”Rakyat Asli Papua Harus Percaya Diri”
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua, Bab X Pasal 38 Pasal 1 mengatakan, perekonomian Provinsi Papua yang merupakan bagian dari perekonomian nasional dan global, diarahkan dan diupayakan untuk menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Papua, dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan pemerataan.
Menjelang 8 tahun implementasi Otsus, perekonomian rakyat jauh dari harapan mulia dewa penyelamat Otsus. Orang-orang asli Papua tetap menjadi pemain pinggiran, bahkan penonton, dalam semua proses transformasi ekonomi yang berjalan begitu cepat di sekelilingnya. Keberpihakan dan proteksi rakyat asli Papua hanya menjadi retorika. Pemerintah daerah terkesan hanya mengejar proyek dalam pemberdayaan ekonomi rakyat. Hampir tidak ada program pemberdayaan ekonomi rakyat dengan pendidikan dan pendampingan yang berkelanjutan.
Dalam kondisi perekonomian rakyat seperti itu, Yayasan Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat (YAPKEMA) Paniai mencoba membangun kepercayaan rakyat dengan pendidikan dan pendampingan berkelanjutan dengan menggandeng lembaga donor Oxfan. Beberapa waktu lalu, Yermias Degei dari majalah Selangkah sempat menemui Direktur YAPKEMA, Hanok Herison Pigai, SE di kantornya Jalan Enaro-Madi, Enarotali Kabupaten Paniai Papua. Dalam pertemuannya, majalah Selangkah sempat mengajukan beberapa pertanyaan seputar masalah pokok ketertinggalan ekonomi rakyat asli Papua. Berikut petikannya.
Menurut Bapak, apa masalah pokok ketertinggalan ekonomi rakyat asli Papua?
Masalah pokok yang kami hadapi di lapangan adalah belum siapnya skill rakyat. Kedua, belum terbukanya keterisolasian. Ketiga, belum siapnya teknologi tepat guna atau industri rumah tangga. Keempat, belum tersedianya akses informasi dan kumunikasi.
Orang asli Papua memiliki jiwa sosial yang tinggi, sehingga kalau punya lebih biasanya dikasihkan kepada kerabat lain. Banyak pihak mengatakan bahwa, hal ini merupakan salah satu faktor ketertinggalan ekonomi rakyat. Bagaimana tanggapan Bapak tentang hal ini?
Kasih inikan, kalau dipandang dari agama kristen itu penting. Kasih inikan hukum yang utama dan terutama. Jadi, saya pikir kasih itu boleh-boleh saja. Tapi, kasih itu harus pada tempat dan situasi yang tepat. Harus pada situasi yang kritis. Pada saat benar-benar membutuhkan bantuan. Mungkin jika ada yang mau sekolah kita kasih. Atau ada yang sakit. Tapi, kita tidak boleh kasih dari usaha kita. Kalau kita mengambil dari usaha kita maka usaha kita justru akan mati.
Berbicara soal usaha. Realitasnyakan, tidak banyak orang Papua yang berjiwa wiraswasta. Kita jujur saja bahwa semua orang ingin menjadi Pegawai Negeri Sipil. Bagaimana pendapat Bapak tentang hal ini?
Ini sebenarnya lebih merupakan kegagalan pendidikan. Pendidikan yang diterima orang Papua di masa lalu tidak menanamkan jiwa berwiraswasta. Lebih-lebih pendidikan di masa lalu hingga saat ini, tidak kontekstual. Makanya, ada konsep dalam diri orang Papua bahwa segala sesuatu yang berpotensi dilingkungan mereka itu tidak berguna. Pendidikan itu telah membangun orang Papua untuk melihat segala-galanya dari luar (Jawa) itu dewa. Lucukan, jika masyarakat tinggalkan ubi, talas, sagu, dan lainnya lalu beralih makan nasi. Sementara mereka tidak bisa tanam padi.
Sementara itu, dari sisi fasilitas pendidikan dan tenaga pengajar juga menjadi masalah. Daerah-daerah yang potensi pertanian, perkebunan, peternakan, jarang dbuka SMK. Justru SMA yang berjejer. Sementara SMP dan SMK yang ada, syukur-syukur anak-anak disulap jadi lulus SMP dan SMA. Biasanyakan, guru-guru berada di kota. Sekolah kosong dengan adanya Otsus. Guru-guru lari ke birokrasi dan legislatif.
Akhirnya, anak-anak tidak terpenuhi hal-hal yang saharusnya terpenuhi di tingkat dasar. Jadi, ketika kita lanjut kuliah ke luar semakin bobrok. Misalnya, kita kuliah tidak ada dasar jadi pendidikan yang dia dapat tidak cukup. Sekarang kita lihat banyak sarjana yang tidak bisa implementasikan hasil pendidikan. Inikan karena tidak ada dasar. Jadi, faktornya adalah karena belum punya muatan ilmu dan malas. Semua hanya mengejar PNS. Kan, PNS itu kerja dapat uang tidak juga dapat uang. Ada rasa gengsi. Intinya, satu, kegagalan pendidian dasar. Kedua, karena rasa gengsi, ketiga, rasa malas.
Kebanyakan orang tidak mau dikatakan mereka malas. Apa tanggapan Anda dalam hal ini?
Ya, dikatakan malas itu tampaknya dilecehkan, tetapi begitulah adanya. Misalnya, kalau saya dikatakan malas, ya saya terima saja. Karena, saya tidak bisa lihat diri saya sendiri. Kan, mungkin orang lain melihat dari sisi lain. Kita orang Papua harus berani dikoreksi orang lain. Tetapi, lain soal kalau dikatakan bodoh. Kalau orang katakan orang Papua itu bodoh, sejauh mana dia mengajari orang Papua lalu berapa lama dia bertahan, baru dia katakan orang Papua itu bodoh. Mengajari-mengajari sampai jangka waktu yang lama dan yang bersangkutan itu mengatakan orang Papua itu bodoh, maka bisa masuk akal. Jadi, intinya kalau orang katakan orang Papua itu malas ya dapat diterima, tetapi jika ada yang mengatakan orang Papua bodoh itu tidak dapat diterima.
Ini agak keluar tetapi ada hubungannya dengan topik ini. Bagaimana pendapat Bapak tentang migran yang berpotensi mengancam ekonomi rakyat asli Papua?
Saya ingin berbicara transmigrasi dulu. Soal migran yang tidak terprogram, akan saya bicara kemudian. Yang transmigrasi ya sudahlah. Yang ada sudahlah. Yang terprogram sudahlah. Bolehlah, jika mau datangkan, masyarakat Papua harus betul-betul diperhatikan dululah. Buat program khusus orang Papua. Berdayakan dulu orang Papua. Kan, mereka yang didatangkan itukan karena ada keprihatinan sementara orang Papua juga punya keprihatinan yang sama.
Jadi, kondisi transmigrasi dan rakyat Papua itukan sama-sama memprihatinkan dari sisi sosial ekonomi. Transmigrasi itukan hanya asetnya yang kurang, mereka itukan dari kota jadi sudah punya pengetahuan dan informasi. Ketika mereka datang dan diberikan fasilitas, rumah dan lain-lain. Sementara, yang masyaraka Papua itukan tidak diberikan asetnya dan mereka itukan hidup dalam keterisolasian informasi (pengetahuan).
Selama ini mereka hidup jauh dari kehidupan modern. Maka, masyarakat luar Papua yang tranmigrasikan ke Papua akan menjadi ancaman bagi masyarakat Papua. Mengapa saya katakana begitu? Peluang-peluang usaha yang ada akan dikuasai oleh mereka yang tadinya sudah siap secara pengetahuan. Sekarang, kalau kita dari teori/konsep kemiskinan, kalau dikatakan miskin apabila pendapatan sehari minimal 10 ribu/hari. Jika peluang usaha sudah diambil maka masyarakat asli Papua memperoleh pendapatan dari mana, tentu mereka akan termarginalkan dan memang telah termarginalkan kok. Jadi, supaya tidak terjadi ketinpangan atau kecemburuan. Kalau mau ada program transmigrasi, bina dulu rakyat Papua. Tidak usah ada program itu lagi malah lebih bagus..
Bagaimana dengan migran?
Yang tidak terprogram itu lebih bahaya. Bila pemerintah daerah tidak punya data penduduk agak sulit. Mereka itukan datang melalui kerabat. Hanya bentuknya yang berbeda. Akibatnya sama, rakyat asli Papua akan termaginalkan. Jadi, pemerintah daerah perlu ada pendataan dan proteksi. Bisa jadi, karena di sini bebas sekali, maka ada penduduk yang punya masalah bisa lari ke sini karena di sini bebas. Termasuk juga berbagai masalah lain, misalnya penyakit. Jika, perlu pemerintah daerah perlu pendataan yang jelas tentang penduduk yang datang dari luar, berapa lama dia akan tinggal, dalam rangka apa dia datang, dan lain-lain seperti di Jawa, dan di Bali.
Bagaimana peran pemerintah daerah dalam peningkatan ekonomi rakyat asli Papua? Apakah peran-peran pemerintah sudah dilakukan? Apa komentar Anda sebagai orang LSM?
Saya melihat di daerah pedalaman, itu pemberdayaan ekonomi rakyat belum sama sekali. Yang mereka lakukan di sana, istilahnya mencoba dalam jangka waktu tertentu dengan menggunakan konsep masyarakat Jawa. Pada akhirnya, konsep-konsep tersebut berakhir dalam jangka waktu proyek itu selesai.
Lebih bagus lagi, menurut saya, konsep untuk memberdayakan orang Papua itu perlu menggunakan perencanaan partisipatif. Maksudnya, masyarakat sendiri yang merencanakan seuai kondisi alam dan bakat alami/talenda. Lalu dalam implementasi program pemerintah harus berada hanya sebagai fasilitator. Nah.. lalu ada keterlibatan organisasai masyarakat, entah gereja, lembaga adat, atau LSM yang mendampingi pelaksanaan kegiatan di lapangan. Gereja, lembaga adat, atau LSM sudah terlibat mendampingi rakyat sehingga jika bagian-bagian tertentu masyarakat lupa atau bingung melanjutkannya, maka mereka bisa konsultasi langsung. Pada akhirnya nanti, bisa diukur tingkat keberhasilan kegiatan tersebut.
Saya ingin komentar tambahan Bapak tentang hubungan ketertinggalan ekonomi rakta dengan pendidikan. Menurut Bapak apakah ada yang salah dengan pendidikan kita, dalam kaitannya dengan ketertinggalan ekonomi rakyat Papua?
Ya saya bisa katakan ada yang salah.
Apa itu, bisa dijelaskan?
Di Paniai misalnya, itukan bisa dikatakan daerah yang unik karena beberapa potensi yang daerah lain di Papua tidak ada. Sebaliknya juga potensi-potensi tertentu yang ada di daerah lain tidak ada di Paniai.
Kira-krira apa yang unik di Paniai?
Di sanakan, kalau masyarakat tanam apel itu besar-besar. Kalah yang ada di Malang. Lalu, pohon teh yang sudah jadi besar, sayur kol, kental, wortel, dan sayur lainnya yang bisa ditanam di daerah dingin. Juga, kopi yang sudah diuji kualitasnya oleh Oxfam, maka Paniai punya kualitasnya lebih tinggi dibanding didaerah lain di Papua.
Jika potensi alamnya demikian, kenapa Paniai belum ada SMK Petanian. Kedua, mengapa dari dulu pemerintah daerah Papua tidak mengembangkan Fakultas pertanian UNCEN di daerah-daerah kabupaten pedalaman Papua sesuai potensinya. Ini salah satu senjata ampuh.
Bagaimana strategi implementasinya?
Dalam salah satu APBD, pemerintah mengalokasikan dana untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat, misalnya sekitar 2 milyar. Cara pengelolaannya, pemerintah bekerja sama dengan bank tertentu dan didampingi satu organisasi non pemerintah. Pemerintah di tingkat distrik, kepala distrik mengarahkan dan memberikan motivasi dan menjelaskan juknis dan juklak dari anggaran ini agar dia bisa tekun melakukan usaha tersebut agar profitnya/keuntungannya dikembalikan ke bank tanpa bunga (kredit lunak).
Lalu, tugas non-pemerintah adalah semua usulan masyarakat/proposal masyarakat direview lalu monitoring ke lapangan, untuk melihat apakah usulan tersebut sudah mulai. Lalu yang kedua, apakah SDMnya sudah siap untuk melakukan program tersebut. Dan menilai apakah kegiatan tersebut cocok dengan potensi alamnya atau tidak. Dalam monitoring tersebut NGO mendata hal-hal potensial dan tidak potensial untuk pengembangan usaha, misalnya jika usahanya potensial tetapi SDMnya kurang maka, NGO terebut mengusulkan/merekomendasikan kepada pemerintah untuk melakukan pelatihan atau kegiatan lain yang dapat mengembankan usaha mereka dengan dinas terkait. Apabila, berdasarkan monitoring NGO tersebut, jika usaha usaha tersebut tidak potensial dengan alam sekitar, maka diberikan alternatif usaha lain. Jika hasil monitoring itu terbukti usaha itu layak secara kondisi alam maupun SDM, maka NGO tersebut merekomendasikan kepada pihak bank untuk melakukan proses selanjutnya di bank (dalam hal ini pihak bank memberikan kelonggaran) dan sekaligus melaporkan kepada dinas terkait.
Menurut Bapak, sebenarnya hal pokok apa yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam peningkatan ekonomi rakyat Papua?
Musti yang pemerintah lakukan itu sudah kita bahas di atas, tetapi secara konkret musti yang pemerintah lakukan adalah ada dua hal pokok menurut saya, yaitu:
Membuka tempat pelatihan (pusat-pusat pelatihan) dimana tempat itu berfungsi melatih manajemen kewirausahaan dan pelaksanaan secara langsung spesifik unit kegiatan yang dimaksud. Misalnya, pelatihan pertanian. Misalnya, sayur, dia harus dikasih latih teknik budidaya pertanian dan manajemen pengelolaan usaha. Secara teori dan praktik berjalan seimbang. Sema juga dengan latihan komputer dan lain-lain.
Perlu juga pelatihan pembukuan, supaya ketika dia mau kredit mikro di bank, pihak bank bisa melihat catatan keluar masuk uang jelas (contoh konkret pelatihan manajemen). Ini salah satu syarat utama pihat bank memberikan kredit pada wirausaha tersebut. Kedua, pemerintah harus menyiapkan modal untuk memberikan kredit mikro kepada masyarakat sebagai salah satu motivasi supaya orang Papua berwiraswasta.
Menurut Bapak, apa peran kaum muda dalam peningkatan ekonomi rakyat asli Papua?
Ya...Peran kaum yang sudah bersekolah maupun yang belum bersekolah, kita harus mampu mempelajari atau melihat arah perkembagan itu tidak sebagai ancaman tetapi justru peluang. Sementara ini, saya lihat bekerja keras untuk menenuhi kebutuhan rumah tangga lebih kepada mama-mama/orang tua. Sedangkan anak muda Papua gengsi, melas terjerumus ke dalam budaya populer.
Yang seharusnya, pemuda itu harus menjadi aktor pembangunan ekonomi. Ke depan kita inikan akan dihadapkan dengan perdagangan bebas. Jika, anak-anak muda Papua saat tidak siap, maka ini tanda-tanda untuk membunuh diri kita sendiri. Sekarang, saya mengajak kepada semua pemuda Papua mari kita berdiri di atas kaki sendiri. Tinggalkan rasa gengsi, kemalasan, membuka lapangan usaha sendiri, untuk memenuhi kebutuhan ekonomi runah tangga dan masayarakat.
Oya, ini barangkali yang terakhir, bagaimana Bapak menilai implementasi Otsus dalam hal pemberdayaan ekonomi rakyat asli Papua secara umum?
Setelah adanya Otsus itu malah kehidupan masyarakat itu lebih rawan. Lantas, pemerintah itu ada juga yang tidak memahami. Tidak memahami dalam dua arti, yang pertama kesalahan implementasi. Kedua, mereka sendiri menciptakan momen untuk korupsi lalu akhirnya masyaraat yang jadi korban. Misalnya, bagi-bagi uang. Masyarakat yang tadinya tergantung kepada alam dengan adanya program BLT, 100 juta, juga beberapa program proyek pemerintah yang memberikan atau membagi-bagikan uang kepada masyarakat. Akhirnya tercipta karakter konsumtip. Sebab uang yang diberikan itu untuk mengelola.
Kemudian yang berikut, pemerintah dalam hal ini pihak eksekutif maupun legislatif inkonsistensi terhadap implemntasi UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus itu. Sebenatnya, UU inikan memberikan peluang atau kebebasan kepada pemerintah daerah utuk memproduk perda, di mana Perda tersebut yang memproteksi kepentingan masyarakat asli Papua. Misalnya, pinang dan beberapa potensi khas Papua tidak perlu dijual oleh pendatang. Artshop saja dijual oleh orang lain. Itu kita tidak malu kah. Koteka moge itu dijual orang luar Papua. Jika wisatawan asing datang, kita tidak malu kah. Inikan sudah rakyat Papua tidak ada peluang lagi. Inikan kita macam bodoh, UU Otsus untuk apa, kalau semacam ini saja belum tertangani.
Selama 7 tahun ini, saya lihat tidak ada sama sekali perubahan. Mana ada ruko yang dikhususkan untuk orang Papua. Sampai saat ini orang Papua masih jualan di pinggir jalan, pinggir pasar kok. Tidak di tempat usaha kok.
Pem berian dana secara tidak sehat itu pembodohan. Pemerintah memberikan uang tanpa kontrol, Hari ini pemerintah memebrikan uang, lalu dia ajukan lagi proposal lalu jika tidak jawab masyarakat malas kerja karena tidak dibantu lagi. Ini saya sendiri alami. Inikan sama-sama gila, tapi lebih-lebih pemerintah. Jadi, itu kasus umum, lebih-lebih daerah pendampingan saya di Paniai.
Kira-kira, ada yang ingin Bapak katakan untuk rakyat asli Papua?
Sekarang masyarakat harus percaya diri, apapun yang kita lakukan sebagai petani di kebun kita tekun bekerja, apa yang kita kerja tidak perlu mengharapkan orang lain tetapi apapun yang kita kerja baik ataupun tidak baik, giat maupun sambilan hasilnya kita sendiri yang nikmati. Mari kita mencintai kekayaan alam.Jadi, kita tidak perlu terlalu terlena dengan produk yang datang dari luar. Bisa saja produk yang datang dari luar itu mengandung bahan kimia yang menghancurkan tubuh dan jiwa sehat kita.[Yermias Degei] ***
--------------------------
Sumber:Majalah SELANGKAH Edisi Awal Tahun 2009
- Sorotan Khusus (68)
- Liputan Umum (40)
- Masalah Guru (32)
- Liputan (22)
- Mengubah Sekolah (20)
- Kebijakan Pendidikan (19)
- Kebudayaan (17)
- Bantuan Pendidikan (15)
- Mata Air Kehidupan (15)
- Fasilitas Pendidikan (14)
- Ekonomi Rakyat (12)
- Pendidikan Anak Usia Dini (11)
- Gagasan Liar Pendidikan (10)
- Membaca dan Menulis (10)
- Prestasi Mutiara Hitam (10)
- Pengetahuan Umum (9)
- Pendidikan Rakyat (8)
- Korupsi Dana Pendidikan (7)
- Liputan Pendidikan (7)
- Profil (6)
- Liputan Kegiatan KPP (5)
- Siswa Bicara (5)
- Cerita Rakyat Papua (4)
- Pendidikan Tinggi (4)
- Resensi Buku (4)
- Tokoh dan Gagasannya (4)
- Iptek (3)
- Persamaan Gender (3)
- Papua dalam Sastra (2)
- Psikologi Pembelajar (2)
- Kekerasan Pendidikan (1)
- Potret (1)
-
►
2011
(12)
- ► 06/12 - 06/19 (1)
- ► 05/15 - 05/22 (1)
- ► 03/27 - 04/03 (2)
- ► 03/20 - 03/27 (4)
- ► 03/13 - 03/20 (1)
- ► 03/06 - 03/13 (1)
- ► 02/13 - 02/20 (1)
- ► 01/09 - 01/16 (1)
-
►
2010
(58)
- ► 12/26 - 01/02 (1)
- ► 12/19 - 12/26 (1)
- ► 12/12 - 12/19 (1)
- ► 11/28 - 12/05 (1)
- ► 11/07 - 11/14 (5)
- ► 10/31 - 11/07 (1)
- ► 09/26 - 10/03 (1)
- ► 09/12 - 09/19 (1)
- ► 09/05 - 09/12 (1)
- ► 08/29 - 09/05 (3)
- ► 08/22 - 08/29 (2)
- ► 08/08 - 08/15 (1)
- ► 08/01 - 08/08 (1)
- ► 07/25 - 08/01 (5)
- ► 07/18 - 07/25 (4)
- ► 07/11 - 07/18 (6)
- ► 06/20 - 06/27 (3)
- ► 05/30 - 06/06 (2)
- ► 05/23 - 05/30 (1)
- ► 05/09 - 05/16 (1)
- ► 05/02 - 05/09 (7)
- ► 04/11 - 04/18 (1)
- ► 04/04 - 04/11 (3)
- ► 02/28 - 03/07 (1)
- ► 02/21 - 02/28 (1)
- ► 01/31 - 02/07 (1)
- ► 01/03 - 01/10 (2)
-
▼
2009
(83)
- ► 12/06 - 12/13 (1)
- ► 11/29 - 12/06 (1)
- ► 11/22 - 11/29 (2)
- ► 10/25 - 11/01 (2)
- ► 10/18 - 10/25 (1)
- ► 10/04 - 10/11 (2)
- ► 09/13 - 09/20 (5)
- ► 09/06 - 09/13 (1)
- ► 08/16 - 08/23 (1)
- ► 08/02 - 08/09 (1)
- ► 07/19 - 07/26 (1)
- ► 07/05 - 07/12 (1)
- ► 06/28 - 07/05 (2)
- ► 06/14 - 06/21 (1)
- ► 05/31 - 06/07 (1)
- ► 05/17 - 05/24 (3)
- ► 05/10 - 05/17 (9)
- ► 05/03 - 05/10 (7)
- ► 04/26 - 05/03 (2)
- ▼ 04/19 - 04/26 (6)
- ► 04/12 - 04/19 (1)
- ► 03/29 - 04/05 (1)
- ► 03/22 - 03/29 (3)
- ► 03/08 - 03/15 (4)
- ► 03/01 - 03/08 (1)
- ► 02/15 - 02/22 (2)
- ► 02/01 - 02/08 (6)
- ► 01/25 - 02/01 (9)
- ► 01/18 - 01/25 (2)
- ► 01/04 - 01/11 (4)
-
►
2008
(155)
- ► 12/28 - 01/04 (4)
- ► 12/21 - 12/28 (3)
- ► 12/14 - 12/21 (2)
- ► 12/07 - 12/14 (6)
- ► 11/30 - 12/07 (1)
- ► 11/23 - 11/30 (5)
- ► 11/16 - 11/23 (3)
- ► 11/09 - 11/16 (19)
- ► 10/05 - 10/12 (1)
- ► 07/27 - 08/03 (5)
- ► 07/13 - 07/20 (3)
- ► 07/06 - 07/13 (2)
- ► 06/29 - 07/06 (8)
- ► 06/22 - 06/29 (3)
- ► 06/15 - 06/22 (8)
- ► 06/08 - 06/15 (4)
- ► 06/01 - 06/08 (4)
- ► 05/25 - 06/01 (8)
- ► 05/18 - 05/25 (8)
- ► 05/11 - 05/18 (7)
- ► 05/04 - 05/11 (7)
- ► 04/27 - 05/04 (3)
- ► 04/20 - 04/27 (6)
- ► 04/13 - 04/20 (1)
- ► 04/06 - 04/13 (2)
- ► 03/30 - 04/06 (1)
- ► 03/23 - 03/30 (7)
- ► 03/02 - 03/09 (4)
- ► 02/24 - 03/02 (4)
- ► 02/17 - 02/24 (1)
- ► 02/10 - 02/17 (3)
- ► 02/03 - 02/10 (4)
- ► 01/20 - 01/27 (2)
- ► 01/13 - 01/20 (6)
-
►
2007
(89)
- ► 12/02 - 12/09 (2)
- ► 11/25 - 12/02 (5)
- ► 11/11 - 11/18 (19)
- ► 11/04 - 11/11 (10)
- ► 10/21 - 10/28 (1)
- ► 10/07 - 10/14 (2)
- ► 09/16 - 09/23 (20)
- ► 09/02 - 09/09 (8)
- ► 08/19 - 08/26 (3)
- ► 08/05 - 08/12 (2)
- ► 07/29 - 08/05 (17)
Hanok, Membangun Ekonomi Rakyat di Paniai
Jumat, April 24, 2009Diposting oleh Lembaga Pendidikan Papua
Label: Profil
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email: hansprie@gmail.com, Nomor HP: 081574768313. Yogyakarta dan sekitarnya hubungi Mateus Auwe, nomor HP: 081392188632/Dorce Pekey, nomor HP: 085279204099. Papua hubungi: Longginus Pekey, nomor HP: 081383763630. Email: selangkah_kpp@yahoo.com/ Yermias Degei, nomor HP:085354007469
0 komentar:
Posting Komentar