Waghete: Perjalanan Panjang ke Masa Depan (Bagian 3)

Jumat, Juli 30, 2010

 Juli 2009: dari serpihan ingatan akan kampung-kampung di tepian Danau Tigi

 Oleh Johanes Supriyono*) 
Kembali kukisahkan ingatan kolektif—dan nanti kuceritakan pula konsep diri kolektif masyarkat Mee. Tanah satu marga dengan klan-klannya, dengan batas-batas tanda alam seperti bukit, pohon, sungai, atau batu besar, bisa diingat dengan baik, tanpa sertifikat atau surat tanah semacam girik. Cukuplah generasi yang lebih tua meneruskan ingatan itu pada generasi yang lebih muda. Entah bagaimana cara-caranya aku belum sepenuhnya mengerti. Tetapi salah satu yang penting, yang terjadi dalam ritus setiap orang suku Mee, adalah proses inisiasi ke kebun semenjak kecil. Inilah proses sosialisasi yang paling dini ke dalam hakikat tanah.
Proses inisiasi ini terjadi sangat alamiah. Anak kecil dalam keluarga akan diasuh dengan dibawa serta ke kebun tempat orang tuanya bekerja. Anak kecil itu digendong dalam noken atau ditaruh di bahu. Pada usia sangat dini, ketika mereka masih belum sepenuhnya sadar barangkali, anak-anak kecil sudah berkenalan dengan tanah. Perlahan-lahan, sesuai usianya, anak-anak itu akan terlibat dalam pekerjaan kebun orang tuanya.
Selanjutnya, anak laki-laki yang telah lumayan dewasa, bisa berjalan lebih jauh lagi, akan dilatih juga untuk turut berburu. Selama berburu, yang bisa makan waktu berhari-hari atau malah berminggu-minggu ini, mereka semakin mengenal tanah yang menghidupi mereka. Relasi dengan tanah menjadi lebih mendalam lagi lewat proses ini.
Masyarakat Mee hanya berburu di tanah mereka sendiri. Tidak akan mereka mencari binatang buruan di tanah orang lain.
Selama berburu anak-anak suku Mee tidak hanya semakin mengenal tanah mereka. Mereka juga semakin mengenal keluarga besar, termasuk para leluhur. Di samping itu, selama perjalanan berminggu-minggu di hutan itu, mereka pun belajar banyak pengetahuan tradisional tentang norma-norma berburu, tentang ilmu kehutanan, tentang tanda-tanda alam, tentang relasi laki-laki dan perempuan, tentang banyak hal.
Dalam percakapan tentang hutan dengan penduduk Distrik Unito, Sukikai selatan, aku mengerti menurut norma adat, tidak semua burung tahun-tahun boleh dipanah untuk dimakan. Misalnya, burung betina tidak boleh dipanah. Jika mendapati anak burung tahun-tahun di sarang, tidak boleh semuanya diambil. Norma yang lain, kita tidak boleh berkebun terus menerus di lahan yang sama. Secara akal, orang akan dengan cepat menangkap alasannya: kesuburan berkurang. Tapi, secara tradisional, masyarakat Mee meyakini, cara itu adalah untuk menghormati tanah.
Selain itu pun, menurutku, ajaran itu melarang masyarakat Mee untuk menjadi rakus, serakah. Tanah dikelola untuk menghasilkan secukupnya untuk makan sehari-hari. Jauh dari motivasi untuk menimbun makanan atau untuk memasarkan hasil pertanian demi keuntungan finansial sebesar-besarnya. Tiba-tiba aku sedikit melankolis membayangkan nilai tanah yang begitu luhur dan jiwa terdalam manusia Mee yang begitu mulia: tidak boleh rakus. Sebaliknya, bersyukur dan berterima kasih pada ibu tanah. Menurutku, nilai luhur tentang hidup yang tidak boleh kelaparan dan tidak boleh berlebihan ini mesti bisa dipelihara.
Cara hidup meramu dengan kuat masih digenggam. Tidak ada keluarga yang menanam ubi rambat (nota) di lahan yang luas. Tidak ada juga yang berkebun dengan orientasi bisnis. Kalaupun mereka ‘terpaksa’ menjual di pasar, jumlahnya sangat terbatas. Kukatakan ‘terpaksa’ karena mereka menjual untuk mendapatkan uang demi mencukupi kebutuhan yang tidak bisa diperoleh dari kebun, utamanya barang-barang fabrikan. Betul, globalisasi yang mengalir deras sampai ke Waghete, telah mendesak masyarakat Waghete untuk mendiversifikasi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Aku yakin kebutuhan makanan mereka kini tidak cukup sekadar nota. Penduduk Waghete sebagian mulai mengenal beras dan nasi. Kalau tidak pedagang-pedagang dari Sulawesi itu tidak perlu membawa berkarung-karung beras ke Waghete. Mestinya, perkakas rumah tangga seperti panci dan wajan itu tidak laku di Waghete. Nota cukup dibakar.
Memang, tidak ada yang tidak berubah di dunia ini. Semuanya berubah. Panta rei! Kalau si Parmenides mengatakan tidak ada yang berubah, si Anaximandros mengatakan semuanya berubah. Waghete berubah, meski pelan sekali!
Entah mulai kapan, penduduk Waghete merasakan kebutuhan akan jalan yang bagus, yang menghubungkan Waghete dengan kota di dekatnya: Enarotali, Moanemani, dan Nabire. Ketika jalan hancur, sehingga perjalanan dari Waghete ke Nabire memakan waktu yang panjang, mereka mengeluh. Tampaknya sejak mereka mengerti bahwa kebutuhan yang tidak lagi dicukupi hutan atau tidak dihasilkan oleh hutan bergantung pada suplai di kota lain. Hutan tidak menghasilkan cocacola kaleng; tidak menghasilkan beras; tidak menghasilkan pulsa; tidak menghasilkan radio, dan lain-lain.
Secara pasti Waghete mulai menyandarkan sebagian ‘kehidupan’ masyarakatnya pada kehidupan di tempat lain. Tidak lagi bisa disangkal. Anak-anak Waghete mulai menggemari minuman kaleng sejenis cocacola dan menantikannya ketika natal menjelang. Mereka juga berangkat ke sekolah berseragam kendati beberapa masih belum lengkap. Padahal Waghete tidak menghasilkan tekstil. Bahan-bahan makanan banyak didatangkan dari luar Waghete. Padahal, untuk mendatangkan semua itu perlu alat tukar yang dianggap setara: uang!
Pernah aku bertanya-tanya: dari mana orang Waghete menghasilkan uang? Sama sekali tidak ada maksud merendahkan. Boleh dikatakan aktivitas ekonomi masyarakat masih sangat minimal. Ekonomi produksi belum tampak. Komoditas masyarakat asli pun tidak begitu banyak.
Aku tidak suka sebenarnya untuk membahas uang. Tapi, kenyataannya, kehidupan masyarakat Papua dewasa ini mulai disetir oleh uang. Alat tukar mereka sendiri, kulit bia, pelan-pelan tidak berlaku. Atau itu hanya berlaku untuk komunitas masyarakat tradisional mereka. Padahal, ruang kehidupan dan ragam interaksi penduduk kian luas. Sebagian kebutuhan mereka disediakan oleh kios pastoran yang tidak mau dibayar dengan kulit bia tentu saja. Juga pedagang-pedagang dari Sulawesi itu tidak mengenal kulit bia. Generasi Mee yang lebih muda pun terkesan lebih nyaman dengan uang modern karena ketika membeli motor dealer tidak mau dibayar dengan kulit bia.
Aku mengerti kini kulit bia mulai digantikan fungsinya oleh alat tukar modern: uang. Agaknya, uang adalah benda sakti yang membuka akses Waghete pada dunia yang lebih global. Aku ingat lagi pada pipa-pipa air yang dipasang oleh NGO Prancis itu. Uang ada di sana.
Juga aku ingat akan keluh kesah beberapa keluarga yang menyesal tidak bisa mengirim anak mereka sekolah di kota. Sekolah itu dikenal mahal. Uang bulanan sampai Rp200.000,00. Jumlah yang sulit didapat oleh orang-orang Waghete kecuali mereka yang berstatus PNS. Sekali lagi, aktivitas ekonomi produktif belum massal. Kemampuan masyarakat menghasilkan uang masih sangat rendah. Anak-anak itu tidak bisa menikmati pendidikan di kota yang mereka idamkan karena orang tua mereka tidak beruang. Impian yang mahal harus kandas oleh uang. Tragis!
Masuknya alat tukar global ini turut mengubah kebudayaan masyarakat. Sebenarnya, itu bukan satu-satunya. Masih ada yang lain. Pergerakan zaman ternyata membebani penduduk Waghete dengan aneka kebutuhan yang sebelumnya tidak mereka rasakan. Muncullah kelaziman baru untuk mendapatkan uang: membikin proposal.
Bahkan, jika ada yang datang dari luar Waghete, sering ditafsirkan sebagai pembawa uang bantuan. Belakangan muncul pula, kecenderungan untuk menguangkan aneka hal. Sekali lagi, aku tidak menghakimi penduduk Waghete dengan menyebut mata duitan. Aku memahami gelagat ini karena mereka memerlukan itu untuk memenuhi kebutuhan hidup yang sebelumnya tidak mereka rasakan. Atau sekurang-kurangnya dulu masih dicukupi oleh para misionaris.
Masih dengan sangat jelas aku ingat wajah Josef Mote yang pagi-pagi datang dari Yaba ke Pastoran Katolik Waghete tempat kami menginap. Ia mencari seorang pria asing berkulit putih, berjambang, yang hari sebelumnya menjumpainya di Kampung Yaba. Josef ingat pria putih itu—sebenarnya ia seorang pater dari Filipina—telah mengabadikan dirinya di depan patung bapanya, Weyakebo Mote yang sedang menerima Injil dari Monsigneur Tillemans. Tujuan Josef datang adalah meminta sejumlah uang dari pater itu terkait dengan foto-foto yang telah ia ambil. Ia berterus terang bahwa ia memerlukan uang dan ia merasa sudah banyak membantu dengan menyediakan dirinya di foto.
Karena hambatan komunikasi, pater itu tidak menemuinya sendiri. Dengan bantuan Pastor Paroki, Josef mengerti bahwa pater itu tidak membawa bantuan dan memang maksudnya tidak untuk memberikan bantuan. Sebaliknya, pater itu sedang meneliti hutan Papua terkait dengan perubahan iklim. Meski dengan wajah sedikit mengiba, Josef meninggalkan halaman sekolah dan tampaknya kembali ke Yaba.
Aku sangat mengerti: Josef tua itu kecewa. Mungkin juga ia merasa tertipu. Ia telah memberikan sesuatu tapi ia tidak mendapatkan balasannya. Ia melangkah di belantara pagi Waghete yang dingin, tanpa uang yang sempat diimpikan, dengan perasaan kecewa yang pahit...
Kepadanya, pagi itu kukatakan bahwa aku akan mencetak foto-foto itu dan mengirimkan untuknya. Sebuah janji yang berhasil kutepati. Kuharap fotonya di depan patung Weyakebo Mote yang sedang menerima Injil dari Mgr. Tillemans sedikit mengurai kepahitan hatinya.
Temanku dari Filipina, Rowena Soriaga, mengungkapkan rasa penasaran kepadaku.
“Kamu, tahu darimana mereka memperoleh semen dan keramik untuk membuat patung yang sangat besar itu?”
“Aku tidak tahu. Tapi, jangan khawatir, aku akan bertanya.”
Patung itu memang sangat megah jika dikontraskan dengan rumah-rumah di sekitarnya. Bahkan jika dibandingkan dengan gereja Yaba sekalipun. Tidak rumah di kampung Yaba yang dibangun dengan semen. Apalagi berkeramik. Kusampaikan pertanyaan itu pada Josef Mote, lelaki tua yang tidak bisa kutebak umurnya, tetapi rambut dan jenggotnya yang sangat tebal telah disusupi uban.
“Proposal,” begitu jawaban singkat Josef yang segera melanjutkan, “saya kirim proposal ke pemerintah. Saya beli semen. Saya beli itu semua.”
Bangga sekali Josef memamerkan patung ayahnya. Akh, sebenarnya ia bangga pada ayahnya sebagai orang yang menerima pertama kali Injil dari Mgr. Tillemans. Tentu saja, ayahnya adalah orang yang paling terpandang di kampung itu. Sangat mungkin Weyakebo Mote adalah tonowi marga Mote dan klan-klan di sekitarnya.
“Ini, sa punya bapa,” kata Josef, “ini Monsinyur Tillemans. Sedang kasih Injil sa pu bapa.”
Ketika sesi pengambilan foto dimulai, pada ketika matahari hampir ditelan malam, Josef meminta berfoto bersama Pedro, kemudian bersamaku, dan setelah itu ia mendorongku menjauh. Ia ingin diabadikan sendiri di kaki patung ayahnya. Setelah itu, seluruh penduduk yang sejak kami datang berkerumun mengambil pose masing-masing.
Proposal adalah alat untuk mendatangkan uang. Aneka hal diproposalkan. Kepada siapa proposal itu diajukan? Kebanyakan kepada orang-orang yang berjabatan agak tinggi di kalangan pemerintah daerah. Kadang-kadang agak lucu. Anak mau sekolah, orang tua menulis proposal. Keluarga ada yang sakit, anggota keluarga menulis proposal. Ketika mau membuat rumah, seorang ayah menulis proposal. Bahkan, seorang mahasiswa ketika kembali ke kampung untuk berlibur masih menyempatkan diri untuk menulis proposal agar mendapatkan uang saku dari pemerintah daerah.
Suatu siang, kamarku tiba-tiba diketuk. Di luar telah berdiri seorang lelaki berbadan kecil dan pendek. Wajahnya familiar: orang tua dari salah satu muridku.
“Bapa, selamat sian (bunyi diftong memang tidak ada). Saya ada perlu sedikit dengan Bapa,” kata sang tamu.
“Perlu apa ka? Bapa bisa bicara langsung saya sedang ada sibuk juga jadi,” kataku.
“Begini Bapa. Sa pu anak sa dengar mau maju olimpiade ka apa ka itu namanya..”
“Johny ka Bapa. Benar Bapa. Dia minggu depan maju olimpiade. Baru ada apa Bapa?”
“Saya mau minta surat keterangan bisa ka Bapa?”
“Untuk apa?”
“Begini. Saya kan tidak mampu, tidak ada biaya. Jadi saya mau minta sama dia pu bapa tua biaya. Begitu Bapa,” lelaki itu memandangku. Mungkin ia menanti reaksiku.
“Siapa dia pu bapa tua ka?”
“Sekda Kayame. Itu dia pu bapa tua.”
“Bapa, mau olimpiade itu tidak perlu biaya. Semua sudah diurus sekolah. Jadi tidak ada surat keterangan lagi. Begitu Bapa.”
“Ahhh.. tapi dia pu bapa tua harus tahu. Dia pu anak maju olimpiade.”
“Ooo iyo sudah bapa kasih tahu saja to dia pu bapa tua.”
Aku tahu Bapa Johny pasti kecewa. Harapannya untuk mendapatkan surat keterangan yang dilampirkan pada proposalnya tidak terwujud.
Menulis proposal untuk mendapatkan dana adalah paradigma setelah uang melimpah di Papua tetapi akses secara ekonomi sangat sempit. Mereka belum berdaya untuk mendapatkan uang dengan ‘brainware of economy” karena memang kecakapan untuk bertindak sebagai homo economicus belum terbangun. Entahlah bagaimana awal mula lahirnya tradisi menulis proposal... yang pasti sekarang ini begitulah salah satu cara untuk mendapat cipratan uang Otsus yang melimpah ruah.

*) Staf Peneliti pada Lembaga Pendidikan Papua 

 Bersambung...

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut