KEGERAHAN pendidikan nasional sedikit mendapat angin segar. Ini menyusul keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) atas gugatan Persatuan Guru Republik Indonesia dan Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia tentang anggaran pendidikan dalam APBN 2006. Dalam putusannya, MK menyatakan UU Nomer 13 Tahun 2005 tentang APBN 2006 sepanjang menyangkut anggaran pendidikan nasional sebesar 9,1 persen dinilai bertentangan UUD 1945 yang dalam pasal 31 ayat (4) UUD 1945 dinyatakan negara wajib memenuhi anggaran pendidikan sekurang-kurangnya sebesar 20 persen dari APBN / APBD.
Konsekuensi dari putusan MK itu, pemerintah yang dipimpin duet SBY-Kalla terus berupaya memenuhi pemenuhan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN / APBD itu. Sayangnya, meski putusan MK itu sudah berjalan beberapa tahun, hingga kini, pemenuhan anggaran pendidikan minimal 20 persen itu masih saja ditunda-tunda. Apapun dalihnya, yang pasti, tinggal menghitung tahun, sektor pendidikan bakal ketiban anggaran melimpah. Setidaknya, ini jika dibandingkan dengan pemenuhan anggaran pendidikan nasional yang bertahun-tahun jumlah nominalnya relatif minim. Kalau sekarang jumlah anggaran pendidikan masih berada di bawah usulan anggaran Pemilu 2009 yang diajukan Komisi Pemilihan Umum (KPU), barangkali, itu hanyalah terkait dengan soal waktu pemenuhannya saja yang masih harus sabar ditunggu.
Pertanyaannya, mau apa Depdiknas jika nantinya alokasi anggaran pendidikan nasional benar-benar terpenuhi sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN / APBD? Dengan dijaminnya anggaran minimal pendidikan dalam konstitusi negara, apa yang yang bakal diperbuat Depdiknas untuk mendongkrak keterpurukan pendidikan?
Pertanyaan ini wajar dilontarkan, karena ketika muncul sorotan seputar jebloknya mutu pendidikan, kritikan itu seringkali ditangkis secara klasik dengan mengkambinghitamkan minimnya anggaran pendidikan sebagai biang keladinya. Dengan kata lain, pendidikan nasional menjadi terpuruk dan tak beranjak dari titik nadir, karena anggaran pendidikan yang dialokasikan sangat minim.Dibayangi KekhawatiranSejauh ini, minimnya anggaran pendidikan memang sering dituding sebagai penghambat utama bagi kemajuan sektor pendidikan nasional.
Potret buram pendidikan nasional yang ditandai dengan rusaknya gedung-gedung sekolah di seantero negeri, minimnya sarana dan prasarana belajar, tingginya persentase angka ketidaklulusan, langkanya murid-murid berprestasi, mahalnya biaya pendidikan hingga rendahnya gaji guru, semua itu diakui berlarut-larut terus sebagai akibat dari minimnya dana penopang sektor pendidikan yang dianggarkan lewat APBN.Maka, ketika kini sudah ada kemauan politis dengan mengharuskan negara mengalokasikan dana untuk pendidikan nasional sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN / ABPD, itu bisa dianggap sebagai jawaban riil atas kegelisahan yang terasa di sektor pendidikan.
Cuma persoalannya, apakah ada jaminan wajah pendidikan nasional yang diwarnai sejumlah potret buram itu nantinya dengan serta merta bisa segera ‘face off' hanya dengan diberikannya treatment politis pencantuman anggaran minimal pendidikan dalam konstitusi negara?Memang, dengan anggaran pendidikan yang besar, gedung-gedung sekolah rusak bisa segera direhab hingga tak lagi menyerupai kandang ayam. Minimnya sarana dan prasarana pendidikan, bisa segera disulap dengan fasilitas OSOL (One School One Laboratorium).
Gaji guru yang rendah, dengan cepat pula bisa dinaikkan. Pengadaan buku teks juga bisa dipenuhi tanpa harus membebani orang tua murid. Demikian pula mahalnya biaya pendidikan, bisa segera ditekan seminim mungkin atau malahan menjadi gratis.Namun, sesederhana itukah persoalan dalam upaya mendongkrak kemajuan pendidikan nasional? Proyek Penilaian Nasional Pendidikan (PPNP) pernah mencatat, dalam usaha memperbaiki bidang pendidikan, Bangsa Indonesia masih menghadapi dua hambatan utama. Yaitu, kekurangan biaya dan perlengkapan yang bisa dibeli dengan uang dan hambatan-hambatan bukan material dimana penambahan uang tidak akan segera memperlihatkan efeknya (C.E. Beeby, 1982 : 4).
Catatan PPNP itu menyiratkan makna, bahwa pemenuhan anggaran pendidikan nasional minimal 20 persen dari APBN jelas bukan merupakan satu-satunya solusi yang dengan cepat bisa menyulap ketertinggalan pendidikan nasional menjadi lebih cemerlang. Di luar itu, masih dibutuhkan ‘suplemen' lain untuk menjamin agar kucuran dana pendidikan bisa bermakna secara riil dan segera memperlihatkan efeknya. Yang ini agaknya sangat terkait dengan kesanggupan administratif dan kemampuan manajerial pengelolaan pendidikan nasional.Kalau memang demikian permasalahannya --diluar kekhawatiran terjadinya kebocoran maupun mark up anggaran-- implementasi praktis dari pemenuhan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN / APBD itu, secara teknis administratif jelas masih mengundang munculnya sejumlah kekhawatiran.
Pertama, kekhawatiran terkait dengan kemampuan institusi pendidikan yang ada di garda depan. Yang dikhawatirkan, mampukah sekolah-sekolah memunculkan terobosan-terobosan program pendidikan inovatif dan realistis ketika kondisi pembiayaan pendidikan tak lagi menjepit?Sebetulnya kekhawatiran semacam ini tak perlu terlalu dirisaukan, karena sekolah-sekolah kini tengah menerapkan school based management (managemen berbasis sekolah).
Tapi, realitas yang terlihat di lapangan kenyataannya tak demikian. Sekedar gambaran, ketika awal-awal dana BOS (Biaya Operasional Sekolah) digulirkan, sekolah penerima cukup dibuat tergopoh-gopoh menyusun RAPBS (Rancangan Anggaran Pendidikan dan Belanja Sekolah) sebagai persyaratan pencairan dana kompensasi BBM itu. Konsekuensianya, Depdiknas juga menghadapi persoalan yang tak kalah rumit. Yakni, mengajari semua sekolah agar bisa mengelola dana dan membuat pertanggungjawaban penggunaan dana kepada negara (Kompas, 20/7/2005).
Kedua, jika lembaga-lembaga pendidikan di garda depan kurang memiliki kemampuan menyodorkan program pendidikan secara bottom up untuk menggaet dana pendidikan, dikhawatirkan bisa memicu came back-nya sentralisasi pendidikan. Akibatnya, tak tertutup kemungkinan, pemerintah pusat-dalam hal ini Depdiknas- kembali tergoda menggulirkan program-program top down berdana besar yang terkadang sering tidak relevan dengan kebutuhan riil sekolah-sekolah.Kengototan pemerintah pusat dalam menggelar UN (Ujian Nasional) dengan dalih untuk pemetaan mutu pendidikan, barangkali bisa dijadikan salah satu contoh konkrit masih dipertahankannya desentralisasi pendidikan. Padahal, jika konsekuen, dengan diberlakukannya otonomi pendidikan, ujian untuk menentukan kelulusan peserta didik itu mestinya cukup dipercayakan secara penuh kepada institusi pendidikan di masing-masing tingkat dan jenjang pendidikan.Ketiga, terpenuhinya anggaran pendidikan sebagaimana yang diamanatkan konstitusi negara tak menutup peluang bagi Depdiknas maupun sekolah-sekolah berkompetisi merancang program-program pendidikan yang prestisius.
Jika ini yang terjadi, tentu, itu merupakan fenomena positip. Tapi yang dikhawatirkan, jangan-jangan program-program prestisius itu sesungguhnya hanyalah proyek besar yang sifatnya trial and error semata.Masih ingat ketika Depdiknas memberlakukan kurikulum 1984 dengan pendekatan ketrampilan proses yang dulu begitu didewa-dewakan sebagai kurikulum paling ideal? Juga, belum lupa dalam ingatan, bagaimana prestisiusnya program Depdiknas memasyarakatkan kurikulum bernuansa link and match untuk menjawab kesenjangan lulusan pendidikan dengan tuntutan dunia kerja? Proyek prestisius berdana besar yang demikian itu, pada akhirnya hanya tenggelam bagai ditelan bumi yang kelanjutannya juga tak pernah ada kejelasan.
Timbul kesan, megaproyek pendidikan itu tak lebih dari sekedar langkah trial and error. Nyatanya, hasil pembaharuan kurikulum itu, sejauh ini nyaris tak memberikan nilai lebih bagi peningkatan kualitas output pendidikan. Jangan-jangan, KBK (Kurikulum Berbasis Kompensi) yang diagungkan dan kini diterapkan di berbagai jenis dan jenjang pendidikan itu, nantinya juga bernasib sama dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Bertaruh Program PendidikanDepdiknas dan institusi-institusi dibawahnya yang menjadi ujung tombak pembangunan pendidikan, kini harus mulai berani bertaruh program setelah perjuangan pemenuhan anggaran pendidikan minimal 20 persen mendapatkan payung hukum. Cuma, dari demensi pendidikan yang mana Depdiknas harus menggulirkan program yang bakal dipertaruhkan itu.
Inilah yang agaknya cukup menjadi problem. Sebab, hampir semua demensi pendidikan di negeri ini menampakkan wajah yang carut marut.Untunglah, sebagian carut marut wajah pendidikan itu, kini sudah ada tanda-tanda pembenahan. Misalnya, untuk mengeliminasi mahalnya biaya pendidikan, pemerintah mengucurkan dana BOS maupun BKM (Bantuan Kesejahteraan Murid).
Untuk merehab gedung sekolah rusak yang secara nasional jumlahnya lebih dari 45 persen, Depdiknas juga sudah mengucurkan dana yang jumlahnya tak sedikit. Mengatasi anak usia sekolah yang tak bisa mengenyam pendidikan, hingga kini juga terus digalakkan program wajib belajar sembilan tahun.Kalau potret buram pendidikan yang sifatnya kuantitatif seperti itu sudah mulai disentuh, kini Depdiknas dan institusi pendidikan yang jadi ujung tombaknya, tak punya pilihan lain kecuali bertaruh menggulirkan program-program riil ke arah perbaikan pendidikan yang bernuansa kualitatif. Bahkan, bila perlu, dengan terpenuhinya anggaran pendidikan minimal 20 persen, Depdiknas tak diharamkan melakukan perombakan mendasar yang inovatif demi menciptakan output dan outcome pendidikan yang qualified.
Kaitannya dengan ranah pendidikan berdemensi kualitatif, setidaknya ada dua hal yang menggoda untuk disikapi. Pertama, masih rendahnya kemampuan akademik siswa. Indikator ini tercermin dari masih tingginya angka ketidaklulusan siswa dalam mengikuti UN, terutama untuk siswa SMP/MTs dan SMA/MA. Di sisi lain, kemampuan akademik anak didik kita juga semakin kentara keterpurukannya manakala dibandingkan dengan kemampuan akademik siswa negara-nagara lain berdasarkan hasil-hasil pengukuran lembaga-lembaga internasional.Kedua, bermunculannya siswa-siswa genius dari berbagai pelosok tanah air yang kenyataannya mampu menyabet penghargaan setelah bersaing dalam olimpiade di bidang ilmu pengetahuan bertaraf internasional.
Di lain pihak, kini juga bermunculan siswa-siswa yang memiliki kemampuan membanggakan dalam event-event lomba penelitian ilmiah remaja.Dua fakta kualitatif yang bertolak belakang itu, nampaknya harus disikapi secara bijak. Pelaku-pelaku pendidikan ditantang merancang pengembangan program yang memungkinkan anak didik terdongkrak kemampuan akademiknya. Dengan demikian, angka ketidaklulusan bisa ditekan seminim mungkin meski passing grade nilai kelulusan dari tahun ke tahun dinaikkan.
Di balik itu, pelaku pendidikan juga ditantang bertaruh program yang bisa mengakomodir anak-anak genius dalam berbagai mata pelajaran. Jumlah mereka mungkin cukup banyak, tapi hanya karena pendekatan pengajaran di sekolah yang masih konvensional, potensi mereka belum tergali.Jika nantinya anggaran pendidikan nasional minimal 20 persen dari APBN/APBD sudah terpenuhi, fenomena-fenomena pendidikan yang demikian agaknya lebih menarik untuk dipertaruhkan menjadi program pendidikan yang realistis. Tinggal persoalannya, kapan pemerintah merealisir amanat konstitusi yang bisa membuat sektor pendidikan sedikit booming anggaran?
-----------------------------------------------
Sumber: http://kabarindonesia.com/berita.php?pil=13&dn=20071107215048