“Masa lampau, saya telusuri rawa-rawa, lembah yang penuh payau, gunung-gunung yang menjulang tinggi, tapi dijalani dengan tawa sebagai seni dengan harapan hasil perjuanganku suatu saat akan muncul generasi muda berkualiatas yang dapat merubah kehidupan masyarakat yang hidup dalam berbagai kerterbelengguan.
Dari sinilah saya menjalani hidup ini dengan tenang dan mau menyaksikan perubahan dan pembangunan yang dilakukan oleh anak-anak asuhan saya. Saya juga masih ingat kata-kata injil bahwa Betlehem yang daerah tandus saja lahir Sang Juru Selamat, begitupun di sini. Lika-liku hidup masyarakat begitu polos, lugu, bersahaja, monoton, tapi saya mau hidup dan mati dengan masyarakat koteka”.
”—Cornelis Manangsang.
“Pak Guru Manangsang”. Begitulah masyarakat pedalaman Nabire, tepatnya Desa Mauwa Distrik Kamuu, Kabupaten Nabire menyebut Bapak guru Cornelis Manansang (72). Kini genap sudah Cornelis Manansang berkarya 46 tahun di daerah Pedalaman Papua. Berkarya mulai dari Jayapura, Fak-fak, Kokonao, hingga menjelajahi daerah Pedalaman Paniai-Nabire. Tak heran bila masyarakat pedalaman mengenal dan menyebut pria asal Sanger ini dengan sebutan khas “Pak Guru Manansang”. “Tahun 2004 lalu saya pensiun tetapi saya tidak akan pulang kampong. Saya malah sudah beli tanah di Kampung Mauwa Distrik Kamuu, Kabupaten Nabire. Saya beli tanah untuk tempat peristirahatan terakhir sebelum saya dipanggil Tuhan,” kata Pak Guru tua ini 19 Oktober 2006 di rumahnya desa Mauwa.
Pria tua asal Sanger Sulawesi Utara (Cornelis Manansang) ini dilahirkan Tanggal 30 Oktober 1944 di Kampung Besum-Genyem Holandia waktu itu (Sekarang Jayapura-Red) dari pasangan Ferdinand Manangsang dan Hendrina Samuel. Pak Guru manangsang menuturkan, ayahnya (Ferdinand Manangsang) tiba di Papua tahun 1938 sebagai guru. Ayahnya masuk ke Papua sebagai guru lewat Wasior-Ransiki-Arfak - dan dipindahkan ke Genyem. Tahun 1940 Ferdinand Manangsang pulang ke kampung halamannya Sanger dan menikah dengan dengan Hendrina Samuel. Menurut Pak Guru Manangsang, ayahnya adalah tokoh GKI, namun terjadi kesalahpahaman dengan gereja dan pindah ke Katolik. Cornelis Manangsang sendiri dilahirkan Besum Genyem 30 Oktober 1944 dan dipermandikan di Fak-fak. Pak Guru Manangsang masuk sekolah VVS (vervolog School) di Fak-fak tahun 1950-an dan melanjutkan ke ODO (Ofdelling Dorops Onderwes) di Fak-fak tahun 1956-1959.
Sekolah menyelesaikan sekolah di ODO (sambil menunggu SK tugas) dia sempat mengajar di Kokonau selama tiga tahun. Kemudian dia (Pak Guru Manangsang) ditugaskan di Enarotali (kini ibukota Kabupaten Paniai). Setahun kemudian dipindahkan ke Obano, Paniai. Tahun 1960 pindah lagi Kuguwapa Bibida Paniai hingga 1968. Ketika baru memasuki daerah orang Moni di Bibida masyarakat mengganggap “setan” karena kulit maupun rambut beda dengan mereka. Demikian pengakuan pria yang tulang pipinya masih menggambarkan perjuangan pembangunan manusia ini.
Kata dia, tahun 1969 haru mengungsi ke Jayapura karena waktu itu terjadidi perang di Paniai. Walupun dalam keadaan perang, karena kecintaan dan harapannya yang besar untuk perubahan rakyat, ia kembali bertugas lagi di daerah Pedalaman Paniai, tepatnya di Timida. Tidak lama kemudian, lagi-lagi dia dipindahkan ke Badauwo, tepatnya tahun 1973. Pria Sanger yang menikah dengan Yonece Yufuwai anak perempuan Ondofolo dari Depapre, Jayapura ini melanjutkan studi KPG (Kolose Pendidikan Guru) 1975 di Nabire. Usai meneyelesaikan studi dipindahkan lagi ke SD YPPK Egebutu Distrik Kamuu tahun 1978. Tahun 1981 dia Kembali ditugakan lagi SD YPPK Moanaemani, kecamatan Kamuu. Selanjutnya, Pak Guru Manangsang dipindahkan ke SD YPPK Mauwa di kecamatan yang sama tahun 1985 hingga saat saat ini.
“Saya sudah pensiun 2004 lalu, tapi tak henkang dari tempat tugas ini sebab saya datang daerah ini masih gelap. Sekarang saya mau melihat hasil gemblengan selama bertugas maka saya beli tanah, tempat di mana tulang belulang saya disemayamkan ketika saya dipanggil Tuhan“ ujar pria 6 anak ini.
Gubernur Bernabas Suebu pun sempat menyuruh pindah dari pedalaman ke Jayapura, namun dirinya tak tega meninggalkan daerah pedalaman. “Dari sinilah saya menjalani hidup ini dengan tenang dan mau menyaksikan perubahan dan pembangunan yang dilakukan oleh anak-anak asuhan saya. Saya juga masih inggat kata-kata injil bahwa Betlehem yang daerah tandus saja lahir sang jurus selamat, begitupun di sini. Lika-liku hidup masyarakat begitu polos, lugu, bersahaja, monoton, tapi saya mau hidup dan mati dengan masyarakat koteka. Saya tidak tega tinggalkan sebab ingin melihat anak-anak yang sudah sukses dari hasil keringat sejak saya masuk hingga kini. Akan muncul rasa bangga dan terharu ketika melihat anak-anak didikan saya berhasil dan suskses dalam berbagai aspek pembangunan”.
Kendatipun demikian, kata Pak Guru Manangsang tidak semua anak didik berhasil dalam belajarnya. Ada sebagian besar yang putus sekolah terutama anak-anak perempuan. “Dulu ketika mengajar di Enarotali, arangtua datang ke sekolah paksa anak gadisnya untuk dikawinkan, namun saya bersikeras mempertahankan siswi saya. Karena demikian orangtuanya takut pada saya dan tidak berani paksa anaknya nikah.Terkecuali anak perempuan sendiri ingin menikah barulah orang tua mengambil maskawin,” jelas Pak Guru Manangsang.
Pak Guru Manangsang bersaksi, ketika dirinya memasuki daerah pedalaman, masyarakat masih pakai cawat dan buyut (koteka & Moge), didukung dengan rata-rata tidak tau bahasa Indonesia. Maka, kantanya sebelum pergi bertugas dibekali dengan bahasa daerah di Enarotali selama 3 minggu. Kendati diibekali dengan kursus bahasa daerah, masih terbentur dengan masyarakat lokal di mana rata-rata belum memahami kehadirannya sebagai guru. Bagi dia, tantangan seperti itu justru semakin memperkuat tali persaudaraan dengan rakyat sederhana itu. Malahan tantangan dilihat sebagai suatu seni hidup. “Tantangann harus dianggap seni hidup yang patut dijalani (bukan dianggap suatu momok yang mematahkan semanggat) sehingga dari seni hidup dapat mengorbitkan generasi penerus bangsa Papua yang berkualitas. Saya masuk di Enarotali ketika berusia 14 tahun dengan gaji pertama 116 golden. Ketika itu, masyarakat belum mengenal uang, pegawai negeri tidak ada, yang ada hanyalah honei-honei dan polisi . Guru pun tidak ada”.
“Pada saat itu, gaji saja bisa diambil bila hendak ke Jayapura, tidak ada kios atau toko, yang ada hanya gudang misi. Karena daerah yang baru dibuka berbagai tantangan sempat bersanding namun dihadapi dengan tenang sebagai bumbu-bumbu kehidupan. Ketika memasuki tempat tugas baru di Enarotali masyarakat senang kehadiran guru waktu itu. Alat bantu mengajar menggunakan arang kayu, sebab kapur tulis pun tidak ada, kalau pesawat Biver tidak masuk maka terpaksa harus pakai arang kayu di atas kalam putih. Waktu itu masyarakat tidak mengenal mata uang, polisipun buta aksara, mereka naik pangkat bila menemukan suku dan daerah baru maka dinaikan pangkat. Waktu itu sekolah hanya tiga kelas, lantas mereka ikut ujian di Epouto untuk masuk kelas IV. Setelah itu, untuk melanjutkan kelas V dan VI mereka berjalan kaki tembus ke Kaimana menuju ke Fak-fak,” demikian kata Pak Guru yang mengaku gaji pertama 16 golden waktu Belanda dan gaji pokok 12.000 (dua belas ribu rupiah) ketika Indonesia masuk (pasca PEPERA-red).
Selain kecintaannya terhadap terhadap masyarakat koteka, dia tidak ingin pulang ke kampung halamannya karena ingin menyelamatkan anak-anak kandungnya yang merupakan dititipkan TUHAN. “Saya malu bila anak kandung tidak berhasil, sementara anak didik saya berhasil. Makanya tak perlu mengira saya buka kios untuk mencari harta kekayaan melainkan mencari uang untuk biaya anak saya yang masih kuliah. Guru-guru pendatang yang lain memiliki tanah, rumah mewah di Nabire tetapi saya hanya beli tanah di sini sekedar menjalani sisi hidup isteri dan anak-anaknya”.
Selain dua alasan di atas, Pak Guru Manangsang tidak ingin meninggalkan pedalaman (desa Mauwa) karena tenaganya masih dibuhkan di sekolah. Misalnya, cat sekolah, tulis papan nama, pendataan guru, lambang dan lainnya. Sementara itu, masyarakat setempat tidak ingin Pak Guru Manangsang pergi dari kampung mereka (Mauwa). Lantas, ketika masyarakat Mauwa menghadapi masalah maskawin, sumbangan gereja, atau persoalan lain dia selalu turun tangan untuk menyelesaikannya.
“Di mana berkarya disitulah tempat tulang belulang isteri dan saya disemayamkan. Di daerah ini saya masuk ketika dunia Paniai masih hidup dalam kegelapan, keterisolasian, keterbelakangan hingga kini sudah banyak perubahan dalam segala dimensi, ” tandas mantan Kepala Sekolah SD YPPK Mauwa ini. Lebih berbahagia dan menikmati ketenangan karena menyatu dengan masyarakat maka tak bisa diganggu oleh siapapun. “Anak-anak saya misalnya walaupun rambut, kulit berbeda dengan masyarakat asli tetapi bahasa daerah (bahasa Mee) merekalah yang lebih fasih. Maka, jangan heran kalau saya turun ke kota hanya beberapa hari lalu pulang ke kampung halaman alias Mauwa secepatnya. Kota adalah daerah kumuh yang penuh dengan kebisingan.”
“Saya ingin sama seperti ayah saya, dia mati di daerah tempat tugasnya, maka saya pun ingin mati di sini, maka saya sudah beli tanah untuk dikebumikan bila saya dipanggil Tuhan. Tanah saya dan anak-anak saya bukan di Sanger, tetapi saya lahir di sini, anak-anak saya lahir di sini dan di sinilah kami mengabdi hingga ajal tiba” kata Pak Guru Manangsang mantan kepala sekolah SD YPPK Mauwa ini.
Sekarang, Guru-guru Cenderaung Turun ke Kota
“SEKARANG ini banyak guru baru ditugaskan di sini tapi lebih condong turun ke kota dengan berbagai alasan. Guru sekarang mereka berpendidikan tinggi, namun kedisiplinan sanagat kurang. Mereka tidak bersemangat, disiplin, dan tidak mencintai profesi. Dulu, sangat disiplin. Ketika cuti misalnya diberi waktu hanya dua minggu, maka dua hari sebelum habis masa cuti harus ada di tempat tugas,” kata Pak Guru Manangsang kesal.
Kata dia, dulu guru punya moralitas tetapi sekarang tidak ada moralitas dan rasa tanggung jawab terhadap masa depan anak-anak dan bangsa Papua. “Kalau terlambat masuk, bagaimana dengan murid saya. Guru-guru sekarang malahan ada yang beralih profesi (politik). Bila turun ke kota buat liburan tiga sampai liam bulan baru pulang. Sekarang anak (siswa) mengganggap orang sampah dan tidak dihargai. Sehinnga jangan heran tamatan sekarang sangat kurang jumlah siswanya dan kualitanya juga merosot. Semasa saya datang tidaka ada PNS dan daerah ini masih gelap dengan dunia luar. Selama mendidik sangat jarang keluar dari tempat tugas, sekalipun itu liburan panjang. Saya tidak mau mengorbankan anak-anak didik hanya karena berfoya-foya di kota”.
Hingga saat ini masih terngiang dalam benak Pak Guru Manangsang kapan akan melihat dan menikmati kebehasilan anak–anak didiknya yang mengajar dengan tekun dan penuh tanggung jawab.
Tidak Ada Penghargaan
Menjadi seorang pengajar sekaligus pendidik siswa di sekolah dan masyarakat sekitarnya selama 70-an tahun adalah bukan perjuangan main-main. Perjuangan pembebasan manusia dari kungkungan berbagai keterbelakangan yang dilakukan Pak Guru Manangsang adalah istimewa. Berbicara keselamatan maka kita juga berbicara masalah pembebasan, maka otomatis harus bicara bagaimana pendidikan kita membangun manusia untuk menjadikan dirinya dan lingkungannya bebas. Pembebasan manusia melalui pendidikan maka kita harus bicara siapa yang akan membebaskan. Tujuh puluh tahun mengabdi dan berkarya di pedalaman adalah perjuangan pembebasan manusia seperti yang dinginkan Allah pencipta Manusia. “Manusia harus dibebaskan dari keterbelangan, keter-keter yang lain sampai pada akhirnya pembebasan dari ketertindasan teritorial.
Pak Guru Manangsang, mangabdi kepada masyarakat di bawah payung Yayasan Katolik hingga puluhan Tahun tetapi tidak pernah mendapat penghargaan apapun. Sementara itu, penghargaan dari pemerintah masih belum apa. Kalau berbicara soal penghargaan, kata Pak Guru Manangsang belum ada sampai saat baik berupa piagam maupun berupa uang. Namun bagi dirinya, yang penting dia telah mengabdi dengan sunguh-sungguh dan dia puas dengan pengabdian itu. Sehingga, dia lebih melihat penghargaan bukan dengan manusia tetapi hal itu urusan dengan Tuhan pencipta manusia yang ia didik.
“Apa yang saya buat dalam karya dan pengabdian di dunia pendidikan hanya Tuhanlah yang tahu dan akan memetik buah-buah balasan ketika menghadap di hadirat sebab mendidik anak-anak disini bukan balik memperbodoh orantua melainkan lebih menyiapkan dan mencetak manusia yang dapat membangun, merubah masyarakat dan dunia. Zaman saya telah berlalu dan telah diberikan kepada anak-anak didik untuk membangun dan merubah dunia serta manusia menuju, meraih kesejahteraan hakiki. Selagi masih diberi napas kehidupan, saya akan menyaksikan buah –buah hasiil karya dan didikan. Dulu manusia dan alamnya hidup dalam keterbelakangan, keterisolasian, namun kini telah dirubah oleh anak-anak didik, maka hal itu menjadi kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri bagi saya,” harap Pak Guru Manangsang.
Sistem Pendidikan Jawa Tidak Cocok untuk Papua
Ketika meminta sedikit komentar tentang sistem pendidikan terbaru, alias KBK, kata Pak Guru Mamangsang, sistem pendidikan dewasa ini tidak pas diterapakan di Papua sebab dirancang menurut rancangan orang Jawa. “Kurikulum dirancang menurut pola pikir orang Jawa padahal sistem pendidikan harus disesuaikan dengan kondisi suatu daerah. Dalam buku diambil contoh mobil, kereta, dan lainnya. Seolah-olah keadaan daerah sama dengan daerah Papua. Orang Papua yang ada di daerah pedalaman tidak mengenal itu. Maka sekarang harus disesuaikan ala budaya setempat,” demikian ungkapan kekecewaan sistem pendidikan yang mengharuskan segala sesuatu yang hakikatnya beda harus sama.
Pak Guru Manangsang dari pedalaman Papua berpesan, kiranya para pakar pendidikan yang susun bahan ajar, disusun menurut kemauan kondisi dan kemauan mereka. Jangan campur adukan dengan kepentingan-kepentingan tertentu yang akhirnya akan mengakibatkan hal yang fatal bagi orang lain. Kembali kepada hakikat pendidikan yang sesuangguhnya, yaitu membebaskan manusia. “Kalau dulu ketika zaman Belanda kami mengajar mereka buat buku ajar sesuai budaya di sini. I.S Kijne menyusun buku-buku ala Papua lalu kita terapkan dan banyak siswa yang berhasil. Bahan ajar yang kini dikirim dari Jawa ketinggalan jauh. Walaupun demikian saya bangga dengan anak-anak dari sini yang ke Jawa. Mereka mampu bersaing dengan orang –orang Jawa bahkan ada yang berani menerbitkan buku-buku”, katanya mengkritik.
“Kejujuran dan Cinta Kasih”
Ketika ditanya apa landasan hidupnya, Pak Guru Manangsang sedang tenang mengatakan “KEJUJURAN DAN CINTA KASIH adalah yang utama dalam hidup saya. Hal ini tertanam dalam hati dan menjadi semangat dan sprit dalam berkarya. Kunci utama dalam menjalanai tugas apapun kejujuran dan cinta Kasih menjadi tumpuan hidup melangkah dalam membangun dunia. Dari situlah akan datang kebahagian, ketenangan, lahir bathin dalam diri pribadi”.
Menurut Pak Guru Manangsang hidup itu bagaikan cermin. “Ibarat dalam cermin ketika kita lihat dengan senyum, dia juga akan lihat dengan senyum dan sebaliknya. Maka kita melaksanakan segala sesuatu dengan hati dan penuh senyum maka hati kita akan terasa damai dan semuanya akan berjalan dengan baik. Tergantung kita, kalau kita baik kehidupan itupun akan baik”.
Kata dia, mendidik dan membina orang bagian dari pekerjaan cinta kasih kepada Tuhan dan sesama. Cinta akan tugas dan profesi akan mewarnai dan merangkai kehidupan yang bernuansa seni. Kalau ada cinta kasih dalam hati tantangan apapun akan menjadi dorongan dan seni hidup menuju ke jalan ILAHI. Cinta kasih akan menembusi perbedaan, agama, ras, suku dan adat istiadat”.
*) Kontributor SELANGKAH di NABIRE-PANIAI
0 komentar:
Posting Komentar