Judul :Pembodohan Siswa TersistematisM.
Penulis :Joko Susilo
Cetakan Pertama :Februari 2007
Penerbit :PINUS Book Publisher Yogyakarta
Tebal :239 halaman
Paradigma yang berkembang di dalam kultur masyarakat Indonesia (masih) menempatkan sekolah sebagai satu-satunya corong pendidikan. Masyarakat dalam perkembangannya selalu menuntut pendidikan dapat memberikan manfaat kepada anak-anak bangsa. Guru ditempatkan sebagai orang suci yang tidak pernah salah.
Gelar “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” dulu memang pernah populer. Gelar itu disematkan khusus kepada para pelaku pendidikan yang tidak peduli kepada dirinya alias mengorbankan kepentingan pribadi demi mencerdaskan generasi muda Indonesia. Tetapi, apakah sekarang guru patut disematkan gelar tersebut?
Namun, pada kenyataannya yang mau tidak mau harus kita maklumi, profesi guru di Indonesia merupakan tempat pelarian orang-orang yang gagal memperoleh pekerjaan yang (katanya) lebih menjamin kesejahteraan. (hal. 27) Karena profesi guru merupakan tempat pelarian, maka Indonesia pun hanya mencetak guru-guru yang tidak pantas untuk menjadi guru—Indonesia hanya melahirkan guru-guru yang text book.
Akibatnya, penyelewengan terhadap tugas guru seperti yang diungkapkan oleh V. Setyasih Harini (pada Kompas Senin 20 Desember 2004, Guru Jangan Jualan Buku!”) menjadikan pendidikan Indonesia hanya semata ‘politik balas dendam’ dengan mengkomersialisasikan buku pelajaran dan mewajibkannya kepada murid. Bahkan ada oknum guru yang dengan enteng mengancam, jika tidak beli buku pelajaran (yang dia jual) maka sang murid nilainya akan jelek.
Dalam bukunya ini, Joko Susilo tidak saja menyoroti tentang guru, tetapi mempertanyakan loyalitas pemerintah terhadap perkembangan pendidikan di Indonesia. Apakah dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) telah benar-benar optimal, atau hanya sekedar pengalih isu terhadap penderitaan rakyat akibat kenaikan harga BBM dan kebutuhan pokok lainnya. (hal.69) Selain itu, Joko Susilo juga mempertanyakan kredibilitas orang tua yang sebenarnya bertanggungjawab penuh terhadap pendidikan anaknya.
Bertanggungjawab tidak saja berarti tercukupinya kebutuhan material si anak, tetapi kasih sayang. Acap kali orang tua marah-marah kepada pihak sekolah jika anaknya nilainya kurang memuaskan apalagi terlibat perbuatan yang melanggar hukum (tawuran, malak atau mencuri).
“Buat apa saya membayar mahal-mahal sekolah bila anak saya tidak diajar dengan becus” begitulah orang tua, padahal belum tentu kesalahan ada di pihak sekolah sepenuhnya. (hal. 74) Pendidikan yang mahal, egoisitas guru dan orang tua, dan pemerintah yang masih memposisikan pendidikan sebagai bidang yang sekunder—itulah yang membuat siswa ataupun murid sekolah di Indonesia menjadi ‘bodoh’ karena terlalu bingung memikirkan masalah yang seharusnya tidak perlu dipikirkan untuk anak-anak seumuran mereka yang haus akan pendidikan—sekolah.
Tentunya kita masih ingat lagunya Iwan Fals, yang berjudul “Sore Tugu Pancoran”. Pertanyaannya, apakah nurani kita (pelaku pendidikan Indonesia, dan masyarakat (dewasa) Indonesia) terlalu bebal sehingga sampai hati membiarkan Budi-Budi kecil yang banyak bersliweran di persimpangan jalanan kota?
Pada bab terakhir buku ini, Joko Susilo mengutip pendapat Frietz R. Tambunan yang menyampaikan pesan revolusioner: masyarakat yang demokratis harus menyediakan kesempatan pendidikan yang sama bagi semua warganya serta kualitas pendidikan yang sama. (hal. 224-225) Hakikat pendidikan yang demokratis adalah pemerdekaan.
Tujuan pendidikan dalam suatu negara yang demokratis adalah membebaskan anak bangsa dari kebodohan, kemiskinan dan berbagai “perbudakan” lainnya. (hal. 225) Terlepas dari itu, tentunya Joko Susilo dan semua kita masih berharap agar pendidikan Indonesia bisa berjalan kondusif tanpa ada campur tangan kepentingan pragmatis yang membuat generasi muda Indonesia tidak bisa sekolah. Semoga adagium “Orang Miskin Dilarang Sekolah”, cepat-cepat sirna dan berubah menjadi “Orang Miskin Gratis Untuk Sekolah”.
---------------------------------------------------------------
0 komentar:
Posting Komentar