Denias Tak Berbudaya*)

Jumat, November 09, 2007

"Ma, kenapa pas di film Denias, kok orang-orang di desa Papua itu pada ga pake baju?" "Karena mereka nggak berbudaya, belum modern seperti kita"

Seperti tersengat rasanya mendengar kalimat dari bibir seorang ibu muda yang menjelaskan ketelanjangan pada film 'Denias, Senandung di Atas Awan' pada anaknya - saat mengantri menunggu panggilan customer service untuk mengurusi kartu ATM yang tertelan.

Ini bukan pertama kalinya saya mendengar orang mengklaim sebagai 'manusia modern', yang ternyata didefinisikan berdasarkan referensi yang didapat dari nilai-nilai kehidupan sosial diri sendiri.Kata-kata 'manusia dan kehidupan modern' itu selalu dihubungkan dengan: memakai tshirt dan jeans, tinggal di rumah beton atau apartemen, mengenal telepon dan internet untuk berkomunikasi serta memeroleh informasi, memasak dengan kompor gas, menganggap manusia-manusia rupawan itu yang keindo-indoan, dan seterusnya.

Parahnya 'nilai-nilai modern' yang sifatnya sangat subjektif tersebut sering dipakai sebagai acuan menilai kebudayaan lain.Ketika melihat sekelompok orang yang masih mengenakan koteka atau malah telanjang, tinggal di Honai, berkoak[=teriak] antar desa untuk berkomunikasi dan memeroleh informasi jarak jauh, memasak dengan kayu bakar yang membuat bau asap sebadan-badan, dan seterusnya - maka dengan mudahnya memberi label 'tidak berbudaya'.

Padahal, yang namanya 'kebudayaan' itu merujuk pada seluruh aspek kehidupan, mulai dari ilmu pengetahuan, hukum-hukum, kepercayaan, agama, nilai-nilai, norma-norma dan lain sebagainya yang dimiliki masyarakat mana pun, terbentuk akibat proses belajar manusia di lingkungan yang bersangkutan.Jadi lucu, kan jika sekelompok masyarakat 'menilai' cara hidup kelompok masyarakat lain dengan menggunakan nilai-nilai sendiri, bahkan sampai melabeli kelompok yang dinilai dengan 'kurang berbudaya dari kita'?

Padahal jelas-jelas latar belakang kebudayaan yang mendasari cara hidup masing-masing kelompok masyarakat berbeda?Contoh, masyarakat Indian Yanomano di perbatasan Venezuela memperbolehkan anak-anak mereka untuk mengekspresikan kemarahan dengan menampar muka para bapak, atau Melissa, teman saya yang tinggal di salah satu negara di Eropa yang memanggil ayah dan ibunya dengan 'Matt' dan 'Kim' (nama kecil orang tuanya).

Untuk masyarakat kita, dua hal tersebut tentunya dianggap tabu. Jangankan menampar wajah Bapak saya, waktu tanpa sengaja, saat bercanda gila-gilaan dengan Bapak, tanpa sengaja saya mengucapkan kalimat : 'Beh, Lo tuh kacau deh!' saja, yang ada semua mata memandang saya sebagai anak yang lebih durhaka dari Malin Kundang. [sementara Bapak saya cuma menyambutnya dengan ketawa-ketawa :P]

Padahal perkara menampar wajah Bapak itu wajar bagi suku Indian Yanomano serta memanggil 'Matt' dan 'Kim' bagi Melissa itu wajar, sama sekali tidak mengurangi rasa hormat mereka dengan para orang tua.Atau contoh lain, ketika saya berada dalam sebuah camp antar bangsa, dan saat itu, karena keadaan darurat - kami terpaksa makan nasi bungkus tanpa sendok-garpu, bagi saya dan teman-teman Indonesia lainnya, makan seperti itu sungguh mudah bahkan nikmat, tapi bagi beberapa bangsa yang ikut saat itu, makanan di atas bungkus kertas itu menjijikkan [apalagi harus memasukkan makanan-makanan tersebut dengan tangan ke mulut].

Yang ada, saya hanya tertawa-tawa [plus menganggap aneh mereka yang tidak bisa makan dengan tangan, bo kocak deh, kertas pembungkus nasi dilipat, lalu mereka memasukkan nasi ke mulut melalui celah lipatan], sebaliknya, mungkin mereka juga merasa aneh ketika saya dan teman-teman dengan santainya menjumput makanan dengan ujung jemari, dan membuat serpihan lauk serta sambal melumuri tangan dan kuku-kuku kami.

Begitu juga dengan klaim sang ibu bahwa masyarakat Papua yang digambarkan dalam film 'Denias, Senandung di atas Awan' itu tidak berbudaya, karena tidak hidup dengan cara [yang dijelaskan sang ibu sebagai cara] hidup modern. Padahal, masyarakat Papua hidup demikian karena mereka memiliki tata tingkah laku sendiri - yang jelas-jelas berbeda dengan tata hidup yang dijalankan sang ibu [dan kita semua], bahkan orang Indonesia sekalipun.Ketika orang Papua belum berpakaian, bukan berarti mereka tidak berbudaya.

Ketika sang ibu berpakaian, juga belum tentu ia lebih berbudaya dari orang Papua.Mungkin ada anggapan bahwa cara hidup beberapa kelompok masyarakat 'aneh' karena berbeda dengan cara hidup kebanyakan dari kita, karena mereka masih bertahan dengan apa yang mereka percaya di hare gene dengan berbagai alasan. Cuma label 'tidak berbudaya' itu kok nggak enak banget ya, didengar? Kesannya kelompok-kelompok yang memiliki cara hidup berbeda itu berperilaku seperti hmm.. maaf.. binatang?

Tapi, ya sudahlah.. manusia itu kan memang egosentris, jadi wajar saja jika sulit untuk melepaskan diri dari sikap arogan dengan bersikap etnosentris [ menilai budaya melalui kacamata sendiri] tingkat tinggi lalu melupakan kenisbian [relativitas] kebudayaan. Dan dengan enaknya menilai kelompok lain sebagai : 'tidak berbudaya' tanpa melihat alasan-alasan di balik semua itu.Pada akhirnya, saya batal nyolot pada ibu tadi, karena keburu dipanggil oleh mbak-mbak Customer Service di meja nomor 5.

Biarkan sajalah dia tenggelam dalam cara berpikirnya -karena yang lebih mendesak adalah kembalinya ATM saya *egois mode on, dasar manusia!* :D

*Sebuah tulisan yang terinspirasi dari celoteh 'tidak berbudaya' seorang ibu saat menunggu layanan customer service.

-----------------------------------------------------
Sumber: sepatumerah.blogspot.com 11/23/2006

BACA TRUZZ...- Denias Tak Berbudaya*)

Hitam Bersaudara yang Terlupakan

Oleh: Aprila R. A. Wayar, SE*)


Saat ini tidak banyak dokumen ataupun data yang dapat diperoleh untuk dijadikan tolok ukur akan eksistensi grup musik asal Papua yang berjaya di era 1970-an hingga 1980-an. Namanya Black Brothers. Hal ini tentu berkaitan erat dengan undang-undang pers saat itu dimana lembaga atau media yang menyediakan informasi di Indonesia masih sangat terbatas. Ditambah lagi dengan sistem keamanan yang berlaku saat itu dimana Papua (baca: Irian Jaya) masih dalam status Daerah Operasi Militer (DOM) yang entah sejak kapan diberlakukan dan baru dicabut pada tahun 1998 oleh Pemerintah Indonesia sehingga proses evakuasi grup ini keluar Indonesia nyaris tidak diketahui khalayak umum di Indonesia.

Data yang dapat diperoleh saat ini justru lebih banyak berasal dari luar Indonesia yaitu tempat-tempat atau negara-negara yang pernah menjadi tempat singgah grup ini. Hitam Bersaudara, begitulah bila Black Brothers diartikan secara harafiah. Hampir seluruh personilnya berasal dari Timur Indonesia yang berkulit gelap sehingga Grup Band ini menamai dirinya Black Brothers. Grup Band. Tak dapat dipungkiri Black Brothers telah menjadi grup legendaries dalam sejarah musik di Indonesia dan kepulauan Pasifik. Sampai hari ini Black Brothers masih menjadi sumber inspirasi bagi pemusik bukan hanya di Papua dan Kepulauan Pasifik, di Indonesia Grup Slank juga merilis kembali lagu-lagu Black Brothers. Musik dan lagu-lagu grup band ini menyentuh hati banyak orang di Pasifik termasuk Australia, Selandia Baru bahkan masyarakat Eropa.

Menurut tabloid mingguan Green Left Weekly dari Sidney, Black Brothers menggunakan musik dan lirik mereka untuk memperjuangkan hak-hak orang Papua melawan penindasan Indonesia.

Di beberapa kota besar di Pulau Jawa yang pernah disinggahi Black Brothers, harumnya nama grup musik ini masih dapat dirasakan hingga saat ini. Di Semarang misalnya, pemuda-pemudi saat itu berlomba-lomba mengkribokan rambutnya bila Black Brothers akan tampil di kota itu.

Pada tahun 1979 personil grup ini harus melarikan diri ke Papua New Guinea (PNG) karena dituduh oleh Pemerintah Indonesia mendukung Gerakan Papua Merdeka. Ketidakstabilan kondisi sosial politik di negara tetanggga ini selain juga kecurigaan akan campur tangan agen Indonesia membuat mereka harus pindah ke Belanda dan mendapatkan kewarganegaraan Belanda. Di Eropa, grup band ini melihat bahwa pertunjukkan tradisional justru lebih mendapat penghargaan. Mereka menggunakan nama Papua kemudian menyuarakan kebudayaan dan pengalaman mereka.

Seperti pepatah terlanjur basah ya sudah mandi saja sekalian, pada tahun 1983 dan 1984 mereka mulai membantu Organisasi Papua Merdeka (OPM) secara langsung karena kerinduan mereka akan Pasifik di Vanuatu. Mereka juga menyatakan kesediaan untuk menampung warga Papua yang tidak berorientasi pada faksi tertentu.

Dalam perjalanan ke Vanuatu, Black Brothers singgah di Sydney, mereka berpartisipasi dalam aksi yang dilakukan oleh sebuah kelompok di Australia yaitu “Frieds of Papua” dan mereka juga menyatakan rasa percaya bahwa Pasifik akan menjadi pendukung utama untuk Papua Barat.

Kepindahan mereka dari PNG ke Vanuatu berkat kerja tokoh penting dalam perjalanan Black Brothers yaitu Fred Korwa. Di sepanjang tahun 1970-an mereka dikenal sebagai grup musik rock ‘n roll tapi kemudian mereka beralih menjadi Papua-oriented setelah mereka mendapat ijin mengunjungi PNG lagi.

Di PNG mereka menjadi bintang, baik dari sisi musik maupun politik.
Terakhir mereka di Canberra Australia sejak tahun 1989.

Mereka pernah juga tampil di Melborne Univercity pada tahun 1991. Penampilan terakhir mereka yang masih bisa diperoleh datanya yaitu di Papua New Guinea pada tahun 2002 atas undangan dari pemerintahan setempat.

Agustinus Rumaropen, gitaris pada Grup Band ini berpulang ke rumah Bapa di Sorga pada tahun 16 Mei 2005 lalu dalam usia 52 tahun. Almarhum meninggalkan seorang istri Anthomina Rumaropen dengan dua putra, tiga putri dan dua cucu laki-laki. Ia adalah sosok yang dinamis dan pemerhati masalah kemanusiaan khususnya untuk Rakyat Papua.

Hingga saat ini belum ada data konkrit penyebab hengkangnya Black Brothers dari Indonesia. Grup Band beraliran pop, rock, funky blues (disco) yang banyak dipengaruhi Grup Santana ini kemudian lebih banyak mengambil bagian dalam Gerakan Papua Merdeka setelah dipaksa keluar dari Indonesia. Kaos dan rekaman lagu-lagu mereka tersebar cukup luas di Papua hingga saat ini.

Satu persatu personil Black Brothers yang sudah lanjut usia kembali ke pangkuan-Nya. Nasib yang hampir sama dengan salah satu lagu dalam albumnya “Pusara Tak Bernama”, Grup Band inipun hampir terlupakan diantara maraknya kemunculan Grup Band yang ada di Indonesia saat ini.

Selamat jalan Pahlawan Musik Indonesia, semoga indahnya alunan musik karyamu menjadi motivasi bagi generasi muda Papua dan Indonesia untuk membangun Papua dan Indonesia.

*) Alumni Fakultas Ekonomi, Jurusan Manajemen Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta.
-----------------------------------------------
Sumber: Majalah SELANGKAH
BACA TRUZZ...- Hitam Bersaudara yang Terlupakan

Quo Vadis, Pendidikan dan Pembebasan Papua

Rabu, November 07, 2007

Oleh Longginus Pekey*)

Sejarah telah menunjukkan bahwa pendidikan merupakan hal yang paling esensial dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Dengan adanya pendidikan akan melahirkan kaum intelektual yang kritis. Kehadiran kaum intelektual sangat berperan dalam perkembangan suatu negara bangsa dan terutama adalah ilmu pengetahuan dan teknologi. Mereka hadir sebagai tokoh-tokoh revolusioner yang sangat aktif, sebagaimana telah terbukti dalam sejarah kehidupan manusia.

Pendidikan sebagai suatu praktek pembebasan (Paulo Freire). Artinya bahwa pendidikan dapat menyelamatkan orang dari ketertindasannya, juga dapat menyelamatkan orang dari suatu keterasingan. Dengan adanya pendidikan akan melahirkan jiwa-jiwa pembebas yang benar-benar memperjuangkan kemanusiaan. Mereka mengerti akan realitas yang sedang terjadi, dan juga tindakan yang harus dilakukan dalam mengahadapi situasi jamannya. Mereka hadir sebagai pembebas kaum tertindas.

Seorang intelek berjiwa pembebas inilah yang sangat diharapkan kehadiranya di tanah Papua. Seorang intelek yang dapat membebaskan jiwa-jiwa yang terasing di negerinya. Seorang intelek yang peduli akan hakekat sebagai sesama manusia sehingga dapat berbaur dengan masyarakat, bukan jiwa intelek yang memperhatikan dirinya sendiri. Orang Papua tidak menginginkan seorang intelek yang pandai menipu, bukan seorang intelek yang pandai memeras. Dan tidak samasekali mengharapkan kehadiran intelek yang mengajarkan tentang individualisme, kolektifisme, egoisme yang telah menjadi budaya kapitalis, karena hal ini bukanlah ciri khas orang Papua yang berjiwa sosial. Yang lebih diharapkan lagi oleh orang Papua adalah sistem pendidikan yang membebaskan, artinya lokalitas, pemebelajaran yang sesuai dengan konteks Papua. Bukan sistem pendidikan yang membodohi, dengan menjadikannya pendidikan sebagai lahan bisnis serta memiliki kepetinga politik lain yang merugikan rakyat Papua.

Sejak zaman kolonial Belanda, Papua telah dikenalkan dengan sistem pendidikan formal tetapi sifatnya mengarah pada suatu praktek seperti berkebun, menjahit, beternak yang konteksnya pada saat itu cukup sesuai denga keberadaan orang Papua. Adapun sekolah formal yang mengajarkan tentang ilmu pendidikan dan teknologi hal ini terlihat dengan adanya bangunan-bangunan sekolah bekas peninggalan Belanda ataupun sekolah-sekolah yang dibangun oleh misi sosial (Zendin). Begitupun setelah Papua berintegrasi dengan Indonesia, banyak sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah. Namun mengapa pendidikan di Papua bukan mencerdaskan tetapi membodohi masyarakat dengan sistem yang sentralistik ? Hingga sampai sekarang ini dapat dikatakan sumber daya manusia Papua kurang terkembangkan.

Orang melakukan suatu kegiatan (pekerjaan) tentunya memiliki suatu keinginan yang mau dicapai dengan hasil (tuaian) yang baik, namun yang terjadi justru sebaliknya. Dalam sistem pendidikan Indonesia yang di terapkan di Papua dengan sistem sentralistiknya berusaha mengindonesiasi rayat Papua dengan berbagai tujuan. Inilah yang menjadi tujuan dari pusat sehingga pembangunan di Papua baik pada masa orde lama maupun selama orde baru tidak berjalan baik. Kadang pemerintah dengan kekuatan militernya melakukan penindasan mental agar orang Papua tidak dapat melakukan suatu hal yang sifatnya membangun ataupun mengembangkan kebudayaan Papua sehingga nasionalisme etnis Papua yang telah tumbuh dan berkembang dengan sendiri berusaha dimatikan. Sejarah yang selalu berkata benar berusaha unutk di bohongi. Inilah identitas dari bangsa Indonesia yang mulai bobrok, yang berani bermain-main dengan sejarah. Ketika sejarah hadir dengan kebenarannya maka selamat tinggal (hancur) Indonesiaku.

Secara kultur dan ras orang Papua sangatlah berbeda dengan manusia Indonesia lainya. Pemerintah Indonesia selama ini tidak pernah memikirkan sistem pendidikan yang sesuai dengan kondisi Papua, karena termakan oleh keinginan mengambil kekayaan dan kebebasan. Pemerintah pusat pada zaman orde lama maupun orde baru jarang berpikir untuk membiarkan Papua ataupun daerah lain untuk mengatur dirinya sendiri. Negara federal yang ditawarkan oleh Belanda dihiraukan begitu saja oleh Indonesia.

Menjadi tantangan para pemimpin dan intelek Papua dalam mecari sistem pendidikan yang sesuai dengan kondisi alam setempat. Di sekolah anak didik dipaksakan untuk belajar atau memahami hal yang baginya sangat asing dan abstarak. Hal itu dilakukan sesuaai dengan keinginan pusat sehingga yang terjadi adalah pengkondisian, dengan alasan politis yaitu intetegrasi bangsa.

Akibat dari pengkondisian itu pendidikan maupun pembangunan tidaklah merata. Orang Papua merasakan pendidikan hanya setengah-setengah sehingga hasilnya pun setengah-setengah. Dari pada setengah-setengah lebih baik tidak sama sekali, karena hasil dari setengah-setenah dampak baiknya sangat kecil yaitu menghasilkan sedikit saja intelek Papua yang mampu berpikir kritis tentang daerahnya. Tetapi merekapun termakan oleh sistem yang berpusat. Mereka dikontrol sehingga tidak dapat melakukan suatu terobosan baru bagi daerahnya, malah menjadi manusia penindas sesamanya (homo homuni lupus). Sebagaimana yang nyata sekarang bahwa Papua merupakan salah satu provinsi dengan koruptor terbesar di Indonesia inilah hasil dari pendidikan yang setengah-setengah itu. Dampak dari semua itu dapat kita rasakan bahwa sumber daya manusia Papua masi dipertanyakan.

Dengan adanya otonomi daerah besarlah harapan bagi orang Papua untuk membangun daerahnya untuk mencapai suatu kemerdekaan pribadi. Pemerintah Indonesia telah memberikan hak sepenunya kepada Pemerintah Daerah untuk membangun negerinya. Denga demikian kita tidak perlu lagi bergantung pada pemerintah pusat. Pemerintah daerah dituntut untuk melakukan terobosan-terobosan baru yang dikiranya cukup baik bagi perkembangan pembangunan dan sumber daya manusia Papua yang masih kurang terkembangkan. Kiranya yang perlu difokuskan adalah bidang pendidikan yang dapat mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semoga!!

*) Ketua Komunitas Pendidikan Papua
------------------------------------------
Sumber: Majalah SELANGKAH
BACA TRUZZ...- Quo Vadis, Pendidikan dan Pembebasan Papua

Pendidikan Anak Usia Dini

Oleh Prof. Dr. H. KI SUPRIYOKO*)

SETELAH sekian lama pendidikan anak usia dini (PAUD) yang berskala nasional dan internasional di Indonesia tak terdengar; belum lama ini Depdiknas menyelenggarakan seminar dan lokakarya nasional PAUD. Aktivitas ini melibatkan beberapa direktur jenderal (dirjen), dari Dirjen Pendidikan Luar Sekolah (PLS) yang membawahi Direktorat PAUD, Dirjen Pendidikan Tinggi, sampai Dirjen Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan.

Momentum yang dihadiri ratusan partisipan tersebut juga menghadirkan pembicara yang berskala internasional; masing-masing Ms. Soo-Hyang Choi dari UNESCO atau tepatnya dari bagian Section for Early Childhood and Inclusive Education serta Marylou Hyson, Ph.D. dari NAEYC Washington D.C. selaku senior advisor for Research and Professional Practice.
Dari diskusi dan perbincangan yang berkembang dalam forum seminar dan lokakarya tersebut telah dibuat rumusan; dan rumusan ini menjadi referensi pengembangan pendidikan anak usia dini di Indonesia.

UU Sisdiknas
Terselenggaranya seminar dan lokakarya nasional PAUD tersebut tak dapat dipisahkan dengan UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (sama); dalam hal ini khususnya ketentuan yang mengatur tentang PAUD itu sendiri.

Konkretnya? Pasal 28 UU No.20 Tahun 2003 menyebutkan sbb: (1) Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar; (2) Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal; (3) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk taman kanak-kanak (TK), raudatul athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat; (4) Pendidikan anak usia dini jalur pendidikan nonformal berbentuk kelompok Bermain (KB), taman penitipan anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat; dan (5) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.

Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 Butir 14 UU No.20 Tahun 2003, PAUD itu sendiri merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Adapun karakter anak dan fungsi PAUD sangat jelas dan dapat dikategorikan sbb: (1) Setiap anak memiliki potensi (pembawaan) yang diberikan oleh Tuhan; (2) Potensi anak yang dikembangkan hanya mengandalkan stimulasi alam (nature) saja hasilnya tidak maksimal; (3) Potensi anak yang dikembangkan dengan stimulasi kultural (nurture) hasilnya bisa maksimal; dan (4) Fungsi PAUD adalah memberikan stimulasi kultural kepada anak s.d. usia enam tahun.
Jelas sekali bahwa fungsi PAUD adalah memberikan stimulasi kultural kepada sang anak. Pendidikan pada anak usia dini sebenarnya merupakan ekspresi dari stimulasi kultural tersebut.

Terabaikan
Apakah pendidikan usia dini di Indonesia sudah berjalan dengan baik dan menjangkau semua sasaran? Jawabnya belum! Baik secara kuantitatif maupun kualitatif pendidikan anak usia dini di negara kita memang jauh dari memadai, apalagi membanggakan. Lebih daripada itu bahkan ada kesan bahwa PAUD kita selama ini memang terabaikan.
Secara kuantitas jumlah anak usia dini di Indonesia memang relatif sangat tinggi, namun demikian sebagian besar dari mereka itu belum terlayani pendidikannya. Dari sebanyak sekitar 13,5 juta anak usia 0 s.d 3 tahun ternyata baru sekitar 2,5 juta atau 18,74 persen yang terlayani. Di sisi lain dari sekitar 12,6 juta anak usia 4-6 tahun ternyata baru sekitar 4,6 juta atau 36,54 persen yang terlayani pendidikannya. Jadi secara kuantitatif anak usia dini kita yang terlayani pendidikannya masih relatif sangat sedikit jumlahnya.

Bagaimana dengan kualitasnya? Kita semua tahu, dari TK, RA, KB, TPA, atau bentuk lain yang sederajat yang ada di Indonesia pada umumnya masih belum memperhatikan kualitas; atau setidak-tidaknya kualitas belum menjadi tujuan utama.

Kita hendaknya jujur dan objektif, sampai saat ini masih banyak TK yang kembang-kempis karena rendahnya keinginan orang tua mendidikkan putra-putrinya di TK, tidak adanya guru yang representatif, terbatasnya tempat kegiatan, dsb. Hal seperti itu juga terjadi di RA, bahkan sampai kini banyak RA yang tempatnya saja kurang memadai. Bagaimana TPA? Tanpa menafikan yang sudah berjalan baik, penyelenggaraan TPA yang seadanya dengan kurang memerhatikan mutu masih sangat banyak terjadi di masyarakat. Bagaimana dengan KB? KB yang baik dan menjadi idola masih sangat terbatas jumlah dan jenisnya, bisa dihitung dengan jari; namun kebanyakan anggota masyarakat tidak mengenal binatang apa KB itu.

Dengan adanya kenyataan tentang rendahnya jumlah anak usia dini yang sudah terlayani pendidikannya, dan sedikitnya lembaga penyelenggara pendidikan anak usia dini yang bermutu, diperlukan usaha-usaha nyata untuk melayani anak-anak usia dini kita. Dengan kata lain PAUD memang harus mendapat tempat dalam sistem pendidikan nasional kita. Sudah barang tentu pelayanan pendidikannya tidak sembarang pelayanan akan tetapi diperlukan suatu model pelayanan yang efektif bagi perkem-bangan anak itu sendiri.

Apabila kualitas pendidikan kita rendah dibandingkan kualitas pendidikan di negara-negara lain pada umumnya; akar permasalahan sesungguhnya ada pada terabaikannya PAUD selama ini!!***
*) Pengembang model pelayanan terpadu pendidikan anak usia dini melalui KB dan TK Insan Cendekia Yogyakarta.
BACA TRUZZ...- Pendidikan Anak Usia Dini

Minat Baca, Kunci Sukses PAUD

Oleh : Romi Febriyanto Saputro*)

Pendidikan anak usia dini memiliki peran penting dalam sistem pendidikan nasional. Ibarat sebuah rumah, pendidikan usia dini merupakan pondasinya. Penelitian di bidang neurologi menyebutkan selama tahun-tahun pertama, otak bayi berkembang pesat dengan menghasilkan neuron yang banyaknya melebihi kebutuhan. Sambungan itu harus diperkuat melalui berbagai rangsangan karena sambungan yang tidak diperkuat dengan rangsangan akan mengalami atrohy (menyusut dan musnah). Banyaknya sambungan inilah yang mempengaruhi kecerdasan anak.
Dosis rangsangan yang tepat dan seimbang akan mampu melipatgandakan kemampuan otak 5 – 10 kali kemampuan sebelumnya.Salah satu rangsangan yang sangat diperlukan oleh anak usia dini adalah rangsangan untuk membaca. Rangsangan untuk membaca ini bertujuan agar anak usia dini memiliki minat baca yang tinggi meskipun mereka belum bisa membaca. Pengalaman Marcia Thomas, seorang ibu di Memphis, Tennesse, sebagaimana dikutip Fauzil Adhim (2007), membuktikan bahwa kegiatan membacakan buku pada anak usia dini terbukti mampu melesatkan kecerdasan otak anak. Marcia Thomas bercerita, “Anak kami, Jennifer, lahir pada September 1984. S
alah satu hadiah yang pertama kali kami terima adalah sebuah buku The Read –Aloud Handbook. Kami membaca bab pendahuluan dan kami sangat terkesan dengan kisah Cushla dan keluarganya. Kami lalu memutuskan untuk memberi “diet” kepada anak perempuan kami dengan sekurang-kurangnya sepuluh buku sehari.Ketika itu, dia harus menjalani rawat inap di rumah sakit selama tujuh minggu karena gangguan jantung dan bedah korektif. Begitulah, kami mulai membacakan buku kepadanya saat dia masih menjalanai perawatan intensif; dan manakala kami tidak bisa menemaninya, kami meninggalkan tape berisi rekaman cerita dan meminta kepada perawat untuk menghidupkannya buat anak kami.Usaha Marcia Thomas yang begitu bersemangat tidaklah sia-sia.
Pada usia SD, anaknya selalu memperoleh nilai tertinggi untuk pelajaran membaca. Tidak ada kegemaran yang lebih disukai oleh Jennifer melebihi membaca.Tetapi, bukan itu yang paling membahagiakan orang tuanya. Marcia Thomas menuturkan, “Apa yang membuat cerita kami berharga adalah bahwa Jennifer lahir dengan Down Syndrome. Pada usia dua bulan , Marcia diberitahu bahwa Jennifer hampir-hampir mengalami kebutaan, tuli, dan keterbelakangan mental yang parah. Ketika dites pada usia empat tahun, IQ-nya hanya III”.Kisah di atas menunjukkan bahwa kegiatan membacakan buku pada bayi memberikan dampak positif berupa : pertama, menumbuhkan minat baca.
Bayi yang sedari awal sudah diperkenalkan dengan buku akan menganggap buku “tak lebih” sekedar permainan yang mengasyikkan. Buku akan dianggap sebagai teman bermain yang menyenangkan. Kesan ini akan terekam kuat dalam memori bayi hingga masa pertumbuhan selanjutnya.Kedua, meningkatkan kosa kata bayi. Ketika seorang ibu membacakan buku pada bayinya, sang bayi akan merasa sedang diajak bicara oleh sang ibu.
Hal ini cukup penting guna merangsang kemampuan berbicara sang bayi. Ketiga, meningkatkan hubungan kasih sayang ibu dan anak. Membacakan buku pada bayi merupakan salah satu kegiatan untuk mengakrabkan hubungan orang tua dan anak. Anak akan merasa diperhatikan oleh orang tua.Menumbuhkan minat membaca jauh lebih penting daripada mengajarkan agar anak usia dini “bisa” membaca. Mengapa ? Karena betapa banyak anak-anak bangsa ini yang bisa membaca tetapi miskin minat baca.
Ketika masih TK mereka begitu semangat dalam membaca, tetapi tatkala menginjak SD minat bacanya “surut”.Hal ini terjadi karena adanya mal praktik dalam pendidikan anak usia dini di tanah air. Guru dan orang tua terlalu menuntut agar anak-anak agar segera dapat membaca. Setiap hari anak-anak “didrill” dengan pelajaran membaca. Akibatnya, anak-anak mengalami overdosis. Membaca yang semula merupakan suatu keasyikan sebagaimana sebuah permainan, kini telah berubah menjadi “monster” yang menakutkan.
Membaca kini telah berubah menjadi beban. Apalagi kurikulum pendidikan kita terhitung cukup padat yang membuat anak-anak kian malas untuk membaca.Yang tejadi saat ini jutaan peserta didik di tanah air “terpaksa” membaca agar disebut “sudah belajar”. Mereka “dipaksa” membaca agar dapat lulus ujian dengan nilai yang baik.. Padahal, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang menghasilkan lulusan yang terus menerus membaca sepanjang hidupnya. Belajar membaca tanpa minat baca hanya akan melahirkan robot-robot kecil yang sekedar pandai dalam membunyikan huruf. Hal ini akan berbeda hasilnya, jika anak-anak ditumbuhkan motivasi, selera, dan keinginannya untuk membaca. Proses “bisa” membaca akan tercapai dengan sendirinya seiring dengan semakin memuncaknya minat baca.Hambatan utama untuk menumbuhkan minat baca pada anak usia dini ini adalah minimnya akses masyarakat terhadap buku. Buku masih menjadi barang mahal bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Orang tua akan merasa keberatan untuk menyisihkan “jatah hidupnya” untuk membeli buku.
Perpustakaan DesaUntuk itu, pemerintah perlu membuat kebijakan agar para orang tua dapat mengakses buku dengan mudah dan murah. Pemerintah perlu mengaktualisasikan kembali konsep perpustakaan desa. Perpustakaan desa yang sudah diatur dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 3 Tahun 2001, dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan akses masyarakat menengah ke bawah terhadap layanan pendidikan anak usia dini.Pasal 2 ayat 2 dari Kepmendagri dan Otda menyebutkan bahwa Pembentukan Perpustakaan Desa harus disepakati oleh masyarakat melalui proses musyawarah di dalam forum Lembaga Masyarakat Desa dan mengikutsertakan lembaga pendidikan yang ada. Dalam hal ini perpustakaan desa dapat membuka layanan Kelompok Bermain.Di India, tepatnya di Negara Bagian Kerala, perpustakaan desa sukses memberantas buta huruf.
Prestasi India ini sekaligus membuka cakrawala berpikir kita, bahwa perpustakaan desa tidak hanya melayankan buku, namun juga dapat dipergunakan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Pemerintah kita dapat meniru sukses India, dengan memberdayakan perpustakaan desa untuk meningkatkan mutu pendidikan anak usia dini. Fokus layanan Kelompok Bermain (KB) ini adalah mengupayakan agar anak-anak memiliki kecintaan, ketertarikan, dan “kegilaan” kepada buku. Hal ini dalam dunia pendidikan sering disebut dengan istilah pendidikan pra membaca.
Untuk mewujudkan ide ini, perpustakaan desa perlu melengkapi koleksinya dengan buku-buku anak usia dini.Pendidikan pra membaca ini sebenarnya bisa diberikan oleh siapa saja yang memiliki kecintaan kepada dunia anak dan dunia buku. Pengajar cukup memotivasi anak-anak agar memiliki minat baca yang tinggi. Motivasi dapat diberikan melalui kegiatan bermain, bernyanyi, mendongeng, maupun membacakan buku pada anak.Agar lebih berdayaguna, perpustakaan desa juga dapat merangkul Taman Pendidikan Al Qur ‘an (TPA) untuk mengajarkan minat baca pada anak didiknya. Minat baca perlu ditumbuhkan juga pada anak-anak yang belajar Al Qur ‘an. Agar ketika mereka membaca Al Qur ‘an sungguh-sungguh dilandasi dengan minat, ketertarikan, dan kecintaan yang kuat kepada Al Qur ‘an. Dengan demikian anak-anak akan memiliki karakter keberagamaan yang kuat. Selama ini, TPA hanya mendidik anak-anak membaca dan menghafal Al Qur ‘an tanpa dilandasi karakter. Akibatnya, ketika mereka beranjak dewasa, Al Qur ‘an hanya menjadi bacaan yang kering tanpa
makna.
Memanfaatkan perpustakaan desa untuk membuka layanan Kelompok Bermain akan membawa dampak ganda, yakni meningkatkan akses masyarakat menengah ke bawah terhadap pendidikan anak usia dini sekaligus meningkatkan mutu pendidikan anak usia dini itu sendiri.

*) PNS pada UPTD Perpustakaan Kabupaten Sragen
-------------------------------------------
Sumber:http://www.kabarindonesia.com
BACA TRUZZ...- Minat Baca, Kunci Sukses PAUD

Sekolah Gratis

Selasa, November 06, 2007

Pengantar Komunitas Pendidikan Papua:
Yth. Pembaca pendidikanpapua.blogspot.comKami dikirimi email tentang informasi pendidikan gratis oleh White Flower" pada tanggal 6 Nov 2007. Barang siapa membaca informasi ini tolong disebarlauskan.
--------------------------------------
JIka anda mengenal atau mengetahui ada anak miskin atau dari golongan kurang mampu, lulus SD (berijasah) tetapi tidak dapat meneruskan ke SMP, umur max 18 tahun, tinggal di Jakarta Selatan, dapat menghubungi Ibu Ade,Pancoran Timur VIII no. 4B Jakarta 12770 telp. 7990412 HP. 085691500258,Untuk selanjutnya akan disurvei. Jika tidak ada halangan tahun ini akan dibuka sekolah rakyat (SMP terbuka) gratis di Jakarta Selatan khusus untuk anak miskin dan dari golongan tidak mampu .

Best Regards,
Ade Andria
Outreach Sampoerna FoundationSampoerna Strategic
SquareTower A, 27th Floor Jl. Jendral Sudirman Jakarta
----------------------------------------
Sumber Info:White Flower" , 6 Nov 2007
BACA TRUZZ...- Sekolah Gratis

Penyadaran Demi Pembebasan

Senin, November 05, 2007

Dalam gerakan pendidikan pembebasan berpemahaman bahwa pendidikan bukanlah proses transfer pengetahuan apalagi pemaksaan doktrin. Justru sebaliknya, gerakan pendidikan melawan kecenderungan tersebut. Pendidikan di kalangan ini adalah proses pengembangan sikap terhadap lingkungan alam, sosial dan diri sendiri sebagai manusia. Pengetahuan pun bukan barang jadi yang tinggal diterima, tapi sebuah hasil penjelajahan yang memerlukan kreativitas dan kebebasan.

Di sekolah-sekolah rakyat dan alternatif individu adalah subyek dan titik pusat pendidikan. Seluruh paradigma pendidikan otoriter di sekolah tradisional dijungkir-balikkan, karena seperti dikatakan Ivan Illich, di dalamnya individu hanya dijadikan kuda beban atau domba korban yang melayani kepentingan penguasa dan praktek diskriminasi yang menyingkirkan kalangan tak mampupun tak dapat dihindarkan. Baginya sekolah tradisional lebih jauh mengebiri kecerdasan dan menjerat kemanusiaan dalam perangkap mekanik, sehingga tak ada pilihan lain kecuali membangun masyarakat tanpa sekolah.

Untuk mengembangkan dan memperkuat gagasannya Illich aktif dalam Center of Intercultural Documentation (CIDOC) yang didirikan di Mexico tahun 1961. Di sini ia membuat studi dan diskusi-diskusi tentang pendidikan alternatif, di samping memikirkan masalah jumlah anak putus sekolah yang semakin membengkak di seluruh Amerika Latin. Karena tidak ada dana mendirikan sekolah sementara pendidikan sangat diperlukan, Illich mulai berpikir tentang pendidikan rakyat tanpa sekolah yang sesungguhnya hanya membelenggu kemerdekaan berpikir dan berkarya.

Gagasan radikal itu mendapat wujudnya dalam model pendidikan yang dikembangkan Paulo Freire. Titik tolak gagasan Freire adalah kenyataan sosial di Brasil, di mana penindasan bercokol dengan mudah karena ketidaktahuan dan proses pembodohan oleh penguasa. Pada tahun 1960-an ketika ia mulai bergerak, hampir separuh dari 34,5 juta penduduknya buta huruf. Di tengah lautan ketidaktahuan para politisi bermain (dan mempermainkan) rakyat dan akhirnya mampu mempertahankan penindasan yang hebat.
Baginya, pendidikan tak dapat dipisahkan dari penyadaran (conscientização), yang akhirnya bermuara pada pembebasan. Ia mengkritik metode pemberantasan buta huruf pemerintah yang hanya memperkenalkan abjad kepada para peserta dan akhirnya mempersiapkan orang untuk menjadi pelayan kepentingan penguasa. Baginya pengenalan abjad terkait dengan pembebasan, karena itu program pemberantasan buta hurufnya sekaligus bermaksud membangkitkan kesadaran politik rakyat. Ia mendobrak sistem pendidikan Brasil yang pedantik dan berhenti pada pengetahuan, dengan menyerukan bahwa pendidikan adalah proses belajar untuk bergerak dan bertindak.

Metode itu tentu saja mengganggu kenyamanan penguasa. Kecerdasan rakyat adalah musuh setiap penguasa lalim. Ketika terjadi kudeta, rezim militer yang kemudian berkuasa menuduh metode Freire adalah subversi yang mengancam status quo. Tahun 1964, setelah dipenjara selama 70 hari, ia dibuang ke luar negeri. Selama lima tahun ia terpaksa hidup di pengasingan, dan melanjutkan perjuangan pendidikannya di negeri-negeri Amerika Latin, yang kemudian menyebar ke seluruh dunia.

Dalam keadaan carut-marut seperti sekarang, sudah saatnya kita berpikir tentang membangun kembali pendidikan sebagai bagian dari gerakan rakyat. Sudah saatnya pula pemerintah berbesar hati mengakui keterbatasannya, dan mundur dari pengelola yang otoriter menjadi lembaga pemberi fasilitas dan pengakuan kepada usaha-usaha rakyat membangun pendidikannya sendiri. Pengalaman sejarah Indonesia sendiri memperlihatkan bahwa ‘kaum terpelajar’ yang membangun negeri ini bukan hanya mereka yang dididik di sekolah kolonial. Kekuasaan dan kewenangan tidak ada urusan dengan kecerdasan. Karena itu tidak ada salahnya ‘meninggalkan sekolah’ untuk membangun gerakan pendidikan rakyat.

----------------------------------
Sumber:Dokumentasi KPP
BACA TRUZZ...- Penyadaran Demi Pembebasan

Menjual Masa Depan Demi Satu Bungkus Nasi

Oleh Emanuel Goubo Goo*)

“Ananias Tebay seorang bocah 11 tahun yang berdomisili di bilangan Karang Mulia Naire Papua, pagi sekitar pukul 06.00 WIT keluar dari rumahnya sembari menenteng sebuah karung dan sebatang besi beton berukuran 2 meter. Dia menelusuri pinggiran jalan. Sesekali mengorek-korek tumpukan sampah. Ketika menemui bekas kaleng, ia memasukan dalam karung kumal yang telah dibawanya. Memasuki gang-gang kecil, kadang menembusi rumah warga mencari tumpukan sampah. Bila dirasa tak ada berpindah lagi ke rumah lain. Dalam pencariannya terkadang Ia diusir warga.

Pada hari lain pada Sabtu 01 Sepetember 2007 lalu, Ananias dengan sempongon memikul sekarung kaleng bekas menuju tempat penampung besi tua dan kaleng. Sang penampung menimbang lalu diserahi uang lima ribuan tiga lembar.

Menerima uang lima belas ribu rupiah dan dilipat karung bekas bisi kaleng itu lalu pergi menghilang di tengah orang-orang di Pasar Karang. Ia membeli nasi kuning sebungkus dan keperluan lainnya hari itu. Lalu melanjutkan lagi mengumpulkan kaleng di tempat-tempat pembuangan sampah”.

***
Itulah aktivitas keseharian salah seorang anak penjual waktu belajar (bertumbuh dan berkembang) dengan mencari dan menjual kaleng bekas. Dia jalan mencari uang untuk makan keseharian dia di atas tanah yang konon disebut-sebut negeri emas (negeri kaya raya). Ini adalah fenomena yang sedang berkembangn di Kabupaten Nabire. Ananias adalah satu dari banyak anak kecil yang sedang memilih profesi tersebut. Satu dari anak-anak yang menjual waktu dengan memilih menjadi pemulung (mengumpul dan [penjual barang bekas). Mereka rata-rata adalah anak-anak miskin yang orang tuannya hidup di pinggiran kota karena terpinggir.

Realitas ini relevan dengan apa yang pernah diungkapkan Dom Helder Camara dalam bukunya yang berjudul ”Spiral Kekerasan”, bahwa kekerasan berkaitan erat dengan kemiskinan. Camara mengatakan, “Terlalu sering terkandung apa yang dapat disebut peninggalan dari kemiskinan. Secara umum diketahui bahwa kemiskinan membunuh secara sama pastinya dengan perang yang paling brutal.

Namun kemiskinan lebih dari sekedar membunuh; ia menyebabkan kerusakan fisik, kerusakan psikologis (terdapat banyak kasus subnormalitas mental akibat kelaparan), dan kerusakan moral (mereka yang dalam situasi perbudakan, sesuatu yang tidak tampak tetapi sungguh nyata, hidup tanpa kepastian akan masa depan dan harapan sehingga jatuh ke dalam fatalisme dan merosot ke dalam mental pengemis, kenakalan remaja pesta seks, miras, dan sebagainya).

Kasus lain, di Jayapura, beberapa waktu lalu petugas Satpol PP menangkap 6 (enam) anak pemulung kaleng bekas. Mereka ditangkat ketika sedang pesta miras dan seks seusai pulang mengumpulkan kaleng bekas di sampah-sampah.

Fakta tersebut tentu membuat miris, dimana hak anak untuk mendapatkan pendidikan seharusnya dipenuhi, serta menurut kesepakatan internasional, anak-anak di bawah umur tidak diperbolehkan bekerja. Kemiskinan seringkali menjadi salah satu sebab mengapa anak turun merambah dunia kerja yang keras dan mempertaruhkan waktu serta keselamatannya untuk sekedar memperoleh uang guna bertahan hidup atau membantu perekonomian keluarga yang terpuruk.

Kasus lain lagi dari Nabire, Andreas (11) bertengkar dengan ibunya karena merasa tidak cocok dengan menu makanan yang diberikannya. Andreas adalah siswa salah satu sekolah dasar di Nabire. Terpaksa Andreas mencari jalan lain untuk mendapatkan makanan yang menurutnya lebih enak (ada dagingnya). Dia keluar rumah dan memungut kaleng bekas. Hasil jualannya untuk beli makanan yang diinginkannya.

Menurut ibunya, “Sepulang sekolah, dia diberi makan. Karena menunya tidak cocok dengan seleranya, piring nasi yang diberikan ibunya langsung dibanting.” Setelah itu, dia lepas tas buku dan pakaian sekolah lalu pergi mengumpulkan kaleng untuk mencari makan di luar rumah lantaran ibunya tidak sanggup memenuhi makanan sesuai permintaan anaknya.

Harga-harga bahan makanan yang melambung tinggi menyebabkan anak-anak keluarga miskin tidak mendapatkan makanan yang cukup bergizi. Dan persoalan tersebut lagi-lagi selalu disangkal oleh pemerintah. Keluarga diposisikan sebagai satu-satunya yang bertangguang jawab atas segala persoalan yang menimpa anggotanya. Pemerintah telah cuci tangan kah?

Yang sungguh menyakitkan adalah anak-anak ini selalu dianggap pengganggu bahkan diberikan sejumlah stigma negatif. Kebanyakan orang menganggap anak-anak itu adalah penggangu lalu-lintas, merusak pemandangan, mengotori daerah, maling dan lainnya. Hanya sebatas itu. Tidak ada yang bertanya kenapa anak-anak itu harus memilih hidup dengan cara itu? Jarang bertanya kenapa mulai ada fenomena itu?

Fenomena yang digambarkan di atas adalah satu dari berbagai persoalan sosial di tanah Papua, terutama di Nabire. Orang-orang Papua melarat di atas tanah air mereka. Hak anak-anak untuk sekolah dan waktu untuk belajar terbuang dengan mencari sesuap nasi. Anak-anak usia sekolah bekerja menjadi pemulung untuk mengisi perut sehari-sehari. Kebebasan dan bakat terkubur dalam kesibukan mencari makan. Masa depan anak-anak itu belum bisa dipastikan. Lalu apa yang salah? Apakah pemerintah tidak melihat? Kemanahkah dana Otonomi Khusus trilyunan itu? Entalah! Tapi yang penting adalah kita buka mata terhadap persoalan sosial seperti ini. Karen anak-anak harus mendapatkan hak mereka untuk belajar (sekolah). Orang-orang tua mereka harus diberdayakan. Anak-anak Papua harus berkembang dengan potensi dan mimpi-mimpi yang lebih besar untuk diri mereka dan tanah Papua ke depan. Anak-anak (orang Papua) benar-benar harus menjadi tuan di atas tanah itu?

*) Wartawan Suara Perempuan Papua di Nabire.
---------------------------------------
Sumber: Majalah SELANGKAH
BACA TRUZZ...- Menjual Masa Depan Demi Satu Bungkus Nasi

Mereposisi Pendidikan Swasta dalam Pembangunan Manusia Pegunungan Bintang

Yayasan Pendidikan Persekolahan Katolik (YPPK), Yayasan Pendidikan Kristen (YPK), Yayasan Pendidikan Persekolah Gemah Injil (YPPGI)adalah tidak hanya peletak dan pembuka tetapi juga pendamping manusia Papua. Lembaga pendidikan swasta di Papua telah ada lebih dahulu dan telah membangun tanah dan orang Papua bersama orang Papua. Lembaga pendidikan baru, baik milik swasta maupun milik pemerintah yang datang seakan mengalihkan(?) perhatian kita akan diri kita, lingkungan kita, sesama kita, dan masa depan kita.

Oleh: Bomkonwoqk Gerald Bidana*)

Prolog
Pernahkah kita berpikir sejenak untuk melihat kembali, apa yang telah dilakukan lembaga pendidikan swasta di tanah Papua, khususnya Pegunungan Bintang? Bagaimana keadaan lembaga-lembaga pendidikan swasta tersebut saat ini? Bagaimana kepemimpinan dan perhatian para pimpinan yang nota bene adalah kader dari pendidikan swasta itu terhadap lembaga pendidikan swasta? Tidak kita pungkiri bahwa lembaga pendidikan swasta di tanah Papua adalah peletak dasar sekaligus pembuka cakrawala untuk membawa manusia Papua, khususnya Pegunungan Bintang untuk mengenal dirinya, sesamanya dan lingkungannya serta dunia luar.

Saya harus menulis hal ini (tentang lembaga pendidikan swasta) karena ada sebuah keprihatinan mendalam. Tulisan ini tidak dibuat untuk kepentingan tertentu apalagi menyudutkan pihak tertentu. Tulisan ini hanya ingin mereview dan mereposisi kembali lembaga pendidikan swasta. Terutama karena saya melihat ada semacam pengabaian terhadap lembaga pendidikan swasta dalam pembangunan pendidikan di tanah Papua, khususnya Pegunungan Bintang.

Saya ingin membawa kita untuk melihat bersama, saya dan anda bertumbuh dan kembang dari lembaga pendidikan apa? Lalu bagaimana keadaan lembaga pendidikan swasta saat ini di Pegunungan Bintang secara khusus dan Papua secara umum? Kemudian, apa yang harus kita lakukan terhadap sekolah swasta itu untuk saya, anda dan anak cucu kita? Beberapa pertanyaan reflektif ini membawa setiap orang Pegunungan Bintang khususnya dan Papua umumnya untuk merefleksikan apa yang telah dilakukan pendidikan swasta dan bagaimana kita memperlakukannya saat ini?

Tulisan ini juga mencoba mereview realitas kepemimpian kader swasta di kabupaten Pegunungan Bintang. Sekaligus juga akan melihat bagaimana keterlibatan (dilibatkan atau tidaknya) sekolah swasta dalam pembangunan pendidikan di kabupaten Pegunungan Bintang. Tulisan ini muncul dari kesan subjektif atas ketidakterlibatan (tidak dilibatkannya) sekolah swasta ----sebagai peletak dasar Sumber Daya Manusia----oleh pemerintah dalam pembangunan pendidikan era Otonomi Khusus (Otsus).

Kehadiran Misionaris dan Tantangannya ke Depan
Misionaris katolik masuk di Pegunungan Bintang pada tahun 1950-an melalui Paniai, Kokonao, Maroke, Mindiptana. Sedangkan misionaris protestan masuk melalui Maroke tahun 1960-an. Kedatangan misonaris ini meninggalkan setumpuk sejarah yang berdampak positif dan negatif dalam kehidupan manusia Pegunungan Bintang khususnya dan Papua umumnya.

Kedua misionaris pengembangkan misinya di wilayah masing–masing. protestan di bagian Utara dan Barat Papua sedangkan katolik bagian Selatan, Tengah dan Timur Papua. Patut disyukuri bahwa misionaris inilah yang benar-benar membuka jalan utama bagi orang Pegunungan Bintang dan orang Papua umumnya.

Kehadiran misionaris katolik maupun Kristen tidak hanya mewartakan kabar gembira (injil) di dalam gereja tetapi juga ada aksi di kehidupan nyata. Ada aksi-aksi keselamatan melalui pendidikan dengan mendirikan sekolah. Di kabupaten Pegunungan Bintang misalnya, SD Atolbol, SD Abmisibil, SD Yapimakot, SD Mabilabol, dan SD Kukding. Sekolah-sekolah ini adalah peletak dasar pendidikan yang sungguh bersejarah bagi orang Pegunungan Bintang. Hasil didikan dari sekolah-sekolah tersebut adalah sebagian besar pejabat di kabupaten Pegunungan Bintang saat ini.

Pejabat daerah adalah harapan masyarakat dalam pembangunan, tetapi kenyataan berkata lain. Selama sekian tahun kebelakang ini ini terkesan belum benar-benar mengakomodir kebutuhan mendesak masyarakat. Kebutuhan mendesak dan mendasar masyarakat adalah pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Tiga bidang pokok ini belum diperhatikan secara serius, sehingga kini menjadi perhatian banyak pihak, termasuk masyarakat awam.

Hal ini bisa dilihat dari beberapa sisi seperti kesiapan pengetahuan dan keterampilan seorang pemimpin. Seorang pemimpin yang benar-benar melihat persoalan mendasar masyarakat masih harus dipertanyakan. Fenomena ini sangat nampak pada kesulitan membangun relasi bersama orang lain yang memiliki pengetahuan lebih dalam mewujudkan pembangunan. Seperti, belum bisa membuka diri bekerja sama dengan lembaga-lembaga swasta di tingkat daerah maupun tingkat nasional yang sudah teruji menajemen kerjanya.

Perlu diakui bahwa, sebelum adanya kabupaten, orang Pegunungan Bintang selalu bernafaskan jalur swasta. Konkretnya adalah pelayanan pesawat AMA dan MAF turut membantu pengangkutan sarana dan prasarana penyelenggaraan pendidikan formal dan bidang lain. Penyelenggaraan pendidikan inilah yang secara perlahan membebaskan manusia satu persatu dari kebodohan dan ketertinggalan.

Namun setelah Pegunungan Bintang menjadi kabupaten sekolah-sekolah swasta seakan-akan terlupakan. Bukan dilupakan. Usaha-usaha konkret membangun kembali sekolah swasta sebagai pelatak dasar pembangunan manusia belum banyak terlihat. Maka, seharuslah yang mendesak adalah penataan kembali sekolah-sekolah swasta yang pernah mendidik orang Pegununga Bintang. Sementara untuk jenis sekolah lain disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Karena sesungguhnya lembaga swasta memiliki menajemen kerja yang cukup baik yang sudah teruji di mana-mana.

Selain itu, para pekerja swasta justru lebih memahami ciri khas manusia dan keadaan alam Papua. Sekarang, apakah ada kader swasta pemimpin daerah yang memunyai hati dan niat untuk mengajak kedua lembaga pendidikan (pendidikan swasta Kristen dan katolik) duduk bersama kaitannya dengan pembangunan pendidikan. Pada saat duduk bersama banyak hal yang bisa dibicarakan untuk dilakukan. Antara lain misalnya, membangun sekolah percontohan berpola asrama, membangun sekolah keterampilan untuk pemuda-pemudi, dan lain-lain.

Pembongkaran Areal Misionaris dan Tata Kota Pegunungan Bintang
Sudah pantaskah pembongkaran lokasi misionaris yang pernah menitipkan sebuah visi bagi anak cucu Pegunungan Bintang? Menurut saya sangat amat keliru menentukan tata kota ibu kota kabupaten, sehingga perlu ditinjau kembali dan harus diundangkan. Sebetulnya tempat ini dijadikan sebagai monumen bersejarah bagi orang Pegunungan Bintang untuk dikenang sepanjang generasi. Lokasi ini adalah tempat perziarahan, tempat persinggahan bahkan menjadikan tempat tinggal utama seperti sebagaimana biasanya Aip.

Aip adalah tempat tinggal utama dalam suku Ngaum Papua. Aip itu tempat utama aktivitas dan menyimpan segala sesuatu yang dimiliki suku Ngaum Papua. Untuk itu, penghargaan dalam bentuk apa pun tentu harus ada. Karena tempat inilah pertama kali orang Pegunungan Bintang dibina, dididik menjadi tahu dan bisa melihat dunia luar. Bila tidak segera berpikir untuk menyelamatkan tempat dan sisa potensi orang yang ada, maka kemudian ada kemungkinan muncul krisis kader.

Krisis kader seperti, tidak adanya kader gereja putra daerah, munculnya gosip isme-isme, muncul orang yang tidak tahu diri (kelompok mabuk-mabukan), muncul kelompok orang yang tidak tahu menjaga moralitas diri, dan lainnya yang bisa memunculkan konflik horizontal. Nenek moyang kita selalu percaya tempat sakral (Aut Bai/Aip Watinbai) yang merupakan tempat yang menghidupkan, begitu pula terhadap tempat-tempat misionaris. Para orang tua kita yakini sungguh Atangki (Allah) bersemayam di tempat ini bersama para misionaris. Tetapi kini tidak dipedulikan lagi. Yakin saja pasti akan mengalami banyak kegagalan dalam membangun manusia Pegunungan Bintang.

Pembongkaran lokasi misi menunjukkan interpretasi dari hal-hal serupa lain, seperti pemberian nama-nama jalan, pemberian nama-nama kantor, penetapan logo daerah, dan lainnya sesuai kearifan lokal yang harus diikat dengan peraturan daerah belum terpikirkan secara sadar. Fenomena ini sangat jelas sehingga pemerintah perlu melakukan evaluasi dalam memperhatikan kearifan lokal dengan makna otonomi khusus. Sejauh yang saya ikuti, sepertinya belum ada koordinasi kerja yang jelas antar pejabat, sehingga berdampak pada keterlambatan implementasi program pembangunan.

Penyebab utama adalah belum adanya keterlibatan semua pihak pada pembicaraan awal tentang sejumlah hal, termasuk tata kota ibu kota yang semestinya. Sehingga berdampak pada semua kebijakan yang sering dikatakan keliru yang menyusahkan masyarakat awam. Kondisi ini juga membuat masyarakat ilmiah yang mempunyai hati pun menjadi buntu dan berdiam diri. Cara-cara seperti ini tentu tidak akan pernah menyelesaikan masalah walaupun masalah itu bagaikan sehelai rambut.

Kita jangan kaget kalau lembaga swasta tidak menunjukkan perubahan di Pegunungan Bintang sesuai harapan umat. Kita selalu berharap banyak terhadap tim pastoral, pengurus swasta yang memahami persoalan umat secara tepat tetapi tidak disertai dengan tindakan konkret oleh kader. Sama saja membohongi diri. Jangan jauh-jauh tetapi fenomena ini sangat jelas dari kehidupan para pengemban misi putra daerah pertama seperti, Bapak Andy Urpon, Yohanes Sasaka, Yusel Uopmabin, Leitus Setamanki dan lain yang tidak saya sebutkan satu per satu tidak pernah diperhatikan. Seharusnya mereka ini dilibatkan dalam proses pembicaraan program pembangunan demi menjaga, memelihara eksistensi manusia Apyim Apom (Pegunungan Bintang). Kalaupun ada masalah ketidaksepahaman atau praktek kerja yang keliru selama ini bisa dibicarakan supaya visi, misi minimal bisa terwujud.

Satu hal yang sangat tidak masuk akal di Oksibil adalah pembukaan jalan dari Bandar udara menuju Okpol (utara) dan Yapimakot (barat) di tengah-tengah perumahan misionaris. Saya boleh katakan, sepertinya sudah mengancam eksistensi lembaga swasta yang kemudian bisa menimbulkan persoalan baru.

Mari kita lihat secara jelih apa saja yang terjadi di kalangan lembaga swasta di Papua saat ini. Terlebih pada apa komitmen pada panggilan hidupnya sebagai orang nasrani yang menegakkan visi dan misi Kristus? Adakah kader penerus gereja putra Papua? Kalau sudah ada, apa yang harus dilakukannya untuk sesama dan bersama siapa? Kalau belum ada, mengapa dan karena siapa? Beberapa pertanyaan reflektif ini saya rasa penting direnungkan oleh kita semua “Sebagai pewaris kerajaan Allah, kata Mas Idjo” dosen tua Sanata Dharma Yogyakarta.

Kemitraan Pemerintah dan Swasta dan Pembangunan Pendidikan
Otonomi Khusus (Otsus) dan pemekaran menawarkan sejuta harapan akan masa depan yang indah bagi rakyat Papua, salah satu tawaran adalah pendidikan yang bermutu dan terjangkau bagi seluruh rakyat Papua. Namun hingga tahun ke enam pelaksanaan Otsus Papua dan pemekaran di beberapa daerah jauh dari harapan. Ada kesan dari rakyat bahwa swasta yang telah lama membangun manusia Papua, khususnya Pegunungan Bintang kini diabaikan oleh pemerintah dalam pembangunan pendidikan.

Maka pembangunan pendidikan di era Otsus dan pemekaran harus dipikirkan kembali. Dalam hal ini pembangunan pendidikan di kabupaten Pegunungan Bintang perlu menata kembali dengan mengikat kerjasama dengan pendidikan swasta yang telah lama ada di sana. Beberapa pekan lalu, saya sempat bertemu dengan salah satu pengelola pendidikan YPPK di Oksibil. Dalam pertemuan itu mengemuka bahwa pihaknya tidak pernah dilibatkan dalam melihat persoalan pendidikan di kabupaten Pegunungan Bintang. Sekolah-sekolah swasta masih menampakan wajah lama. Belum ada perubahan apa-apa. Sebetulnya pemerintah sudah harus mengakui jasa-jasanya dan menganggarkan dana setiap tahun demi pengembangan pendidikan swasta.

Mengapa? karena sebagian besar masyarakat mengharapkan penataan kembali sekolah-sekolah swasta yang pernah melahirkan orang Pegunungan Bintang. Penataan yang dimaksudkan di sini termasuk sarana dan prasarana, seperti perbaikan gedung-gedung sekolah, letak lokasi sekolah, perpustakaan, laboratorium, tenaga guru ahli, peningkatan kesejaheraan guru, rumah guru, dan perangkat sekolah lainnya yang mendukung proses pembelajaran maupun pengadaan asrama dengan tenaga pembina dan fasilitas yang memadai, tempat tinggal petugas pastoral dan sebagainya.

Kita akui bahwa eksistensi lembaga pemerintah dan swasta berbeda. Namun perbedaan ini sepantasnya dijadikan kekuatan dalam membangun manusia Pegunungan Bintang melalui pendidikan.

Di lihat dari jumlah penduduk, penduduk Pegunungan Bintang sangat sedikit. sehinga perlu adanya perampingan sekolah dasar dan difokuskan pada beberapa sekolah saja sebagai titik pengembangan pendidikan. Tentunya perampingan itu atas kerja sama pemerintah dan swasta. Kerjasama pemerintah dan swasta itu menciptakan sekolah-sekolah unggulan sebagai patokan pengembangan sumber daya manusia dengan benar-benar memperhatikan kearifan lokal.

Epilog
Pendidikan model swasta ketika itu cocok bagi orang Pegunungan Bintang Papua dalam mengangkat harkat dan martabat manusia. Pendidikan adalah alat pembebasan dari berbagai ketertinggalan. Pendidikan ada untuk menemukan ala setiap manusia yang belum tergali secara sadar. Pendidikan menjadikan manusia unggul (magis) dalam segala asepk kehidupan. Maka rekomendasi konkrit tulisan ini adalah.

1. Hubungan (komunikasi) antara lembaga swasta dan pemerintah dengan berbagai elemen masyarakat Pegunungan Bintang seluruh Indonesia sangat amat penting dibangun kembali. Pembuatan PERDA yang memperhatikan kearifan lokal, termasuk pendidikan formal adalah satu hal yang mendesak. Dana dapat dianggarkan sesuai dengan kebutuhan sekolah melalui lembaga swasta dengan pengawasan dan evaluasi terkontrol harus dilakukan. Pendanaan untuk ini harus ditetapkan dari APBD yang transparan dalam penyaluran adalah hal yang penting dalam kelancarannya.

2. Otonomi khusus menawarkan sejuta harapan membangun segala aspek kehidupan. Salah satunya adalah pendidikan, maka pemerintah harus membangun pendidikan formal yang menyelematkan semua potensi dan harus menghindari pendirian model pendidikan yang menghasilkan manusia yang bisa menggadaikan potensi kearifan lokal. Pemerintih mesti menata dan membangun sekolah-sekolah perintis sebagai peletak dasar manusia Pegunungan Bintang. Kemudian persentase dana pendidikan per tahun harus diikat dalam peraturan daerah yang dikontrol secara serius dan mengadakan evaluasi secara kontinyu. Selanjutnya, sangat perlu adanya peraturan daerah tentang penyiapan tenaga guru dan dosen yang merupakan tolok ukur kesiapan SDM dalam perwujudan pembangunan aspek lainnya. Pemerintah segera tinjau kembali praktek pendidikan setengah hati yang menghabiskan jutaan rupiah, yang kemudian melahirkan, memperparah kualitas SDM Pegunungan Bintang. Bagi para pegawai negeri, perlu disiapkan dana khusus untuk belajar di Universitas tertentu sesuai dengan ketentuan akademik, supaya menjadi profesioanl dalam bidang keahliannya. Selanjutnya adalah perampingan sekolah-sekolah sebagai basis pengembangan pendidikan berprestasi adalah sangat penting.

3. Ari-ari adalah bagaikan selimut seorang bayi dalam kandungan dan keluar bersama ketika bayi itu dilahirkan ibu-Nya yang harus dikubur atas nama ala manusia suku setempat. Pembongkaran loksi misionaris adalah sebuah kekeliruan yang perlu ditinjau kembali dan harus diundangkan. Tempat-tempat seperti ini perlu dijadikan monumen bersejarah, entah segi positif maupun segi negatif bagi anak cucu. Pembongkaran lokasi ini sebetulnya merupakan interpretasi kekeliruan, ketidakpahaman dalam implementasi pembangunan yang semestinya.

Semoga saja para pengemban pembangunan di negeriku menjadikan pertanyaan Hiro Hito sebagai inspirasi saat ini. Ketika negerinya (Hirosima dan Nagasaki) dibombardir sekutu lalu ia tidak berdaya tetapi kemudian bangkit kembali mengumpulkna sisa penduduknya, lalu ia mengajukan satu bertanyaan: “BERAPA GURU YANG MASIH HIDUP?” Lihat saja betapa keberhasilan negara julukan matahari terbit saat ini.

*) Mahasiswa Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Univiersitas Sanata Dharma Yogyakarta

------------------------------------------
Sumber: Majalah SELANGKAH
BACA TRUZZ...- Mereposisi Pendidikan Swasta dalam Pembangunan Manusia Pegunungan Bintang

Widarmi:”… Paling Menderita Adalah Penduduk Papua Asli”

“Mungkin ini panggilan Tuhan. Saya sudah melakukan perjalanan dari Sabang sampai Merauke, termasuk ke daerah-daerah pedalaman dan saya melihat yang paling menderita adalah penduduk Papua asli,” kata Dra Widarmi Dipawirya Wijana, MM seperti dikutip Sinar Harapan (27/5).

Ibu Widarmi. Begitulah orang menyapanya. Perempuan yang lahir di Yogyakarta 5 Januari 1953 ini memang benar bila dia mengatakan yang paling menderita adalah penduduk asli Papua. Masalahnya hal itu dia ungkapkan berdasarkan pengalaman enam tahun perjalanan menjelajahi wilayah Papua. Tentunya dengan berbagai fenomena yang dialami, dan ilihat, dan dorasakannya di tanah Papua.

Fenomena tersebut dia tumpahkan dalam sebuah buku berjudul “Mutiara Hitam, Potensi Papua Yang Tersembunyi”. Ibu yang sejak kecil menjadikan buku sebagai sahabat itu, lebih suka menyebutkan anak-anak asli Papua dengan sebutan “mutiara hitam”.

Ibu dari Srikandi Britania dan Made Pasifik Alfa seperti yang dikutip Sinar Harapan 4 Juni 2007 itu, lebih suka menyebut anak Papua asli dengan “Mutiara Hitam”. Menurutnya,
anak-anak Papua memiliki postur tubuh yang tegap dan kuat, kulit hitam legam, dengan bola mata yang berbinar-binar, bulu mata yang letik, rambut keriting, serta gigi yang putih bersih.

Selama melakukan perjalanan ke tanah Papua, Widarmi masih melihat banyak “Mutiara Hitam” yang belum sejahtera. Bahkan oleh sebagian masyarakat, mereka masih dianggap sebagai masyarakat yang primitif. “Telah banyak perubahan di tanah Papua, tetapi perjalanan tersebut belum bisa mengangkat derajat “mutiara hitam” menjadi bagian yang sama sebagai warga negara Indonesia yang dapat menikmati hasil kemerdekaan,” ujarnya seperti yang dikutip Sinar Harapan, 27 Mei 2007.

Kepala Bagian Kelompok Bermain, Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini, Depertemen Pendidikan Nasional itu mengatakan, “Mutiara Hitam” masih jalan di tempat. Mereka belum merasakan nikmatnya makan dari hasil bumi tanah Papua. Mereka juga belum merasakan bahagia mampu membaca buku untuk menggali berbagai pengetahuan. “Ironisnya lagi, ada beberapa ‘Mutiara Hitam’ yang tidak tahu bila mereka tinggal di negara Indonesia yang mempunyai bendera Merah Putih,” lanjutnya. Mereka tidak bisa mengakses layanan kesehatan dan pendidikan yang layak. Dalam keadaan tidak memperoleh pendidikan dan keterampilan yang layak, mereka harus bangkit dan mengelola sumber daya alam yang mereka dapatkan dari Tuhan.

Pada acara Launching Buku Mutiara Hitam "Potensi Papua Yang Tersembunyi dan Album Perdana tiga Bintang Papua karyanya di Jakarta (Kamis, 24 Mei 2007) lalu, Widarmi mengatakan, keinginannya membuat buku tentang Papua itu dilatarbelakangi oleh adanya buku yang dibuat oleh orang Amerika yang menyebutkan bahwa masyarakat Papua merupakan masyarakat primitif. “Buku ini saya buat dengan maksud memberitahukan kepada masyarakat, khususnya orang-orang asing, bahwa masyarakat Papua bukanlah masyarakat primitif. Mereka punya potensi yang tersembunyi yang perlu diangkat,” kata pendamping Komunitas Pendidikan Papua (KPP) itu.

Lebih lanjut dia mengatakan, meski tanah Papua dilimpahi Tuhan bahan pangan yang berlimpah, tetap saja “Mutiara Hitam” tidak mampu membeli baju, alat rumah tangga, dan keperluan rumah tangga yang layak. Bahkan Papua yang dikaruniai Tuhan dengan wilayah yang luas hanya memiliki dua juta penduduk.

Hal ini disebabkan angka kematian bayi dan balita yang tinggi di sana. Hanya sebagian kecil saja “Mutiara Hitam” yang mencapai sukses berkat perjuangan mereka yang sangat luar biasa untuk meraih pendidikan. Mengangkat derajat “Mutiara Hitam” agar menjadi sehat dan cerdas serta sejajar dengan warga negara Indonesia lainnya harus dibangun bersama dari awal, bertahap, dan terus-menerus.

Menurut istri Made Wijana itu, tanpa komitmen yang kuat, tidak mungkin dapat digali potensi “Mutiara Hitam” yang tersembunyi, baik potensi alamnya maupun potensi sumber daya manusianya. “’Mutiara Hitam’ hanya dipakai sebagai simbol dan dalam kenyataannya mereka selalu dijadikan kambing hitam. Kita tidak pernah memahami bahwa ‘Mutiara Hitam’ sampai saat ini masih tertinggal.”
---------------------------
Sumber: Majalah Selangkah
BACA TRUZZ...- Widarmi:”… Paling Menderita Adalah Penduduk Papua Asli”

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut