Peraturan Gubernur Nomor 5 Tahun 2009 tentang pembebasan biaya pendidikan bagi wajib belajar pendidikan dasar dan pengurangan biaya pendidikan bagi peserta didik orang asli Papua pada jenjang pendidikan menengah menuai kritik. Berbagai pihak menilai, pembebasan biaya pendidikan itu dapat saja justru melahirkan kemalasan dan sikap manja.
“Kita semua sepakat bahwa anak-anak Papua harus bersekolah. Karena, salah satu kendala mengapa banyak anak Papua tidak sekolah adalah masalah biaya pendidikan. Maka, kebijakan pemerintah Provinisi Papua itu harus diapresiasi. Namun, yang menjadi soal adalah apakah memang benar, soal utama anak Papua tidak bersekolah karena masalah biaya. Saya kira, lebih pada soal cara pandang masyarakat kita (Papua:red) tentang pendidikan atau sekolah.”
Demikian kata sekretaris Lembaga Pendidikan Papua—Education for Papuan Spirit (edPaPaS), Yermias Degei, S.Pd. kepada Tabloid Jubi di Nabire, Senin, (16/3).
Lebih lanjut Degei menjelaskan, sebenarnya pendidikan gratis itu akan benar-benar terlaksana kalau dilalui dengan satu studi atau semacam pemetaan soal pendidikan di tanah Papua. Kalau kita melakukan studi atau pemetaan, maka masalah sebenarnya akan jelas.
“Saya lihat pendidikan gratis itu akan menciptakan sikap malas dan manja. Orang Papua itu pekerja keras. Tetapi, sekarang ada beras JPS, Raskin, ada Dana Respek, kesehatan gratis, dan pendidikan gratis lagi. Ini semua mengarah pada suatu kesimpulan bahwa hidup orang Papua gratis. Orang Papua tidak boleh bekerja keras. Orang Papua tidak usah kerja repot-repot. Dulu alam memanjakan orang Papua dan kini alam sudah dikuras habis, lalu ganti dengan dengan Otsus yang memanjakan semuanya. Lalu, orang Papua mau jadi di masa depan?”, kata Degei.
Soal pendidikan gratis ini, katanya, biaya sendiri saja banyak anak malas belajar. Banyak anak lebih memilih santai-santai. Tidak sedikit anak asli Papua yang mencari sekolah-sekolah yang pembelajaran santai, alias nilai bisa dibeli, ijazah mudah didapat. Padahal mereka membayar lebih mahal dari biaya sekolah yang bermutu dan disiplin. Lalu, orang tua juga membiarkan ini. Kebanyakan orang menganggap sekolah itu untuk nilai dan ijazah setelah itu jabatan dan ujung-ujungnya adalah korupsi. Pembangunan kandas.
“Pendidikan gratis itu akan sukses apabila masyarakat Papua mengerti hakikat pendidikan. Artinya, untuk apa saya belajar? Untuk apa anak saya harus sekolah? Anak-anak juga harus mengerti mengapa mereka harus sekolah? Apakah sekolah untuk nilai dan ijazah atau untuk hidup,” katanya.
Alumnus Fakultas Kegurun dan Ilmu Pendidikan Universitas Katolik Sanata Dharma Yogyakarta ini menilai bahwa, saat ini belum banyak orang Papua yang merasa bahwa pendidikan itu kebutuhan. “Kita lihat saja, lebih banyak orang Papua, baik anak sekolah maupun orang tua belum melihat pendidikan—sekolah—belajar) itu sebagai kebutuhan. Kebanyakan melihat sebagai kewajiban. Kebijakan ini seakan mewajibkan orang untuk belajar. Tersirat unsur kewajiban.” Katanya.
Dia mengatakan, sebelum pendidikan gratis saja banyak siswa di pedalaman merasa sekolah tidak penting. Di pedalaman kebanyakan anak akan menganggap pendidikan belum menjadi kebutuhan. ‘Sekolah tidak makan, kalau ke hutan pasti dapat burung untuk makan’. Pandangan seperti itu harus kita rubah dulu.
“Memang, saat ini sudah ada perubahan cara pendang tetapi masih sebatas sekolah/pendidikan itu penting. Belum sampai tingkat megapa pendidikan itu penting dan untuk apa harus sekolah. Kebanyakan orang memahami sekolah (sumber daya manusia) itu dengan ijazah dan nilai. Lalu, ukuran keterpenuhan SDM adalah dengan menghitung berapa sarjana, bukan menghitung berapa yang biasa apa,” kata Degei.
Jadi, katanya, pendidikan gratis merupakan salah satu usaha yang terpuji di era Otsus Papua. Tapi, tidak akan berubah banyak di bidang pendidikan kalau tidak disertai dengan perubahan cara pandang. “Pembangunan pendidikan Papua bukan soal biaya tetapi soal mengubah cara berpikir dan soal membangun kepercayaan diri orang Papua. Juga yang penting adalah pembangunan pendidikan di tanah Papua harus berdasar pada pemetaan yang jelas untuk memenuhi tuntutan lokal, nasional dan internasional.
“Kita harus merencanakan kehidupan orang Papua di masa depan dengan menjadikan orang Papua di tanah mereka dengan pendidikan. Jangan-jangan kita membantu tetapi akhirnya menjerumuskan. Roh baik itu awalnya baik dan bisa berakhir buruk, kalau tidak hati-hati,”tegasnya. (Willem Bobi/Nabire)
- Pendidikan Gratis, Dinilai Kebijakan Tanpa Arah di Papua
“Kita semua sepakat bahwa anak-anak Papua harus bersekolah. Karena, salah satu kendala mengapa banyak anak Papua tidak sekolah adalah masalah biaya pendidikan. Maka, kebijakan pemerintah Provinisi Papua itu harus diapresiasi. Namun, yang menjadi soal adalah apakah memang benar, soal utama anak Papua tidak bersekolah karena masalah biaya. Saya kira, lebih pada soal cara pandang masyarakat kita (Papua:red) tentang pendidikan atau sekolah.”
Demikian kata sekretaris Lembaga Pendidikan Papua—Education for Papuan Spirit (edPaPaS), Yermias Degei, S.Pd. kepada Tabloid Jubi di Nabire, Senin, (16/3).
Lebih lanjut Degei menjelaskan, sebenarnya pendidikan gratis itu akan benar-benar terlaksana kalau dilalui dengan satu studi atau semacam pemetaan soal pendidikan di tanah Papua. Kalau kita melakukan studi atau pemetaan, maka masalah sebenarnya akan jelas.
“Saya lihat pendidikan gratis itu akan menciptakan sikap malas dan manja. Orang Papua itu pekerja keras. Tetapi, sekarang ada beras JPS, Raskin, ada Dana Respek, kesehatan gratis, dan pendidikan gratis lagi. Ini semua mengarah pada suatu kesimpulan bahwa hidup orang Papua gratis. Orang Papua tidak boleh bekerja keras. Orang Papua tidak usah kerja repot-repot. Dulu alam memanjakan orang Papua dan kini alam sudah dikuras habis, lalu ganti dengan dengan Otsus yang memanjakan semuanya. Lalu, orang Papua mau jadi di masa depan?”, kata Degei.
Soal pendidikan gratis ini, katanya, biaya sendiri saja banyak anak malas belajar. Banyak anak lebih memilih santai-santai. Tidak sedikit anak asli Papua yang mencari sekolah-sekolah yang pembelajaran santai, alias nilai bisa dibeli, ijazah mudah didapat. Padahal mereka membayar lebih mahal dari biaya sekolah yang bermutu dan disiplin. Lalu, orang tua juga membiarkan ini. Kebanyakan orang menganggap sekolah itu untuk nilai dan ijazah setelah itu jabatan dan ujung-ujungnya adalah korupsi. Pembangunan kandas.
“Pendidikan gratis itu akan sukses apabila masyarakat Papua mengerti hakikat pendidikan. Artinya, untuk apa saya belajar? Untuk apa anak saya harus sekolah? Anak-anak juga harus mengerti mengapa mereka harus sekolah? Apakah sekolah untuk nilai dan ijazah atau untuk hidup,” katanya.
Alumnus Fakultas Kegurun dan Ilmu Pendidikan Universitas Katolik Sanata Dharma Yogyakarta ini menilai bahwa, saat ini belum banyak orang Papua yang merasa bahwa pendidikan itu kebutuhan. “Kita lihat saja, lebih banyak orang Papua, baik anak sekolah maupun orang tua belum melihat pendidikan—sekolah—belajar) itu sebagai kebutuhan. Kebanyakan melihat sebagai kewajiban. Kebijakan ini seakan mewajibkan orang untuk belajar. Tersirat unsur kewajiban.” Katanya.
Dia mengatakan, sebelum pendidikan gratis saja banyak siswa di pedalaman merasa sekolah tidak penting. Di pedalaman kebanyakan anak akan menganggap pendidikan belum menjadi kebutuhan. ‘Sekolah tidak makan, kalau ke hutan pasti dapat burung untuk makan’. Pandangan seperti itu harus kita rubah dulu.
“Memang, saat ini sudah ada perubahan cara pendang tetapi masih sebatas sekolah/pendidikan itu penting. Belum sampai tingkat megapa pendidikan itu penting dan untuk apa harus sekolah. Kebanyakan orang memahami sekolah (sumber daya manusia) itu dengan ijazah dan nilai. Lalu, ukuran keterpenuhan SDM adalah dengan menghitung berapa sarjana, bukan menghitung berapa yang biasa apa,” kata Degei.
Jadi, katanya, pendidikan gratis merupakan salah satu usaha yang terpuji di era Otsus Papua. Tapi, tidak akan berubah banyak di bidang pendidikan kalau tidak disertai dengan perubahan cara pandang. “Pembangunan pendidikan Papua bukan soal biaya tetapi soal mengubah cara berpikir dan soal membangun kepercayaan diri orang Papua. Juga yang penting adalah pembangunan pendidikan di tanah Papua harus berdasar pada pemetaan yang jelas untuk memenuhi tuntutan lokal, nasional dan internasional.
“Kita harus merencanakan kehidupan orang Papua di masa depan dengan menjadikan orang Papua di tanah mereka dengan pendidikan. Jangan-jangan kita membantu tetapi akhirnya menjerumuskan. Roh baik itu awalnya baik dan bisa berakhir buruk, kalau tidak hati-hati,”tegasnya. (Willem Bobi/Nabire)