Juli 2009: dari serpihan ingatan akan kampung-kampung di tepian Danau Tigi
Oleh: Johanes Supriyono*)
Waghete, calon ibukota Kabupaten Deiyai, terletak di tepi Danau Tigi, satu dari antara tiga danau besar di Pegunungan Tengah di Provinsi Papua. Meski calon ibu kota kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Paniai, Waghete belum menampakkan kemiripan dengan kota pada umumnya. Fasilitas-fasilitas publik seperti listrik dan telepon belum ada. Jalan utama pun belum beraspal. Manakala hujan turun, jalan menjadi berlumpur dan susah ditempuh.
Atas inisiatif sendiri, beberapa penduduk memasang panel surya untuk suplai listrik rumah tangga mereka. Jaringan pipa air bersih telah berhasil dipasang oleh sebuah LSM asing dan mampu melayani penduduk yang menghuni kawasan sepanjang jalan utama. Sementara untuk bisa berkomunikasi dengan kota lain via telepon selular, mereka mesti ke Enarotali. Untuk itu, mereka membayar ongkos taksi Rp50.000,00 sekali jalan. Bisa jadi, biaya transportasi lebih mahal daripada biaya menelepon.
Jalan yang belum diaspal, pada saat kemarau dengan angin pegunungan yang kencang menebar debu. Penduduk mengalami infeksi saluran pernafasan bagian atas (ISPA). Beberapa sakit mata.
Pelayanan medis belum maksimal diberikan di Waghete. Meski telah ada dokter (satu orang saja!), kerap pasien dilarikan ke Enarotali—dengan melewati jalan yang tidak mulus. Jika keluarga cukup beruntung mereka dapat menerbangkan pasien langsung ke Nabire dari Enarotali. Biaya terbang dari Enarotali ke Nabire sekitar Rp500.000,00. Jika pasien tidak bisa ditangani di Enarotali, biasanya dirujuk ke Nabire. Meski demikian, ini tidak berarti pelayanan kesehatan di Nabire sudah sangat baik.
Di Waghete saya bertemu dengan Pak Sam Posumah, guru SD yang telah menetap lebih dari 20 tahun. Pak Sam sudah fasih berbahasa Mee. Hari itu, ia datang ke Stasi Kigou membawa obat cacing dan salep kulit untuk anak-anak. Menurut Pak Sam, banyak anak usia sekolah menderita cacingan. Kulit mereka pun bersisik. Ada juga yang korengan. Orang-orang tua pun ada yang meminta salep kulit.
Pak Sam bukanlah dokter atau tenaga medis yang bertugas di Waghete. Ia adalah guru SD dan pewarta di Gereja Santo Yohanes Pemandi Waghete. Sebagai pemuka jemaat, ia menerima tugas tambahan dari Pastor Paroki untuk menyalurkan bantuan-bantuan kesehatan. Secara rutin ia berkeliling dengan motor Honda Win merahnya.
Tentu saja, penyakit kulit dan cacingan tidak tuntas teratasi. Hanya saja, sekurangnya anak-anak di Kigou dan Yaba—yang hari itu kami kunjungi—mendapatkan obat untuk kulit dan perut. Seperti setetes air ketika kehausan mendera. Anak-anak itu begitu bersukacita. Wajah mereka berbinar-binar. Lantas, mereka berlarian dengan sorak gembira dan mengundang sahabat-sahabat yang lain untuk mengambil obat pada Pak Sam.
Tidak lama kemudian, perempuan-perempuan pun meninggalkan kebun ubi mereka di sekitar Danau Tigi. Mereka berlari menuju sumber suara. Yang belum mendapat obat langsung meminta pada Pak Sam Posumah.
“Kamu sudah saya beri kan?” Tanya Pak Sam dalam bahasa Mee.
“Belum. Mereka yang lain sudah tapi saya belum. Jadi saya minta,” jawab perempuan itu. Ia pun lalu bergabung dengan banyak orang yang lain sambil mengamat-amati dua orang ‘asing’ berkulit putih.
Entah sejak kapan, orang kulit putih mereka pandang sebagai pembawa bantuan. Di belakang Pak Sam mendengar mereka berbisik-bisik ingin tahu bantuan apa yang dibawa oleh Pedro dan Rowena. Segera Pak Sam menukas, “Mama, Bapa, anak-anak. Kami hanya bawa obat cacing dan salep kulit yang sudah saya bagi. Masih ada dua kotak lagi tapi akan saya bagikan ke kampung yang lain. Yaba dan besok Damabagata. Kami tidak membawa uang. Jadi mama-mama tidak perlu ribut bicara soal bantuan. Tidak ada. Mereka ini pater. Bukan LSM.”
Penduduk pun mengerti tapi sekaligus tidak lagi antusias dengan kunjungan orang ‘asing’ ini. Lalu Pak Agus Pekei mencoba member penjelasan lebih lengkap, “Pater ini sedang mengamati keadaan lingkungan kita. Apakah sudah terlalu rusak. Ya, pater ingin mengetahui bagaimana cara kita merusak lingkungan dan apa yang bakal terjadi pada tahun-tahun mendatang. Mungkin cara kita membuat kebun atau cara kita mendapatkan kayu. Jadi bantuan pater berwujud lain. Bukan uang. Saya harapa bapa dan mama mengerti.”
Wajah penduduk kurang gembira. Berbeda dengan anak-anak, mereka sangat gembira. Hati mereka dipenuhi oleh pengalaman yang baru: berjumpa dengan orang asing dan disapa oleh mereka. Anak-anak belia itu menyertai kemanapun Pedro dan Rowena pergi sambil memamerkan salep kulit dan obat cacing kepada teman-temannya yang tidak mendapat.
Kemudian, Pak Agus mencarikan seorang yang mau menjadi narasumber tentang teknik pertanian penduduk. Seorang perempuan yang menanam ubi rambat di pinggiran Danau Tigi yang subur, mengajak kami ke kebunnya.
ia menyilakan kami untuk melihat petak tanaman yang tidak luas. Ia sendirian bekerja, mulai dari menyiapkan lahan dan menanaminya. Biasanya, setelah menanam, mereka tidak lagi merawat tanaman sampai nanti panen. Perempuan itu juga menanam di tempat lain dengan tanaman yang sama.
Sayang, perempuan itu tidak mau mengatakan kepada ‘orang asing’ siapa namanya. Kata Pak Agus, ia takut terjadi apa-apa dengan dirinya atau keluarganya kalau sampai mengatakan siapa namanya. Pedro merasa tidak mendapat cukup informasi karena perempuan ini bukan orang yang tepat untuk dijadikan narasumber. Setelah berbasa-basi dengan mengucapkan terima kasih, kami berlalu dengan harapan dapat menemukan narasumber yang tepat.
Kami berpindah ke petak yang lain. Mata kami tertatap pada lahan nota di bidang yang miring, punggung bukit. Spontan kami putuskan untuk menuju tempat itu. Begitu mendekat ke bedeng nota itu, si pemilik kebun marah. Entah apa arti teriakan mereka itu karena semua dalam bahasa Mee. Wajah mereka tegang. Malah, ada juga yang meregangkan tali panah. Apa yang menyebabkan mereka marah, kami hanya tahu sedikit saja.
Mereka mengusir kami. Selekas mungkin kami tinggalkan tempat itu. Kemarahan itu merambat ke penduduk yang lain setelah mendengar kata-kata dari si pemilik kebun. Untunglah ada Pak Agus Pekei dan pak tonowi setempat yang masih bisa diajak bicara oleh Pak Agus. Kami pergi menjauh sambil di belakang kami ada orang-orang yang meregangkan busur. Bukan hanya laki-laki, perempuan-perempuan pun melengkingkan suaranya untuk menghalau orang-orang asing ini.
Setelah agak jauh, saya meminta penjelasan dari Pak Agus. Kurang lebih penjelasan Pak Agus seperti ini. Si pemilik kebun tidak suka ada orang asing—apalagi dari Eropa—menginjak tanahnya. Semua orang asing perlu dicurigai. Intruder tidak pernah diharapkan oleh orang Waghete. Lebih lagi, penduduk takut kalau orang asing punya maksud tersembunyi. Orang asing bisa-bisa mengundang malapetaka.
Barulah, setelah Pak Agus menjelaskan bahwa yang datang adalah seorang Pater, mereka agak reda. Seorang laki-laki, berperawakan kecil dan agak kurus, mendekati kami dan, dari wajah ramahnya, kami mengerti bahwa ia menerima kami. Ia bertanya dari mana pater datang dan apa maksud ia datang ke Waghete. Dengan senang hati ia berkisah, ia sedang belajar di Jawa.
Dari nada suaranya, aku menangkap ada rasa bangga di balik kata ‘Jawa’. Ia merasa sedikit berbeda dari ‘orang kebanyakan’. Entahlah bagaimana Jawa seakan-akan dibayangkan sebagai titik peradaban yang penting, yang lebih berbobot dikonstruksi. Banyak orang tua menginginkan suatu hari untuk bisa mengirim anak-anaknya belajar di Jawa.
“Pater ini datang dari Filipina dengan temannya, perempuan ini,” kataku sambil menunjuk pada Rowena, “Pater ini sedang ingin melihat-lihat keadaan hutan di Papua, terutama ia ingin mengerti bagaimana hubungan masyarakat dengan hutan.”
*) Staf Peneliti pada Lembaga Pendidikan Papua (LPP)
*) Staf Peneliti pada Lembaga Pendidikan Papua (LPP)
Bersambung... Waghete: Perjalanan Panjang ke Masa Depan (Bagian 2)
3 komentar:
Luar bisa ceritanya. Salut!
Waghete! Akankah tanah ini tenggelam lenyap tanpa pernah didengar dunia. Tulisan yang sangat mengharukan.. Kawan, selamat dan salut. Terus hembuskan ruh Papua dalam tulisan2 di LPP
Cerita ini membuatku terhanyut ke tanah Papua.. trenyuh.. mengharu-biru perasaan
Posting Komentar