepat”, “ anak wae, ega, pergi ke om dulu”, “ saya mau makan nota”, dan lain sebagainya.
Inilah sederetan kalimat sebagai contoh, yang menjadi sorotan bahasa MEE kita. Pahami saja, dari kalimat diatas. Kata “uwo” yang artinya air dibaur didalam kalimat. Kata “ ega” yang artinya cepat, di baur didalam kalimat. Kata “ nota” yang artinya ubi dicampur didalam kalimat dan lain- lain. Bukankah saya, kamu dan kita semua patuh dan berbicara pada satu bahasa dalam situasi dan kondisi yang sedang berlansung. Bila kita berbicara pakai bahasa mee, kata- kata yang disertai harus bahasa mee semua. Bila berbicara bahasa Indonesia, kata- kata yang menyertai harus bahasa Indonesia saja. Supaya tidak bercampur baur,dan makna ambigu dan sekaligus menjaga kekonsistenan bahasa.
Apalagi bahasa MEE itu berbaur dalam konteks global. Dengan bahasa inggris. Gimana jadi yah? Itulah tanda- tanda kebahasaan MEE menjadi ambang tanda Tanya besar bagi suku MEE di tanah Papua.
Awal Januari 2010, saya hanya sekedar mampir ke warnet. Diskusi menarik terjadi. Hanya karena pentingnya budaya bahasa MEE. Budaya bahasa MEE yang semakin hari semakin memprihatingkan. Banyak orang chating di jejaring sosial (facebook). Bahasa mee penting. Bahasa mee penting. Bahasa mee penting. Itulah ujung kesimpulan yang saya temukan setelah diskusi dan chatiingan singkat dengan mereka yang saya diskusikan memalui jaringan sosial itu. Ada Kakak Markus You. Juga ada Kakak Agus Mote juga dengan beberapa orang lain yang tergabung dalam salah satu forum di jejaring sosial tersebut.
Dari keprihatinan itu. Akhirnya, ada pembahasan khusus supaya buat kamus bahasa MEE. Selain, yang ditulis abang Jhon pada oktober 2009. Selain, alkitab versi bahasa MEE. Selain, kumpulan doa yang ditulis Bruder Norbert, SJ. Bruder Norbert menamakan judul buku itu adalah “ani sembayang natopai,” yang artinya ajarilah aku berdoa.
Dari diskusi terbuka memalui jaringan sosial itu, yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang punya niat untuk menulis kamus bahasa MEE. Kalimat siapa yang bersedia menulis inilah yang diungkapkan oleh kakak Markus You yang juga sebagai seorang wartawan di Papua Pos Nabire. Dan, tampaknya, Agus Mote bersedia untuk menulis kaidah- kaidah bahasa Mee. Kemudian kamus bahasa MEE, siapa yang mau tulis?
Kawan ini bukan lelucon. Bukan bahan tertawaan. Paling tidak kita sendiri , orang suku MEE sendiri yang tulis kamus bahasa MEE. Sebenarnya yang ditulis kakak Jhon itu merupakan karya gemilang namun, masih ada fonem yang tidak konsisten dengan kita punya bahasa. Tapi karyanya perlu diacung jempol. Salahnya fonem “y” dipakai menjadi “j”. masih kebarat- baratan. Tapi luar biasa karena ditulis oleh manusia MEE. Apalagi ditulis dalam empat bahasa oleh kakak Jhon.
Ketika saya ikuti kelas Sosiologi Umum dikampus. Memang, budaya bahasa yang menjadi hal yang pertama (utama). Hal utama yang harus dipertahatikan oleh manusia sebagai bagian dari budaya. Yang katanya, budaya dan manusia tak dapat dipisahkan satu sama lain. Ibarat sebuah koin. Itulah teori yang saya pernah dapatkan di bukunya, Soerjono Soekanto. Dan diktat kuliah.
Bila kita tengok,bahasa Mee telah terasimilasi dengan bahasa lain. Yang paling Nampak di daerah perkotaan Papua. Katakan saja di Nabire, ungkapan bahasa MEE dan bahasa Indonesia paling Nampak. Di Nabire misalnya; ketika ada orang berbicara ataupun mengutarakan pendapatnya, kadang perbauran bahasa itu jelas terlihat. Sama halnya juga di Timika, jayapura dan lainya ditanah Papua lainnya.
Kita lihat lagi ke mahasiswa. Mahasiswa pun sama. Kebahasaan MEE masih membaur. Apalagi pembauran kebahasaan itu dengan bahasa Inggris.
Sebenarnya solusi yang terpikir oleh saya yakni kita konsisten dengan bahasa. Ketika kita hanya berbicara bahasa Mee, maka kata- kata yang menyertai pun harus bahasa Mee. Begitu juga dengan bahasa lainnya.
“Untuk itu mari kita lestarikan bahasa MEE kita, agar bahasa sebagai modal utama yang Tuhan Berikan bagi suku MEE di tanah Papua, menjadi identitas yang cukup dibanggakan”, kata saya.
Dengan melihat itu semua. Jadi pertanyaan, apakah bahasa MEE masih popular seperti sedia kala. Saya pikir, kita pribadi masing- masinglah yang bisa menjawab.
*) Penulis adalah Mahasiswa asal Tanah Papua, Kuliah di Bogor
NB: Tulisan ini pernah juga muat di Forum Deiyai News. Dimuat di Blog ini atas permintaan Penulis!!
Saya sebagai manusia MEE pun tentunya sangat bingung untuk menjawab pertanyaan di atas ini. Mengapa? Dengan adanya arus globalisasi yang kian tak terbendung lagi. Tapi mestinya sebagai Manusia MEE yang berdiam di wilayah barat Pegunungan Tengah Papua harus optimis untuk dapat mengembalikan segalanya menjadi sedia kala. Dan kitalah yang bisa menjawab dan menjadi pelaku atas keselamatan Bahasa Mee yang kian diambang kepunahan itu.
Ada satu pengalaman: Saat saya masih kelas dua di Kolese Le Cocq d'Armandville, SMA Adhi Luhur. Siang hari, om ( sebutan paman ala papua) dan beberapa orang teman sebayanya berkumpul di sebuah gubuk, hanya untuk sekedar duduk- duduk dan hanya saling bertukar pikiran. Ada om Kris Mote. Om Andi Mote, dan ada beberapa lagi yang saya lupa nama-nama mereka. Saya pun duduk duantara mereka dan mendengarkan jalannya pembicaraan ini. Rasanya pembicaraan mereka menjadi semakin hangat. Pembicaraan ini hanya lingkup soal bahasa MEE masa kekinian. Ada yang bilang “ kalian kira bahasa MEE masih bisa popular ka?”,” ato bagaimana ?”. kemudian satunya bilang , “ bagaimana, sekarang bahasa MEE su tacampur begitu. Campur dengan bahasa mee dan Indonesia, apalagi deng bahasa inggris”, katanya menambahkan.
Dari pembicaraan itu saya semakin paham akan pentingnya nahasa MEE. Bahasa MEE sudah tercampur dengan bahasa Indonesia. Dan dengan bahasa inggris. Misal, Ada beberapa kalimat yang menjadi sorotan , “ eh anak, minum UWO cepat”, “ anak wae, ega, pergi ke om dulu”, “ saya mau makan nota”, dan lain sebagainya.
Inilah sederetan kalimat sebagai contoh, yang menjadi sorotan bahasa MEE kita. Pahami saja, dari kalimat diatas. Kata “uwo” yang artinya air dibaur didalam kalimat. Kata “ ega” yang artinya cepat, di baur didalam kalimat. Kata “ nota” yang artinya ubi dicampur didalam kalimat dan lain- lain. Bukankah saya, kamu dan kita semua patuh dan berbicara pada satu bahasa dalam situasi dan kondisi yang sedang berlansung. Bila kita berbicara pakai bahasa mee, kata- kata yang disertai harus bahasa mee semua. Bila berbicara bahasa Indonesia, kata- kata yang menyertai harus bahasa Indonesia saja. Supaya tidak bercampur baur,dan makna ambigu dan sekaligus menjaga kekonsistenan bahasa.
Apalagi bahasa MEE itu berbaur dalam konteks global. Dengan bahasa inggris. Gimana jadi yah? Itulah tanda- tanda kebahasaan MEE menjadi ambang tanda Tanya besar bagi suku MEE di tanah Papua.
Awal Januari 2010, saya hanya sekedar mampir ke warnet. Diskusi menarik terjadi. Hanya karena pentingnya budaya bahasa MEE. Budaya bahasa MEE yang semakin hari semakin memprihatingkan. Banyak orang chating di jejaring sosial (facebook). Bahasa mee penting. Bahasa mee penting. Bahasa mee penting. Itulah ujung kesimpulan yang saya temukan setelah diskusi dan chatiingan singkat dengan mereka yang saya diskusikan memalui jaringan sosial itu. Ada Kakak Markus You. Juga ada Kakak Agus Mote juga dengan beberapa orang lain yang tergabung dalam salah satu forum di jejaring sosial tersebut.
Dari keprihatinan itu. Akhirnya, ada pembahasan khusus supaya buat kamus bahasa MEE. Selain, yang ditulis abang Jhon pada oktober 2009. Selain, alkitab versi bahasa MEE. Selain, kumpulan doa yang ditulis Bruder Norbert, SJ. Bruder Norbert menamakan judul buku itu adalah “ani sembayang natopai,” yang artinya ajarilah aku berdoa.
Dari diskusi terbuka memalui jaringan sosial itu, yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang punya niat untuk menulis kamus bahasa MEE. Kalimat siapa yang bersedia menulis inilah yang diungkapkan oleh kakak Markus You yang juga sebagai seorang wartawan di Papua Pos Nabire. Dan, tampaknya, Agus Mote bersedia untuk menulis kaidah- kaidah bahasa Mee. Kemudian kamus bahasa MEE, siapa yang mau tulis?
Kawan ini bukan lelucon. Bukan bahan tertawaan. Paling tidak kita sendiri , orang suku MEE sendiri yang tulis kamus bahasa MEE. Sebenarnya yang ditulis kakak Jhon itu merupakan karya gemilang namun, masih ada fonem yang tidak konsisten dengan kita punya bahasa. Tapi karyanya perlu diacung jempol. Salahnya fonem “y” dipakai menjadi “j”. masih kebarat- baratan. Tapi luar biasa karena ditulis oleh manusia MEE. Apalagi ditulis dalam empat bahasa oleh kakak Jhon.
Ketika saya ikuti kelas Sosiologi Umum dikampus. Memang, budaya bahasa yang menjadi hal yang pertama (utama). Hal utama yang harus dipertahatikan oleh manusia sebagai bagian dari budaya. Yang katanya, budaya dan manusia tak dapat dipisahkan satu sama lain. Ibarat sebuah koin. Itulah teori yang saya pernah dapatkan di bukunya, Soerjono Soekanto. Dan diktat kuliah.
Bila kita tengok,bahasa Mee telah terasimilasi dengan bahasa lain. Yang paling Nampak di daerah perkotaan Papua. Katakan saja di Nabire, ungkapan bahasa MEE dan bahasa Indonesia paling Nampak. Di Nabire misalnya; ketika ada orang berbicara ataupun mengutarakan pendapatnya, kadang perbauran bahasa itu jelas terlihat. Sama halnya juga di Timika, jayapura dan lainya ditanah Papua lainnya.
Kita lihat lagi ke mahasiswa. Mahasiswa pun sama. Kebahasaan MEE masih membaur. Apalagi pembauran kebahasaan itu dengan bahasa Inggris.
Sebenarnya solusi yang terpikir oleh saya yakni kita konsisten dengan bahasa. Ketika kita hanya berbicara bahasa Mee, maka kata- kata yang menyertai pun harus bahasa Mee. Begitu juga dengan bahasa lainnya.
“Untuk itu mari kita lestarikan bahasa MEE kita, agar bahasa sebagai modal utama yang Tuhan Berikan bagi suku MEE di tanah Papua, menjadi identitas yang cukup dibanggakan”, kata saya.
Dengan melihat itu semua. Jadi pertanyaan, apakah bahasa MEE masih popular seperti sedia kala. Saya pikir, kita pribadi masing- masinglah yang bisa menjawab.
*) Penulis adalah Mahasiswa asal Tanah Papua, Kuliah di Bogor
NB: Tulisan ini pernah juga muat di Forum Deiyai News. Dimuat di Blog ini atas permintaan Penulis!!
6 komentar:
John, hanya satu kata: Lanjutkan.
Temanmu, Tito SJ
Pada Pertanyaan dan sekaligus judul di atas memberikan inspirasi dan pemahaman serius bahwa:
Budaya bahasa MEE, lambat-laun sudah menuju arah kepunahan.hal ini mungkin generasi sekarang, tidak serius mempelajarinnya. Mungkin karena dipengaruhi oleh Perubahan Jaman atau orang tuanya tidak pernah mengajarinya dan juga jarang bersosial. Tetapi bagi yang belum tahu bahasa MEE belum terlambat pasti ada Solusi:
Jika Generasi mau belajar pasti bisa berbahasa MEE. Kembali kepada Individu kita sendiri.
Jika kita ingin budaya bahasa MEE mau dilestarikan trussssssss....maka marilah kita mempelajarinya.....
Orang lain punya bahasa kita pelajari, mengapa kita punya bahasa sendiri ( Mothers Lenguages) tidak mempelajarinya.
Mengikuti perubahan jaman (IPTEK ) itu penting tetapi, kita jangan melupakan budaya kita sendiri( Adat-Istiadat).
Budaya yg dalamnya termasuk bahsa merupakan hal yang sangat penting dalam suatu komunitas. budaya dan siap anggotanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. untuk itu, budaya (termasuk bahasa) harus dipertahankan karena merupakan identitas yang tak terpisahkan dari masing2 individu didalamnya.
Salam Perubahan.
setuju dengan komentar kawan ku rumbewas bahwa bahasa daerah merupakan identitas suatu komunitas maka perlu dipelihara sekalipun sudah ada tantangan era blobalisasi yang sudah mulai mengarah kepunahan. solusinya selain kita tetap belajar di lingkungan orang tua, bila memungkin perlu di dorong dalam mata pelajaran sekolah (ekstrakulikuler), dan yang lebih terpenting memperbanyak buku-buku bahasa MEE, tulisan, ataupun literatur yang berbahasa MEE yang tentunya harus dimulai dari kita anak2 mudah asal suku MEE, sehingga itu juga membantu anak2 MEE yang lahir di luar daerah suku MEE utk mempelajarinya. yanus
Budaya tidak akan mempertahankan dirinya sendiri, oleh karena itu dibutukan orang2 yang dengan senang hati mau melestarikannya..! Keep up the sprit, never give up
Budaya tidak akan mempertahankan dirinya sendiri, oleh karena itu dibutukan orang2 yang dengan senang hati mau melestarikannya..! Keep up the sprit, never give up
Posting Komentar