Di Tempat Sampah Mereka Mencari Nafkah

Minggu, Agustus 08, 2010

Dalam 10 tahun terakhir Pemda Merauke membeli empat buah pesawat. Membuka lahan untuk investor. Kaum miskin kota tak terurus.

Serombongan anak-anak berkaki telanjang  menapaki Jalan Natuna Kelurahan Karang Indah, Kota Merauke. Kompleks itu  dihuni oleh sebagian besar Penduduk Asli Papua, seperti Suku Marind, Mappi, Asmat dan Muyu Mandobo. Daerah itu juga dihuni oleh penduduk pendatang.

Siang itu, ditengah ganasnya sang surya, anak-anak manis tersebut terlihat memikul karung usang. Tubuh mungil mereka bermandikan kerigat. Mereka menyinggahi dari tempat sampah ke tempat sampah yang lainnya. Mereka memburu macam-macam barang rongsokan, seperti besi tua, aluminium, potongan kabel, kemasan minuman berbahan aluminium dan sejenisnya. 

Mereka mengaku, pekerjaan itu mereka lakoni setelah pulang sekolah. Fitalis Kamkopimu, seorang anak yang perawakannya lebih besar dibandingkan dengan rekannya dipercaya sebagai ketua tim. Fitalis yang menentukan wilayah mana yang akan akan digarap, sekaligus menentukan jumlah orang dalam satu tim kecil. Setelah mereka berembuk, anak-anak tersebutpun berpencar ke berbagai tempat sampah maupun wilayah yang dianggap ada ‘rezeki’.

Fitalis memilih Anes Way yang menemaninya. Keduanya, menyisir tempat sampah Wilayah Seringgu dan sekitarnya. Sedangkan lainnya menyebar hingga ke Gudang arang, Pelabuhan, Kompleks Transito, Kelapa Lima, Mopah dan di sekitar kompleks pertokoan di Jalan Raya Mandala, Merauke. Fitalis mengaku, selain besi tua, anak-anak pemulung sering memburu aluminium karena harga lebih mahal. Perkilo gram dihargai Rp. 6000. “Harga aluminium lebih mahal,” katanya kepada JUBI yang sengaja meliput aktivitas mereka pekan kemarin.

Sebagaimana disaksikan JUBI, walau pekerjaan yang mereka lakoni itu terasa berat, tetapi tampak mereka tegar dan ceria. Tingkah Anes yang berpostur lebih pendek dari Fitalis yang mengundang tawa. Sesekali ia bercanda sehingga situasi berubah segar. “Begini sudah kalau jadi orang miskin,” katanya bernada canda. “Anes, tempo!  (cepat-red) Ambil kawat itu,” timpal Fitalis sambil menggaruk kepalanya yang gatal.

Di sebuah kompleks militer di Jalan Martadinata, keduanya masuk ke gang-gang. Kalau tidak diketahui penghuninya, keduanya sampai masuk ke dalam pekarangan rumah warga. Fitalis dan Anes panen hari itu. Pasalnya, di sebuah rumah, teronggok tumpukan kaleng minuman. Tangan keduanya dengan cekatan memasukkan kaleng-kaleng minuman itu ke  dalam karung. Lantaran terlalu gaduh, penghuni rumah mengetahui keberadaan mereka. Dari dalam rumah terdengar suara. “Kamorang bikin apa! Jangan pancuri barang orang sembarang ya!” bentak perempuan itu. “Tidak tante, ambil kaleng bekas saja,” begitu jawaban Fitalis dan Anes. Keduanya bergegas lari dari rumah di kompleks militer itu, lalu berhamburan di jalan sambil tertawa riang karena memperoleh kaleng bekas yang cukup banyak. 

Keduanya melanjutkan perjalanan. Sesampai di daerah pasar darurat yang baru saja terbakar, mereka numpang mobil angkutan pedesaan menuju Kampung Kuprik Distrik Semangga. Berharap mendapatkan peruntungan yang lebih dari wilayah perkotaan. Diantara mereka tidak ada persaingan, namun masing-masing sudah mengetahui di mana mereka harus mencari besi dan kaleng tanpa harus mengganggu rejeki rekan lainnya.  Mereka jarang makan makanan bergizi sehingga tubuh mereka kurus dan nampak sedikit buncit lantaran kekurangan gizi.

JUBI mengitu jejak Fitalis dan Anes siang. Sekitar Pukul 15.30 WIT, keduanya beringsut pulang. Berjalan kaki dengan menyeberangi Jembatan Maro yang panjang hampir mencapai satu kilo itu. Jembatan ini yang menghubungkan wilayah perkotaan dengan beberapa distrik di Kabupaten Merauke.
Sampai di kota, keduanya pergi ke tempat penampungan besi tua.  Keduanya nampak dekil dan lusuh lantaran letih seharian mencari besi tua. Di dalam penampungan besi tua, nampak 4 orang lelaki tengah bersantai, 1 diantaranya tengah mengemas besi-besi tua.

Lelaki separuh baya pemilik usaha penampungan besi tua, langsung mengambil kedua karung milik Anes dan Fitalis. Setelah usai menimbang, keduanya diberi uang. Fitalis mendapat 50 ribu rupiah, sedangkan Anes mendapatkan 35 ribu rupiah. Keduanya tak pernah mengeluh dengan harga yang dipatok pemilik usaha, yang penting dapat uang  untuk beli buku sekolah atau diberikan sebagian pada orang tua walau tak seberapa hasilnya.

Fitalis mengaku, terkadang ia dan rekan-rekannya bolos sekolah demi mencari besi tua. Guru mereka sering menemukan Fitalis dan rekan-rekannya di pinggir jalan tengah mencari barang bekas. Hati mereka kecil mereka seakan tak mengerti bahwa pendidikan lebih penting dari pekerjaan yang mereka lokoni itu.
Keluar dari tempat penampungan besi, keduanya lalu mencari warung terdekat, rasa lapar sudah menggerogoti perut mereka sedari siang. Keduanya makan Bakso Celebes. Sebuah warung bakso yang berdekatan dengan penampungan besi tua di sepanjang Jalan Irian Seringgu.

Fitalis dan Anes lalu bergegas pulang, setibanya di Natuna, mereka langsung bertemu dengan rekan-rekan lainnya sesama pemulung yang tengah bergerombol di sepanjang jalan Natuna. Pemukiman mereka nampak lebih sederhana dari pemukiman lainnya. Terbuat dari papan dan beratapkan seng tanpa plafon. Ibunda Fitalis bernama Alfonsina. Mama Alfosiana sering memarahi Fitalis karena selalu terlambat pulang ke rumah.
Setelah itu, dia melupakan pekerjaan rumah dari guru di SD Biankuk tempatnya bersekolah. Kembali berkumpul dengan rekan-rekannya di sepanjang Jalan Natuna. Riuh rendah suara mereka di kompleks pemukiman warga lokal, berkerumun hanya untuk saling bercerita hingga malam hari. Ibu mereka, hanya menatap dari kejauhan tanpa peduli apa yang mereka lakukan.

Anes, anak berperawakan kurus dan nampak kekanak-kanakan sibuk mengajak kawan-kawannya untuk mengumpulkan uang hasil memungut barang bekas. Seorang 5 ribu rupiah.  Jelang malam hari, sekitar Pukul 19.00 WIT, Anes mengajak rekan-rekannya pergi ke sebuah toko bangunan. Setibanya, Anes kemudian membeli 3 kaleng aibon berukuran kecil, harganya masing-masing Rp. 9000.

Keinginan untuk segera menghirup aibon membuat Anes dan ketiga rekannya sesegera mungkin beranjak dari keramaian kota. Mereka tiba di dekat Kawasan Bandar Udara Mopah, Merauke. Duduk di bawah sebuah Pohon Mahoni yang lebih rimbun. Cahaya penerangan hanya bersumber dari terangnya bulan di atas kepala mereka. Anes dan kawan-kawan lekas membuka lem aibon yang baru saja dibeli. Dengan bersila, ketiganya kemudian menghirup aibon. Aibon bereaksi dan mereka terlena dengan hirupan aibon yang menggerogoti saraf otak ketiganya hingga larut malam.

Mama Theresia Esi Samkakai, Tokoh Perempuan Papua yang sangat peduli terhadap perkembangan Anak Papua dan pendidikan mengatakan, perubahan sosial ekonomi membuat hidup Anak-anak Papua luput dari perhatian semua pihak. Orang tua dari  anak-anak pemulung, rata-rata tak memiliki penghasilan tetap sehingga untuk memenuhi kebutuhan si anak, sangat tidak memungkinan.  “Harus dipertanyakan pada pihak-pihak terkait, apakah kondisi ini akan dibiarkan terus terjadi? Ini harus dicarikan jalan keluarnya.”

Jika undang-undang pendidikan mengamanatkan agar setiap  anak wajib bersekolah, maka harus konsekuen sehingga tidak ada yang terlantar di jalan-jalan.  Kondisi semacam ini, kata Esi, berpengaruh  secara psikologis.  Anak akan berkembang tidak terarah, liar dan tak dapat dikendalikan karena muncul keinginan  yang berdampak pada masalah sosial yang muncul di masyarakat. Umumnya, Anak Papua  tidak terperhatikan oleh orang tuanya. Hasilnya, banyak Anak Papua yang belum bisa membaca dan menulis hingga Kelas 4 SD.

Budaya bergeser jauh, terutama dalam kehidupan di kota dan tergusur oleh perkembangan jaman. “Anak harus belajar, tidak bekerja. Sangat disayangkan, anak akan berkembang liar dan menjadi beban sosial,” sesalnya. (JUBI/Indri Qur’ani)
------------------------------
Sumber: http://tabloidjubi.com/index.php/edisi-cetak/perempuan-dan-anak/8109-di-tempat-sampah-mereka-mencari-nafkah-

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut