“Namun sesuai data Dinas Kehutanan Provinsi Papua saat ini masih ada sekitar 80 % penduduk yang berada di pedesaan dan sebanyak 68,9 % berada di kawasan hutan dikategorikan miskin,”ujar Bob Hutabarat dari Forest Wacht Indonesia (FWI) di Jayapura saat berlangsungnya Lokakarya Sosialisasi Kriteria dan Indikator Daam Rangka Pengeloaan Hutan Produksi Lestari Berbasis Masyarakat di tanah Papua belum lama ini.
Bahkan lebih lanjut jelas Hutabarat faktor faktor yang mempengaruhi degradasi dan deforestasi hutan di Papua mau pun di Indonesia adalah sistem politik dan ekonomi yang cenderung korup, kebijakan hutan melalui sistem Hak Pengusahaan Hutan (IUPHHK-HA) yang melakukan eksploitasi yang berlebihan,konversi hutan untuk lahan perkebunan, ekspansi industrikayu, penebangan ilegal atau illegal loging.
Melihat potensi hutan di tanah Papua maka dosen Fakultas Kehutanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Harianto R Putro menegaskan pengalaman di Sumatera dan Kalimantan jangan sampai terulang lagi di Papua terutama menyangkut kebijakan yang tidak bijak dan tegas. “Jika mau melakukan sertifikasi hutan minimal harus melihat sejauh mana regulasi yang mengaturnya sebab kalau regulasinya lemah tentu akan mempengaruhi kegiatan selanjutnya di lapangan,”ujar Harianto.
Apalagi lanjut Harianto kegagalan yang pernah terjadi di pulau lain di Indonesia jangan sampai terjadi lagi di Papua sebab kepastian kawasan dan kelembagaan perlu diperkuat. “Pasalnya salah menetapkan kebijakan yang salah akan menyengsarakan, “tegas Harianto.
Sementara itu dosen Fakultas Kehutanan Fakultas Kehutanan UNIPA Manokwari Max J Tokede mengatakan secara teknis pengusahaan hutan oleh perusahaan HPH/IUPHHK dalam menerapkan sistem silvikultur Tebang Pilih Indonesia (TPI) yang telah diubah menjadi Tebang Pilih Tanam Indonesia(TPTI) sejak 1983 di tanah Papua menunjukan bahwa sistem silvikultur tersebut belum mampu menjamin kelestarian produksi dan kelestarian hutan.
“ Kesalahan ini bukan terletak pada sistem silvikulturnya tetapi ketidak konsekwenan dalam mengaplikasi semua ketentuan yang telah disyaratkan dengan berbagai kendala di lapangan dan kelembagaan,”ujar Max dosen Unipa.
Lebih lanjut menurut Tokede kepastian kawasan unit Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari (PHAPL) faktor kendala antara lain klaim aturan adat dan tumpang tindih ijin pengelolaan kawasan, potensi hutan sebagai areal konsesi tidak memenuhi kriteria minimum.
Di tanah Papua seluruh kawasan hutan masih terbebani oleh hak adat masyarakat hukum adat (Hutan Adat), meskipun secara forml areal konsesi HPH/IUPHK memiliki kekuatan hukum, karena mereka diberi hak menguasahakan hutan yang diasumsikan sebagai miliki negara. “Namun faktanya secara non formal semua kawasan di Papua dimiliki dan dikuasai secara adat oleh masyarakat hukum adat,”ujar Tokede.
Karena itu lanjut Tokede terdapat beberapa faktor penghambat dalam mengimplementasikan indikator kepastian dalam kawasan PHPAPL antara lain, belum ada kepastian pembagian tugas antara para pihak dalam penataan batas real HPH/IUHPHHK, tidak ada pengakuan atas berbagai tata guna lahan dan tata ruang wilayah, masih terjadi konflik lahan dan tata batas kawasan hutan dengan hak milik, antara pengusaha dengan masyarakat hukum adat dan antara masyarakat anggota hukum adatnya.
Selain itu Ir Bani Susilo dari Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Komda Papua mengatakan pelaksanaan pengelolaan hutan produksi lestari menjadi tuntutan international karena hutan sebagai paru paru dunia sebagai reaksi atas munculnya emisi rumah kaca yang menimbulkan perubahan iklim. “Apalagi saat ini konsumen sudah mulai menyadari perlunya membeli kayu olahan lestari,”ujar Bani Susilo. Ditambahkan sistem pengelolaan hutan lestari sebagai tuntutan pasar terhadap produk hutan ramah lingkungan dan pemenuhan persyaratan legalitas.
Lebih lanjut menurut Bani Susilo kendala pencapaian PHPL adalah kriteria ekologi antara lain penataan kawasan yang dilindungi dan pengakuan oleh para pihak, ketersediaan prosedur dan implementasinya dalam pengendalian perambahan, kebakaran, penggembaaan dan pembalakan illegal. Kriteria sosial sudah mencakup resolusi konflik.(Dominggus A. Mampioper)
---------------------------------
Sumber:http://tabloidjubi.wordpress.com/
0 komentar:
Posting Komentar